BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selama ini, perusahaan didirikan
tidak luput dari harapan pemilik bahwa perusahaan akan tetap eksis dalam jangka
waktu yang lama. Hal tersebut sesuai dengan asumsi going concern yang
dianut oleh standar akuntansi. Tetapi asumsi tersebut tidak selamanya benar.
Perusahaan pada suatu titik tertentu bisa mengalami kebangkrutan.
Kebangkrutan yang dialami perusahaan
dapat mengakibatkan kerugian bagi banyak pihak. Maka dari itu, banyak penelitian
yang dilakukan untuk memprediksi kelangsungan hidup perusahaan. Dalam
kenyataannya, banyak perusahaan yang diprediksi mengalami penurunan masih tetap
eksis sampai sekarang. Bahkan laporan keuangan mereka menunjukkan adanya
peningkatan prospek usaha yang dinyatakan sehat. Hal ini membuat ragu apakah
laporan keuangan itu menunjukkan keadaan perusahaan yang sebenarnya (Agnes
Widyaningdyah, 2009: 19-20).
Perekonomian
tumbuh dan berkembang dengan berbagai macam lembaga keuangan. Salah satu di
antara lembaga-lembaga keuangan tersebut yang nampaknya paling besar peranannya
dalam perekonomian adalah lembaga keuangan bank, yang lazimnya disebut bank.
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan,
badan-badan pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana-dananya.
Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani
kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua
sektor perekonomian.
Perbankan
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Perbankan merupakan
perusahaan yang dalam kegiatannya berhubungan langsung dengan masyarakat.
Kegiatan perbankan begitu dipengaruhi oleh kepercayaan nasabah atau masyarakat
luas. Apabila dalam tubuh bank terjadi gejolak maka akan muncul reaksi keras
dari masyarakat.
Bank
dianggap sebagai penggerak roda perekonomian suatu negara. Fungsi bank sebagai
lembaga keuangan sangat vital, misalnya dalam penciptaan dari peredaraan uang
untuk menunjang kegiatan usaha, tempat menyimpan uang, melakukan pembayaran
atau penagihan dan masih banyak jasa keuangan lainnya.
Fenomena kebangkrutan bank di
Indonesia terlihat sejak adanya deregulasi perbankan tahun 1983, dimana
kompetisi antar bank baik bank pemerintah, swasta, joint venture maupun
asing semakin tinggi. Bank – bank yang memiliki modal kecil dan tidak memiliki market
mengalami kesulitan keuangan yang pada akhirnya dilikuidasi, dibekukan,
atau di take over oleh pemerintah. Dengan adanya likuidasi, tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan mengalami penurunan dan masyarakat
lebih memilih menginvestasikan dananya ke luar negeri sehingga dapat
mengakibatkan bank mengalami kekurangan dana. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah early warning system yang dapat memberikan informasi mengenai
permasalahan yang terjadi pada industri perbankan (Suharman, 2007).
Dalam
Krisis ekonomi yang diawali dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan November
1997, telah menyebabkan bangsa Indonesia terjerumus dalam tingkat kemiskinan
yang meningkat secara drastis yaitu mencapai 49,5 juta orang. Tahun 1999 walau
tingkat kemiskinan mengalami penurunan namun tingkat keparahannya lebih besar
dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan di Indonesia terlihat dari meningkatnya
jumlah pengangguran, meningkatnya anak usia sekolah yang putus sekolah dan
turunnya kualitas kesehatan masyarakat (Ade Arthesa dan Edia Handiman,
2006:57).
Besarnya
dampak krisis menyebabkan banyak peneliti yang mencoba mencari penyebabnya.
Beberapa peneliti berbeda pendapat, peneliti ekonomi makro berpendapat bahwa
penyebab krisis adalah faktor ekonomi makro yaitu menurunnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika, sedangkan peneliti mikro berpendapat bahwa industri
perbankan memiliki peran besar terjadinya krisis. Sampai dengan Mei 2014,
jumlah bank tercatat mencapai 120 Bank.
Perbankan
nasional yang tidak dilikuidasi harus tetap bersaing untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat di tengah krisis multidimensi yang terjadi. Nasabah
ataupun calon nasabah tentunya akan memilih bank yang sehat dan dapat dipercaya
untuk melakukan jasa perbankan. Sebuah tantangan berat yang harus dihadapi oleh
perbankan.
Bursa
Efek Indonesia (BEI) merupakan pasar modal untuk berbagai instrumen keuangan
jangka panjang yang dapat diperjual-belikan, baik dalam bentuk utang maupun
modal sendiri dan mulai beroperasi pada 1
Desember 2007. Bursa Efek Indonesia berpusat di Gedung Bursa Efek Indonesia,
Kawasan Niaga Sudirman, Jalan Jenderal Sudirman 52-53, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Perusahaan
terbuka (Tbk) yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau Indonesia Stock
Exchange (IDX) sebanyak 501 emiten (www.eddyelly.com, 26 Juni 2014), sedangkan sub sektor bank yang terdaftar
sebagai perusahaan publik (emiten) di Bursa Efek Indonesia adalah 37 bank (www.sahamok.com, 2 Oktober 2013).
Saat
ini perusahaan yang go public memanfaatkan keberadaan pasar modal
sebagai sarana untuk mendapatkan sumber dana atau alternatif pembiayaan. Adanya
pasar modal dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan kinerja dan
kondisi keuangan perusahaan. Pasar akan merespon positif melalui peningkatan
harga saham perusahaan jika kondisi keuangan dan kinerja perusahaan bagus. Para
investor dan kreditur sebelum menanamkan dananya pada suatu perusahaan akan
selalu melihat terlebih dahulu kondisi keuangan perusahaan tersebut. Oleh
karena itu, analisis dan prediksi atas kondisi keuangan suatu perusahaan adalah
sangat penting. (Atmini, 2005) dalam (Syamsul Hadi dan Atika Anggraeni,
2010).
Kondisi
perekonomian di Indonesia yang masih belum menentu mengakibatkan tingginya
risiko suatu perusahaan untuk mengalami kesulitan keuangan atau bahkan kebangkrutan.
Kesalahan prediksi terhadap kelangsungan operasi suatu perusahaan di masa yang
akan datang dapat berakibat fatal yaitu kehilangan pendapatan atau investasi
yang telah ditanamkan pada suatu perusahaan. Oleh karena itu, pentingnya suatu
model prediksi kebangkrutan suatu perusahaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan
oleh berbagai pihak seperti pemberi pinjaman, investor, pemerintah, akuntan,
dan manajemen. Sehingga bank sangat memperhatikan kinerjanya.
