Monday, November 14, 2016

Akuntansi untuk Pembiayaan Bersama atas Fasilitas Kredit (Joint financing on Credit Facility)

Dasar Pengaturan

PSAK 1 paragraf 25: “Aktiva, kewajiban, pos-pos penghasilan, dan beban disajikan secara terpisah kecuali saling hapus diperkenankan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.”
PSAK 31 paragraf 12: “Kredit diakui pada saat pencairannya sebesar pokok kredit. Kredit dalam rangka pembiayaan bersama diakui sebesar pokok kredit yang merupakan porsi tagihan bank yang bersangkutan.”

Akuntansi Joint financing dalam Praktek

Saat ini, perlakuan akuntansi atas transaksi joint financing, khususnya oleh perusahaan-perusahaan pembiayaan, seringkali tidak konsisten, perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh satu perusahaan terkadang berbeda dengan perlakuan akuntansi oleh perusahaan lainnya, padahal substansi fitur kontrak joint financing-nya sama.

Beberapa perusahaan pembiayaan memandang porsi pembiayaan yang dilakukan bank sebagai transaksi antara bank dan penerima kredit dan karenanya tidak mencatat porsi pembiayaan bank pada laporan keuangan perusahaan. Pandangan ini dapat digambarkan pada diagram sebagai berikut:

Karena perusahaan pembiayaan semata-mata hanya mencatat proporsi pembiayaan yang ditanggungnya yaitu sebesar kas yang secara riil dikeluarkannya, pendekatan ini seringkali disebut sebagai pendekatan neto (net approach).

Namun di sisi lain, sebagian pihak lain menganut pandangan bahwa transaksi joint financing adalah dua transaksi yang terpisah. Di satu pihak bank memberikan kredit kepada perusahaan pembiayaan dan mengatur kredit ini dalam kontrak joint financing yang memiliki substansi yang berbeda dengan kontrak-kontrak individual perusahaan pembiayaan dengan pelanggan pada sisi lain. Dalam konteks ini transaksi joint financing harus dibukukan dengan pendekatan bruto (gross approach) di mana perusahaan pembiayaan mencatat kewajiban joint financing kepada bank secara penuh dan mencatat piutang pembiayaan dari pelanggan secara penuh pula.

Inisiatif transaksi joint financing berasal dari perusahaan pembiayaan yang membutuhkan dukungan pembiayaan dari bank. Pandangan kedua ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Meski pendekatan neto dan pendekatan bruto untuk mencatat transaksi joint financing akan menghasilkan aset bersih (net assets) dan pendapatan bersih (net income) yang sama, namun kedua pendekatan tersebut akan menyajikan angka total aset, total kewajiban, dan pendapatan kotor yang berbeda.

Pada sebagian besar kasus, kedua pendekatan tersebut juga akan menyebabkan perbedaan angka total pinjaman, perbandingan hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio), perbandingan total pendapatan sebelum bunga terhadap beban bunga (times interest earned), dan angka-angka ataupun rasio-rasio lainnya, yang secara potensial dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan.

