Analisis terhadap peluang kebangkrutan suatu perusahaan dipandang penting bagi suatu perusahaan. Analisis ini tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan yang sehat saja melainkan untuk perusahaan-perusahaan yang dianggap sehat. Analisis ini dilakukan sebagai tindak preventif bagi perusahaan yang sehat dan merupakan tindakan kuratif bagi perusahaan yang tidak sehat. Analisis ini mencakup penggunaan model-model prediksi kebangkrutan yang meliputi: Model Univariat dan Model Multivariat. Materi ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja suatu perusahaan.
Perusahaan memungkinkan mengalami risiko kebangkrutan ketika mempunyai ketidakcukupan kas untuk memenuhi klaim dari kreditor yang segera jatuh tempo. Untuk memprediksi peluang kebangkrutan suatu perusahaan yang ditinjau dari aspek keuangan dapat digunakan model univariat dan model multivariat.
Pengukuran atas
kinerja perusahaan dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya dengan
mengukur kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilakukan dengan menganalisis
laporan keuangan yang dilaporkan perusahaan setiap periodenya. Dengan berbagai
metode yang telah ditemukan, analisa terhadap laporan keuangan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan dan
kinerja keuangan suatu perusahaan yang sedang berjalan, juga sebagai alat untuk
memprediksi kondisi perusahaan di masa yang akan datang. Hal ini tentu dapat
digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan.
Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi
beberapa pihak seperti berikut ini :
ü Pemberi
Pinjaman (seperti pihak Bank), Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil
keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk
kebijakan monitor pinjaman yang ada;
ü Investor,
Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya
akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya
perusahaan yang menjual surat berharga tersebut;
ü Pihak
Pemerintah. Pada beberapa sector usaha, lembaga pemerintah mempunyai
tanggungjawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (misalnya pada sektor
perbankan);
ü Akuntan.
Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha
karena akuntan akan menilai kemapuan going concern suatu perusahaan;
ü Manajemen.
Kebangkrutan berarti munculnya biaya – biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan
dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa
mencapai 11-17% dari nilai perusahaan.
1. Model Univariat
Model univariat dalam prediksi kebangkrutan suatu
perusahaan digunakan untuk mengkaji hubungan antara rasio keuangan tertentu
dengan kebangkrutan suatu perusahaan. Atau dengan kata lain model univariat
mengkaji rasio keuangan secara parsial.
Menurut Hanafi (2004:655), analisis univariate dilakukan dengan melihat variabel keuangan yang diperkirakan mempengaruhi atau berkaitan dengan kebangkrutan dengan menganalisis terpisah. Sedangkan menurut Bappepam (2005), analisis rasio merupakan salah satu bentuk analisis univariate, cara ini yang pada umumnya digunakan investor untuk menghitung dan menganalisis berbagai macam rasio keuangan seperti modal kerja, rasio-rasio profitabilitas, tingkat hutang atau leverage, dan likuiditas untuk mendeteksi tanda-tanda kebangkrutan suatu perusahaan, tetapi timbul suatu permasalahan yaitu masing-masing rasio mempunyai kegunaan dan memberikan indikasi yang berbeda mengenai kesehatan keuangan perusahaan.
Kadang-kadang rasio-rasio tersebut juga terlihat berlawanan satu sama lain. Oleh karena itu, jika hanya bergantung pada perhitungan rasio secara individual maka para investor akan mendapat kesulitan dan kebingungan untuk memutuskan apakah perusahaan dalam kondisi sehat atau sebaliknya.
Pendekatan tunggal (univariate) bisa dipakai untuk memprediksi kesulitan keuangan dengan asumsi bahwa distribusi variable keuangan untuk perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berbeda dengan distribusi variable keuangan untuk perusahaan yang tidak mengalami kebangkrutan.
