Dasar
Pengaturan
PSAK 1 paragraf 25: “Aktiva,
kewajiban, pos-pos penghasilan, dan beban disajikan secara terpisah kecuali
saling hapus diperkenankan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.”
PSAK 31 paragraf 12: “Kredit
diakui pada saat pencairannya sebesar pokok kredit. Kredit dalam rangka
pembiayaan bersama diakui sebesar pokok kredit yang merupakan porsi tagihan
bank yang bersangkutan.”
Akuntansi
Joint financing dalam Praktek
Saat ini, perlakuan akuntansi
atas transaksi joint financing,
khususnya oleh perusahaan-perusahaan pembiayaan, seringkali tidak konsisten,
perlakuan akuntansi yang dilakukan oleh satu perusahaan terkadang berbeda
dengan perlakuan akuntansi oleh perusahaan lainnya, padahal substansi fitur
kontrak joint financing-nya sama.
Beberapa perusahaan
pembiayaan memandang porsi pembiayaan yang dilakukan bank sebagai transaksi
antara bank dan penerima kredit dan karenanya tidak mencatat porsi pembiayaan
bank pada laporan keuangan perusahaan. Pandangan ini dapat digambarkan pada
diagram sebagai berikut:
Karena
perusahaan pembiayaan semata-mata hanya mencatat proporsi pembiayaan yang
ditanggungnya yaitu sebesar kas yang secara riil dikeluarkannya, pendekatan ini
seringkali disebut sebagai pendekatan
neto (net approach).
Namun di sisi lain, sebagian
pihak lain menganut pandangan bahwa transaksi joint financing adalah dua transaksi yang terpisah. Di satu pihak
bank memberikan kredit kepada perusahaan pembiayaan dan mengatur kredit ini
dalam kontrak joint financing yang
memiliki substansi yang berbeda dengan kontrak-kontrak individual perusahaan
pembiayaan dengan pelanggan pada sisi lain. Dalam konteks ini transaksi joint financing harus dibukukan dengan pendekatan bruto (gross approach) di mana perusahaan pembiayaan mencatat
kewajiban joint financing kepada bank
secara penuh dan mencatat piutang pembiayaan dari pelanggan secara penuh pula.
Inisiatif transaksi joint financing berasal dari perusahaan
pembiayaan yang membutuhkan dukungan pembiayaan dari bank. Pandangan kedua ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Meski pendekatan neto dan pendekatan
bruto untuk mencatat transaksi joint
financing akan menghasilkan aset bersih (net assets) dan pendapatan bersih (net income) yang sama, namun kedua pendekatan tersebut akan
menyajikan angka total aset, total kewajiban, dan pendapatan kotor yang
berbeda.
Pada sebagian besar kasus, kedua
pendekatan tersebut juga akan menyebabkan perbedaan angka total pinjaman,
perbandingan hutang terhadap ekuitas (debt
to equity ratio), perbandingan total pendapatan sebelum bunga terhadap
beban bunga (times interest earned),
dan angka-angka ataupun rasio-rasio lainnya, yang secara potensial dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna laporan keuangan.
Jenis Joint
financing
Secara umum transaksi joint financing yang dilakukan oleh
perusahaan pembiayaan bersama bank dapat dibedakan menjadi dua:
1. Joint financing with recourse (dengan
jaminan)
Pada bentuk transaksi ini,
pada dasarnya perusahaan pembiayaan memberikan jaminan kelancaran pembayaran
cicilan kredit kepada bank. Perusahaan pembiayaan akan memenuhi kewajiban
pembayarannya kepada bank sesuai dengan kontrak joint financing, yang biasanya memiliki fitur yang relatif terpisah
dari kinerja penagihan atas kredit pembiayaan yang diberikan ke pelanggan.
Dengan kata lain, risiko kredit yang dihadapi bank dari pinjaman yang
diberikannya pada pelanggan tidak secara langsung dikaitkan dengan risiko
kredit yang dihadapi perusahaan pembiayaan atas kredit untuk pelanggan. Dengan
demikian, risiko kredit yang relevan bagi bank adalah risiko kredit atas
perusahaan pembiayaan, bukan risiko kredit atas pelanggan.