Jenis Joint financing
Secara umum transaksi joint financing yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan bersama bank dapat dibedakan menjadi dua:
1.      Joint financing with recourse (dengan jaminan)
Pada bentuk transaksi ini, pada dasarnya perusahaan pembiayaan memberikan jaminan kelancaran pembayaran cicilan kredit kepada bank. Perusahaan pembiayaan akan memenuhi kewajiban pembayarannya kepada bank sesuai dengan kontrak joint financing, yang biasanya memiliki fitur yang relatif terpisah dari kinerja penagihan atas kredit pembiayaan yang diberikan ke pelanggan. Dengan kata lain, risiko kredit yang dihadapi bank dari pinjaman yang diberikannya pada pelanggan tidak secara langsung dikaitkan dengan risiko kredit yang dihadapi perusahaan pembiayaan atas kredit untuk pelanggan. Dengan demikian, risiko kredit yang relevan bagi bank adalah risiko kredit atas perusahaan pembiayaan, bukan risiko kredit atas pelanggan.
Di bawah ini diuraikan beberapa contoh kontrak joint financing yang memiliki pola with recourse, meskipun tidak disebutkan secara formal dalam kontrak joint financing.
a.       Bank dan perusahaan pembiayaan dapat mendesain kontrak joint financing sedemikian rupa sehingga risiko bank dapat diminimumkan, misalnya dengan menghilangkan atau meminimumkan wanprestasi dari kolektibilitas piutang pembiayaan yang timbul dari kontrak joint financing yang merupakan porsi bank. Untuk ini perusahaan pembiayaan sebagai pihak yang menciptakan dan mengelola kredit pembiayaan biasanya berhak atas imbalan kredit yang secara signifikan lebih tinggi dari yang diterima bank dari kontrak joint financing yang sama.
b.     Contoh lain dari pengaturan (fitur) joint financing yang juga dapat ditemukan di praktek adalah bahwa perusahaan pembiayaan memberikan jaminan untuk menanggung risiko kredit atas porsi pembiayaan yang diberikan bank dalam besaran tertentu, misalnya 10% dari porsi pembiayaan yang ditanggung Bank. Apabila data statistik menunjukkan bahwa tingkat wanprestasi pelanggan secara rata-rata berada pada kisaran 10 % atau kurang dari porsi bank, maka secara substansi perusahaan pembiayaan sesungguhnya menanggung sebagian besar, atau mungkin seluruh, risiko kredit pembiayaan. Dalam konteks ini joint financing tersebut dilaksanakan dengan pola with recourse.
c.      Kontrak joint financing terkadang diatur sedemikian rupa yang melibatkan pemberian kuasa oleh bank kepada perusahaan pembiayaan untuk menyalurkan kredit bank kepada pelanggan melalui skema joint financing dan mengelola kredit pembiayaan yang bersangkutan. Untuk ini, perusahaan pembiayaan berhak untuk mendapatkan fee tertentu untuk jasa administrasi dan pengelolaan kredit dari bank. Keberadaan fitur semacam ini tidak akan mengubah substansi kontrak joint financing bila karakteristik with recourse terpenuhi.
d.     Kontrak joint financing terkadang juga memberikan prioritas kepada bank untuk memperoleh kas dari penagihan kredit pembiayaan dari pelanggan terlebih dulu, baru setelah hak bank terpenuhi, arus kas dari penagihan diperuntukkan untuk perusahaan pembiayaan. Prioritas seperti ini sesungguhnya mencerminkan perbedaan risiko kredit antara bank dan perusahaan pembiayaan yang bertujuan untuk meminimumkan risiko bank yang secara substansi juga masuk dalam pola with recourse.
e.    Perjanjian antara bank dan perusahaan pembiayaan yang terkait dengan joint financing dapat juga berupa perjanjian kredit kelolaan (executing credit) dimana perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit kepada pelanggan dengan sebagian atau seluruh dana berasal dari bank. Dalam hal ini perusahaan pembiayaan bertindak sebagai pengelola atas seluruh kredit tersebut dan menanggung risiko kredit sesuai perjanjian. Kredit kelolaan masuk dalam kategori kredit dengan pola with recourse bila bank membatasi risiko kredit pada perusahaan pembiayaan saja, dan tidak secara signifikan menanggung risiko kredit atas kredit yang disalurkan ke pelanggan.

2.         Joint financing without recourse (tanpa jaminan)
Pada bentuk transaksi ini, pada dasarnya tidak ada jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada bank sehubungan dengan kolektibilitas pembiayaan yang telah disalurkan pada pelanggan. Bank dan perusahaan pembiayaan menghadapi risiko yang relatif sama terkait dengan joint financing yang ada. Perbedaan tingkat bunga yang diterima bank dan perusahaan pembiayaan hanya mencerminkan beban pengelolaan kredit oleh perusahaan pembiayaan, tidak mencerminkan perbedaan tingkat risiko. Bank dan perusahaan pembiayaan secara langsung memiliki eksposure yang relatif sama terhadap risiko kredit ke pelanggan.