Penggunaan metode tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan contoh berikut pada tahun 1970, beberapa perusahaan kereta api AS yang cukup besar mengalami kebangkrutan. Apakah rasio–rasio keuangan pada tahun – tahun sebelumnya bisa memperkirakan kebangkrutan tersebut? Berikut ini dua rasio keuangan yang dipilih untuk melihat apakah kebangkrutan perusahaan kereta api tersebut bisa dilihat melalui rasio–rasio keuangan pada tahun–tahun sebelumnya.
(1) Rasio biaya transportasi terhadap pendapatan operasional (BT/ PO). Biaya transportasi merupakan komponen biaya yang terbesar yang terjadi pada perusahaan kereta api , yang meliputi biaya operasional angkutan kerta, biaya gaji pegawai kereta dan biaya bahan baker. Pendapatan operasional terutama berasal dari karcis kereta yang terjual dan juga pendapatan dari beberapa sumber yang lain seperti pendapatan angkutan barang dan surat pos.
(2) Rasio timed interst earned (TIE) yang merupakan rasio EBIT (Earning Before Taxes)/Interst. Bunga atau interest disini adalah bunga dari kewajiban obligasi. Apabila diperoleh angka negatif, berarti perusahaan mempunyai earning atau pendapatan yang negatif.
Teknik penelitian titik cut off mengandung bahaya bahwa karakteristik spesifik perusahaan–perusahaan dalam sample akan sanagat mempengaruhi nilai cut off, dan dengan demikian titik cut off tersebut tidak representaif untuk perusahaan–perusahan lainnya. Untuk menghindari kemungkinan semacam tersebut, akuirisititik cut off bisa menggunakan perusahaan – perusahaan diluar sampel. Empat variable yang menunjukkan perbedaaan antara perusahaan yang bangkrut dengan yang tidak bangkrut secara konsisten adalah:
- Tingkat retun (rate of return),Perusahaan yang bangkrut mempunyai tingkat return yang lebih rendah.
- Penggunaan hutang. Perusahaan yang bangkrut menggunakan hutang yang lebih tinggi.
- Perhintungan terhadap biaya tetap (fixed payment coverage), perusahaan yang bangkrut mempunyai perlindungan terhadap biaya tetap yang lebih kecil.
- Fluktuasi retun saham, perusahaan yang bangkrut mempunyai rata–rata return yang lebih rendah dan mempinyai fluktuasi return saham yang lebih tinggi.
Salah satu kelemahan model univariate adalah kemungkinan terjadinya konflik antara variabel–variabel yang dijadikan prediksi. Untuk mengatasi masalah tersebut model multivariate dikembangkan. Variable bebas dalam model ini adalah rasio–rasio keuangan yang diperkirakan memprediksi kebangkrutan, sedangkan variable tidak bebas adalah prediksi kebangkrutan (bangkrut dengan nilai 0 dan tidak bangkrut dengan nilai 1 ) atau profitabilitas kebangktutan (0 sampai 1, inklusif).
Dengan menggunakan kasus kebangkrutan perusahaan kereta api, kita akan menggunakan dua variable untuk persamaan deskriminasi, yaitu variable rasio BT/PO (variable bebas X1) dan variable TIE (sebagai variable X2). Diasumsikan bahwa rasio–rasio yang dipakai berasal dari populasi dengan distribusi normal dan matriks varians kovarians kedua kelompok tersebut sama. Persamaan diskriminan linear bisa ditulis sebagai berikut ini:
Zi = a X1 + b X2
Skor Z yang rendah berarti semakin besar kemungkinan untuk bangkrut. Koefisien negative variable X1 menandakan hubungan negative antara variable tersebut dengan skor Zi. Semakin tinggi nilai X1, semakin rendah nilai Zi dan semakin tinnggi kemungkina kebangkrutan. Nilai koefisien yang positif pada variable X2 menandakan bahwa semakin tinngi rasio TIE, semakin tinggi nilai skor Zi dan semakin kecil kemungkinan bangkrut.