Banyak
para pemegang rekening giro, deposito ataupun tabungan ingin mengetahui
seberapa besar perusahaan ini dapat bertahan atau berapa besar prediksi
kebangkrutannya. Kebangkrutan merupakan persoalan yang serius dan memakan
biaya, maka jika ada early warning system
yang bisa mendeteksi potensi kebangkrutan sejak awal, manajemen akan sangat
terbantu. Manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan sedini
mungkin untuk menghindari kebangkrutan. Model prediksi kebangkrutan yang
digunakan adalah model Altman yang menggunakan alat Z-Score. Untuk mendapatkan informasi ini, dinilai dari beberapa
indikator. Salah satu indikator utama yang dijadikan dasar penilaian adalah
laporan keuangan bank yang bersangkutan.
Berdasarkan
laporan keuangan akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim
dijadikan dasar prediksi kebangkrutan. Hasil analisis laporan keuangan akan
membantu mengintepretasikan berbagai hubungan serta kecenderungan yang dapat
memberikan dasar pertimbangan mengenai prediksi masa depan bank apakah dapat
bertahan atau tidak (S.Munawir, 2007).
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menggali lebih
jauh tentang prediksi kebangkrutan dengan judul “Analisis Predikisi
Kebangkrutan pada perusahaan perbankan Go Public di Bursa Efek
Indonesia.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang masalah dan penelitian-penelitian empiris, maka permasalahan
yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana memprediksi kebangkrutan pada perusahaan
perbankan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan
menggunakan metode Altman Z-Score?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui prediksi kebangkrutan terhadap posisi
keuangan perusahaan perbankan Go Public yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2011-2013.
1.4. Manfaat
Penelitian
Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (pemilik perusahaan,
investor, manajer, kreditur/banker, pemerintah dan masyarakat) terhadap
perkembangan perusahaan yang berkaitan dengan masalah keuangan yang dijadikan
acuan pengambilan keputusan.
2. Untuk
menambah wawasan dalam bidang manajemen keuangan dengan cara memakai salah satu
model prediksi kebangkrutan dalam pelaksanaannya di dunia nyata.
3. Hasil
penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan referensi bagi peneliti
berikutnya.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Telaah
Pustaka
2.1.1. Peneltian-Penelitian Terdahulu
Dalam skripsi yang disusun oleh Endri (2008),
penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan baik di dalam negeri maupun di
luar negeri yang berkaitan dengan analisis kebangkrutan dengan metode Z-Score
adalah:
Edward L. Altman, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
salah satu penelitian mengenai Z-Score adalah Professor Edward L.
Altman. Pada tahun 1968 beliau memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan
metode MDA (Z-Score) dan mampu memprediksi hingga keakuratannya mencapai
95% pada perusahaan selama 12 bulan. Pengujian lain dilakukan lagi oleh Altman
dengan mengambil beberapa sampel perusahaan dengan iklim ekonomi yang
berbeda-beda dan tingkat keakuratan dari pengujian tersebut adalah 82% sampai
dengan 85%. Kemudian pada tahun 1984, Altman meneliti ulang prediksi
kebangkrutan dengan menggunakan metode Z-Score dengan memasukkan dimensi
internasional.
Sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui kegunaan
analisis ratio keuangan dalam memprediksi kegagalan atau kebangkrutan usaha.
Salah satu studi tentang prediksi ini adalah Multiple Discriminant Analysis yang
dilakukan oleh Altman yaitu analisis Z-Score.
Dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan kita perlu
memasukkan rasio-rasio keuangan kedalam model Altman yang dapat menentukan
besarnya kemungkinan kebangkrutan. Rasio-rasio
keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan.
Keterbatasan analisis rasio timbul dari kenyataan bahwa metodologinya pada
dasarnya bersifat suatu penyimpangan (univariate), yang artinya setiap
rasio diuji secara terpisah. Untuk mengatasi kelemahan analisis-analisis
tersebut, maka Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model
prediksi dengan teknik analisis statistik, yaitu analisis diskriminan yang
menghasilkan suatu indek yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan
menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang bersifat apriori. (Weston &
Copeland, 2004:254) dan (Diana Atim iflaha, 2008).
Dalam penelitian Altman (1968) yang menggunakan analisis
diskriminan dengan menyusun satu model untuk perusahaan 66 perusahaan
manufaktur, setengah diantaranya mengalami pailit, Altman memperoleh 22 rasio
keuangan, dimana lima di antaranya ditemukan paling berkontribusi pada model
prediksi.
Penelitian Max L. Heine pada tahun 2000 yang memprediksi kesulitan
keuangan pada perusahaan dengan menggunakan Z-Score.
Penelitian Stephen A. Hillegeist, Elizabeth K. Keating,
Donald P. Cram, dan Kyle G. Lundstedt dalam Assessing the Probability of
Bankruptcy pada Review of Accounting Studies, 9, 2004 melakukan penelitian
dengan membandingkan antara Altman‟s (1968) Z-Score dan Ohlson‟s (1980) O-Score.
Sampel penelitian pada tahun 1980 sampai 2000, untuk Z-Score terdiri
dari 89.826 film-year Observations termasuk 762 yang diindikasikan akan
mengalami kebangkrutan. Untuk O-score sampel terdiri dari 89.643 firm-year
observations dan 809 diantaranya diindikasikan mengalami kebangrutan.
Adapun penelitian yang dilakukan di Indonesia, antara lain:
Pada tahun 2005, BAPEPAM untuk proyek peningkatan efisiensi
pasar modal membuat studi tentang analisis laporan keuangan secara elektronik
dan memasukkan Altman Z-Score sebagai salah satu contoh sistem analisis.
Selain
itu, sampai pada tahun 2013 masih terdapat penelitian mengenai analisis
prediksi kebangkrutan:
NO.
|
TAHUN
|
NAMA PENELITI
|
JUDUL PENELITIAN
|
KETERANGAN
|
1.
|
2005
|
YULIA PURWANTI
|
ANALISIS RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI KONDISI KEUANGAN FINANCIAL
DISTRESS PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA
|
Metode yang digunakan untuk membuktikan apakah benar rasio
keuangan (di luar model Altman) berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial
distress adalah regresi logit.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada rasio
keuangan lain yang dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kondisi financial
distress perusahaan selain rasio – rasio keuangan yang digunakan dalam
model Altman.
|
2.
|
2005
|
APRILIA NUGRAHENI
|
ANALISIS KETEPATAN PREDIKSI POTENSI KEBANGKRUTAN MELALUI
ALTMAN Z-SCORE DAN HUBUNGANNYA
DENGAN HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG LISTING
DI BURSA EFEK JAKARTA
|
Sampel dalam penelitian ini adalah 17 perusahaan perbankan
yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1999-2003. Dua variabel yang
dikaji dalam penelitian ini adalah Altman Z-Score dan harga saham. Alat
pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
metode dokumentasi yang diambil dari laporan keuangan
perbankan dan buku-buku yang menunjang. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Analisis Altman Z-Score dan Korelasi Product Moment
dari Pearson.
