Postmoderisme, sebagai paradigma,
tidak memiliki bentuk tubuh yang utuh seperti modernisme, tetapi ia
“merepresentasikan bersatunya unsur-unsur dari orientasi yang berbeda-beda dan
bahkan bertentangan” (Resenau, 1992, dalam Triyuono). Postmodernisme tidak
memperhatikan tapal batas yang ketat dari isme yang membatasi isme yang satu
dengan isme yang lain. Ini berarti postmodernisme menyesuaikan,
mentransformasikan, dan mentransendensikan, misalnya, strukturalisme,
romantisme, fenomonisme, nihilisme, peulisme, eksistensialisme, herminetika,
marxisme barat, teori kritik, anarkhisme.
Dalam melihat realitas,
postmoderisme cenderung untuk mengatakan bahwa tidak ada alat yang cukup untuk
mempresentasikan realitas. Ia juga menolak pandangan realitas yang
mengasumsikan adanya kebebasan (independent) dari proses mental individual dan
komunikasi intersubyektif (Resenau, 1992). Sebaliknya, moderisme mengklaim
bahwa realitas eksternal dapat diteukan, digambarkan, dan dipahami. Fakta yang
mengatakan modernisme dapat menemukan realitas sebenarnya didasarkan pandangan
realisme (realism). Realisme menyakini realitas sebagai “dunia nyata yang
tersusun atas struktur yang keras, berwujud, dan relatif permanen” (Burrell dan
Morgan, 1979). Bagi seorang realis, realitas sosial eksis secara independen
dari pelaku sosial dan berada “di luar sana” realitas sudah ada sebelum
individu itu masuk (Morgan dan Smircich, 1980).
Sementara beberapa postmodernisme
sebaliknya mengambil pandangan nominalisme (nominalism). Nominalisme memahami
bahwa “realitas sosial yang berbeda secara eksternal dari kognisi seseorang
tersusun tidak lebih dari nama-nama, konsep-konsep, dan label-label yang
digunakan untuk menyusun realitas dan “dimanfaatkan” sebagai kreasi artivisial
yang kegunaannya didasarkan pada kenyamanan untuk “mendeskripsikan, memahami,
dan menegosiasi dunia ekternal” (Burrel dan Morgan, 1979).
Memahami relaitas sosial secara
independen eksis dari manusia sebagai makhluk yang kreatif, maka modernisme
mencoba menghasilkan pengetahuan berdasarkan hipotesis epistemologis dan
laawan-hipotesis secara obyektif, yaitu pendekatan hipotesis deduktif.
Pendekatan tidak hanya sebagai metode ilmiah. Sebaliknya, ada yang berpendapat
bahwa postmodernisme “mengorganisasikan ilmu pengetahuan disekitar personal,
intuitif, dan epistemologis. Oleh karena itu ilmu pengetahuan, menurut
postmodernisme, bersifat subyektif. Implikasi dari hal ini adalah bahwa tidak
ada apa yang dinamakan ilmu bebas dari nilai. Namun beerdasarkan pada
obyektivitas, modernisme menganggap ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas
nilai. Pandangan positivistik modernisme menganggap bahwa kausalitas dan
prediksi adalah bagian yang sangat penting untuk menerangkan. Pandangan ini
merupakan konsekuensi pemahaman realitas sosial yang berada di luar, dan eksis
secara independen dari, manusia. Realitas, dalam pengertian ini, dapat secara
tepat diukur, dan hubungan sebab akibat yang eksis secara inheren dalam
realitas dapat secara tepat ditentukan. Namun postmodernisme lebih menyukai
intertekstualitas dari pada kausalitas dan prediksi. Resenau, 1992, dalam hal
ini mengatakan: Intertekstualitas interaktif secara absolut menunjukan
penolakan yang kuat atas kemungkinan kausalitas langsung karena di dunia ini
setiap sesuatu dihubungkan dengan cara interaktif absolut, prioritas temporal,
yang dibuttuhkan oleh kausalitas, adalah hampir tidak mungkin untuk ditetapkan.
Menurut Resenau (1992), kausalitas
dan prediksi dapat dicapai dengan baik jika penelitian dilakukan secara
obyektif. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan modern bersih dari nilai dan
perasaan subyektif manusia, karena nilai dan perasaan, meurut postmodernisme,
dapat membuat penelitian dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan menjadi bias.
Sebaliknya, postmodernisme setuju bahwa nila, pertanyaan-pertanyaan normatif,
perasaan dan emosi, semuanya merupakan bagian dari produk intelektual manusia.
