Tuesday, November 22, 2016

Konsep Dasar Kebudayaan Jepang dalam Bisnis


Sebelum melakukan perundingan bisnis dengan orang Jepang, sebaiknya kita mengetahui dan mempertimbangkan beberapa konsep dasar kebudayaan yang sangat mendasar bagi orang Jepang. Konsep-konsep ini benar-benar mempengaruhi karakter orang Jepang, dalam cara hidup mereka sehari-hari dalam hal ini dalam berbisnis. Tanpa memahami konsep-konsep dasar yang berfungsi sebagai acuan dalam bertingkah laku, seseorang akan cenderung salah paham terhadap tanda-tanda dan akan menghadapi kesulitan untuk memutuskan tindakan atau reaksi yang tepat. 

Berikut adalah beberapa konsep dasar kebudayaan dalam berbisnis. 
a. Honne dan Tatemae – Esensi dan Bentuk 
Hubungan antara Honne, yang umumnya diterjemahkan dengan ‘”substansi” atau “esensi”, dan Tatemae atau “bentuk”, adalah seperti hubungan antara kebenaran yang nyata dengan kebenaran umum.

Seringkali ada saatnya dua kebenaran tidak ketemu dan sering pula perbedaan diantara keduannya muncul ke permukaan sebagai dua hal yang tidak sama. Hal ini merupaka suatu metode yang biasa diterima guna mempertahankan keharmonisan suasana. Contoh, anda bekerja sebagai wartawan di suatu surat kabar, namun secara bersamaan anda juga melakukan kerjaan sampingan yang nyata-nyata tidak bisa dibenarkan. 

Di sisi lain teman-teman sekerja anda mengetahuinya, tetapi mereka berpura-pura tidak mengetahui. Fakta bahwa anda mengetahui bahwa mereka mengetahui pekerjaan sampingan anda itu disebut Honne- sedangkan kepura-puraan mereka bahwa mereka tidak mengetahuinya adalah Tatemae.

b. Amae – Ketergantungan yang Manis 
Amae berasal dari akar kata yang sama, yakni amai yang berarti manis. Dalam bahasa Inggris tidak ada terjemahan langsung dari kata amae. Selama ini, kata tersebut disamakan dengan kebaikan, hasil perlindungan seorang ibu pada bayinya sekaligus ketergantungan si bayi pada ibunya. Amae dan ketergantungan ini sangat dianjurkan sampai pada tingkat di mana kebanyakan orang Jepang harus mempertahankan sejumlah bentuk hubungan semacam ini. Jepang adalah masyarakat vertical, maka berbagai hubungan justru berlangsung antara kelompok atau individu superior dengan kelompok atau individu inferior, yang sangat berbeda dengan yang apa umumnya berlangsung di tengah-tengah masyarakat horizontal, dimana kebanyakann hubungan kental justru berlangsung antara orang-orang sederajat.

Hubungan seperti ini seringkali tersembunyi di balik tingkah laku manis yang dilakukan oleh orang-orang dewasa Jepang, meskipun kadang hal ini dinilai kekanak-kanakan bagi bangsa barat. Hal ini juga menggambarkan sikap ketidakpercayaan orang Jepang terhadap orang-orang asing, yakni orang dengan siapa mereka tidak akan pernah dapat menjalin hubungan amae. 

Hubungan semacam ini hamper selalu menyertai setiap orang yang bergabung di dalam salah-satu kelompok penting misalnya, keluarga, klub, perusahaan, sekolah dan lain-lain. Tanpa dukungan hubungan yang sudah mapan ini, orang Jepang tidak dapat mempercayai orang lain untuk memahami segala kelemahannya dari ras malu atau kehilangan muka. Harus mempraktekkan pengendalian diri dan mengatasi semua rintangan untuk melindungi dirinya sendiri, karena tanpa hubungan amae, seorang dapat meramalkan bagaimana orang lain akan bertingkah laku.

c. Oyabun-Kobun – Guru-Murid 
Hubungan Oyabun-Kobun adalah pola-pola peninggalan dari zaman feodal Jepang sekitar tahun 1185-1868. istilah ini berasal dari kata oya yang secara harafiah berarti “orangtua” dan ko yang berarti “anak”, namun oyabun-kobun biasanya menggambarkan hubungan antara dosen dengan mahasiswa atau antara guru dan murid.

Pada zaman feodal, bos seseorang memainkan peranan sebagai Tuan Besar atau Godfather, di mana majikan dan karyawan dihubungkan dalam pola-pola hubungan amae yang meluas bahkan hingga pada anggota keluarga kedua belah pihak. Di dalam perusahaan dewasa ini, oyabun-kobun tidak lagi mengandung arti hubungan seperti itu (sekarang pengertiannya lebih umum merujuk pada hubungan antara pengikut dan pemimpin dalam sebuah organisasi), namun hal itu masih tetap berlangsung dalam bayangan orang Jepang tentang suasana lingkungan perusahaan yang ideal, sebagai tempat karyawan dan keluarganya diikat secara paternalistic dengan juragan yang menyediakan segala kebutuhan anak buah atas prestasi kerja mereka terhadap perusahaan. 

d. Sempai-Kohai – Senior-Junior 
Sempai (senior) dan Kohai (junior) adalah istilah-istilah yang menunjukkan bentuk hubungan vertikal lainnya di dalam adat dan tradisi Jepang. Sempai adalah seseorang yang senior, biasanya karena dia masuk ke instansi tertentu sebelum Kohai (junior) melakukannya. Hubungan tersebut membawa ikatan yang kuat terhadap kewajiban seumur hidup, walaupun sebenarnya hal itu merupakan tradisi perhimpunan perguruan Judo. 

Sempai sering bertindak sebagai seorang penasihat. Ini merupakan hubungan amae yaitu sempai menuruti kehendak Kohai yang masih belum berpengalaman sebagai imbalan bagi Kohai yang menutupi kelemahan-kelemahan sempai 9yang karena hunbungan amae mereka, sempai tidak merasa keberatan mengungkapkan segala kelemahan yang dimilikinya). Seperti halnya dengan hubungan oyabun-kobun, ini merupakan bentuk hubungan di mana keberhasilan ataupun kegagalan salah-satu pihak akan mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pihak lain. 

e. Dengan dan Tanpa Kelompok 
Dalam kelompok di mana seorang Jepang menjadi anggotanya, terdapat seperangkat kaidah tingkah laku yang sangat kaku yang harus dipatuhi. Lingkaran yang terdekat adalah kawan atau keluarga, sedangkan lingkaran yang paling jauh adalah lingkaran persahabatan yang bertemu secara regular ataupun pdijumpai hanya untuk suatu kegiatan khusus.

Di luar lingkaran ini, ketentuan dan kaidah tingkah laku tidak digambarkan dengan jelas, dan di bawah kondisi seperti inilah etiket orang Jepang nyaris tidak diterapkan. Hal ini mungkin sangat mengherankan bagi orang asing yang melihat orang Jepang yang biasanya bersifat formal dan santun, kini bertindak dalam tatacara yang sangat informal dan bersahaja. Misalnya, di tengah keramaian di mana berbeda dengan yang umumnya berlaku – orang bisa saling mendesak, mendorong dan karenanya cenderung melalaikan tata karma tradisi dan sopan santun. Ketidaksantunan ini bukan sengaja ditunjukkan kepada anda semata-mata karena anda orang asing, walaupun pada saat itu terasa demikian. 

Pada saat nanti kita akan melihat bahwa dorong-mendorong itu adalah hal yang lumrah dan tidak pandang bulu. Di dalam berbagai suasana seperti ini, seseorang tidak mempunyai hubungan yang jelas dengan orang lain – bahkan bisa saja tidak mempunyai kaitan apapun, seperti halnya hubungan yang terjadi secara kebetulan antara pelayan took dan pelanggannya – dan karenanya tidak ada cara yang jelas untuk bertingkah laku.

No comments: