A. Pengaruh Jumlah Dewan Komisaris Pada Tingkat Konservatisme Akuntansi
Jumlah dewan komisaris adalah jumlah yang tepat dari anggota dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya. Menurut pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia, jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan.
Jumlah anggota dewan komisaris merupakan elemen penting dari karakteristik dewan komisaris yang mempengaruhi tingkat konservatisme akuntansi. Penelitian Lara, et al (2005) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki dewan yang kuat sebagai mekanisme corporate governance mensyaratkan tingkat konservatisme yang lebih tinggi daripada perusahaan dengan dewan yang lemah. Komposisi anggota dewan komisaris yang tidak seimbang dengan dewan direksi akan menyebabkan komisaris mengalami kesulitan dalam berdiskusi dengan dewan direksi dan mengawasi kinerja perusahaan. Dewan komisaris akan lebih menginginkan penerapan prinsip akuntansi yang konservatif untuk mencegah perilaku yang menyimpang dari direksi dan manajer.
Menurut Klein dalam Ahmed dan Duellman (2007) ukuran dewan komisaris berhubungan dengan adanya komite audit yang menjalankan tugasnya secara lebih spesifik. Ukuran dewan komisaris yang lebih besar akan menyebabkan tugas setiap anggota dewan komisaris menjadi lebih khusus karena terdapat komite-komite yang lebih khusus dalam mengawasi perusahaan. Spesialisasi yang lebih besar tersebut dapat menunjukkan pengawasan yang lebih efektif. Oleh sebab itu, diperlukan jumlah anggota dewan komisaris yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan supaya proses monitoring lebih efektif. Sehingga semakin besar ukuran dewan komisaris maka semakin besar kekuatan dari dewan komisaris dalam melakukan pengawasan sehingga penggunaan akuntansi yang konservatif akan semakin tinggi pula.
B. Pengaruh Jumlah Komite Audit Pada Tingkat Konservatisme Akuntansi
Komite audit berfungsi membantu dewan komisaris dalam memastikan dilaksanakannya tata kelola perusahaan yang baik, yang meliputi tugas-tugas untuk mengkaji perencanaan audit baik oleh pihak internal maupun eksternal, menelaah laporan audit internal dan eksternal, menelaah penerapan tata kelola perusahaan, etika bisnis serta pedoman perilaku.
Tugas dan tanggung jawab komite audit perseroan diantaranya: melakukan penelaahan atas informasi laporan perseroan serta memproyeksikan informasi keuangan lainnya, melakukan penelahaan atas ketaatan terhadap undang-undang di bidang pasar modal dan undang-undang lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, melakukan pemeriksaan terhadap kinerja audit internal serta menjaga kerahasiaan data/dokumen perusahaan. Kesemuanya akan menjadi bahan pelaporan kepada dewan komisaris untuk ditindak lanjuti. Jadwal pelaksanaan tugas dan pertemuan yang diadakan anggota komite audit ini minimal 12-15 kali pertahun yang dihadiri minimal 2 orang anggota. Keberadaan komite audit dalam suatu perusahaan akan berpengaruh secara langsung terhadap penataan dan pelaporan akuntansi atas perusahaan yang bersangkutan.
Wardhani (2008) meneliti pengaruh karakteristik board of directors sebagai bagian dari implementasi corporate governance terhadap praktek konservatisme. Wardhani (2008) menggunakan 2 ukuran konservatisme yaitu ukuran akrual dan nilai pasar, sedangkan board of directors mencakup independensi dari komisaris, kepemilikan modal perusahaan oleh komisaris dan direksi, keberadaan komite audit. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan komite audit.
C. Pengaruh Kepemilikan Publik Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Kepemilikan saham oleh publik juga dapat mempengaruhi keputusan manajemen dalam menerapkan konservatisme akuntansi. Jika kepemilikan saham yang dimiliki publik lebih banyak maka manajer lebih memilih melaporkan laba dengan nilai yang tinggi atau secara optimis. Karena pihak pemegang saham menginginkan pengembalian atas investasi, baik dividen maupun capital gain, mereka tinggi. Dengan begitu kinerja manajer akan dinilai baik dan manajer mendapatkan bonus (bonus plan hypothesis).