Banyak bukti yang cukup kuat mengatakan bahwa kebangkrutan tidak hanya dipengaryhi oleh variabel–variabel intern saja (dari perusahaan), tetapi juga oleh variabel–variabel eksternal seperti perubahan tingkat bunga, turunnya kondisi perekonomian, atau perubahan tingkat pengganguran. Dengan bukti semacam ini multivariate bisa memasukkan variabel–variabel ekonomi makro untuk memprediksi kemungkinan kebangkrutan.
Model ini dikembangkan oleh William Beaver yang mulanya meneliti 29 rasio keuangan perusahaan
selama lima tahun dengan menggunakan sample perusahaan bangkrut dan tidak
bangkrut. Dari hasil penelitian tersebut, Beaver menemukan enam rasio keuangan
yang dianggap mempunyai daya pembeda (discriminating
power) yang sangat baik yang dapat membedakan perusahaan yang sehat dan
tidak sehat. Keenam rasio keuangan tersebut adalah:
1.
Laba bersih sebelum depresiasi,
deplesi, dan amortisasi terhadap total kewajiban (net income before depreciation, depletion, & amortization to total
liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka
panjang, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya arus kas dari kegiatan
operasi yang tersedia untuk dapat memenuhi seluruh kewajiban perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil
risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar
risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.1.
Tabel 9.1. Penghitungan Rasio Laba bersih sebelum depresiasi, deplesi, dan amortisasi terhadap
total kewajiban (Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Laba
Bersih
(Rp
000)
|
Depresiasi,
Deplesi & Amortisasi (Rp 000)
|
Total
Kewajiban (Rp 000)
|
Rasio
|
2004
|
177.907.000
|
****
|
906.648.000
|
****
|
2005
|
107.488.000
|
73.404.000
|
1.213.866.000
|
0,149
|
Catatan: ****) Tidak dihitung karena data tidak
tersedia
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh kewajiban dapat dipenuhi dari arus kas operasi sebesar 14,9%.
Semakin besar rasio ini maka
semakin kecil risiko jangka panjang perusahaan.
2.
Laba bersih terhadap total
aktiva (net income to total assets)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan,
dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang
diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.2.
Tabel 9.2. Penghitungan Rasio Laba bersih terhadap Total
aktiva
(Sampel PT Timah
Tbk)
Tahun
|
Laba
Bersih
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
|
2004
|
177.907.000
|
2.415.954.000
|
0,07
|
2005
|
107.488.000
|
2.748.157.000
|
0,04
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang diinvestasikan dapat menghasilkan laba bersih
sebesar 7% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dapat menghasilkan laba
bersih sebesar 4%. Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan profitabilitas pada Tahun 2005 sebesar 3%. Semakin
kecil rasio ini maka semakin kecil profitabilitas perusahaan.
3.
Total utang terhadap total
aktiva (total debt to total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang
perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya pendanaan utang
yang digunakan untuk membiayai seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin besar risiko
bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin kecil risiko
bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.3.
Tabel 9.3. Penghitungan Rasio Total Utang terhadap Total aktiva
(Sampel PT Timah
Tbk)
Tahun
|
Total
Utang
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
|
2004
|
906.648.000
|
2.415.954.000
|
0,375
|
2005
|
1.213.866.000
|
2.748.157.000
|
0,442
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan dibiayai dari utang sebesar 37,5%
pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dibiayai dari utang sebesar 44,2%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan
risiko jangka panjang pada Tahun 2005 sebesar 6,7%.
4.
Modal kerja bersih terhadap
total aktiva (net working capital to
total assets)
Rasio ini menunjukkan risiko
likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan
struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko
bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko
bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.4.
Tabel 9.4. Penghitungan Rasio Modal kerja bersih terhadap total aktiva
(Sampel PT Timah
Tbk)
Tahun
|
Total
Aktiva Lancar
(Rp
000)
|
Total
Kewajiban Lancar
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
2.415.954.000
|
0,351
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
2.748.157.000
|
0,270
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan terdapat modal kerja bersih
sebesar 35,1% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, terdapat modal kerja
bersih sebesar 27%. Hal ini
menunjukkan terjadi peningkatan risiko jangka pendek pada Tahun 2005 sebesar 8,1%.
