A. Pendahuluan
Akuntansi identik dengan informasi. Informasi akuntansi yang digunakan secara luas oleh pihak eksternal perusahaan adalah laporan keuangan perusahaan yang menyajikan informasi mengenai kinerja dan kondisi perusahaan. Melalui akuntansi keuangan, akuntan berusaha untuk menyederhanakan kegiatan operasional perusahaan (bisnis) yang bersifat finansial ke dalam lembaran-lembaran yang berisi tulisan dan angka yang kemudian didokumentasikan dan dibagikan kepada pihakpihak yang merasa berkepentingan dengan dokumen tersebut.
Menyajikan informasi yang digunakan publik menuntut suatu pengungkapan yang menyeluruh dan benar baik secara kuantitatif dan kualitatif. Tentu saja mendefinisikan secara operasional dalam praktek akuntansi mengenai luasnya keseluruhan dan tingkatan kebenaran dari seluruh pengungkapan baik kuantitatif dan kualitatif merupakan perdebatan yang tampaknya tidak pernah berakhir. Namun demikian, akuntansi sepakat mengenai acuan kualitas yang harus ada di dalam informasi akuntansi sebagaimana terdapat dalam kerangka konseptual akuntansi.
Akuntansi menterjemahkan pelaporan yang menghasilkan true value ini ke dalam kualitas fundamental dari akuntansi yang harus memenuhi karakteristik: faithful representation (numbers and descriptions match what really existed or happened/reliabilitas) yang selalu juga dikaitkan dengan kualitas fundamental lainnya yaitu: relevance (capable of making a difference in a decision). Selain itu, terdapat pula kualitas tambahan dari informasi akuntansi yang harus dipenuhi yaitu dapat diperbandingkan, dapat diverifikasi, ketepatwaktuan dan dapat dipahami. Kualitas-kualitas ini umumnya dibahas dalam penelitian mengenai accounting quality, earnings quality, dan accruals quality.
Berkaitan dengan pengungkapan true value ini maka terdapat penerapan suatu konsep yang disebut konservatisme akuntansi yang akan dibahas lebih lanjut. Konservatisme diterapkan karena akuntansi menggunakan dasar akrual dalam membentuk dan menyajikan suatu laporan keuangan perusahaan. Akrual menyebabkan pembentukan nilai akuntansi tidak hanya sekedar nilai riil dari transaksi keuangan, baik yang mengalir masuk dan keluar namun juga menyertakan suatu pencatatan mengenai nilai dari transaksi yang menimbulkan kemungkinan dari masuk dan keluarnya uang di masa mendatang, baik yang disebabkan oleh transaksi dimasa lalu dan di masa sekarang. Dalam kaitan ketidakpastian di masa mendatang inilah kemudian akuntan menerapkan konservatisme yang mengantisipasi ketidakpastian aliran uang masuk dan keluar di masa mendatang karena penggunaan dasar akrual di dalam akuntansi.
Berkaitan dengan pengungkapan true value ini maka terdapat penerapan suatu konsep yang disebut konservatisme akuntansi yang akan dibahas lebih lanjut. Konservatisme diterapkan karena akuntansi menggunakan dasar akrual dalam membentuk dan menyajikan suatu laporan keuangan perusahaan. Akrual menyebabkan pembentukan nilai akuntansi tidak hanya sekedar nilai riil dari transaksi keuangan, baik yang mengalir masuk dan keluar namun juga menyertakan suatu pencatatan mengenai nilai dari transaksi yang menimbulkan kemungkinan dari masuk dan keluarnya uang di masa mendatang, baik yang disebabkan oleh transaksi dimasa lalu dan di masa sekarang. Dalam kaitan ketidakpastian di masa mendatang inilah kemudian akuntan menerapkan konservatisme yang mengantisipasi ketidakpastian aliran uang masuk dan keluar di masa mendatang karena penggunaan dasar akrual di dalam akuntansi.
Konservatisme secara mudah dapat diinterpretasikan sebagai kehati-hatian (prudent) dengan kehati-hatian maka kecenderungan yang ada di dalam laporan adalah pesimisme. Akuntansi tidak lagi mengungkapkan secara tepat true value tapi cenderung menetapkan angka laporan yang lebih rendah dari true valuenya.
Pembahasan ini menjadi penting karena saat ini akuntansi mulai menerapkan fair value accounting dalam penentuan nilai dalam akun-akun akuntansi yang dilaporkan, dimana, sesuai dengan salah satu kualitas yang terkandung dari karakteristik faithful representation dalam kualitas fundamental akuntansi yaitu netralitas, maka konservatisme ditengarai tidak menghasilkan nilai yang netral selain kecurigaan bahwa bukan true value yang akhirnya dilaporkan.