Keputusan manajemen untuk melaporkan laba dengan nilai yang tinggi atau secara optimis didukung karena rendahnya pengendalian terhadap manajemen karena menyebarnya kepemilikan. Hal tersebut akan menimbulkan fleksibilitas yang dimiliki manajemen dalam menyajikan informasi laporan keuangan. Manajemen dapat saja menaikan nilai laba atau melakukan income maximation untuk mencapai target laba yang diinginkan pemilik atau pemegang saham. Dengan begitu manajemen akan mendapatkan bonus atas kinerjanya yang terlihat baik.
D. Pengaruh Kepemilikan Saham oleh Komisaris dan Direksi Pada Tingkat Konservatisme
Akuntansi Menurut Alfina (2006), plan bonus hypothesis dalamd possitive accounting theory menyatakan bahwa manajer akan bertindak seiring dengan bonus yang diberikan. Jika target laba perusahaan tercapai, maka bonus akan diberikan kepada manajemen perusahaan oleh pemilik atau pemegang saham perusahaan. Dengan begitu pelaporan perusahaan akan kurang konservatif dikarenakan manajemen laba yang mungkin dilakukan manajemen perusahaan demi mendaptkan bonus. Namun jika kepemilikan manajer lebih banyak dibanding para investor lain, maka manajemen cenderung melaporkan laba lebih konservatif. Karena rasa memiliki manajer terhadap perusahaan itu cukup besar, maka manajer lebih berkeinginan untuk mengembangkan dan memperbesar perusahaan daripada mementingkan bonus yang didapat jika memenuhi target laba.
Dengan metode konservatif, maka akan terdapat cadangan tersembunyi yang cukup besar untuk meningkatkan jumlah investasi perusahaan. Aset diakui dengan nilai terendah, ini berarti nilai pasar lebih besar dari pada nilai buku. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pasar dan investor akan menilai positif akan hal ini.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh manajemen akan menurunkan permasalahan agensi karena semakin banyak saham yang dimiliki oleh manajemen maka semakin kuat motivasi mereka untuk bekerja dalam meningkatkan nilai saham perusahaan. Dalam konteks konservatisme, kepemilikan oleh inside directors (komisaris diluar komisaris independen) dan manajemen ini memiliki dua pandangan yang berbeda.
Kepemilikan oleh inside directors dan manajemen ini dapat berperan sebagai fungsi monitoring dalam proses pelaporan keuangan, dan juga dapat menjadi faktor pendorong dilakukannya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Apabila inside directors dan manajemen menjalankan fungsi monitoringnya dengan baik, maka akan mensyaratkan informasi dari pelaporan keuangan yang memiliki kualitas tinggi sehinga mereka akan menuntut penggunaan prinsip konservatisme yang lebih tinggi pula. Namun, apabila kepemilikan mereka tersebut justru mendorong dilakukannya ekspropriasi terhadap perusahaan, maka mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih liberal (lebih agresif).
LaFond dan Roychowdhury (2007) menyatakan bahwa konservatisme dalam pelaporan keuangan ini merupakan salah satu mekanisme dalam mengatasi permasalahan agensi ketika timbul pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Mereka menghipotesiskan bahwa dengan semakin kecilnya kepemilikan manajerial maka permasalahan agensi yang muncul akan semakin besar sehingga permintaan atas laporan yang bersifat konservatif akan semakin meningkat. Konsisten dengan hipotesa tersebut, mereka menemukan adanya hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan konservatisme yang diukur dengan menggunakan ukuran asymmetric timeliness dari pengakuan laba dan rugi. Penelitian Wu (2006) menyimpulkan perusahaan yang memiliki Persentase.
E. Pengaruh Proporsi Komisaris Independen Pada Tingkat Konservatisme Akuntansi
Salah satu fungsi utama dari komisaris independen adalah untuk menjalankan fungsi monitoring yang bersifat independen terhadap kinerja manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris dapat menyeimbangkan kekuatan pihak manajemen (terutama CEO) dalam pengelolaan perusahaan melalui fungsi monitoringnya (Wardhani, 2008). Penelitian Wardhani (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi proporsi komisaris independen terhadap total jumlah komisaris maka semakin besar pula tingkat konservatisme akuntansi yang diukur dengan ukuran pasar.
Dalam menjalankan fungsinya, komisaris independen akan sangat membutuhkan informasi yang akurat dan berkualitas. Konservatisme merupakan alat yang sangat berguna bagi komisaris independen dalam menjalankan fungsi mereka sebagai pengambil keputusan dan pihak yang memonitor manajemen.