5.
Aktiva lancar terhadap
kewajiban lancar (current assets to
current liabilities)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek
perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan besarnya aktiva lancar yang
tersedia untuk dapat memenuhi kewajiban lancar perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil
risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar
risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.5.
Tabel 9.5. Penghitungan Rasio Aktiva Lancar terhadap Kewajiban Lancar
(Sampel PT Timah
Tbk)
Tahun
|
Total
Aktiva Lancar
(Rp
000)
|
Total
Kewajiban Lancar
(Rp
000)
|
Rasio
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
2,57
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
1,83
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa untuk setiap aktiva lancar yang dimiliki perusahaan dapat digunakan untuk
menutupi kewajiban lancar sebesar 257% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun
2005, tersedia aktiva lancar sebesar 183%. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan risiko
jangka pendek pada Tahun 2005 sebesar 74%.
6. Kas, surat-surat berharga,
piutang usaha terhadap beban-beban operasi tidak termasuk depresiasi, deplesi,
dan amortisasi (cash, marketable
securities, account receivable to operating expenses excluding depreciation,
depletion, & amortization)
Rasio ini menunjukkan risiko likuiditas jangka pendek
perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan tersedianya alat likuiditas untuk
dapat memenuhi beban-beban operasi tunai perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko
bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko
bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.6.
Tabel 9.6. Penghitungan Rasio Kas, surat-surat
berharga (SSB), piutang usaha terhadap beban-beban operasi tidak termasuk
depresiasi, deplesi, dan amortisasi (Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Kas
+ SSB + Piutang Usaha
(Rp
000)
|
Beban-beban
Operasi
(Rp
000)
|
Depresiasi,
Deplesi & Amortisasi (Rp 000)
|
Rasio
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
****
|
****
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
73.404.000
|
1,99
|
Catatan: ****) Tidak dihitung karena data tidak
tersedia
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa untuk setiap beban operasi tunai perusahaan tersedia alat likuiditas
sebesar 199% pada Tahun 2005 sedangkan pada Tahun 2004, tidak dapat dihitung
karena tidak tersedia data.
2. Model Multivariate: Model Z-Score/ALTMAN/Multiple Discriminate Analysis
Model multivariat merupakan suatu model yang
mengkombinasikan beberapa rasio keuangan secara bersama-sama (simultan)
memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Model Z-Score merupakan salah satu
model multivariat telah dikembangkan oleh Edward
Altman. Model ini dikembangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Altman. Pada penelitian ini, Altman memilih sampel beberapa perusahaan
yang bangkrut dan perusahaan yang sehat pada ukuran dan industri yang sama.
Kemudian menghitung sejumlah besar rasio keuangan yang diperkirakan secara
apriori menjelaskan kebangkrutan. Dengan menggunakan rasio keuangan sebagai
input, kemudian Model Multiple
Discriminant Analysis (MDA) memilih serangkaian rasio keuangan yang paling
baik membedakan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut.
Hasil Model
MDA meliputi serangkaian koefisien yang kemudian dikalikan dengan rasio
keuangan sebagai variabel prediktor kemudian dijumlahlkan dan menghasilkan multivariate score (Z-Score). Ketentuan
hasil temuan sebagai berikut:
1.
Skor di bawah cut off point menunjukkan peluang
bangkrut besar
2.
Skor di atas cut off point menunjukkan peluang
bangkrut kecil
Analisis multivariate menggunakan dua variabel atau lebih secara bersama-sama dalam satu persamaan (Hanafi 2004:656). Di bagian lain Bappepam (2005: 19) mengatakan analisis ini dapat mempermudah analisis atas kondisi keuangan perusahaan daripada menghitung sekian banyak rasio keuangan secara individual lalu menginterpretasi masing-masing rasio satu per satu.