Adalah suatu hal yang tidak perlu meniadakan unsur-unsur ini dalam proses
produksi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, pemikiran normatif,
perasaan dan emosi merupakan bagian yang esensial yang digunakan, dalam konteks
metode,. Untuk menafsirkan dan menekonstruksi realitas sosial yang kompleks.
Secara implisit berarti tidak ada aturan metode yang formal dan kaku sebagaimana
dikemukakan oleh modernisme. Apabila dilihat dari orientasi postmodernisme
adalah pada metode-metode yang dapat diaplikasikan pada ruang lingkup yang luas
dari sebuah fenomena, berfokus pada apa yang ada pada posisi marginal.
Mengungkap keunikan, berkonsentrasi pada sesuatu yang misterius, dan menghargai
sesuatu yang tidak dapat diulang (Resenau, 1992).
Metode-metode postmodernisme, di
mana secara metodologis adalah postpositivist atau anti-positivist (Sugiarto,
1996) memandang perasaan, pengalaman personal, empati, omosi, intuisi,
pertimbangan subyektif, imajinasi dan ragam bentuk kreativitas dan permainan
sebagai bagian yang sangat penting. Oleh karena itu postmodernisme mengakui dua
pendekatan metodologis, yaitu interpretasi, bagi postmodernisme, dipahami
sebagai interprestasi tak terbatas.
Paradigma
Interpretif
Pendekatan dalam bingkai positivisme
sangat bertolak-belakang dengan pendekatan dalam bingkai interpretif.
Dalam pendekatan interpretif telah dipasang rambu-rambu bahwa prinsip-prinsip
yang terdapat dalam ilmu alam tidak bisa diambil dan dimasukan begitu saja ke
dalam ilmu-ilmu sosial. Karakteristik ilmu sosial sangat berbeda dengan
karakteristik ilmu alam, sehingga bagi paham interpretif, sumber dari perilaku
sosialdalam tataran ontologi dianggap tidak terletak di luar aktor. Hal itu
berarti bahwa realitas sosial sebenarnya secara sadar dan secara aktif dibangun
sendiri oleh individu-individu. Setiap individu mempunyai potensi untuk memberi
makna apa yang dilakukan. Realitas sosial adalah produk dari interaksi antar
individu yang sangat sarat makna.
Apabila ditinjau dari prinsip dasar
yang dikembangkan oleh interpretif, ada tiga prinsip dasar dalam membaca
fenomena, yaitu:
-
Individu
menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan makna
sesuatu tersebut pada dirinya;
-
Makna
tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu
lain, dan;
-
Makna
tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melaluiØ proses interpretif yang berkaitan dengan hal-hal lain yang
dijumpainya.
Ketiga prinsip dasar tersebut
pertama-tama disusun oleh asumsi bahwa setiap individu bisa melihat dirinya
sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Individu juga tidak pasif, memiliki
kemampuan untuk membaca situasi yang melingkupi hidupnya. Pola interaksi yang
dikembangkan oleh individu dalam aktivitas sosialnya terutama ditentukan oleh
bagaimana individu tersebut menafsirkan situasi yang melingkupi hidupnya.
Dengan demikian perhatian teori interaksi simbolik banyak difokuskan pada
aspek-aspek interaksi sosial. Baik yang memelihara stabilitas maupun yang
mendorong perubahan individu seharusnya melihat dirinya sendiri dan menafsirkan
situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar
tersebut, interpretif menawarkan metodologi yang lebih menekankan pada
pemahaman makna dengan melakukan empati terhadap sesuatu aktivitas dan
menempatkan suatu aktivitas yang ada dalam masyarakat. Bermacam-macam makna
bisa teruntai dari situasi jalinan interaksi. Konsekuensinya kemudian adalah
bahwa suatu aktivitas bisa melahirkan bermacam-macam analisis.
Menangkap dan memahami realitas
sosial melalui teori dan kategori dianggap terlalu menyederhanakan hakikat dan
sifat realitas sosial itu sendiri, yang selalu mengalami perubahan situasi
dengan sifat-sifat yang melekat dalam aktor-aktor yang menjadi pendukungnya.
Menangkap dan memahami realitas sosial menurut perpektif ini hanya bisa
dilakukan melalui proses interaksi (Kana, L Nico, 1982). Karena yang ditekankan
adalah proses interaksi maka pernyataan-pernyataan hipotesis seharusnya
dihindari. Pernyataan hipotesis semacam itu bisa menyempitkan analisis, karena
hal-hal penting yang tidak tercakup dalam pernyataan hipotesis bisa terabaikan.