Perlakuan Akuntansi Joint financing yang Seharusnya

Buletin Teknis No. 2 tentang akuntansi untuk joint financing menyatakan bahwa akuntansi untuk joint financing tergantung pada jenis joint financing, apakah dengan recourse atau tanpa recourse. Pada joint financing dengan recourse, karena pada dasarnya risiko dan manfaat (risks and rewards) dari pemberian kredit ditanggung oleh perusahaan pembiayaan, maka akuntansi di perusahaan pembiayaan dilakukan dengan pendekatan bruto. Sedangkan pada joint financing tanpa recourse, karena bank juga menanggung risiko dan manfaat dari pemberian kredit, maka akuntansinya dilakukan dengan pendekatan neto.

Keberadaan klausa with recourse, baik secara eksplisit maupun implisit, menyebabkan transaksi joint financing harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah, yakni antara bank dan perusahaan pembiayaan di satu pihak dan antara perusahaan pembiayaan dengan pelanggan di pihak lain. Bank mencatat seluruh kredit yang disalurkan sebagai pemberian kredit kepada perusahaan pembiayaan, sementara perusahaan pembiayaan mencatatnya sebagai utang kepada bank secara penuh. Sebagai konsekuensinya, pengakuan dan pengukuran pendapatan bunga dan pendapatan lainnya yang terkait dengan kontrak joint financing juga harus dilakukan secara terpisah. Hak bank atas pendapatan terkait dengan kontrak joint financing dicatat sebagai pendapatan bunga dan pendapatan joint financing lainnya di buku bank, dan diakui sebagai beban bunga dan beban joint financing lainnya di perusahaan pembiayaan. Pendapatan bunga dan pendapatan lainnya terkait dengan pemberian kredit pembiayaan ke pelanggan diakui sebagai pendapatan bunga dan pendapatan joint financing lainnya di buku perusahaan pembiayaan.

Dalam joint financing without recourse pada dasarnya bank secara bersama-sama dengan perusahaan pembiayaan memberikan kredit pembiayaan kepada pelanggan secara langsung. Bank memiliki risiko langsung atas kredit yang disalurkan kepada pelanggan, demikian juga perusahaan pembiayaan. Secara substansi, bank adalah pemilik kredit yang disalurkan kepada pelanggan sebesar porsinya, dan perusahaan pembiayaan adalah pemilik kredit tersebut sebesar porsinya juga. Untuk alasan praktis bank biasanya menugaskan perusahaan pembiayaan untuk mengelola kredit dengan memberikan imbalan jasa pengelolaan kredit tertentu. Kredit yang disalurkan ke pelanggan adalah underlying financial assets yang dikelola bersama sesuai dengan mekanisme yang disepakati dalam kontrak joint financing. Karena itu masing-masing pihak akan mencatat piutang atau kredit yang disalurkan dan pendapatan joint financing sebesar porsinya masing-masing. Pencatatan ini lazim disebut dengan pencatatan secara neto.


KASUS
Akuntansi Joint Financing pada PT. Adira Dinamika Multi Finance, Tbk
Adira Finance adalah salah satu perusahaan pembiayaan terbesar dan terkemuka di Indonesia, khususnya untuk kendaraan bermotor. Berbeda dengan perusahaan pembiayaan lain yang hanya mengkhususkan pembiayaan pada jenis barang atau merk produk tertentu, Adira Finance menyediakan fasilitas pembiayaan untuk semua jenis kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dan dari berbagai merk baik baru maupun bekas, sehingga tidak ada peluang pasar yang ditinggalkan oleh Adira Finance. Strategi ini bertujuan untuk diversifikasi produk dan memberikan keuntungan karena ketika suatu merk produk mengalami penurunan penjualan maka merk produk yang lain akan mengimbangi.