Salah satu contoh analisis multivariate yang cukup terkenal adalah model kebangkrutan yang dikembangkan oleh Edward Altman seorang professor of finance dari New York University School of Business pada akhir 1960-an yang dikenal dengan Altman Z-score. Model ini menggunakan analisis keuangan yang dibuat dengan mengkombinasikan lima rasio keuangan yang berbeda-beda, yaitu (Rasio Modal Kerja/Total Aktiva, Laba Ditahan/Total Aktiva, Earning Before Income and Tax/Total Aktiva, Nilai Pasar Modal/Nilai Buku Hutang, Penjualan/Total Aktiva) untuk menentukan potensi atau kemungkinan bangkrutnya sebuah perusahaan. Dari nilai Z-nya, berdasarkan titik cut-off yang dilaporkan Altman.
Multiple Discriminant Analysis Altman atau yang biasa disebut Z-score Model Altman menggunakan rasio keuangan yang mencakup rasio likuiditas perusahaan seperti rasio lancar, rasio leverage perusahaan seperti rasio hutang terhadap modalnya, rasio profitabilitas seperti rasio laba bersih terhadap modal atau akumulasi laba ditahan. Dengan mendasarkan rasio kepada rasio keuangan tersebut, Z-score Model Altman berhasil dipergunakan untuk mengklasifikasikan perusahaan kedalam kelompok yang mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk bangkrut atau kelompok perusahaan yang kemungkinan mengalami bangkrut rendah. Z-score Model Altman memungkinkan untuk memperkirakan kebangkrutan sampai dua tahun sebelum tiba saatnya.
Dari hasil penelitian Altman menemukan lima rasio keuangan yang dianggap paling baik
membedakan perusahaan yang sehat dan bangkrut. Kelima rasio keuangan tersebut
adalah:
1.
Modal kerja bersih terhadap
total aktiva (net working capital to total assets = X1)
Rasio ini menunjukkan risiko
likuiditas jangka pendek perusahaan, dimana hasil pengukurannya menunjukkan
struktur aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil risiko
bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka semakin besar risiko
bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.7.
Tabel 9.7. Penghitungan Rasio Modal kerja bersih terhadap total aktiva (X1)
Tahun
|
Total
Aktiva Lancar
(Rp
000)
|
Total
Kewajiban Lancar
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
X1
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
2.415.954.000
|
0,351
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
2.748.157.000
|
0,270
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan terdapat modal kerja bersih
sebesar 35,1% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, terdapat modal kerja
bersih sebesar 27%. Hal ini
menunjukkan terjadi peningkatan risiko jangka pendek pada Tahun 2005 sebesar 8,1%.
2.
Laba ditahan terhadap total
aktiva (retained earnings to total assets
= X2)
Rasio ini menunjukkan profitabilitas perusahaan, dimana
hasil pengukurannya menunjukkan tingkat penggunaan laba ditahan untuk membiayai
aktiva perusahaan. Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 9.8.
Tabel 9.8. Penghitungan Rasio Laba Ditahan terhadap Total aktiva (X2)
Tahun
|
Laba
Ditahan
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
X2
|
2004
|
1.122.995.000
|
2.415.954.000
|
0,464
|
2005
|
1.147.223.000
|
2.748.157.000
|
0,417
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan dapat dibiayai dari laba
ditahan (saldo laba) sebesar 46,4% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005,
dapat dibiayai dari laba ditahan sebesar 41,7%. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
profitabilitas pada Tahun 2005 sebesar 4,7%.
3. Laba sebelum bunga dan pajak
terhadap total aktiva (earnings before
interest and taxes to total assets = X3)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan,
dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang
diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.9.
Tabel 9.9. Penghitungan Rasio Laba sebelum Bunga dan Pajak
terhadap Total aktiva (X3)
Tahun
|
Laba
sebelum Bunga & Pajak
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
X3
|
2004
|
324.058.000
|
2.415.954.000
|
0,134
|
2005
|
232.086.000
|
2.748.157.000
|
0,084
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa dari seluruh aktiva yang diinvestasikan dapat menghasilkan laba operasi
sebesar 13,4% pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dapat menghasilkan
laba operasi sebesar 8,4%. Hal
ini menunjukkan terjadi penurunan profitabilitas pada Tahun 2005 sebesar 5%.