Validitas juga dianggap tidak terletak pada ketepatan pengukuran hubungan
kausal antar variabel, tetapi justru pada cara bagaimana realita terbangun
melalui proses antar aktor (Usman, 1998).
Menurut Nasim Butt (1996), suatu
paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya
diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian
ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris. Hal ini sesuai
dengan tujuan penelitian yang biasanya digunakan (positivism) mengganti dengan
paradigma enterpretif.
Kegiatan penelitian mempunyai tujuan
ganda, yakni di samping upaya untuk menghasilkan sains, juga memberikan bukti
bahwa suatu paradigma bisa dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan modern
dan satu sama lain tidak bertentangan. Di sampin itu dalam paradigma ini
(entrepretif) juga ada pengakuan akan kebebasan manusia untuk mengubah dirinya
dan keadaan alam sekitarnya, yang juga sesuai dengan pendapat yang ada dalam
bidang ilmiah. Paham yang mengakui kekuatan akal manusia, kebebasan manusia
dalam kehendak dan perbuatannya, dan paham yang mengakui berlakunya hukum alam.
Paradigma tersebut secara filosofis
telah memenuhi kriteria dan ciri-ciri penelitian ilmiah, baik ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Dengan landasan kebenaran, penelitian ini
mengakui bahwa apa yang diteliti merupakan kondisi dan realita sosial yang
berada pada status quo dan hal ini merupakan ciptaan Tuhan. Oleh karena itu
hakikat penelitian adalah menemukan realitas sosial yang sama-sama diakui
kebenarannya, dan kebenaran yang diperoleh dapat berupa kebenaran empirik
sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik insaniyah dan
kebenaran transendental. Kebenaran transendental adalah kebenaran tertinggi dan
bersifat final. Kebenaran ini bersifat laten, maupun manifest dalam bentuk
temuan hasil penelitian. Ini merupakan ontologinya. Cara untuk memperoleh
kebenaran tersebut tidak hanya mengandalkan kemampuan akal budi manusia, akan
tetapi selalu mellibatkan petunjuk (wahyu) dan subyektivitas peneliti. Jadi
perpaduan antara keduanya dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran empirik
transendental yang dinamakan epistemologi, sedangkan aksiologisnya adalah
aplikasi temuan yang didasarkan kondisi dan situasi pada waktu di lapangan
berdasarkan logika dan subyektivitas pribadi.
Kegiatan penelitian, baik yang
bersifat empiris maupun ekplorasi, membutuhkan suatu metodologi dalam
melaksanakan kegiatannya. Pemilihan metodologi menjadi begitu penting dalam
penelitian dikarenakan pemilihan metodologi yang sesuai akan mempengaruhi
kualitas pengetahuan yang diperoleh (diproduksi). Triyuwono (1997:24)
mengatakan bahwa metodologi dalam diskursus ilmu pengetahuan merupakan bagian
yang sangat penting dan sangat vital karena merupakan pola (pattern) yang
digunakan untuk memproduksi ilmu pengetahuan (teori). Dengan kata lain, bentuk
ilmu pengetahuan sepenuhnya ditentukan oleh warna dan bentuk metodologi yang
didesain oleh ilmuwan. Oleh karena itu pemilihan metodologi yang sesuai dengan
disiplin ilmu harus menjadi pijakan utama.
Sementara itu, dalam metodologi
penelitian yang baru mengenal adanya scientifik, mainstream, atau positivistic.
Apabila ilmuwan tidak mencoba mengenal metodologi yang lain, dikuatirkan hanya
akan memproduksi ilmu pengetahuan yang hanya sebatas apa yang telah diterima
pada saat ini. Pemikiran demikian didasarkan oleh pengamatan bahwa banyak
mahasiswa maupun pengajar mengalami hambatan dalam melakukan penelitian. Salah
satu penyebab adalah kurang bervariasinya paradigma dalam metodologi. Paradigma
yang dikenal baru satu, yaitu positivisme. Sejauh ini aliran positivisme selalu
berupaya melakukan penelitian dengan mengevaluasi hubungan antarvariabel dengan
hasil yang menyatakan signifikansi antar variabel tersebut.
Dalam evaluasi dan analisisnya,
aliran positivisme sangat mendambakan penggunaan alat statistik. Semua kasus
diupayakan untuk dilihat dan disederhanakan mennjadi rumusan statistik.
Akibatnya, seorang peneliti yang mencoba menjelaskan proses perkembangan sistem
informasi dalam organisasi akan kebingungan apabila dipaksa untuk
merumuskannya. Hal tersebut akan membuat sesuatu menjadi sulit apabila apa yang
telah diteliti tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan sebelumnya,
sehingga akan mempengaruhi ilmu pengetahuan yang diproduksi (Sawajuono;
1997:2). Lebih lanjut Sukoharsono (1996:2) mengatakan bahwa dalam penelitian
perlu dipahami bahwa untuk pelaksanaan awal riset diperlukan penyelesaian atas
topik bahasan dan paradigma. Paradigma ini adalah satu usaha untuk membantu
memahami fenomena sosial yang akan diteliti. Hal ini ditegaskan pula oleh Kuhn
(1970:125-130) dengan mengonseptualkan paradigma yang terdiri dari teori-teori
dan metode-metode. Sekalipun banyak ilmuwan yang berbeda pendapat, tetapi
popularitas pembahasan paradigma Kuhn ini sulit untuk ditandingi. Mengingat
kondisi di atas maka penggunaan paradigma positivisme pada satu metodologi
justru akan sangat membatasi pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kuhn yang menyatakan bahwa pembahasan paradigma merupakan hal
yang sangat menarik karena akan mempengaruhi ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Teori
Kritik
Kritik merupakan metode yang mutlak
perlu dikembangkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya perkembangan
ilmu ekonomi pertanian. Kritik dapat diartikan sebagai refleksi baik dari pihak
individu atau masyarakat atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi
dan ketidakbebasan internal. Dengan refleksi itu manusia mengeyahkan kekuatan
asing yang membelenggu kesadaran sejatinya. Jadi kritik merupakan pembebasan
individu dan masyarakat dari irrasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.
Mengingat arti kritik tersebut maka
tanpa kritik, paradigma (obyek studi, teori dan metode) yang telah melembaga
akan menjelma menjadi ideologi. Dalam hal ini kecenderungan psikologis seorang
peneliti adalah memelihara dan mempertahankan teori. Oleh karena itu yang
diperlukan dalam setiap perkembangan ilmu adalah falsifikasi. Namun demikian
persoalan tidak berhenti pada titik falsifikasi atau kritik tidak bisa berhenti
sebagai kritik semata-mata tetapi juga memerlukan counter critic karena kritik
secara sadar atau tidak juga akan berubah menjadi ideologi. Dengan kata lain,
pelembagaan saling kritik dalam ilmu pengetahuan merupakan prasyarat yang
mutlak perlu sebagai upaya menemukan obyektivitas dalam pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Weber menekankan perlunya
liberalisasi berpikir dalam suatu penelitian atau pembebasan diri ilmuwan dari
ideologi politik pada saat menganalisis persoalan yang ada sehingga metode
kritik akan melembaga menjadi ideologi dan kritik juga tidak imun terhadap
kritik yang lain. Kalau ini terjadi maka kebiasaan saling kritik akan melembaga
dan memperkokoh fondasi pendewasaan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kritik
merupakan bagian dari sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kegiatan
akademik demi intersubyektivitas ilmiah.
Seperti apa yang dikemukakan oleh
Hardiman (1990: 56-57), teori kritik itu memakai metode dialektika tertentu
yang mengarah ke masa depan. Kekuatan kritik termuat dalam metode dialektika
itu sendiri karena pemikiran dialektis mencari kontradiksi-kontradiksi dalam
kenyataan kongkret. Metode dialektis itu, menurut Horkheimer dalam Hardiman
(1990:58), memiliki empat karakter, yaitu:
-
Teori
kritik bersifat historis, yang artinya teori iniØ diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang
kongkret dan berpijak di atasnya. Dengan kata lain, teori ini melakukan apa
yang disebut Horkheimer dan kawan-kawan sebagai kritik imanen terhadap
masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi.
-
Teori
kritik disusun dalam kesadaran akan keterlibatan historisØ para pemikirnya dan juga teori ini kritik pada dirinya
sendiri dalam artian bahwa setiap teori sangat mungkin jatuh ke dalam salah
satu ideologi, dimana pada teori tradisional (positive) yang menguntungkan
kesahihannya pada ferivikasi, sedangkan teori ini mempertahankan kesahihannya
melalui kritik dan refleksi terhadap dirinya.
-
Sebagai
akibat metode dialektik, teori ini memiliki kecurigaanØ kritis terhadap masyarakat aktual. Hal ini berkaitan dengan
maksud ingin menelanjangi kedok-kedok ideologi yang menutupi, manipulasi,
ketimpangan, dan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat.
-
Teori
kritik ini bermaksud untuk mendorong transformasi masyarakat yang lebih kritis
tehadap sesuatu.
Dengan memperhatikan keempat
karakteristik teori kritik maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori kritik
mempunyai tujuan pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas
dasar hubungan antar pribadi yang merdeka, dan pemulihan kedudukan manusia
sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosial. Sedangkan kalau
ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa dengan adanya teori kritik
ini para ilmuwan dan peneliti diharapkan tidak hanya menerima ilmu pengetahuan
begitu saja tetapi akan lebih dapat memacu perkembangan ilmu pengetahuan,
seperti halnya menerima paradigma positivisme untuk membuktikan kesahihan ilmu
pengetahuan (mempertahankan status quo), bahkan menentang kondisi yang sudah
ada, hal ini seperti yang dipahami oleh paradigma kritikal.
Paradigma
Kritikal
Dalam ilmu sosial banyak ahli
mengarakteristikkan paradigma penelitian. Burrel dan Morgan (1994:3)
mengategorikan ilmu sosial dalam empat paradigma, yaitu paradigma fungsionalis,
interpretatif, radikal humanis, dan radikal strukturalis. Dari keempat
paradigma ini, masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam
penelaahan penelitian. Dapat dipastikan bahwa setiap paradigma akan mempunyai
penekanan dalam membahas/meneliti suatu masalah/fenomena yang akan diriset.
Keempat paradigma ini bersumber pada mekanisme asumsi yang bersumber pada dua
dimensi ekstrem, yaitu dimensi subyektif dan obyektif.
Menurut Triyuwono (1988:4),
paradigma kritikal merupakan paradigma yang menganggap bahwa penelitian merupakan
alat yang digunakan untuk mengekspose hubungan nyata (riel relations) yang dibawah “permukaan” mengungkap mitos dari
ilusi, dan menekankan pada usaha menghilangkan kepercayaan dan ide-ide yang
salah, menekankan pada pembebasan dan pemberdayaan. Hal ini didasari oleh
anggapan hakikat diri manusia yang dinamis, manusia sebagai pencipta destinasi
hidupnya, manusia yang ditekan, dieksploitasi, dibatasi, dicuci otak,
diarahkan, dikondisikan, dan ditutupi dalam upaya mengaktualisasikan
potensinya. Konsekuensi dari anggapan ini adalah bahwa paradigma ini memandang
realitas sosial sebagai realitas yang sangat kompleks (yang tampak dan nyata),
penuh dengan kontradiksi, konflik, tekanan, dan eksploitasi, sehingga tidak
mengherankan bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai alat yang digunakan untuk
membebaskan dan memberdayakan manusia dan juga menganggap bahwa ilmu
pengetahuan itu tidak bebas dari nilai (not
value free).
Paradigma kritikal menurut Burrel
dan Morgan (1994:31) dibagi menjadi dua, yaitu paradigma humanis radikal dan
paradigma strukturalis radikal seperti dijelaskan berikut ini:
1. Paradigma Humanis Radikal
Paradigma humanis radikal dijelaskan dengan mengembangkan
perubahan sosiologi radikal dari subyektivitas. Pendekatan pada ilmu
pengetahuan sosial memiliki banyak kelaziman dengan paradigma interpretatif.
Dalam pandangan itu dunia sosial adalah perspektif yang cenderung menjadi
nominalis, anti-positivis, volantaris dan idegrafik, tetapi kerangka
referensinya dilakukan pada pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya
merobohkan atau mentransendenkan batasan susunan sosial yang ada.
Humanis radikal menempatkan hampir
seluruh penekanan atas perubahan radikal, mode dominasi, emansipasi,
pencabutan, dan potensialitas. Konsep konflik dan kontradiksi struktural tidak
digambaarkan secara baik dalam perspektif ini, bila mereka merupakan
karakteristik pada banyak pandangan obyektif tentang dunia sosial, seperti yang
disajikan dalam konteks paradigma strukturalis radikal.
Lebih
lanjut Burrel dan Morgan (1994:32-33) menjelaskan bahwa dalam menjaga
pendekaatan subyektivitas pada ilmu pengetahuan sosial, perspektif humanis
radikal menempatkan penekanan atas keyakinan manusia. Dasar intelektualnya
dapat dicari pada sumber yang sama seperti paradigma interpretatif. Marx
menyatakan bahwa tradisi idealis adalah yang pertama digunakan sebagai basis
untuk filsafat sosial radikal, dan beberapa humanis radiikal yang telah
memperoleh inspirasi mereka dari sumber ini. Esensinya membalik kerangka
referensi yang tercermin dalam idealisme Hegelian dan dengan demikian menempa
dasar humanisme radikal. Paradigma ini juga telah banyak dipengaruhi oleh
infusi perspektif fenomenologi yang berasal dari Husserl. Kondisi ini secara
bersama-sama memberikan perhatian umum kepada pengeluaran kesadaran dan
pengalaman dari dominasi dengan berbagai aspek suprastruktural ideologis pada
dunia sosial di mana manusia hidup di luar kehidupan mereka, di mana mereka
mencari untuk mengubah dunia sosial melalui perubahan dalam mode pengetahuan
dan kesadaran.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi paradigma humanis radikal
didasarkan atas pembalikan pada asumsi yang menjelaskan bahwa paradigma
fungsionalis seharusnya tidak mengejutkan. Teori anti organisasi membalik
problematika yang menjelaskan bahwa teori organisasi fungsionalis ada pada
hampir setiap hitungan.
2. Paradigma Strukturalis Radikal
Teori yang
ada dalam paradigma membela sosiologi pada perubahan radikal dari sudut
obyektivis. Ketika bersama-sama memberikan pendekatan pada ilmu pengetahuan
yang memiliki banyak keserupaan dengan teori fungsionalis, diarahkan pada
penyelesaian yang berbeda secara mendasar. Strukturalisme radikal dilakukan
pada perubahan radikal, emansipasi, dan potensialitas dalam suatu analisis yang
menekankan pada konflik struktural, mode dominasi, kontradiksi dan pencabutan.
Mendekati perhatian umum dari sudut pandang yang cenderung menjadi realis,
positivis, determinis, dan nomithetic (Burrel dan Morgan 1994:33-34).
Lebih
lanjut dikatakannya bahwa humanis radikal menempa perspektif dengan memfokuskan
atas kesadaran sebagai dasar untuk kritik radikal dari masyarakat. Strukturalis
radikal berkonsentrasi pada hubungan struktural dalam dunia sosial realis.
Mereka menekankan pada kenyataan bahwa perubahan radikal dibangun dengan sangat
alami dan pada struktur masyarakat masa kini, di mana mereka mencari untuk
memberi penjelasan antar hubungan dasar dalam konteks bentuk total sosial.
Secara umum semua teori memandang bahwa masyarakat pada masa kini
berkarakteristik dengsn konflik mendasar yang menelorkan perubahan radikal
melalui krisis politik dan ekonomi. Melalui konflik dan perubahan ini
diketahui bahwa emansipasi orang dari struktur sosial di mana mereka hidup
dipandang sebagai akibat.
Keberadaan
paradigma humanis radikal dan strukturalis radikal menurut pandangan Ghozali (1996;
47-49) merupakan pendekatan radikal yang memandang masyarakat terdiri dari
elemen-elemen yang saling bertentangan satu sama lain dan diatur oleh sistem
kekuasaan yang pada gilirannya menimbulkan ketidak-adilan dan keterasingan
dalam segala aspek kehidupan. Pendekatan ini berhubungan dengan
pengembangan pemahaman akan dunia sosial dan ekonomi dan juga kritik terhadap
status.
Dengan
menerima ideologi yang dominan dan tidak mempertanyakan hakikat dasar dari
kapitalisme, pendekatan fungsional dan interpretatif dipandang mempertahankan
dan melegitimasi tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang ada saat ini. Lebih
lanjut Ghozali menyebutkan strukturalis radikal memfokuskan pada konflik
mendasar sebagai produk hubungan kelas dan struktur pengendalian. Sementara itu
humanis radikal menitik-beratkan pada kesadaran individu, keterasingan manusia,
dan bagaimana kedua hal ini dapat mendominasi pengaruh ideologi. Perbedaan antara
keduanya, strukturalis radikal memperlakukan social world sebagai subyek
eksternal dan memiliki hubungan yang terpisah dari manusia tertentu. Sementara
itu humanis radikal memfokuskan pada persepsi individu dan
interpretasi-interpretasinya (1996).
No comments:
Post a Comment