Di bawah ini diuraikan
beberapa contoh kontrak joint financing
yang memiliki pola with recourse,
meskipun tidak disebutkan secara formal dalam kontrak joint financing.
a. Bank dan perusahaan pembiayaan dapat
mendesain kontrak joint financing
sedemikian rupa sehingga risiko bank dapat diminimumkan, misalnya dengan
menghilangkan atau meminimumkan wanprestasi dari kolektibilitas piutang
pembiayaan yang timbul dari kontrak joint
financing yang merupakan porsi bank. Untuk ini perusahaan pembiayaan
sebagai pihak yang menciptakan dan mengelola kredit pembiayaan biasanya berhak
atas imbalan kredit yang secara signifikan lebih tinggi dari yang diterima bank
dari kontrak joint financing yang
sama.
b. Contoh lain dari pengaturan (fitur) joint financing yang juga dapat
ditemukan di praktek adalah bahwa perusahaan pembiayaan memberikan jaminan
untuk menanggung risiko kredit atas porsi pembiayaan yang diberikan bank dalam
besaran tertentu, misalnya 10% dari porsi pembiayaan yang ditanggung Bank.
Apabila data statistik menunjukkan bahwa tingkat wanprestasi pelanggan secara
rata-rata berada pada kisaran 10 % atau kurang dari porsi bank, maka secara
substansi perusahaan pembiayaan sesungguhnya menanggung sebagian besar, atau
mungkin seluruh, risiko kredit pembiayaan. Dalam konteks ini joint financing tersebut dilaksanakan
dengan pola with recourse.
c. Kontrak joint financing terkadang diatur sedemikian rupa yang melibatkan
pemberian kuasa oleh bank kepada perusahaan pembiayaan untuk menyalurkan kredit
bank kepada pelanggan melalui skema joint
financing dan mengelola kredit pembiayaan yang bersangkutan. Untuk ini,
perusahaan pembiayaan berhak untuk mendapatkan fee tertentu untuk jasa
administrasi dan pengelolaan kredit dari bank. Keberadaan fitur semacam ini
tidak akan mengubah substansi kontrak joint
financing bila karakteristik with
recourse terpenuhi.
d. Kontrak joint financing terkadang juga memberikan prioritas kepada bank
untuk memperoleh kas dari penagihan kredit pembiayaan dari pelanggan terlebih
dulu, baru setelah hak bank terpenuhi, arus kas dari penagihan diperuntukkan
untuk perusahaan pembiayaan. Prioritas seperti ini sesungguhnya mencerminkan
perbedaan risiko kredit antara bank dan perusahaan pembiayaan yang bertujuan
untuk meminimumkan risiko bank yang secara substansi juga masuk dalam pola with recourse.
e. Perjanjian antara bank dan perusahaan
pembiayaan yang terkait dengan joint
financing dapat juga berupa perjanjian kredit kelolaan (executing credit) dimana perusahaan
pembiayaan menyalurkan kredit kepada pelanggan dengan sebagian atau seluruh
dana berasal dari bank. Dalam hal ini perusahaan pembiayaan bertindak sebagai
pengelola atas seluruh kredit tersebut dan menanggung risiko kredit sesuai
perjanjian. Kredit kelolaan masuk dalam kategori kredit dengan pola with recourse bila bank membatasi risiko
kredit pada perusahaan pembiayaan saja, dan tidak secara signifikan menanggung
risiko kredit atas kredit yang disalurkan ke pelanggan.
2.
Joint financing without recourse (tanpa jaminan)
Pada bentuk transaksi ini, pada dasarnya
tidak ada jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada bank sehubungan
dengan kolektibilitas pembiayaan yang telah disalurkan pada pelanggan. Bank dan
perusahaan pembiayaan menghadapi risiko yang relatif sama terkait dengan joint financing yang ada. Perbedaan
tingkat bunga yang diterima bank dan perusahaan pembiayaan hanya mencerminkan
beban pengelolaan kredit oleh perusahaan pembiayaan, tidak mencerminkan
perbedaan tingkat risiko. Bank dan perusahaan pembiayaan secara langsung
memiliki eksposure yang relatif sama terhadap risiko
kredit ke pelanggan.