|
3.
|
2008
|
SINTA KARTIKA WATI
|
ANALISIS Z-SCORE DALAM MENGUKUR KINERJA KEUANGAN UNTUK
MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN PADA TUJUH PERUSAHAAN
MANUFAKTUR DI BURSA EFEK JAKARTA
|
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang
dapat digunakan untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan, kinerja serta
membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat. Metode penelitian yang
digunakan adalah dengan menggunakan metode Altman Z-Score.
|
4.
|
2008
|
ENDRI
|
PREDIKSI KEBANGKRUTAN BANK UNTUK MENGHADAPI DAN
MENGELOLA PERUBAHAN LINGKUNGAN BISNIS:
ANALISIS MODEL ALTMAN’S Z-SCORE
|
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memprediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan tiga
sampel Islam bank Indonesia. Studi ini berlaku Z-Score Altman Model selama
periode 2005-2007 dan hasilnya menunjukkan bahwa semua Bank-bank Islam di
sampel diperkirakan akan bangkrut.
Penelitian ini membawa implikasi bagi manajemen bank untuk
memperbaiki keuangan kinerja untuk masa depan untuk menghindari prediksi
peluang kebangkrutan.
|
5.
|
2008
|
ARRY PRATAMA RUDYAWAN
DAN I DEWA NYOMAN BADERA
|
OPINI AUDIT GOING CONCERN: KAJIAN BERDASARKAN MODEL
PREDIKSI KEBANGKRUTAN, PERTUMBUHAN PERUSAHAAN,
LEVERAGE, DAN REPUTASI AUDITOR
|
Penilaian going concern harus disampaikan oleh
auditor dan ditambahkan ke dalam opini audit. Auditor bertanggung jawab untuk
mengevaluasi apakah ada keraguan substansial tentang kemampuan entitas untuk
terus beroperasi untuk jangka waktu yang wajar. Hasilnya menunjukkan bahwa
model prediksi kebangkrutan altman mempengaruhi akurasi masalah opini going
concern. Namun, pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor
tidak melakukannya.
|
6.
|
2008
|
DIANA ATIM IFLAHA
|
ANALISIS FINANCIAL DISTRESS DENGAN METODE
Z-SCORE UNTUK MEMPREDIKSI KEBANGKRUTAN
PERUSAHAAN.
(Studi Pada Perusahaan Restoran, Hotel dan Pariwisata yang
Listing di Bursa Efek Indonesia Periode 2003-2007)
|
Zscore adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk
memprediksi pekerjaan keuangan dan posisi keuangan dalam perusahaan
masing-masing. Pencapaian terburuk keuangan memicu kebangkrutan. Metode yang digunakan
untuk menganjurkan metode Z-Score adalah analisis tren. penelitian yang
digunakan perusahaan sembilan restoran, hotel dan pariwisata yang telah
menerbitkan laporan keuangan dalam lima tahun terakhir sebagai objek. yang
diambil.analisis tren nemukan bahwa salah satu perusahaan mengalami
berfluktuasi tren. Jadi semua perusahaan berada dalam posisi trend
berfluktuasi.
|
7.
|
2009
|
NUNUNG ARIANI
|
ANALISIS PERBANDINGAN MODEL ALTMAN (Z SCORE) DAN MODEL
ZAVGREN (LOGIT) UNTUK MEMPREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PADA PERUSAHAAN YANG
LISTING DI BURSAEFEK INDONESIA (BEI
|
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Teknik
analisis data yang digunakan adalah: menghitung financial distress dengan
cara membandingkan rasio operating profit/interest expense, menghitung
nilai altman (z-score) dan mengklasifikasikan berdasarkan titik cut off,
menghitung nilai zavgren (logit) dan mengklasifikasikan berdasarkan
rentang interval, membandingkan antara kedua model untuk mengetahui model
yang lebih baik dalam memprediksi financial distress.
|
8.
|
2011
|
GABRIELLA
|
ANALISIS PREDIKSI KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR
DI BURSA EFEK INDONESIA
|
Prediksi kebangkrutan menggunakan analisis z-score altman
dan melihat bagaimana keadaan perusahaan manufaktur secara individu
perusahaan maupun secara keseluruhan dengan melihat laporan keuangan
perusahaan pada tahun 2009-2010.
|
9.
|
2013
|
IMAS A. AISYAH
|
PREDIKSI
KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN PROPERTY AND REAL ESTATE YANG TERDAFTAR DI
BURSA EFEK INDONESIA MENGGUNAKAN DISCRIMINANT ANALYSIS DAN REGRESI
LOGISTIK
|
Prediksi kebangkrutan menggunakan Discriminant Analysis dan Regresi Logistik dengan melihat bagaimana
keadaan perusahaan di bidang Property
& Real Estate secara individu perusahaan maupun secara keseluruhan
dengan melihat laporan keuangan perusahaan pada tahun 2007-2010.
|
* Diolah dari berbagai skripsi dan jurnal
2.1.2.
Pengertian Bank
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang ”Perbankan” (Ade Arthesa dan Edia
Handiman, 2006:6) menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Dari
pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas bahwa bank merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan
selalu berkaitan dalam bidang keuangan. (Kasmir, 2008: 25-26).
2.1.3. Laporan
Keuangan Bank
Dalam
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Standar Akuntansi Keuangan,
laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan
keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya,
sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain
serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
(Ikatan Akuntan Indonesia, 2007).
Menurut
Ikatan Akuntan Indonesia (2007) dalam PSAK No.31 tentang Akuntansi Perbankan,
laporan keuangan bank terdiri atas:
a) Neraca
Bank
menyajikan aset dan kewajiban dalam neraca berdasarkan karakteristiknya dan
disusun berdasarkan urutan likuiditasnya.
b) Laporan
Laba Rugi
Laporan
laba rugi bank menyajikan secara terperinci unsur pendapatan dan beban, serta
membedakan antara unsur-unsur pendapatan dan beban yang berasal dari kegiatan operasional
dan non operasional.
c) Laporan
Arus Kas
Laporan
arus kas harus melaporkan arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasikan
menurut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
d) Laporan
Perubahan Ekuitas
Laporan
perubahan ekuitas menyajikan peningkatan dan penurunan aset bersih atau
kekayaan bank selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran
tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan.
e) Catatan
atas Laporan Keuangan
Catatan
atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis.
2.1.4. Manfaat
Laporan Keuangan
Sesuai
dengan Statement of Financial Accounting Concepts No. 1 tentang Tujuan
dari pelaporan keuangan untuk menyediakan informasi yang bermanfaat kepada
investor, kreditor dan pemakai lainnya, baik yang sekarang dan potensial pada
pembuatan keputusan investasi, kredit dan keputusan sejenis secara rasional.