Dalam pelaporan keuangan yang menjadi salah satu fokus utama adalah informasi laba yang menyaediakan informasi mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan selama periode tertentu. Investor dan kreditor sebagai pengguna laporan keuangan dapat menggunakan informasi laba dan komponennya untuk membantu mereka dalam:
1. Mengevaluasi kinerja perusahaan.
2. Mengestimasi daya melaba dalam jangka panjang.
3. Memprediksi laba di masa yang akan datang.
4. Menaksir risiko investasi atau pinjaman kepeda perusahaan.
Untuk mewujudkan manfaat tersebut, maka diperlukan prinsip-prinsip akuntansi yang akan menghasilkan angka-angka yang relevan dan reliable (Juanda, 2007). Salah satu prinsip yang dianut dalam proses pelaporan keuangan adalah prinsip konservatisme. Konservatisme merupakan reaksi yang berhati-hati atas ketidakpastian yang ada agar ketidakpastian dan risiko yang berkaitan dalam situasi bisnis dapat dipertimbangkan dengan cukup memadai. Ketidakpastian dan risiko tsb harus dicerminkan dalam laporan keuangan agar nilai prediksi dan kenetralannya dapat diperbaiki. Pelaporan yang didasari kehati-hatian akan memberi manfaat yang terbaik untuk semua pemakai laporan keuangan (Almilia, 2004).
B. Pengertian Prinsip Konservatisme
Watts (2003) mendefinisikan konservatisme sebagai prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aktiva dan laba serta segera mengakui kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan yang terjadi. Penerapan prinsip ini mengakibatkan pilihan metode akuntansi ditujukan pada metode yang melaporkan laba atau aktiva yang lebih rendah serta melaporkan hutang lebih tinggi. Dengan demikian, pemberi pinjaman akan menenrima perlindungan atas risiko menurun (downside risk) dari neraca yang menyajikan aset bersih dan laporan keuangan yang melaporkan berita buruk secara tepat waktu (Haniati dan Fitriany, 2010). GIvoly dan Hayn (2000) mendefinisikan konservatisme sebagai pengakuanawal untuk biaya dan rugi serta menunda pengakuan untuk pendapatan dan keuntungan.
Definisi resmi dari konservatisme terdapat dalam Glosarium Pernyataan Konsep No.2 FASB (Financial Accounting Statement Board) yang mengartikan konservatisme sebagai reaksi yang hati-hati (prudent reaction) dalam menghadapi ketidakpastian yang melekat pada perusahaan untuk mencoba memastikan bahwa ketidakpastian dan risiko dalam lingkungan bisnis yang sudah cukup dipertimbangkan. Juanda (2007) menyatakan bahwa konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika diterapkan akan menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung rendah, serta angka-angka biaya dan hutang cenderung tinggi. Kecenderungan seperti itu terjadi karena konservatisme menganut prinsip memperlambat pengakuan pendapatan serta mempercepat pengakuan biaya. Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement).
Berdasarkan definisi tersebut maka praktek konservatisme akuntansi sering memperlambat atau menunda pengakuan pendapatan yang mungkin terjadi, tetapi mempercepat pengakuan biaya yang mungkin terjadi. Sementara itu dalam penilaian aset dan hutang, aset dinilai pada nilai paling rendah dan sebaliknya, hutang dinilai pada nilai yang paling tinggi.
C. Prinsip Konservatisme
Prinsip konservatisme adalah konsep yang mengakui beban dan kewajiban sesegera mungkin meskipun ada ketidakpastian tentang hasilnya, namun hanya mengakui pendapatan dan aset ketika sudah yakin akan diterima. Berdasarkan prinsip konservatisme, jika ada ketidakpastian tentang kerugian, Anda harus cenderung mencatat kerugian. Sebaliknya, jika ada ketidakpastian tentang keuntungan, Anda tidak harus mencatat keuntungan. Dengan demikian, laporan keuntungan cenderung menghasilkan jumlah keuntungan dan nilai aset yang lebih rendah demi untuk berjaga-jaga.
Prinsip konservatisme juga dapat diterapkan dalam membuat perkiraan. Misalnya, jika bagian penagihan piutang yakin bahwa sekelompok piutang akan memiliki 3% piutang tidak tertagih, namun bagian penjualan cenderung yakin pada angka 5% lebih tinggi karena situasi penjualan industri yang lesu, angka 5% yang diambil saat membuat penyisihan piutang ragu-ragu, kecuali ada bukti kuat untuk sebaliknya. Contoh lain dari penerapan prinsip konservatisme adalah LOCOM, di mana persediaan dicatat dengan harga yang terendah antara beban pembeliannya atau harga pasar saat ini.
Prinsip konservatisme juga dapat diterapkan dalam membuat perkiraan. Misalnya, jika bagian penagihan piutang yakin bahwa sekelompok piutang akan memiliki 3% piutang tidak tertagih, namun bagian penjualan cenderung yakin pada angka 5% lebih tinggi karena situasi penjualan industri yang lesu, angka 5% yang diambil saat membuat penyisihan piutang ragu-ragu, kecuali ada bukti kuat untuk sebaliknya. Contoh lain dari penerapan prinsip konservatisme adalah LOCOM, di mana persediaan dicatat dengan harga yang terendah antara beban pembeliannya atau harga pasar saat ini.