Mayoritas konsumen Adira Finance adalah nasabah non-bankable yakni konsumen-konsumen yang belum memiliki track record pada sistem perbankan atau belum tersentuh oleh perbankan dan memiliki jaminan kredit yang kurang memadai namun memiliki kemampuan membayar yang baik seperti petani, pedagang, pemilik warung, dan sebagainya. Tidak banyak perusahaan pembiayaan yang masuk ke konsumen ini sehingga Adira Finance memiliki pangsa pasar yang semakin luas. Segmen ini secara umum memiliki resiko yang lebih tinggi karena faktor non-bankable tersebut. Untuk meminimalisasi resiko tersebut, Adira Finance memberlakukan berbagai prosedur atau standar, antara lain :
a.       Membidik jenis usaha yang memiliki arus kas yang stabil.
b.      Mengenakan uang muka (downpayment) yang lebih tinggi.
c.     Persyaratan dokumen nasabah harus lengkap seperti KTP, Kartu Keluarga, Bukti Penghasilan dan Bukti Tempat Tinggal.

PT. Adira Dinamika Multi Finance Tbk (Adira Finance) didirikan pada tanggal 13 November 1990 di Jakarta dengan izin kegiatan usaha berupa kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Pada awal berdirinya, Adira Finance menetapkan konsentrasi kegiatan usaha pada jasa pembiayaan konsumen di mana sebagian besar portofolionya merupakan pembiayaan mobil. Namun, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, Adira Finance mulai melakukan penyesuaian kegiatan usahanya pada pembiayaan sepeda motor yang merupakan alat transportasi yang lebih dipilih masyarakat. Dengan implementasi strategi yang baik, Adira Finance berhasil membukukan pertumbuhan pembiayaan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan mengokohkan posisinya sebagai salah satu perusahaan pembiayaan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2003, Adira Finance kembali memasuki pembiayaan mobil seiring dengan mulai membaiknya penjualan nasional yang mencapai titik tertinggi pada tahun 2008 sebanyak 607 ribu unit.

Pada Maret 2004, Adira Finance resmi diakuisisi oleh PT. Danamon Indonesia Tbk dengan kepemilikan mencapai 75%. Danamon merupakan salah satu bank terbesar nasional yang dimiliki oleh perusahaan investasi asal Singapura yakni Grup Temasek. Akuisisi ini memberikan sinergi positif bagi Adira Finance maupun Danamon, dimana Adira memiliki akses likuiditas dari Danamon sebagai institusi perbankan, terutama pada saat pengetatan likuiditas perbankan nasional. Sedangkan Danamon memperoleh kesempatan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya. Pada pertengahan tahun 2009, Danamon meningkatkan kepemilikannya pada Adira Finance menjadi 95% dengan mengeksekusi opsi beli 20% saham Adira Finance dari Mega Value Profit Limited. Penambahan kepemilikan tersebut menyebabkan semakin besarnya kontribusi Adira Finance terhadap keuangan Danamon seiring dengan tumbuh pesatnya penyaluran kredit Adira Finance.

Berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama pada tanggal 30 April 2004 dan diubah pada tanggal 9 Juli tahun 2004, Adira Finance dan Bank Danamon setuju untuk melakukan kerjasama pemberian fasilitas pembiayaan bersama kepada konsumen. Porsi pembiayaan Bank Danamon adalah maksimal 99% dari jumlah pembiayaan dan porsi pembiayaan Adira Finance adalah minimal 1% dari jumlah pembiayaan. Bank Danamon menentukan tingkat bunga setahun periode Sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2010 sebesar 9,63% - 13,80% dan menunjuk Adira Finance sebagai pengelola piutang antara lain mengelola dan menatausahakan piutang, menyimpan dokumen dan memberikan jasa administrasi kepada setiap konsumen. PT. Bank Danamon Tbk berhak atas 10% dari pendapatan denda yang sudah diterima Adira Finance dari pembiayaan konsumen yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan bersama.