4. Nilai pasar ekuitas terhadap
nilai buku kewajiban (market value of
equity to book value of liabilities = X4)
Rasio ini menunjukkan risiko solvabilitas jangka panjang
perusahaan serta penilaian terhadap profitabilitas, dimana hasil pengukurannya
menunjukkan struktur pendanaan yang digunakan untuk membiayai seluruh aktiva
perusahaan. Semakin besar
rasio ini maka semakin kecil risiko bagi perusahaan. Sebaliknya, semakin kecil
rasio ini maka semakin besar risiko bagi perusahaan.
Sebagai ilustrasi digunakan
data keuangan PT Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.10.
Tabel 9.10. Penghitungan Rasio Nilai Pasar Ekuitas terhadap
Nilai Buku Kewajiban (X4)
Tahun
|
Nilai Pasar Ekuitas
(Rp 000)
|
Nilai Buku Kewajiban
(Rp 000)
|
Rasio X4
|
2004
|
999.999.999
|
906.648.000
|
1,10
|
2005
|
999.999.999
|
1.213.866.000
|
0,82
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa struktur pendanaan yang dimiliki perusahaan adalah untuk setiap Rp 1
utang berbanding Rp 1,1 ekuitas pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, untuk
setiap Rp 1 utang berbanding Rp 0,82 ekuitas. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan risiko
jangka panjang pada Tahun 2005.
5.
Penjualan terhadap total aktiva
(sales to total assets = X5)
Rasio ini menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan,
dimana hasil pengukurannya menunjukkan tingkat produktivitas aktiva yang
diinvestasikan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan.
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah Tbk
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.11.
Tabel 9.11. Penghitungan Rasio Penjualan terhadap Total aktiva (X5)
Tahun
|
Penjualan
Bersih
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
Rasio
X5
|
2004
|
2.812.416.000
|
2.415.954.000
|
1,16
|
2005
|
3.396.150.000
|
2.748.157.000
|
1,24
|
Rasio tersebut menunjukkan
bahwa untuk setiap Rp 1 aktiva yang diinvestasikan dapat menghasilkan pendapatan
bersih sebesar Rp 1,16 pada Tahun 2004 sedangkan pada Tahun 2005, dapat
menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 1,24. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan
produktivitas pada Tahun 2005.
Berdasarkan rasio keuangan
tersebut sebagai variabel prediktor ditemukan model prediksi sebagaimana
ditunjukkan pada Persamaan 9.1.
Tabel 9.12. Standar Penilaian (Cut off point)
Model Z-Score
Ukuran
|
Keterangan
|
Z-Score < 1,81
|
Peluang bangkrut besar
|
Z-Score > 3,00
|
Peluang bangkrut kecil
|
1,81 ≤ Z-Score
≤ 3,00
|
Daerah abu-abu
|
Berdasarkan hasil penghitungan rasio-rasio
keuangan setiap variabel prediktor sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.7 s/d
Tabel 9.11 di atas maka dapat dihitung Z-Score PT Timah Tbk sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 9.13.
Tabel 9.13. Penghitungan Z-Score Prediksi Kebangkrutan Perusahaan
(Sampel PT Timah Tbk)
Tabel 9.13 di atas menunjukkan bahwa pada Tahun 2004, perusahaan ini berpeluang bangkrut kecil sedangkan pada Tahun 2005 berada pada daerah abu-abu yang lebih cenderung pada berpeluang bangkrut kecil.
Tabel 9.13 di atas menunjukkan bahwa pada Tahun 2004, perusahaan ini berpeluang bangkrut kecil sedangkan pada Tahun 2005 berada pada daerah abu-abu yang lebih cenderung pada berpeluang bangkrut kecil.