Perlakuan
Akuntansi Joint financing yang
Seharusnya
Buletin Teknis No. 2 tentang akuntansi
untuk joint financing menyatakan
bahwa akuntansi untuk joint financing tergantung
pada jenis joint financing, apakah
dengan recourse atau tanpa recourse. Pada joint financing dengan recourse,
karena pada dasarnya risiko dan manfaat (risks
and rewards) dari pemberian kredit ditanggung oleh perusahaan pembiayaan,
maka akuntansi di perusahaan pembiayaan dilakukan dengan pendekatan bruto.
Sedangkan pada joint financing tanpa recourse, karena bank juga menanggung
risiko dan manfaat dari pemberian kredit, maka akuntansinya dilakukan dengan
pendekatan neto.
Keberadaan klausa with recourse, baik secara eksplisit maupun
implisit, menyebabkan transaksi joint
financing harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah, yakni
antara bank dan perusahaan pembiayaan di satu pihak dan antara perusahaan
pembiayaan dengan pelanggan di pihak lain. Bank mencatat seluruh kredit yang
disalurkan sebagai pemberian kredit kepada perusahaan pembiayaan, sementara
perusahaan pembiayaan mencatatnya sebagai utang kepada bank secara penuh.
Sebagai konsekuensinya, pengakuan dan pengukuran pendapatan bunga dan
pendapatan lainnya yang terkait dengan kontrak joint financing juga harus dilakukan secara terpisah. Hak bank atas
pendapatan terkait dengan kontrak joint
financing dicatat sebagai pendapatan bunga dan pendapatan joint financing lainnya di buku bank,
dan diakui sebagai beban bunga dan beban joint
financing lainnya di perusahaan pembiayaan. Pendapatan bunga dan pendapatan
lainnya terkait dengan pemberian kredit pembiayaan ke pelanggan diakui sebagai
pendapatan bunga dan pendapatan joint
financing lainnya di buku perusahaan pembiayaan.
Dalam joint financing
without recourse pada dasarnya
bank secara bersama-sama dengan perusahaan pembiayaan memberikan kredit
pembiayaan kepada pelanggan secara langsung. Bank memiliki risiko langsung atas
kredit yang disalurkan kepada pelanggan, demikian juga perusahaan pembiayaan.
Secara substansi, bank adalah pemilik kredit yang disalurkan kepada pelanggan
sebesar porsinya, dan perusahaan pembiayaan adalah pemilik kredit tersebut
sebesar porsinya juga. Untuk alasan praktis bank biasanya menugaskan perusahaan
pembiayaan untuk mengelola kredit dengan memberikan imbalan jasa pengelolaan
kredit tertentu. Kredit yang disalurkan ke pelanggan adalah underlying financial assets yang
dikelola bersama sesuai dengan mekanisme yang disepakati dalam kontrak joint financing. Karena itu
masing-masing pihak akan mencatat piutang atau kredit yang disalurkan dan
pendapatan joint financing sebesar
porsinya masing-masing. Pencatatan ini lazim disebut dengan pencatatan secara
neto.
KASUS
Akuntansi Joint Financing pada PT. Adira
Dinamika Multi Finance, Tbk
Adira Finance
adalah salah satu perusahaan pembiayaan terbesar dan terkemuka di Indonesia,
khususnya untuk kendaraan bermotor. Berbeda dengan perusahaan pembiayaan lain
yang hanya mengkhususkan pembiayaan pada jenis barang atau merk produk
tertentu, Adira Finance menyediakan fasilitas pembiayaan untuk semua jenis
kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dan dari berbagai merk baik
baru maupun bekas, sehingga tidak ada peluang pasar yang ditinggalkan oleh
Adira Finance. Strategi ini bertujuan untuk diversifikasi produk dan memberikan
keuntungan karena ketika suatu merk produk mengalami penurunan penjualan maka
merk produk yang lain akan mengimbangi.