Saat ini sekitar 84% pembiayaan Adira Finance dilakukan dalam bentuk joint financing (pembiayaan bersama) dengan Danamon. Skema joint financing yang dilakukan adalah pembiayaan bersama tanpa jaminan (without recourse) yakni tidak dicatatnya pendanaan dari Danamon sebagai utang dalam laporan keuangan Adira Finance. Skema ini memberikan keuntungan bagi Adira Finance. Dari sisi likuiditas, Adira Finance memperoleh tingkat kepastian pendanaan yang tinggi dari Danamon, terutama di saat pengetatan likuiditas perbankan.

            Memasuki semester I tahun 2010, Adira Finance telah menerapkan standar akuntansi yang baru yakni PSAK No. 50 (Revisi 2006) tentang “Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan”  serta PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang “Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran” dimana perubahan yang signifikan terjadi pada pencatatan pendapatan bunga pembiayaan. Standar akuntansi yang baru, mewajibkan perusahaan pembiayaan untuk mencatat pendapatan bunga pembiayaan bersih setelah dikurangi beban perolehan pembiayaan konsumen. Tidak ada efek yang negatif bagi Adira Finance dalam mengadopsi standar baru ini, namun terjadi sedikit perubahan pada klasifikasi pencatatan pendapatan dan beban.

Permasalahan
1.         Bagaimana perlakuan akuntansi atas joint financing yang dilakukan oleh Adira Finance dengan Bank Danamon?
2.               Bagaimana pencatatan pendapatan dan beban setelah Adira Finance mengadopsi standar baru?

Pembahasan
Berdasarkan buletin teknis No.2 tentang akuntansi joint financing atas fasilitas kredit, pada joint financing tanpa recourse, karena bank juga menanggung risiko dan manfaat dari pemberian kredit, maka akuntansinya dilakukan dengan pendekatan neto. Dalam joint financing without recourse pada dasarnya bank secara bersama-sama dengan perusahaan pembiayaan memberikan kredit pembiayaan kepada pelanggan secara langsung. Bank memiliki risiko langsung atas kredit yang disalurkan kepada pelanggan, demikian juga perusahaan pembiayaan. Secara substansi, bank adalah pemilik kredit yang disalurkan kepada pelanggan sebesar porsinya, dan perusahaan pembiayaan adalah pemilik kredit tersebut sebesar porsinya juga. Karena itu masing-masing pihak akan mencatat piutang atau kredit yang disalurkan dan pendapatan joint financing sebesar porsinya masing-masing.

Pada saat perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit, baik bank maupun perusahaan akan mecatat transaksi tersebut dengan jurnal sebagai berikut :
Piutang pembiayaan konsumen      xxx
Kas                              xxx

Sedangkan pada saat piutang tersebut dibayar dan diperoleh pendapatan bunga, baik bank maupun perusahaan pembiayaan akan mencatat transaksi tersebut dengan jurnal sebagai berikut :
Kas                                          xxx
            Piutang pembiayaan konsumen                  xxx
            Pendapatan pembiayaan konsumen                       xxx
( besarnya piutang dan pendapatan yang dicatat adalah sebesar porsi kredit/pembiayaan yang diberikan pada nasabah).

Pencatatan atas transaksi joint financing di atas sesuai dengan : 
3.         PSAK  No. 31 paragraf 12: “Kredit diakui pada saat pencairannya sebesar pokok kredit. Kredit dalam rangka pembiayaan bersama diakui sebesar pokok kredit yang merupakan porsi tagihan bank yang bersangkutan.”
4.         PSAK No. 23 paragraf 28 dan 29 : “Pendapatan yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen harus diakui atas dasar yang dijelaskan dalam paragraf 29 bila:
(a)     besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan, dan
(b)         jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.
         Pendapatan harus diakui dengan dasar sebagai berikut:

(c)      bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang memperhitungkan hasil efektif aktiva tersebut.“

PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan Perubahan Kebijakan Akuntansi paragraf 38 menyatakan “Suatu perubahan kebijakan akuntansi harus dilakukan hanya jika penerapan suatu kebijakan akuntansi yang berbeda diwajibkan oleh peraturan perundangan atau standar akuntansi keuangan yang berlaku, atau jika diperkirakan bahwa perubahan tersebut akan menghasilkan penyajian kejadian atau transaksi yang lebih sesuai dalam laporan keuangan suatu perusahaan”.

Jadi, kebijakan Adira Finance untuk mengubah kebijakan akuntansi berdasarkan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 yang telah direvisi pada tahun 2006 telah memenuhi  pernyataan dalam PSAK No. 25 paragraf 38. Perubahan kebijakan ini dilakukan agar informasi yang disajikan menjadi lebih relevan dan dapat dipercaya.

PSAK  No. 25 paragraf 45 dan 46 menyatakan bahwa “Suatu perubahan kebijakan akuntansi harus diterapkan secara retrospektif dengan melaporkan jumlah setiap penyesuaian yang terjadi yang berhubungan dengan periode sebelumnya sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode (retained earnings), kecuali jika jumlah tersebut tidak dapat ditentukan secara wajar. Informasi komparatif harus dinyatakan kembali, kecuali jika untuk melaksanakannya dianggap tidak praktis.

Laporan keuangan yang menyajikan informasi komparatif untuk periode sebelumnya, disajikan seolah-olah kebijakan akuntansi yang baru tersebut telah digunakan. Oleh karena itu, informasi komparatif dinyatakan kembali untuk mencerminkan kebijakan akuntansi yang baru tersebut. Jumlah penyesuaian yang berhubungan dengan periode-periode sebelum laporan keuangan tersebut, disesuaikan pada saldo laba awal periode (retained earnings) dari periode yang paling awal. Informasi-informasi lain yang dilaporkan mengenai periode sebelumnya, seperti ikhtisar data keuangan historis, juga dinyatakan kembali.”

Perubahan kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh Adira Finance sesuai dengan PSAK No. 25 paragraf 45 dan 46 yang berarti bahwa penerapan standar PSAK yang baru dilakukan secara retrospektif yakni kebijakan akuntansi yang baru diterapkan seolah-olah kebijakan akuntansi tersebut telah digunakan sebelumnya. Hal ini diperlihatkan dengan adanya koreksi atas saldo laba awal periode tanggal 1 Januari 2010 (lihat laporan keuangan Adira Finance periode Sembilan bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2010) yakni pada saat perubahan kebijakan akuntansi (standar akuntansi baru) tersebut mulai diterapkan.

Sebelum penerapan standar baru, pendapatan bunga pembiayaan disajikan sejumlah bruto dalam laporan laba rugi dan beban perolehan pembiayaan disajikan tersendiri dalam kelompok beban. Namun, setelah adanya penerapan standar akuntansi baru, pendapatan bunga disajikan sejumlah neto dalam laporan laba rugi setelah dikurangi dengan beban perolehan pembiayaan.

Kesimpulan
1.      Dalam joint financing without recourse pada dasarnya bank Danamon secara bersama-sama dengan Adira Finance memberikan kredit pembiayaan kepada pelanggan secara langsung. Oleh karena itu, masing-masing pihak akan mencatat piutang atau kredit yang disalurkan dan pendapatan joint financing sebesar porsinya masing-masing berdasarkan pendekatan neto.

     Penerapan standar akuntansi baru yakni PSAK No. 50 dan 55 (revisi 2006) yang dilakukan oleh Adira Finance diterapkan secara retrospektif karena Adira Finance melakukan penyesuain pada saldo laba periode (retained earning) dalam laporan keuangannya.

No comments: