- Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
- Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
- Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua
lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap
istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab
yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah
dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah
sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang
lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau
Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa
terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan
harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja,
selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan
dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan
menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat,
hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa
mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya
yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku
nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil
hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh
bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1839)
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka
nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya
wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita
lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih.
Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah
dan Aisyah radhiyallahu 'anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh
Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin
Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah
Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam
Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah
menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana
ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil
Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam
pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita
dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan
laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan
perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi
dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3,
saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah,
dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu
(paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan,
karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari,
9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal
Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi
wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan
seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak
laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah.
Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah
saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki)
terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak
laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek
(bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari
perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah
itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas
bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya
enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4
dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
No comments:
Post a Comment