3. Model Multivariat: Model Logit
Salah satu Model Multivariat
yang lain adalah Model Analisis Logit (logit
analysis) yang dikembangkan oleh James
A. Ohlson. Model ini dikembangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ohlson. Prosedur penelitian yang dilakukan oleh Ohlson adalah:
1. Menghitung serangkaian rasio keuangan
2. Mereduksi sejumlah rasio keuangan kemudian
memilih rasio yang paling baik membedakan perusahaan yang bangkrut dan tidak
bangkrut.
3. Menetapkan koefisien untuk setiap variabel
prediktor yang dilibatkan.
Pada model ini, Ohlson
menemukan sembilan rasio keuangan sebagai variabel prediktor yang dianggap
paling baik yaitu:
1. Logaritma alam (ln) total aktiva terhadap
Deflator GNP (natural log of total assets
to GNP implicit Price Deflator Index = SIZE)
2. Total kewajiban terhadap total aktiva (total liabilities to total assets = TLTA)
3. Aktiva lancar kurang kewajiban lancar terhadap
total aktiva (current assets – current
liabilities to total assets = WCTA)
4. Kewajiban lancar terhadap aktiva lancar (current liabilities to current assets = CLCA)
5. Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets = NITA)
6. Dana dari operasi terhadap total kewajiban (funds from operations to total liabilities
= FUTL)
7. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika laba
bersih negatif selama dua tahun terakhir dan bernilai nol jika tidak demikian (one if net income was negative for the last
two years and zero otherwise = INTWO)
8. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika total
kewajiban melebih total aktiva dan bernilai nol jika tidak demikian (one if total liabilities exceed total asset
and zero otherwise = OENEG)
9. (Laba bersiht – Laba bersiht-1)/(│Laba
bersiht│ +│Laba bersiht-1│) = CHIN
Kriteria penilaian:
Cut off point = 3,8%, jadi jika p > 3,8%
berarti perusahaan berpeluang bangkrut
Berdasarkan kesembilan variabel prediktor
tersebut, Ohlson menetapkan fungsi multivariat sebagaimana ditunjukkan pada
Persamaan 9.2.
Selanjutnya untuk menghitung peluang kebangkrutan
dapat digunakan formulasi sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 9.3.
Keterangan:
p
adalah peluang kebangkrutan
e adalah bilangan logaritma bernilai
2,718282
y adalah fungsi multivariat
Sebagai ilustrasi digunakan data keuangan PT Timah
Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.14 s/d Tabel 9.24.
1. Logaritma alam (ln) total aktiva terhadap
Deflator GNP (natural log of (total
assets to GNP implicit Price Deflator Index = SIZE)
Tabel 9.14. Penghitungan SIZE
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
GNP Deflator *)
|
Total Aktiva
(Rp 000)
|
SIZE
|
2004
|
108,15
|
2.415.954.000
|
23,83
|
2005
|
112,20
|
2.748.157.000
|
23,92
|
*) Data hipotetis
2. Total kewajiban terhadap total aktiva (total liabilities to total assets = TLTA)
Tabel 9.15. Penghitungan TLTA
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Total Kewajiban (Rp 000)
|
Total Aktiva
(Rp 000)
|
TLTA
|
2004
|
906.648.000
|
2.415.954.000
|
0,38
|
2005
|
1.213.866.000
|
2.748.157.000
|
0,44
|
3. Aktiva lancar kurang kewajiban lancar terhadap
total aktiva (current assets – current
liabilities to total assets = WCTA)
Tabel 9.16. Penghitungan WCTA
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Total Aktiva Lancar (Rp 000)
|
Total Kewajiban Lancar (Rp 000)
|
Total Aktiva
(Rp 000)
|
WCTA