Tujuan kedua pelaporan keuangan untuk menyediakan informasi untuk membantu
investor, kreditor, dan pemakai lainnya baik yang sekarang maupun yang
potensial dalam menilai jumlah, waktu dan ketidakpastian dari Prospective penerimaan
kas dari deviden atau bunga. (Scott, 2000) dalam (Yulia Purwanti, 2005).
2.1.5. Pengguna
Laporan Keuangan dan Kebutuhan Informasi
Laporan
keuangan beserta pengungkapannya dibuat perusahaan dengan tujuan memberikan
informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan-keputusan investasi dan
pendanaan, seperti yang dinyatakan dalam SFAC No. 1 dalam Yulia Purwanti (2005)
bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi:
1. Untuk keputusan
investasi dan kredit.
2. Mengenai jumlah
dan timing arus kas.
3. Mengenai aktiva
dan kewajiban.
4. Mengenai
kinerja perusahaan.
5. Mengenai sumber
dan penggunaan kas.
6. Penjelas dan
interpretif.
7. Untuk menilai stewardship.
Ketujuh
tujuan ini terangkum dengan disajikannya laporan laba rugi, neraca, laporan
arus kas dan pengungkapan laporan keuangan.
Menurut
PSAK No. 1 (Sofyan Syafri harahap, 2009: 134) Tujuan laporan keuangan untuk
tujuan umum adalah untuk memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja
dan arus kas, perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna
laporan dalam rangka membuat keputusan – keputusan ekonomi serta menunjukkan
pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber –
sumber daya yang dipercayakan kepada mereka dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai perusahaan yang
meliput: 1) aktiva, 2) kewajiban, 3) ekuitas, 4) pendapatan, beban termasuk
keuntungan dan kerugian, 5) arus kas.
Menurut
(Ikatan Akuntansi Indonesia, 2007:2-3) dalam (Yulia Purwanti, 2005), pengguna
laporan keuangan meliputi:
a) Investor,
membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menanam,
atau menjual investasi tersebut. Pemegang saham juga tertarik pada informasi
yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan membayar dividen.
b) Karyawan,
menggunakan laporan keuangan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
memberikan balas jasa, imbalan pasca kerja, dan kesempatan kerja.
c) Pemberi
pinjaman, menggunakan informasi keuangan untuk memutuskan apakah pinjaman serta
bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
d) Pemasok
dan kreditur usaha lainnya, mereka tertarik dengan informasi yang memungkinkan
mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terutang akan dibayar pada saat
jatuh tempo.
e) Pelanggan,
berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan,
terutama kalau mereka terikat dengan perjanjian jangka panjang dengan, atau
bergantung pada perusahaan.
f) Pemerintah,
membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan
pajak, dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan
statistik lainnya.
g) Masyarakat,
laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi
kecenderungan (tren) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan
serta rangkaian aktivitasnya.
2.1.6. Analisis
Laporan Keuangan
Analisis
Laporan keuangan menurut Sofyan Syafri Harahap (2009:333) adalah menguraikan
pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat
hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu
dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data non-kuantitatif
dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting
dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat.
Analisis
laporan keuangan adalah metode atau teknik analisis atas laporan keuangan yang
berfungsi untuk mengkonversikan data yang berasal dari laporan keuangan sebagai
bahan mentahnya menjadi informasi yang lebih berguna, lebih mendalam, dan lebih
tajam dengan teknik tertentu. Tujuan pokok analisis keuangan adalah analisis kinerja
di masa yang akan datang.
Dalam
menganalisis dan menilai posisi keuangan, kemajuan-kemajuan serta potensi
dimasa mendatang, faktor utama yang pada umumnya mendapatkan perhatian oleh
para analisis adalah (1) likuiditas, yang menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi dalam jangka
pendek atau saat jatuh tempo, (2) solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan
untuk memenuhi semua kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang,
apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, (3) rentabilitas (profitability),
yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam periode
tertentu, serta yang ke (4) yang tidak kalah pentingnya adalah stabilitas dan
perkembangan usaha, dan fokus-fokus analisis lainnya (S.Munawir, 2002: 56-57).
Untuk
mengetahui tentang empat faktor ini perlu dilakukan analisis terhadap laporan
keuangan. Terdapat tiga teknik analisis laporan keuangan yang lazim digunakan,
yaitu:
a) Analisis
horizontal adalah analisis dengan cara membandingkan neraca dan laporan laba
rugi beberapa tahun terakhir secara berurutan. Maksudnya untuk memperoleh
gambaran mengenai perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam neraca maupun
laporan laba rugi, sehingga dapat diperoleh gambaran selama beberapa tahun
terakhir apakah telah terjadi kenaikan atau penurunan (Sawir, 2005:46) dan
Endri (2008).
b) Analisis
vertikal adalah analisis yang dilakukan dengan jalan menghitung proporsi
pos-pos dalam neraca dengan suatu jumlah tertentu dari neraca atau proporsi
dari unsur - unsur tertentu dari laporan laba rugi dengan jumlah tertentu dari
laporan laba rugi (Sawir, 2005:46) dan (Endri, 2008).
c) Analisis
rasio menunjukkan hubungan yang relevan dan signifikan antara pos-pos terpilih
dari data laporan keuangan. Rasio keuangan ini hanya menyederhanakan informasi
yang menggambarkan hubungan antara pos tertentu dengan pos lainnya (Sofyan
Syafri Harahap, 2009: 297).
2.1.7.
Kesulitan Keuangan
Kesulitan
keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban
keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan
(Darsono dan Ashari, 2005:101) dalam (Sinta Kartikawati, 2008). Pengelolaan
kesulitan keuangan jangka pendek (tidak mampu membayar kewajiban keuangan pada
saat jatuh temponya) yang tidak tepat akan menimbulkan permasalahan yang lebih
besar yaitu menjadi tidak solvable (jumlah utang lebih besar daripada
jumlah aktiva) dan akhirnya mengalami kebangkrutan (S.Munawir, 2007).
Menurut
Black’s Law Dictionary (Wijaya dan Ahmad, 2004:11) dalam (Sinta
Kartikawati, 2008), dikatakan pailit atau bangkrut adalah“the state or
condition of a person (individual, partnership, corporation municipality) who
is anable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a
person against whom an involuntary petition, or who has been adjudged a
bankrupt.
Dari
pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat
kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh”. Kemampuan
tersebut harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang
dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak
ketiga, suatu permohonan pailit ke pengadilan (Wijaya dan Ahmad, 2004:11-12)
dalam (Sinta Kartika, 2008).
Menurut
S.Munawir (2007) secara garis besar penyebab kebangkrutan biasa dibagi menjadi
dua yaitu faktor internal perusahaan maupun eksternal baik yang bersifat khusus
yang berkaitan langsung dengan perusahaan maupun yang bersifat umum.
Menurut
Darsono dan Ashari (2005:12) dalam Gabriella (2011), faktor internal yang bisa
menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi: Manajemen yang tidak efisien akan
mengakibatkan kerugian terus-menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan
tidak mampu membayar kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh
pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan, dan keahlian manajemen.
Ketidakseimbangan
dalam modal yang dimiliki dengan jumlah utang-piutang yang dimiliki. Utang yang
terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil
laba bahkan bisa mengakibatkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan
merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak
menghasilkan pendapatan.
Moral
hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan
bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang
korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau
investor.
Menurut
Darsono dan Ashari (2005:103-104) dalam Gabriella (2011), faktor-faktor
eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan yaitu:
1. Perubahan
dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang
mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan.
2. Kesulitan
bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku
yang digunakan untuk produksi. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada
debitur dalam jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak
aktiva yang menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan
kerugian yang besar bagi perusahaan. Hubungan yang tidak harmonis dengan
kreditur juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
Persaingan
bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri
sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi
oleh perusahaan. Ada beberapa indikator untuk melihat tanda-tanda kesulitan
keuangan dapat diamati dari pihak eksternal, misalnya:
a) Penurunan
jumlah deviden yang dibagikan kepada pemegang saham selama beberapa periode
berturut-turut.
b) Penurunan
laba secara terus-menerus bahkan perusahaan mengalami kerugian.
c) Ditutup
atau dijualnya satu atau lebih unit usaha.
d) Pemecatan
pegawai secara besar-besaran.
e) Harga
di pasar mulai menurun terus - menerus.
Sebaliknya,
beberapa indikator yang dapat diketahui dan harus diperhatikan oleh pihak internal
perusahaan adalah:
a) Turunnya
volume penjualan karena ketidakmampuan manejemen dalam menerapkan kebijakan dan
strategi.
b) Turunnya
kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan.
c) Ketergantungan
terhadap utang. Utang perusahaan sangat besar, sehingga biaya modalnya juga
membengkak.
Untuk
mempelajari dan menilai tentang kecakapan manajemen dapat dilihat dari laporan
tahunan, berita keuangan, dan pertemuan para analisis serta komentar dan
kritisi dari publik (Manahan P.Tampubolon, 2005:51). Selain itu, masalah
yang berkaitan dengan kebangkrutan semakin cenderung muncul apabila suatu
perusahaan menyertakan lebih banyak utang dalam struktur modalnya. Ancaman
kebangkrutan bukan hanya kebangkrutan itu sendiri tetapi juga berbagai masalah
yang ditimbulkannya, seperti karyawan penting keluar, pemasok menolak
memberikan kredit, pelanggan mencari perusahaan lain yang lebih stabil, dan
pemberi pinjaman meminta suku bunga yang lebih tinggi serta menetapkan
syarat-syarat yang lebih ketat pada kontrak pinjaman. (Eugene F. Brigham dan
Joel F.Houston, 2001:33)
2.1.7. Rasio
Keuangan Bank
Menurut
Muljono (1999) dan Endri (2005), rasio keuangan bank terdiri dari:
a) Rasio
likuiditas bank
Rasio
likuiditas bank digunakan untuk mengetahui kemampuan bank memenuhi kewajiban
yang akan jatuh tempo.
b) Rasio
rentabilitas bank
Rasio
rentabilitas bank untuk mengetahui kemampuan bank di dalam menghasilkan laba
dari operasi usaha.
c) Rasio
risiko usaha bank
Rasio
risiko usaha bank digunakan untuk mengukur besarnya risiko-risiko dalam
menjalankan usahanya.
d) Rasio
permodalan
Analisa
rasio permodalan sering disebut sebagai analisa solvabilitas atau capital
adequancy analysis. Analisa rasio ini untuk mengetahui apakah permodalan
bank yang ada telah mencukupi untuk mendukung kegiatan bank yang akan dilakukan
secara efisien dan mapu untuk menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat
dihindarkan.
e) Rasio
efisiensi usaha
Rasio
efisiensi usaha digunakan untuk mengukur performance manajemen suatu
bank apakah telah menggunakan semua faktor-faktor produksinya dengan tepat guna
dan berhasil guna serta tingkat efisiensi manajemen bank.
2.1.9.
Faktor-Faktor Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Menurut
Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian
terhadap faktor-faktor sebagai berikut:
1. Capital
Penilaian
terhadap faktor permodalan meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut: kecukupan, komposisi, dan proyeksi (trend ke depan)
permodalan serta kemampuan permodalan Bank dalam mengcover aset
bermasalah; kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal
dari keuntungan, rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha,
akses kepada sumber permodalan, dan kinerja keuangan pemegang saham untuk
meningkatkan permodalan Bank.
2. Asset
Quality
Penilaian
terhadap faktor kualitas aset meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut: kualitas aktiva produktif, konsentrasi eksposur risiko kredit,
perkembangan aktiva produktif bermasalah, dan kecukupan penyisihan penghapusan
aktiva produktif (PPAP), kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review)
internal, sistem dokumentasi, dan kinerja penanganan aktiva produktif
bermasalah.
3. Management
Penilaian
terhadap faktor manajemen meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut: kualitas manajemen umum dan penerapan manajemen risiko; kepatuhan Bank
terhadap ketentuan yang berlaku dan komitmen kepada Bank Indonesia dan atau
pihak lainnya.
4. Earning
Penilaian
terhadap faktor rentabilitas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut: pencapaian return on assets (ROA), return on equity (ROE),
net interest margin (NIM), dan tingkat efisiensi Bank; perkembangan laba
operasional, diversifikasi pendapatan, penerapan prinsip akuntansi dalam
pengakuan pendapatan dan biaya, dan prospek laba operasional.
5. Liquidity
Penilaian
terhadap faktor likuiditas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut: rasio aktiva/pasiva likuid, potensi maturity mismatch,
kondisi Loan to Deposit Ratio (LDR), proyeksi cash flow, dan
konsentrasi pendanaan; kecukupan kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets
and liabilities management / ALMA), akses kepada sumber pendanaan, dan
stabilitas pendanaan.
6. Sensitivity
to Market Risk
Penilaian
terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut: kemampuan modal Bank dalam mengcover potensi
kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga dan
nilai tukar; kecukupan penerapan manajemen risiko pasar.
Berdasarkan
hasil penetapan peringkat setiap faktor ditetapkan Peringkat Komposit (composite
rating). Peringkat Komposit ditetapkan sebagai berikut:
a) Peringkat
Komposit 1 (PK-1), mencerminkan bahwa Bank tergolong sangat baik dan mampu
mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan;
b) Peringkat
Komposit 2 (PK-2), mencerminkan bahwa Bank tergolong baik dan mampu mengatasi
pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan namun Bank masih
memiliki kelemahan-kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan
rutin;
c) Peringkat
Komposit 3 (PK-3), mencerminkan bahwa Bank tergolong cukup baik namun terdapat
beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan peringkat kompositnya memburuk
apabila Bank tidak segera melakukan tindakan korektif.
d) Peringkat
Komposit 4 (PK-4), mencerminkan bahwa Bank tergolong kurang baik dan sensitif
terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan atau Bank
memiliki kelemahan keuangan yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa
faktor yang tidak memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan korektif
yang efektif berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya.
e) Peringkat
Komposit 5 (PK-5), mencerminkan bahwa Bank tergolong tidak baik dan sangat
sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan
serta mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.
Predikat
Tingkat Kesehatan Bank disesuaikan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No. 6/23/DPNP sebagai berikut:
a) Untuk
predikat Tingkat Kesehatan ”Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 1
(PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2);
b) Untuk
predikat Tingkat Kesehatan ”Cukup Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit
3 (PK-3);
c) Untuk
predikat Tingkat Kesehatan ”Kurang Sehat” dipersamakan dengan Peringkat
Komposit 4 (PK-4);
d) Untuk
predikat Tingkat Kesehatan ”Tidak Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit
5 (PK-5);
2.1.10. Model
Prediksi Keuangan
Dalam
prediksi keuangan kita mengenal beberapa model antara lain (Sofyan Syafri
Harahap, 2009:343-350):
a. Linear
Programming
Linear
programming digunakan untuk merencanakan prediksi kombinasi input biaya
yang paling optimal untuk menghasilkan suatu atau beberapa produk output.
b. Delphi
forcasting
Delphi
sistem ini hampir sama dengan metode expert system. Di sini metode expert
system disempurnakan dengan menggunakan metode diskusi antara para ahli,
debat, dan akhirnya sampai pada kesimpulan terbaik yang merupakan konsensus
para ahli.
c. Time
Series Forcasting (tren)
Di
sini prestasi yang laku digambarkan secara berseri kemudian dari gambar ini
dicari garis tren yang terbaik kemudian dari kecenderungan garis dilihat
angka masa depan sebagai angka ramalan.
d. Break
Even Analysis
Model
ini mencoba mencari dan menganalisis perilaku hubungan antara besarnya biaya,
besarnya volume dalam unit rupiah dan laba.
e. Just
in time
Model
yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan menekan pemborosan dan
ketidakefesienan lainnya.
f. Economic
order Quantity
Model
ini dapat memberikan angka berapa order pembelian sehingga kita mendapatkan
biaya yang optimal.
Selain
itu, ada beberapa model prediksi lain yang dikenal adalah sebagai berikut:
a)
Bond rating
Ini
digunakan untuk menghitung peringkat obligasi yang dipasarkan di pasar modal.
Peringkat ini dikategorikan berturut-turut, misalnya dalam bentuk AAA, AA, A,
BBB, BB, B, dan seterusnya. Model ini telah dikenal di Indonesia khususnya di
Pasar Modal.
b)
Bankruptcy Model
Model
ini memberikan rumusan untuk menilai kapan perusahaan akan bangkrut. Dengan
menggunakan rumus yang diisi dengan rasio keuangan maka akan diketahui angka tertentu
yang akan menjadi bahan untuk memprediksi kapan kemungkinan suatu perusahaan
akan bangkrut.
c)
Net Cash Flow Prediction Model
Model
ini didesain untuk mengetahui berapa besar arus kas masuk bersih perusahaan
tahun depan.
d)
Take Over Prediction Model
Model
ini dimaksudkan untuk mengetahui kemungkinan perusahaan ini akan diambil alih
oleh perusahaan lainnya.
Contoh
dari keempat model tersebut:
a. Model
untuk peramalan tingkat kualitas obligasi yang dijual di pasar modal yang
dibuat oleh Ahmed Belkaoi disebut Belakaoi’s Bond Rating Model.
b. Model
untuk meramalkan kebangkrutan suatu perusahaan yang dibuat altman, model
ini populer juga disebut Z-Score.
c. Bernstein
dan Maksy merumuskan model untuk meramalkan Net Cash Flow From Operation tahun
mendatang disebut Bernstein and Maksy’s Net Cash Flow Next Year Prediction
model.
d. Model
untuk menilai perusahaan yang akan diambil alih. Model ini dibuat oleh Ahmad
Belkaoui’s Take over Prediction Model.
2.1.11. Analisis
Z-score
Z-Score
adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah
keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Formula Z-Score
untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan sebuah multivariate
formula yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial dari sebuah
perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat
dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan yang
tidak bangkrut. Fungsi diskriminan Z yang ditemukan oleh Altman adalah sebagai
berikut: (Weston & Copeland, 2004:255) dalam (Diana Atim Iflaha, 2008)
Z = 0,012X1 +
0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5
Pada
tahun 1983,1984 model prediksi kebangkrutan dikembangkan lagi oleh Altman untuk
beberapa negara, dari penelitian tersebut ditemukan nilai Z, yang dicari dengan
persamaan diskriminan sebagai berikut: (Hanafi & Halim, 2003:275) dan Diana
Atim Iflaha (2008)
Zi = 1,2X1 + 1,4
X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5
Dalam
laporannya Altman mengelompokkan perusahaan menjadi dua kategori, yaitu pailit
dan tidak pailit. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh nilai Z rata-rata
kelompok perusahaan yang pailit sebesar -0,2599 dan rata-rata untuk perusahaan
yang tidak pailit sebesar 4,8863. Sebesar patokan untuk mengklasifikasikan
perusahaan yang dipilih batas nilai Z sebesar 2,675 sebagai nilai kritis yang
merupakan klasifikasi umum. Jadi nilai perusahaan dengan nilai skor Z yang
lebih besar dari 2,675 diklasifikasikan perusahaan yang tidak pailit dan skor
nilai Z yang kurang dari 2,675 diklasifikasikan perusahaan yang pailit (Weston
& Copeland, 2004:255) dan Diana Atim Iflaha (2008).
Masalah
lain yang sering dihadapi oleh Altman dalam melakukan penelitian di Indonesia
adalah sedikitnya perusahaan Indonesia yang go public. Jika perusahaan tidak
go-public, maka nilai pasar menggunakan nilai buku saham biasa dan
preferen sebagai salah satu komponen variabel bebasnya, dan kemudian
mengembangkan model diskriminan kebangkrutan, dan memperoleh model sebagai
berikut ini.
Zi = 0,717
X1+0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,42 X4+0,998 X5
Z-Score
Altman untuk perusahaan perbankan yang telah go public ditentukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (S.Munawir, 2007:
Z-Score =
1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
Dimana:
X1 = Working
Capital to Total Assets (Modal Kerja/Total Aset)
X2 = Retained
Earning to Total Assets (Laba Ditahan/Total Aset)
X3 = Earning
Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets (Pendapatan
Sebelum Dikurangi Biaya Bunga/Total
Aset)
X4 = Market
Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Harga Pasar
Saham Dibursa/Nilai Total Utang)
X5 = Sales to
Total Assets (Penjualan/Total Aset)
Dengan kriteria
penilaian sebagai berikut:
a) Z-Score
> 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak
mengalami kesulitan keuangan.
b) 1,81
< Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan
sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun kemungkinan
terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan
kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan.
c) Z-Score
< 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan
yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat
besar.
Kelima
rasio inilah yang akan digunakan untuk menganalisis laporan keuangan sebuah
perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada
perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio yang digunakan dalam
metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar yaitu:
Rasio Likuiditas
yang terdiri dari X1
Rasio
Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3
Rasio Aktivitas
yang terdiri dari X4 dan X5
Uraian
masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut:
a) Modal
kerja terhadap total aset (working capital to total assets) digunakan
untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relative terhadap total
kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek. Indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikator-indikator internal
seperti ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, dan beberapa indikator
lainnya.
b) Laba
ditahan terhadap total harta (retained earning to total assets)
digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi
laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio
tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk
memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan
yang masih relative muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio yang rendah,
kecuali yang labanya sangat besar pada masa awal berdirinya.
c) Pendapatan
sebelum pajak dan bunga terhadap total harta (earnings before interest and
taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas yang
sebenarnyan dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini
merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang
dapat kita gunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan
profitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi
terus-menerus dalam beberapa kwartal, persediaan meningkat, penjualan menurun,
dan terlambatnya hasil penagihan piutang.
d) Nilai
pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang (market value equity to book
value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva
perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada
aktivanya dan perusahaan menjadi pailit. Modal yang dimaksud adalah gabungan
nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan utang mencakup utang
lancar dan utang jangka panjang.
e) Penjualan
terhadap total harta (sales to total assets) digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut
mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan
penjualan.
Analisis
diskriminan dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan dengan
menganalisis laporan keuangan perusahaan dua sampai lima tahun sebelum
perusahaan tersebut diprediksi bangkrut. Kebangkrutan adalah suatu kondisi
disaat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk menjalankan usahanya.
Kebangkrutan biasanya dihubungkan dengan kesulitan keuangan. Analisis
diskriminan bermanfaat bagi perusahaan untuk memperoleh peringatan awal
kebangkrutan dan kelanjutan usahanya. Semakin awal suatu perusahaan memperoleh
peringatan kebangkrutan, semakin baik bagi pihak manajemen karena pihak
manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan dan dapat memberikan gambaran dan
harapan yang mantap terhadap nilai masa depan perusahaan tersebut.
Menurut
BAPEPAM (2005), kelebihan dari hasil Z-Score antara lain:
a) Menggabungkan
berbagai resiko keuangan secara bersama-sama.
b) Menyediakan
koefisien yang sesuai untuk mengkombinasikan variabel-variabel independen.
c) Mudah
dalam penerapan.
Sedangkan
kelemahan dari hasil Z-Score antara lain:
a) Nilai
Z-Score bisa direkayasa atau dibiaskan melalui prinsip akuntansi yang
salah atau rekayasa keuangan lainnya.
b) Formula
Z-Score kurang tepat untuk perusahaan baru yang labanya masih rendah
atau bahkan masih merugi. Nilai Z-Score biasanya akan rendah.
c) Perhitungan
Z-Score secara triwulan pada suatu perusahaan dapat memberikan hasil
yang tidak konsisten jika perusahaan tersebut mempunyai kebijakan untuk
menghapus piutang diakhir tahun secara sekaligus.
Setiap perusahaan memiliki kebijakan
dalam berbagai aktifitas mereka. Tidak terkecuali dengan perusahaan perbankan
terutama dengan bagian keuangan perusahaan. Ada berbagai keputusan yang akan
diambil tapi sebelum itu pihak perusahaan akan membuat laporan keuangan mereka
per periode baik perbulan pertriwulan ataupun pertahun. Dari laporan keuangan
inilah akan muncul berbagai pendapat dari stakeholder.
Agar perusahaan tetap berjalan dengan
baik juga dapat berkembang perusahaan melakukan analisis prediksi kebangkrutan
untuk menilai bagaimana perusahaan mereka pada masa sekarang dan bagaimana
perusahaan mereka nantinya. Untuk itu maka digunakanlah analisis rasio keuangan
dengan pendekatan metode Z-score.
Dari hasilnya akan dilihat bagaimana keadaan setiap perusahaan perbankan agar
dapar lebih awal mengetahui bagaimana keadaaan keuangan mereka.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Variabel
Penelitian
Variabel
penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel independen/bebas dan
variabel dependen/terikat. Variabel merupakan abstraksi dari gejala, peristiwa
atau masalah yang memerlukan penyelidikan (Ulber Silalahi, 2009:191). Variabel
independen/bebas dalam penelitian ini adalah variabel (X), dalam penelitian ini
terdiri dari lima variabel, meliputi: (X1) Working Capital to Total Assets,
(X2) Retained Earning to Total Assets, (X3) Earning Before Interest
and Taxes (EBIT) to Total Assets, (X4) Market Value of Equity to Book
Value of Total Liabilities, (X5) Sales to Total Assets (Sofyan
Syafri Harahap,2009:353). Adapun variabel dependen/terikat dalam penelitian ini
adalah (Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4
X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 (S.Munawir, 2007) dengan penelitian yang akan
dilakukan pada peusahaan perbankan Go Public di Bursa Efek Indonesia.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi
adalah jumlah total dari seluruh unit/elemen di mana penyelidik tertarik (Ulber
Silalahi, 2009:253). Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan go
public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sampel adalah bagian
tertentu yang dipilih dari populasi (Ulber Silalahi, 2009:254).
Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah porposive sampling. Pengambilan
sampel secara porposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang
dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Pelaksanaan pengambilan sampel secara porposive ini antara lain sebagai
berikut: Mula-mula peneliti mengidentifikasi semua karakteristik populasi
misalnya dengan mengadakan studi pendahuluan/dengan mempelajari berbagai hal
yang berhubungan dengan populasi. Kemudian peneliti menetapkan berdasarkan
pertimbangannya sebagian dari anggota populasi menjadi sampel penelitian,
sehingga teknik pengambilan sampel secara porposive ini didasarkan pada
pertimbangan pribadi peneliti sendiri. (Prof.Dr.Sugiyono, 2011:218-219).
Sampel
dalam penelitian ini adalah 20 perusahaan perbankan dengan kriteria sebagai
berikut:
a) Merupakan
perusahaan perbankan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
b) Berada
pada urutan 20 teratas dalam perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2011-2013.
c) Memlliki
laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit pada tahun 2011-2013.
Bank-bank
yang masuk dalam kriteria sampel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 3.1. Daftar
Nama Bank
|
|||
1
|
Bank Rakyat Indonesia Agro Niaga Tbk.
|
11
|
Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
|
2
|
Bank ICB Bumi Putra Tbk.
|
12
|
Bank Mutiara Tbk.
|
3
|
Bank Capital Indonesia Tbk.
|
13
|
Bank Danamon Indonesia Tbk.
|
4
|
Bank Ekonomi Raharja Tbk.
|
14
|
Bank Pundi Indonesia Tbk.
|
5
|
Bank Central Asia Tbk.
|
15
|
Bank Jabar Banten Tbk.
|
6
|
Bank Bukopin Tbk.
|
16
|
Bank Pembangunan Daerah JaTim Tbk.
|
7
|
Bank Mestika DharmaTbk.
|
17
|
Bank Kesawan Tbk.
|
8
|
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
|
18
|
Bank Maspion IndonesiaTbk.
|
9
|
Bank Nusantara Parahyangan Tbk.
|
19
|
Bank Mandiri (Persero) Tbk.
|
10
|
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
|
20
|
Bank Bumi Artha Tbk.
|
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data
yang dikumpulkan dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber lain yang
telah tersedia sebelum penelitian dilakukan (Ulber Silalahi, 2009:291). Sumber
data dalam penulisan skripsi ini adalah dari berbagai sumber buku, jurnal dan
penelitian terdahulu yang mendukung penelitian. Sedangkan untuk sumber data
yang akan diolah dalam analisis penelitian adalah www.idx.co.id
, situs web resmi Bursa Efek Indonesia.
3.4. Metode
Pengumpulan Data
Data
ini diperoleh dari data historis perusahaan perbankan, studi literatur, laporan
penelitian, dan laporan keuangan yang diterbitkan bank maupun internet yang
telah diaudit selama tiga tahun 2011-2013. Metode yang dilakukan untuk
mendapatkan data yang diinginkan dengan membuka Website dari objek yang diteliti, sehingga dapat diperoleh laporan
keuangan, gambaran umum bank serta perkembangannya yang kemudian digunakan
penelitian. Situs yang digunakan adalah www.idx.co.id.
Selain
itu, dilakukan juga studi pustaka yaitu pengumpulan data dengan cara
mempelajari dan memahami buku-buku yang mempunyai hubungan dengan analisis
prediksi kebangkrutan metode Altman Z-Score
seperti dari literatur, jurnal-jurnal, media massa dan hasil penelitian yang
diperoleh dari berbagai sumber, baik dari perpustakaan dan sumber lain.
3.5. Teknik
Analisis Data
Altman
menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat
perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Z-Score Altman
untuk perusahaan perbankan yang telah go public ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (S.Munawir, 2007):
Z-Score
= 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
Dimana:
X1 = Working
Capital to Total Assets (Modal Kerja/Total Aset)
X2 = Retained
Earning to Total Assets (Laba Ditahan/Total Aset)
X3 = Earning
Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets (Pendapatan Sebelum
Dikurangi Biaya Bunga/Total Aset)
X4 = Market
Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Harga Pasar Saham
Dibursa/Nilai Total Utang)
X5 = Sales to
Total Assets (Penjualan/Total Aset)
Dengan
kriteria penilaian (S.Munawir, 2002:311) sebagai berikut:
a) Z-Score
> 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak
mengalami kesulitan keuangan.
b) 1,81
< Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan
sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun kemungkinan
terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan
kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan.
c) Z-Score
< 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan
yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat
besar.
3.6. Operasionalisasi Variabel
Agar
penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu
dipahami berbagai unsur-unsur yang menjadi dasar dari suatu penelitian ilmiah
yang termuat dalam operasionalisasi variabel penelitian. Secara lebih rinci,
operasionalisasi variabel penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Penelitian
|
|||
VARIABEL
(1)
|
KONSEP
(2)
|
INDIKATOR
(3)
|
SKALA
(4)
|
X1
|
Rasio ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari
keseluruhan total aktiva yang dimilikinya.
|
Net Working
Capital to Total Assets
(Sofyan Syafri
harahap, 2009: 353)
|
Rasio
|
X2
|
Rasio ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total
aktiva perusahaan. Laba ditahan terjadi karena pemegang saham biasa
mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak
didistribusikan sebagai dividen.
|
Retained Earnings
to Total Assets
(Sofyan Syafri
harahap, 2009: 353)
|
Rasio
|
X3
|
Rasio ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aktiva
perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak.
|
Earning Before
Interest and Tax to Total Assets
(Weston & Copeland,
2004:255) dalam Diana Atim Iflaha (2008)
|
Rasio
|
X4
|
Rasio ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dari
nilai pasar modal sendiri (saham biasa). Nilai pasar ekuitas sendiri
diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar
saham biasa. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar
dengan kewajiban jangka panjang.
|
Market Value of
Equity to Book Value of Debt
(Sofyan Syafri
harahap, 2009: 353)
|
Rasio
|
X5
|
Rasio ini
menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume bisnis yang cukup
dibandingkan investasi dalam total aktivanya. Rasio ini mencerminkan
efisiensi manajemen dalam menggunakan keseluruhan aktiva perusahaan untuk
menghasilkan penjualan dan mendapatkan laba
|
Sales to Total
Assets
(S.Munawir, 2007)
|
Rasio
|
Z-SCORE
(Z)
|
Dari data laporan
keuangan perusahaan akan dianalisis dengan menggunakan beberapa rasio
keuangan yang dianggap dapat memprediksi kebangkrutan sebuah perusahaan.
Beberapa rasio keuangan yang mendeteksi likuiditas, profitabilitas, dan
aktivitas perusahaan yang akan menghasilkan rasio-rasio atau angka-angka yang
akan diproses lebih lanjut dengan formula Altman.
|
Z = 1,2X1 + 1,4X2 +
3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5
(S.Munawir, 2007)
|
1. Z-Score
lebih kecil atau sama dengan 1,81 berarti perusahaan mengalami kesulitan
keuangan dan risiko tinggi.
2. Z-Score
antara 1,81 - 2,99 perusahaan dianggap berada pada daerah abu-abu (grey
area).
3. Z-Score
>2,99 memberikan penilaian bahwa perusahaan berada dalam keadaan yang
sangat sehat sehingga kemungkinan kebangkrutan sangat kecil terjadi.
|
No comments:
Post a Comment