Mayoritas
konsumen Adira Finance adalah nasabah non-bankable
yakni konsumen-konsumen yang belum memiliki track
record pada sistem perbankan atau belum tersentuh oleh perbankan dan
memiliki jaminan kredit yang kurang memadai namun memiliki kemampuan membayar
yang baik seperti petani, pedagang, pemilik warung, dan sebagainya. Tidak
banyak perusahaan pembiayaan yang masuk ke konsumen ini sehingga Adira Finance
memiliki pangsa pasar yang semakin luas. Segmen ini secara umum memiliki resiko
yang lebih tinggi karena faktor non-bankable
tersebut. Untuk meminimalisasi resiko tersebut, Adira Finance memberlakukan
berbagai prosedur atau standar, antara lain :
a.
Membidik jenis usaha yang memiliki arus kas yang
stabil.
b.
Mengenakan uang muka (downpayment) yang lebih
tinggi.
c. Persyaratan dokumen nasabah harus lengkap seperti
KTP, Kartu Keluarga, Bukti Penghasilan dan Bukti Tempat Tinggal.
PT. Adira
Dinamika Multi Finance Tbk (Adira Finance) didirikan pada tanggal 13 November
1990 di Jakarta dengan izin kegiatan usaha berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Pada awal berdirinya,
Adira Finance menetapkan konsentrasi kegiatan usaha pada jasa pembiayaan
konsumen di mana sebagian besar portofolionya merupakan pembiayaan mobil.
Namun, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, Adira Finance
mulai melakukan penyesuaian kegiatan usahanya pada pembiayaan sepeda motor yang
merupakan alat transportasi yang lebih dipilih masyarakat. Dengan implementasi
strategi yang baik, Adira Finance berhasil membukukan pertumbuhan pembiayaan
yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan mengokohkan posisinya sebagai
salah satu perusahaan pembiayaan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2003, Adira
Finance kembali memasuki pembiayaan mobil seiring dengan mulai membaiknya
penjualan nasional yang mencapai titik tertinggi pada tahun 2008 sebanyak 607
ribu unit.
Pada Maret
2004, Adira Finance resmi diakuisisi oleh PT. Danamon Indonesia Tbk dengan
kepemilikan mencapai 75%. Danamon merupakan salah satu bank terbesar nasional
yang dimiliki oleh perusahaan investasi asal Singapura yakni Grup Temasek.
Akuisisi ini memberikan sinergi positif bagi Adira Finance maupun Danamon,
dimana Adira memiliki akses likuiditas dari Danamon sebagai institusi
perbankan, terutama pada saat pengetatan likuiditas perbankan nasional.
Sedangkan Danamon memperoleh kesempatan untuk meningkatkan penyaluran
kreditnya. Pada pertengahan tahun 2009, Danamon meningkatkan kepemilikannya
pada Adira Finance menjadi 95% dengan mengeksekusi opsi beli 20% saham Adira
Finance dari Mega Value Profit Limited. Penambahan kepemilikan tersebut
menyebabkan semakin besarnya kontribusi Adira Finance terhadap keuangan Danamon
seiring dengan tumbuh pesatnya penyaluran kredit Adira Finance.
Berdasarkan
perjanjian pembiayaan bersama pada tanggal 30 April 2004 dan diubah pada
tanggal 9 Juli tahun 2004, Adira Finance dan Bank Danamon setuju untuk melakukan
kerjasama pemberian fasilitas pembiayaan bersama kepada konsumen. Porsi
pembiayaan Bank Danamon adalah maksimal 99% dari jumlah pembiayaan dan porsi
pembiayaan Adira Finance adalah minimal 1% dari jumlah pembiayaan. Bank Danamon
menentukan tingkat bunga setahun periode Sembilan bulan yang berakhir pada 30
September 2010 sebesar 9,63% - 13,80% dan menunjuk Adira Finance sebagai
pengelola piutang antara lain mengelola dan menatausahakan piutang, menyimpan
dokumen dan memberikan jasa administrasi kepada setiap konsumen. PT. Bank
Danamon Tbk berhak atas 10% dari pendapatan denda yang sudah diterima Adira
Finance dari pembiayaan konsumen yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan
bersama.
Saat ini
sekitar 84% pembiayaan Adira Finance dilakukan dalam bentuk joint financing (pembiayaan bersama)
dengan Danamon. Skema joint financing
yang dilakukan adalah pembiayaan bersama tanpa jaminan (without recourse) yakni tidak dicatatnya pendanaan dari Danamon
sebagai utang dalam laporan keuangan Adira Finance. Skema ini memberikan
keuntungan bagi Adira Finance. Dari sisi likuiditas, Adira Finance memperoleh
tingkat kepastian pendanaan yang tinggi dari Danamon, terutama di saat
pengetatan likuiditas perbankan.
Memasuki semester I tahun 2010,
Adira Finance telah menerapkan standar akuntansi yang baru yakni PSAK No. 50
(Revisi 2006) tentang “Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan” serta PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang
“Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran” dimana perubahan yang
signifikan terjadi pada pencatatan pendapatan bunga pembiayaan. Standar
akuntansi yang baru, mewajibkan perusahaan pembiayaan untuk mencatat pendapatan
bunga pembiayaan bersih setelah dikurangi beban perolehan pembiayaan konsumen.
Tidak ada efek yang negatif bagi Adira Finance dalam mengadopsi standar baru
ini, namun terjadi sedikit perubahan pada klasifikasi pencatatan pendapatan dan
beban.
Permasalahan
1. Bagaimana perlakuan akuntansi atas joint financing yang dilakukan oleh
Adira Finance dengan Bank Danamon?
2. Bagaimana pencatatan pendapatan dan beban setelah
Adira Finance mengadopsi standar baru?
Pembahasan
Berdasarkan
buletin teknis No.2 tentang akuntansi joint
financing atas fasilitas kredit, pada joint
financing tanpa recourse, karena
bank juga menanggung risiko dan manfaat dari pemberian kredit, maka
akuntansinya dilakukan dengan pendekatan neto. Dalam joint financing without recourse pada dasarnya bank secara
bersama-sama dengan perusahaan pembiayaan memberikan kredit pembiayaan kepada
pelanggan secara langsung. Bank memiliki risiko langsung atas kredit yang
disalurkan kepada pelanggan, demikian juga perusahaan pembiayaan. Secara
substansi, bank adalah pemilik kredit yang disalurkan kepada pelanggan sebesar
porsinya, dan perusahaan pembiayaan adalah pemilik kredit tersebut sebesar
porsinya juga. Karena itu masing-masing pihak akan mencatat piutang atau kredit
yang disalurkan dan pendapatan joint
financing sebesar porsinya masing-masing.
Pada saat
perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit, baik bank maupun perusahaan akan
mecatat transaksi tersebut dengan jurnal sebagai berikut :
Piutang
pembiayaan konsumen xxx
Kas xxx
Sedangkan pada
saat piutang tersebut dibayar dan diperoleh pendapatan bunga, baik bank maupun
perusahaan pembiayaan akan mencatat transaksi tersebut dengan jurnal sebagai
berikut :
Kas xxx
Piutang pembiayaan konsumen xxx
Pendapatan pembiayaan konsumen xxx
( besarnya
piutang dan pendapatan yang dicatat adalah sebesar porsi kredit/pembiayaan yang
diberikan pada nasabah).
Pencatatan
atas transaksi joint financing di
atas sesuai dengan :
3.
PSAK No. 31 paragraf 12: “Kredit
diakui pada saat pencairannya sebesar pokok kredit. Kredit dalam rangka
pembiayaan bersama diakui sebesar pokok kredit yang merupakan porsi tagihan
bank yang bersangkutan.”
4.
PSAK
No. 23 paragraf 28 dan 29 : “Pendapatan
yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang
menghasilkan bunga, royalti dan dividen harus diakui atas dasar yang dijelaskan
dalam paragraf 29 bila:
(a) besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan
transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan, dan
(b)
jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.
Pendapatan
harus diakui dengan dasar sebagai berikut:
(c) bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang
memperhitungkan hasil efektif aktiva tersebut.“
PSAK No. 25
tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar dan
Perubahan Kebijakan Akuntansi paragraf 38 menyatakan “Suatu
perubahan kebijakan akuntansi harus dilakukan hanya jika penerapan suatu
kebijakan akuntansi yang berbeda diwajibkan oleh peraturan perundangan atau
standar akuntansi keuangan yang berlaku, atau jika diperkirakan bahwa perubahan
tersebut akan menghasilkan penyajian kejadian atau transaksi yang lebih sesuai
dalam laporan keuangan suatu perusahaan”.
Jadi, kebijakan Adira Finance untuk mengubah kebijakan akuntansi
berdasarkan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 yang telah direvisi pada tahun 2006
telah memenuhi pernyataan dalam PSAK No.
25 paragraf 38. Perubahan kebijakan ini dilakukan agar informasi yang disajikan
menjadi lebih relevan dan dapat dipercaya.
PSAK No. 25 paragraf 45 dan 46 menyatakan bahwa “Suatu perubahan kebijakan akuntansi harus diterapkan secara
retrospektif dengan melaporkan jumlah setiap penyesuaian yang terjadi yang
berhubungan dengan periode sebelumnya sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba
awal periode (retained earnings),
kecuali jika jumlah tersebut tidak dapat ditentukan secara wajar. Informasi
komparatif harus dinyatakan kembali, kecuali jika untuk melaksanakannya
dianggap tidak praktis.
Laporan keuangan yang
menyajikan informasi komparatif untuk periode sebelumnya, disajikan seolah-olah
kebijakan akuntansi yang baru tersebut telah digunakan. Oleh karena itu,
informasi komparatif dinyatakan kembali untuk mencerminkan kebijakan akuntansi
yang baru tersebut. Jumlah penyesuaian yang berhubungan dengan periode-periode
sebelum laporan keuangan tersebut, disesuaikan pada saldo laba awal periode (retained earnings) dari periode yang
paling awal. Informasi-informasi lain yang dilaporkan mengenai periode
sebelumnya, seperti ikhtisar data keuangan historis, juga dinyatakan kembali.”
Perubahan kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh Adira Finance
sesuai dengan PSAK No. 25 paragraf 45 dan 46 yang berarti bahwa penerapan
standar PSAK yang baru dilakukan secara retrospektif yakni kebijakan akuntansi
yang baru diterapkan seolah-olah kebijakan akuntansi tersebut telah digunakan
sebelumnya. Hal ini diperlihatkan dengan adanya koreksi atas saldo laba awal
periode tanggal 1 Januari 2010 (lihat laporan keuangan Adira Finance periode
Sembilan bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2010) yakni pada saat
perubahan kebijakan akuntansi (standar akuntansi baru) tersebut mulai
diterapkan.
Sebelum penerapan standar baru, pendapatan bunga pembiayaan
disajikan sejumlah bruto dalam laporan laba rugi dan beban perolehan pembiayaan
disajikan tersendiri dalam kelompok beban. Namun, setelah adanya penerapan
standar akuntansi baru, pendapatan bunga disajikan sejumlah neto dalam laporan
laba rugi setelah dikurangi dengan beban perolehan pembiayaan.
Kesimpulan
1.
Dalam joint
financing without recourse pada dasarnya bank Danamon secara bersama-sama
dengan Adira Finance memberikan kredit pembiayaan kepada pelanggan secara
langsung. Oleh karena itu, masing-masing pihak akan mencatat piutang atau
kredit yang disalurkan dan pendapatan joint
financing sebesar porsinya masing-masing berdasarkan pendekatan neto.
Penerapan standar akuntansi baru yakni PSAK No. 50 dan 55 (revisi 2006)
yang dilakukan oleh Adira Finance diterapkan secara retrospektif karena Adira
Finance melakukan penyesuain pada saldo laba periode (retained earning) dalam laporan keuangannya.
No comments:
Post a Comment