Board of Directors yang kuat (board of directors yang didominasi oleh komisaris independen) akan mensyaratkan informasi yang lebih berkualitas sehingga mereka akan cenderung untuk lebih menggunakan prinsip akuntansi yang lebih konservatif. Dilain pihak, board of directors yang didominasi oleh pihak internal atau board of directors yang memiliki insentif monitoring yang lemah akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi manajer untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih agresif (Ahmed dan Duellman, 2007).
Semakin banyak proporsi komisaris independen dalam suatu perusahaan akan menunjukkan dewan komisaris yang kuat maka semakin tinggi pula tingkat konservatisme yang diinginkan karena adanya persyaratan informasi keuangan yang lebih berkualitas.
F. Pengaruh Cash Flow terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Laporan arus kas dapat menyediakan informasi tentang pertumbuhan perusahaan. Semakin besar peluang investasi bagi perusahaan ditunjukkan dari kemampuan perusahaan untuk menyediakan dana baik secara internal maupun eksternal maka semakin besarnya investasi yang dilakukan. Semakin persisten dan lancar arus kas keluar untuk investasi dan arus kas masuk dari pendapatan investasi, menunjukkan bahwa perusahaan tersebut dalam keadaan growth.
Laporan arus kas dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah operasi perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru. Tingginya operating cash flow mengindikasikan kinerja yang baik dari perusahaan. Pada perusahaan yang menerapkan konservatisme, operating cash flow akan membuat prediksi future cashflow yang lebih besar daripada perusahaan yang agresif. Dengan demikian, akanmenarik investor untuk berinvestasi, sehingga perusahaan akan lebih konservatif ketika operating cash flow yang dihasilkan tinggi (Martani dan Dini, 2010).
G. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Tingkat profitabilitas yang tinggi pada perusahaan akan meningkatkan daya saing antar perusahaan. Perusahaan yang memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi akan membuka lini atau cabang yang baru serta memperbesar investasi atau membuka investasi baru terkait dengan perusahaan induknya. Tingkat keuntungan yang tinggi menandakan pertumbuhan perusahaan pada masa mendatang.
Lestari (2004) menyatakan bahwa profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Perusahaan dengan profitabilitas yang lebih tinggi akan memiliki kesempatan bersaing lebih baik dengan jenis perusahaan yang sama. Profitabilitas yang tinggi memberikan sinyal mengenai pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang. Profitabilitas yang tinggi akan membuat perusahaan memiliki laba ditahan yang banyak yang mengindikasikan adanya penerapan prinsip konservatisme akuntansi. Profitabilitas perusahaan digunakan sebagai variabel independen karena perusahaan yang memperoleh keuntungan lebih cenderung untuk menggunakan prinsip akuntansi konservatif (Wardhani, 2008). Hal ini disebabkan perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif akan mengakui biaya lebih cepat sehingga membuat laba saat ini menjadi rendah (Paek,et al., 2007).
Perusahaan dengan profitabilitas yang lebih tinggi akan memiliki kesempatan bersaing lebih baik dengan jenis perusahaan yang sama. Profitabilitas perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan Return On Equiity (ROE). Jika ROE perusahaan tinggi, maka jumlah laba ditahan akan meningkat dan menyebabkan pula peningkatan konservatisme akuntansi. Perusahaan dengan tingkat ROE yang tinggi mengindikasikan bahwa kompensasi keuangan yang diberikan oleh perusahaan pada pemegang saham tinggi dan hal ini membawa kecenderungan yang tinggi bagi perusahaan untuk menerapkan prinsip konservatisme akuntansi.
H. Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Roychowdhury and Watts (2006) memberikan gambaran tentang hubungan antara Investment Opportunity Set (IOS) dan konservatisme akuntansi. Akuntansi secara tradisional tidak merespon perubahan nilai pertumbuhan dan aktiva tak berwujud perusahaan. Akuisisi dan perubahan nilai akibat penurunan nilai dari aktiva biasanya tidak dicatat kecuali secara eksternal diperoleh dan dapat diverifikasi (seperti goodwill manajer dan akuisisi). Konsekuensinya apabila terjadi penurunan nilai aset yang tidak dicatat, maka perusahaan tidak dapat mengakuinya. Hal ini mengarahkan perusahaan pada tingkat konservatisme yang rendah terutama ketika nilai perusahaan dipengaruhi oleh nilai pertumbuhan dan nilai aktiva tidak berwujud perusahaan.
Lafond dan Roychowdhury (2007) menyatakan bahwa investment opportunity set (IOS) merupakan faktor umum yang mempengaruhi hubungan antara kepemilikan manajerial dan assymetric timeliness dari laba sebagai proksi dari konservatisme. Konservatisme merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi adanya konflik keagenan antara manajer dan pemegang saham yang sangat potensial dipengaruhi oleh keputusan investasi.
Peran manajer sebagai upaya untuk mengatasi masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham akan dipengaruhi oleh variasi manajer dalam menetapkan investment opportunity set (IOS) secara konstan. Semakin besar investment opportunity set maka akan semakin besar market to book ratio sebagai proksi konservatisme akuntansi. Sebaliknya semakin kecil investment opportunity set maka akan semakin kecil pula market to book ratio sebagai proksi konservatisme akuntansi. Hal ini terjadi karena pasar bereaksi positif terhadap pertumbuhan perusahaan, sehingga harga saham meningkat. Harga saham ini akan meningkatkan nilai IOS yang berarti akan semakin besar pula market to book ratio yang merupakan proksi dari konservatisme akuntansi perusahaan.
I. Pengaruh Company Growth Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Pertumbuhan perusahaan (Company Growth) merupakan suatu harapan penting yang diinginkan oleh pihak internal perusahaan yaitu manajemen maupun eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Pertumbuhan diharapkan dapat memberikan aspek yang positif bagi perusahaan. Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dengan pertumubuhan penjualan, pertumbuhan laba, pertumbuhan nilai buku ekuitas, dan pertumbuhan asset. Dalam penelitian ini pertumbuhan perusahaan diukur pertumbuhan penjualan (Sales Growth) karena pertumbuhan penjualan akan mempengaruhi tingkat akrual pada perusahaan seperti persediaan, piutang, dan lain-lain.
Pertumbuhan penjualan akan mempengaruhi konservatisme melalui ukuran akrual dan nilai pasar (Ahmed dan Duellman, 2007). Pertumbuhan penjualan yang tinggi seringkali meningkatkan ekspektasi pasar terhadap arus kas di masa depan sehingga akan mempengaruhi konsevatisme pasar. Pertumbuhan perusahaan di masa mendatang menandakan bahwa perusahaan telah mencapai tingkat keuntungan yang tinggi. Sehingga semakin tinggi pertumbuhan penjualan mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut semakin konservatif.
J. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Ukuran perusahaan merupakan salah satu indikator untuk mengamati besar biaya politis yang harus ditanggung. Ukuran perusahaan dapat diukur dengan melihat total aset yang dimiliki oleh suatu perusahaan.
Menurut Bahaudin dan Wijayanti (2011), ada tiga kategori ukuran perusahaan yaitu perusahaan besar (large size), perusahaan menengah (medium size) serta perusahaan kecil (small size). Sedangkan Deviyanti (2012) menyatakan perusahaan yang masuk dalam kategori besar memiliki sistem yang lebih kompleks serta profit yang lebih tinggi, hal tersebut membuat perusahaan juga menghadapi risiko yang lebih besar. Selain itu, perusahaan yang besar juga dihadapkan dengan besarnya biaya politis yang tinggi, sehingga perusahaan besar cenderung menggunakan prinsip akuntansi yang dapat mengurangi nilai laporan laba untuk mengurangi besarnya biaya politis. Hal ini membuktikan bahwa besar kecilnya suatu perusahaan dapat mempengaruhi konservatisme dalam laporan keuangan.
Watss dan Zimmerman (1990) berpendapat bahwa political cost hypothesis dapat memprediksikan bahwa perusahaan besar lebih sensitif terkait dengan biaya politis. Hal ini terkait atas dorongan pemerintah, yang menjadi pembuat kebijakan di negara yang bersangkutan, untuk pemabayaran biaya politis. Maka untuk mengurangi pembayaran biaya politis tersebut perusahaan melakukan pelaporan keuangan secara konservatif. Ini didasari atas pernyataan Jensen dan Meckling (1976) serta Watts dan Zimmerman (1978) yang menyatakan bahwa biaya politis akan meningkat seiring dengan ukuran perusahaan.
Pelaporan secara konservatisme pada laporan keuangan dilakukan karena pemerintah menggunakan informasi akuntansi dalam pengalihan kekayaan perusahaan. Scott (2007) juga menyatakan bahwa jika perusahaan menghadapi biaya politis yang semakin besar, maka manajer semakin cenderung pada pemilihan prosedur akuntansi yang menurunkan nilai laba atau konservatif. Pajak merupakan salah satu biaya politis yang selalu dihadapi perusahaan, oleh karena itu untuk menghindari tingginya pajak, manajemen akan cenderung untuk melaporkan laba yang rendah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sari dan Adhariani (2009) yang menyebutkan bahwa untuk menghindari biaya politis maka akan dilakukan pelaporan laba yang konservatif.
K. Pengaruh Rasio Leverage Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Dalam kaitannya dengan kontrak utang, menurut Watts dan Zimmerman (1990) debt covenant merupakan salah satu teori akuntansi positif. Untuk mengidentifikasi debt covenant tersebut dapat menggunakan proksi dari tingkat rasio leverage. Rasio leverage dapat digunakan untuk menunjukan seberapa besar perusahaan dibiayai oleh utang dan perbandingannya dengan total asset yang dimiliki perusahaan. Rasio laverage juga dapat menjadi suatu indikasi bagi pemberi pinjaman untuk tingkat keamanan pengembalian dana yang telah diberikan kepada perusahaan. Hal tersebut didasari atas struktur modal yang digambarkan oleh rasio leverage, dengan begitu tingkat risiko tak tertagih suatu utang dapat diketahui.
Perusaahan ingin menunjukan kinerja yang baik terhadap pemberi pinjaman, agar mendapatkan utang jangka panjang dan pemberi pinjaman dapat merasa yakin bahwa dana yang diberikan akan terjamin. Oleh karena itu perusahaan melakukan pelaporan keuangan secara optimis atau kurang konservatif dengan cara menaikkan nilai aset dan laba setinggi mungkin, serta menurunkan liabilitas dan beban. Hal tersebut dilakukan agar pemberi pinjaman dapat merasa yakin dan memberikan dana pinjaman kepada perusahaan.
Hasil penelitian Sari dan Adhariani (2009) menunjukkan bahwa semakin besar rasio leverage yang digunakan untuk mengukur debt convenant, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur yang meningkatkan laba yang dilaporkan periode sekarang atau laporan keuangan disajikan cenderung tidak konservatif (optimis). Hal tersebut disebabkan semakin tinggi debt convenant perusahaan maka semakin dekat perusahaan pada batas yang dipersyaratkam dalam kontrak hutang. Semakin ketat batas yang dipersyaratkan dalam kontrak utang maka semakin besar kemungkinan terjadinya pelanggaran kontrak utang, dalam situasi tersebut manajer yang memilih metode akuntansi yang lebih optimis akan mengurangi kemungkinan
L. Pengaruh Intensitas Modal Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Intensitas modal merupakan salah satu indikator dari political cost hypothesis, karena semakin banyak aktiva yang digunakan dalam operasi perusahaan untuk menghasilkan penjualan atas produk perusahaan maka dapat dipastikan bahwa perusaahan tersebut besar. Karena perusahaan yang besar akan lebih disoroti pemerintah, maka perusahaan dengan keadaan yang padat modal akan melakukan pelaporan secara konservatif untuk menghindari biaya politis yang besar.
Seperti yang diutarakan oleh Zmijewski dan Hagerman (1981) yang menyatakan bahwa perusahaan yang padat modal dihipotesiskan mempunyai biaya politik yang lebih besar dan lebih mungkin untuk mengurangi laba atau laporan keuangan cenderung konservatif.
Hal ini didukung juga oleh Commanor dan Wilson (1967) yang menyatakan bahwa rasio intensitas modal yang diukur dari total aktiva terhadap penjualan merupakan indikator barrier to entry, yaitu rintangan untuk masuk ke dalam suatu industri. Hal tersebut menandakan bahwa semakin tinggi rasio intensitas modal semakin tidak menarik bagi pendatang baru untuk masuk ke dalam industri. Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian Sari dan Adhariani (2009) yang menyebutkan bahwa perusahaan yang padat modal akan memiliki biaya politik yang lebih besar pula, sehingga akan memungkinkan bagi manajemen untuk mengurangi laba atau laporan keuangan cenderung konservatif.
M. Pengaruh Non-CEO Family Ownership Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost nya lebih kecil. Sedangkan Maury (2006) berpendapat bahwa dengan adanya kepemilikan keluarga di suatu perusahaan maka perusahaan tersebut dapat meningkatkan profitabilitas di dalam perusahaan tersebut bila dibandingkan dengan perusahaan yang dikendalikan oleh pemilik non-keluarga.
Family ownership akan mendorong pemiliknya untuk menuntut laporan keuangan yang konservatif, karena pengeluaran pemilik semakin besar pada biaya agensi dan biaya litigasi. Pertama, adanya potensi masalah agensi antara shareholder dan debt-holder dan juga antara pemegang saham dominan dan pemegang saham lainnya yang mengakibatkan proteksi oleh debt-holder dan shareholder (contohnya; high interest rates, stringent loan terms, liquidation of shares) serta tingginya biaya kapitalisasi.
Penelitian sebelumnya oleh Shuping, Xia dan Qiang (2012) menunjukan bahwa family ownership berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi. Hal ini membuktikan bahwa besar kecilnya saham yang dimiliki oleh keluarga dapat mempengaruhi konservatisme dalam laporan keuangan.
N. Pengaruh Founder Ownership Terhadap Hubungan Non-CEO Family Ownership dengan Tingkat Konservatisme Akuntansi
Kehadiran pendiri sebagai CEO pada perusahaan keluarga dapat menuntun perusahaan kedalam dua peran yang berbeda, yakni founder CEO sebagai power dan founder CEO sebagai pengarah. Dalam peran yang pertama, founder CEO lebih baik intensitasnya tidak searah dengan family owners dan shareholders. Sebagai gantinya founder CEO menggunakan kekuasaan dan kontrolnya untuk mencapai tujuan pribadi mereka dengan resiko pada nilai perusahaan. Di waktu yang bersamaan, founder CEO memiliki kekuasaan lebih terhadap stakeholder dan family owners dalam permintaanya terhadap akuntansi yang konservatif. Selain itu founder CEO juga memiliki kekuasaan mutlak ketika sudah menyangkut pengambilan keputusan, terlebih dalam laporan keuangan.
Namun demikian, Villalonga dan Amit (2006) menyatakan perusahaan yang dijalankan oleh founder CEO performanya lebih baik ketimbang yang dijalankan oleh CEO lainnya. Temuan tersebut dapat mengimplikasikan bahwa founder CEO akan memiliki intensitas yang kuat untuk mewujudkan konservatisme agar dapat mengurangi biaya litigasi dan agensi.
O. Pengaruh Risiko Litigasi Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Risiko litigasi diartikan sebagai risiko yang melekat pada perusahaan yang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan yang merasa dirugikan. Pihak-pihak yang berpentingan tersebut meliputi kreditor, investor, dan regulator. Risiko litigasi dapat diukur dari berbagai indikator keuangan yang menjadi determinan kemungkinan terjadinya litigasi. Akhir-akhir ini, Risiko litigasi terhadap perusahaan karena kesalahan pelaporan keuangan sering terjadi pada perusahaan-perusahaan go publik. Bahkan, intensitas risiko litigasi semakin tinggi ketika penegakan hukum (lawenforcement) dalam suatu lingkungan pasar modal dijalankan dengan baik. (Ahmad Juanda, 2009).
Laporan keuangan sumber informasi utama untuk analisis keuangan. Keterbatasan akuntansi mempengaruhi kegunaan laporan keuangan dan menimbulkan dua masalah dalam analisis 1) ketidak seragaman akuntansi menyebabkan masalah perbandingan. Masalah ini muncul jika perusahaan yang berbeda menerapkan akuntansi yang berbeda untuk transaksi atau peristiwa yang sama, 2) ketidaktepatan dalam akuntansi dapat mendistorsi informasi laporan keuangan. Distorsi akuntansi merupakan penyimpangan informasi akuntansi dari ekonomi yang mendasarinya. Distorsi ini muncul dalam tiga bentuk. 1) Estimasi manajemen dapat salah atau tidak lengkap. Kesalahan estimasi ini merupakan sebab utama distorsi akuntansi. 2) Manajer dapat menggunakan pilihan dalam akuntansi untuk memanipulasi laporan keuangan. 3) Standar dapat menyebabkan distorsi karena gagal menangkap realitas ekonomi.
Ketiga jenis distorsi tersebut menciptakan risiko akuntansi dalam analisis laporan keuangan. Risiko akuntansi merupakan ketidakpastian dalam analisis laporan keuangan yang akan menjadi salah satu penyebab risiko litigasi bagi perusahaan. Dengan demikian semakin besar risiko litigasi maka dapat mengurangi prinsip konservatisme akuntansi di dalam suatu perusahaan. Jadi dalam hal ini risiko litigasi memiliki hubungan positif terhadap konservatisme akuntansi. (K.R. Subramanyam , John J Wild; 2012: 3-14).
P. Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Perusahaan Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Menurut Mamduh Hanafi dan Abdul Halim (2005:21-24) laporan keuangan pada dasarnya ingin melihat prospek dan resiko perusahaan. Prospek bisa dilihat dari keuntungan (profitabilitas) dan resiko bisa dilihat dari tingkat kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Seorang analisis keuangan harus memahami konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari laporan keuangan. Konservatisme saat ini lebih dikaitkan dengan kehati-hatian (prudence). Konservatisme merupakan reaksi yang berhati-hati atas ketidakpastian yang ada, agar ketidakpastian dan resiko yang berkaitan dalam situasi bisnis bisa dipertimbangkan dengan cukup memadai.
Pelaporan yang didasari dengan kehati-hatian akan memberi manfaat yang terbaik untuk semua pengguna laporan keuangan. Perusahaan biasanya memiliki kejadian-kejadian yang tidak pasti (uncertainty). Dalam keadaan seperti ini laporan keuangan memilih menyajikan akibat angka yang kurang menguntungkan. Laporan keuangan memilih dan menilai asset dan pendapatan dengan nilai yg minimal. Misalnya rugi yang belum direalisasikan tapi sudah dicatat sedangkan laba yang belum direalisasi walau sudah ada indikasi dari laba tapi belum dapat dicatat sebagai laba, untuk mengantisipasi masalah keuangan dimasa yang akan datang (Sofyan S. Harahap, 2009:63).
Q. Pengaruh Manajemen Laba Perusahaan Terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Watts (2002) menyatakan bahwa hasil penelitian Basu (1997) konsisten dengan manipulasi manajemen terhadap laba. Manajemen mencatat aktiva lebih rendah untuk meningkatkan laba pada tahun berikutnya. Motivasinya adalah untuk meningkatkan kompensasi dan menyesatkan pasar modal.
Menurut Watts (2002) penjelasan mengenai earnings management dikaitkan dengan konservatisma berdasarkan alasan berikut:
- Menetapkan cadangan aktiva bersih yang understates.
- Menghapus return saham negatif, secara potensial memberikan hubungan carnings/ stock return yang asimetrik.
- Kerugian awal akan sementara, diikuti oleh laba yang lebih tinggi secara menetap yang dihasilkan oleh penggunaan cadangan.
Beberapa penelitian mengindikasi bahwa akrual sebagai mekanisme yang digunakan untuk memanipulasi laba, dihubungkan dengan penggunaan konservatisma akuntansi (Basu 1997; Givoly dan Hayn 2000; Dunbar et al. 2004; Mayangsari dan Wilopo 2002; Dewi 2003). Basu (1997) menyatakan bahwa konservatisma merupakan praktik akuntansi yang mengurangi laba (dan menurunkan nilai aktiva bersih) ketika menanggapi kabar baik.
Earnings management merupakan cara menyajikan laba yang disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan oleh manajer dan dilakukan melalui pemilihan kebijakan akuntansi atau melalui pengelolaan akrual. Prinsip ini terkait dengan definisi konservatisma yang dikemukakan oleh Penman dan Zhang (2000) serta Wolk dan Tearney (2000) yang menyatakan bahwa konservatisma akuntansi tidak saja berkaitan dengan pemilihan metoda akuntansi, tetapi juga estimasi yang seringkali diterapkan berkaitan dengan akuntansi akrual. Akrual diskresioner adalah akrual yang dapat dikendalikan oleh manajemen dalam jangka pendek, mencakup persentase alokasi piutang tak tertagih, peningkatan biaya overhead yang dibebankan pada sediaan, perubahan estimasi biaya garansi (Wolk dan Tearney 2000).
Penelitian mengenai earnings management dan konservatisma akuntansi pada beberapa negara dilakukan oleh Lara et al. (2005) yang meneliti pengakuan asimetri pada laba akibat berita baik dan berita buruk (konservatisma laba) pada negara yang menggunakan peraturan akuntansi yang berbeda, yaitu pada negara Inggris (common low) dengan negara Perancis dan Jerman (code low).
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari dan Wilopo (2002) serta Dewi (2003) memberikan bukti bahwa terdapat hubungan antara earnings management dengan konservatisma akuntansi. Mayangsari dan Wilopo (2002) menyatakan bahwa pemilihan metoda akuntansi yang konservatif tidak terlepas dari kepentingan pihak manajemen untuk memaksimalisasi kepentingannya dengan mengorbankan kesejahteraan pemegang sahamnya, atau yang biasa disebut dengan masalah keagenan seperti yang tersaji dalam teori keagenan Jensen dan Meckling (1976).
Konservatisme dapat membatasi tindakan manajer yang secara oportunistik mengelola laba dan memanfaatkan posisi sebagai manajer yang memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak luar perusahaan (Gul et al. 2002). Akuntansi yang konservatif diperlukan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan kontrak dengan manajer. Contohnya, adanya perilaku oportunistik yang meningkatkan laba untuk mendapatkan kompensasi yang lebih baik membuat pemegang saham akan mendesak manajer untuk menggunakan akuntansi yang konservatif.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, terdapat dugaan bahwa manajer perusahaan memilih akuntansi konservatif, dipengaruhi oleh perilaku oportunistik manajer dalam mengelola laba agar dapat memaksimalkan kepentingannya dengan mengorbankan kesejahteraan pihak-pihak yang melakukan kontrak dengan manajer.
Dugaan ini diperkuat dengan kecenderungan perusahaanperusahaandi Indonesia melakukan earnings management, sehingga pilihan manajer untuk menggunakan akuntansi yang konservatif dipengaruhi oleh earnings management yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang ada di Indonesia.
R. Pengaruh Biaya Politis terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Biaya politis (political cost) akan timbul dari konflik kepentingan antara perusahaan dan pemerintah selaku wakil dari masyarakat yang berwenang untuk melakukan pengalihan kekayaan dari perusahaan kepada masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik peraturan perpajakan maupun peraturan-peraturan lainnya.
Proses pengalihan kekayaan biasanya akan didasari dari informasi akuntansi dari perusahaan terkait. Semakin besar laba yang dihasilkan oleh perusahaan, maka akan semakin besar pula political cost yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu Watts dan Zimmerman (1990) mengungkapkan hipotesis bahwa political cost memprediksikan bahwa manajer ingin mengecilkan laba untuk mengurangi political cost yang potensial.
Pada dasarnya, perusahaan yang memiliki keuntungan yang besar akan lebih menarik perhatian pemerintah. Oleh karena itu, pelaporan laba yang besar akan meningkatkan kemungkinan akan diatur atau dibebani secara monopoli (Chan et al., 1992).
Keuntungan yang besar juga dapat digunakan sebagai bukti melawan perusahaan dalam tindakan anti trust (Han dan Wang, 1998), deregulasi (Key, 1997), dan pembebasan kebijakan (Jones, 1991). Proksi untuk political cost pada penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) adalah size (ukuran) perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar political cost-nya.
S. Pengaruh Pajak terhadap Tingkat Konservatisme Akuntansi
Pajak penghasilan telah lama dikaitkan dengan laba laporan dan akibatnya mempengaruhi kalkulasi laba laporan. Metode akuntasi untuk pelaporan masih dipengaruhi pajak penghasilan. Perlambatan pengakuan pendapatan dan percepatan pengakuan biaya akan menunda pembayaran pajak penghasilan. Widya (2004) menyatakan semakin besar perusahaan, maka semakin besar perhatian pemerintah terhadap perusahaan tersebut dan semakin besar kemungkinan untuk diatur. Penelitian ini memprediksi bahwa perusahaan dengan pajak semakin besar cenderung memilih akuntansi yang lebih konservatif.
T. Pengaruh Debt Covenant terhadap Konservatisme Akuntansi
Dalam teori akuntansi positif Watts dan Zimmerman (1986) dalam Widya (2004) menyatakan tiga hipotesis yaitu, bonus plan hypothesis, debt covenant hypothesis, dan political cost hypothesis. Debt covenant hypothesis menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan mulai mendekati terjadinya pelanggaran perjanjian hutang, maka manajer akan berusaha untuk menghindari terjadinya perjanjian hutang dengan cara memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba. Dengan adanya pelanggaran terhadap perjanjian hutang tersebut mengakibatkan timbulnya suatu biaya yang dapat menghambat kerja manajemen, sehingga manajemen berusaha untuk mencegah atau menunda hal tersebut untuk meningkatkan laba.
Debt covenant menjelaskan semakin tinggi jumlah utang yang diperoleh perusahaan, maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur yang meningkatkan laba yang dilaporkan (Sari dan Adhariani, 2009). Sehingga penelitian ini memprediksi debt covenant berpengaruh negatif terhadap akuntansi konservatif.
No comments:
Post a Comment