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
2.415.954.000
|
0,351
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
2.748.157.000
|
0,270
|
4. Kewajiban lancar terhadap aktiva lancar (current liabilities to current assets = CLCA)
Tabel 9.17. Penghitungan CLCA
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Total
Aktiva Lancar
(Rp
000)
|
Total
Kewajiban Lancar
(Rp
000)
|
CLCA
|
2004
|
1.390.720.000
|
541.781.000
|
0,390
|
2005
|
1.638.683.000
|
896.153.000
|
0,547
|
5. Laba bersih terhadap total aktiva (net income to total assets = NITA)
Tabel 9.18. Penghitungan NITA
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Laba
Bersih
(Rp
000)
|
Total
Aktiva
(Rp
000)
|
NITA
|
2004
|
177.907.000
|
2.415.954.000
|
0,07
|
2005
|
107.488.000
|
2.748.157.000
|
0,04
|
6. Dana dari operasi terhadap total kewajiban (funds from operations to total liabilities
= FUTL)
Tabel 9.19. Penghitungan FUTL
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Dana dari Operasi (Rp 000)
|
Total Kewajiban (Rp 000)
|
FUTL
|
2004
|
67.557.000
|
906.648.000
|
0,075
|
2005
|
152.304.000
|
1.213.866.000
|
0,125
|
7. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika laba
bersih negatif selama dua tahun terakhir dan bernilai nol jika tidak demikian (one if net income was negative for the last
two years and zero otherwise = INTWO)
Berdasarkan Laporan Laba Rugi PT
Timah Tbk menunjukkan bahwa selama Tahun 2004 dan 2005 perusahaan ini
memperoleh laba bersih, sehingga nilai variabel INTWO adalah 0.
8. Variabel dummy yaitu bernilai satu jika total
kewajiban melebihi total aktiva dan bernilai nol jika tidak demikian (one if total liabilities exceed total asset
and zero otherwise = OENEG)
Berdasarkan Neraca PT Timah Tbk
menunjukkan bahwa selama Tahun 2004 dan 2005, total kewajiban lebih kecil dari
total aktiva, sehingga nilai variabel OENEG adalah 0.
9. (Laba bersiht – Laba bersiht-1)/(│Laba
bersiht│ +│Laba bersiht-1│) = CHIN
Tabel 9.20. Penghitungan CHIN
(Sampel PT Timah Tbk)
Tahun
|
Laba
Bersih
(Rp
000)
|
Perubahan
Laba Bersih
|
Total
Laba Bersih
|
CHIN
|
2004
|
177.907.000
|
-
|
-
|
-
|
2005
|
107.488.000
|
-70.419.000
|
285.395.000
|
-0,247
|
Berdasarkan hasil penghitungan
rasio-rasio keuangan setiap variabel prediktor sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 9.14 s/d Tabel 9.20 di atas maka dapat dihitung fungsi multivariat PT
Timah Tbk sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9.21.
Tabel 9.21. Penghitungan Fungsi Multivariat Model Ohlson Tahun 2005
(Sampel PT Timah Tbk Tahun)
Variabel
|
Koefisien Variabel Prediktor
|
Nilai Variabel Prediktor
|
Nilai Fungsi Multivariat (y)
|
Konstanta
|
-1,32
|
-1,32
|
|
SIZE
|
-0,407
|
23,92
|
-9,73544
|
TLTA
|
6,03
|
0,44
|
2,6532
|
WCTA
|
-1,43
|
0,270
|
-0,3861
|
CLCA
|
0,0757
|
0,547
|
0,0414079
|
NITA
|
-2,37
|
0,04
|
-0,0948
|
FUTL
|
-1,83
|
0,125
|
-0,22875
|
INTWO
|
0,285
|
0
|
0
|
OENEG
|
-1,72
|
0
|
0
|
CHIN
|
-0,521
|
-0,247
|
0,128687
|
Total
|
-8,9417951
|
Selanjutnya, berdasarkan fungsi multivariat (y)
tersebut dapat dihitung probabilitas kebangkrutan PT Timah Tbk sebagaimana
ditunjukkan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil penghitungan tersebut
dapat disimpulkan bahwa PT Timah Tbk pada Tahun 2005 tidak berpeluang bangkrut
karena probabilitasnya lebih kecil dari 3,8% yaitu hanya 0,013%.
No comments:
Post a Comment