D. Konservatisme Akuntansi dalam PSAK
PSAK sebagai standar pencatatan akuntansi di Indonesia menjadi pemicu timbulnya penerapan prinsip konservatisme. Pengakuan prinsip konservatisme di dalam PSAK tercermin dengan terdapatnya berbagai pilihan metode pencatatan di dalam sebuah kondisi yang sama. Hal tersebut akan mengakibatkan angka-angka yang berbeda dalam laporan keuangan yang pada akhirnya akan menyebabkan laba yang cenderung konservatif. Beberapa pilihan metode pencatatan di dalam PSAK yang dapat menimbulkan laporan keuangan konservatif diantaranya adalah:
1. PSAK No. 14 tentang persediaan yang menyatakan bahwa perusahaan dapat mencatat biaya persediaan dengan menggunakan salah satu metode yaitu FIFO (first in first out) atau masuk pertama keluar pertama dan metode rata-rata tertimbang.
2. PSAK No. 16 tentang aktiva tetap dan aktiva lain-lain yang mengatur estimasi masa manfaat suatu aktiva tetap. Estimasi masa manfaat suatu aktiva didasarkan pada pertimbangan manajemen yang berasal dari pengalaman perusahaan saat menggunakan aktiva yang serupa. Estimasi masa manfaat tersebut haruslah diteliti kembali secara periodik dan jika manajemen menemukan bahwa masa manfaat suatu aktiva berbeda dari estimasi sebelumnya maka harus dilakukan penyesuaian atas beban penyusutan saat ini dan di masa yang akan datang. Standar ini memungkinkan perusahaan untuk mengubah masa manfaat aktiva yang digunakan dan dapat mendorong timbulnya laba yang konservatif.
3. PSAK No. 19 tentang aset tidak berwujud yang berkaitan dengan metode amortisasi. Dijelaskan bahwa terdapat beberapa metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah penyusutan suatu aset atas dasar yang sistematis sepanjang masa manfaatnya.
4. PSAK No. 20 tentang biaya riset dan pengembangan yang menyebutkan bahwa alokasi biaya riset dan pengembangan ditentukan dengan melihat hubungan antara biaya dan manfaat ekonomis yang diharapkan perusahaanakan diperoleh dari kegiatan riset dan pengembangan. Apabila besar kemungkinan biaya tsb akan meningkatkan manfaat ekonomis di masa yang akan datang dan biaya tsb dapat diukur secara handal, maka biaya-biaya tsb memenuhi syarat untuk diakui sebagai aktiva.
Dengan adanya pilihan metode tersebut akan berpengaruh terhadap angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung konsep konservatisme ini akan mempengaruhi hasil dari laporan keuangan tsb. Penerapan konsep ini juga akan menghasilkan laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi laba untuk memprediksi aliran kas perusahaan pada masa yang akan datang (Sari dan Adhariani, 2009).
E. Konservatisme Akuntansi dalam IFRS
Konservatisme akuntansi tidak menjadi prinsip yang diatur dalam standar akuntansi Internasional (IFRS). Hellman (2007) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan akuntansi konvensional, IFRS (International Financial Reporting Standards) berfokus pada pencatatan yang relevan sehingga menyebabkan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap estimasi dan berbagai judgement. Dalam hal ini, kebijakan yang ditetapkan IASB (International Accounting Standard Board) tsb menyebabkan semakin berkurangnya penekanan atas penerapan akuntansi konservatif secara konsisten dalam pelaporan keuangan berdasarkan IFRS.
Khairina (2009) menyebutkan ada beberapa poin dalam IFRS mengenai semakin berkurangnya penekanan atas penggunaan akuntansi konservatif dalam IAS (International Accounting Standard) antara lain:
1. IAS 11 (Zero Profit Recognition for Fixed-Price Contracts), versi terbaru dari IAS mulai berlaku sejak tahun 1995. Standar ini mengatur mengenai penggunaan POC (Percentage of Completion) untuk pengakuan pendapatan dan biaya dalam kontrak konstruksi sebagai pengganti dari metode CC (Complete Contract). Hellman (2007) menyatakan bahwa metode CC dinilai lebih konservatif dibandingkan metode POC karena dalam metode CC dinilai lebih konservatif dibandingkan metode POC karena dalam POC karena dalam metode CC nilai keuntungan yang dapat diakui perusahaan akan mengalami understatement selama proses kontrak dan akan mengalami overstatement setelah kontrak selesai. Hal ini disebabkan perusahaan hanya boleh mengakui pendapatan dari kontrak konstruksi tsb setelah proses konstruksi selesai. Sementara dalam metode POC perusahaan dapat mengakui pendapatan berdasarkan estimasi persentase penyelesaian kontrak pada tanggal neraca.
2. IAS 12 (Deferred Tax Asset), mengatur mengenai pengakuan deferred tax asset pad neraca jika meungkin (probable) terdapat future taxable profit. Sebelum dikeluarkannya IAS 12 tsb, deferred tax asset tidak diakui di dalam neraca karena terdapat ketidakjelasan atas perolehan taxable profit di masa yang akan datang. Pemberlakuan efektif IAS 12 tsb mempersentasikan perlakuan akuntansi yang kurang konservatif (Hellman, 2007).
3. IAS 16 (Property, Plant, and Equipment), mengatur bahwa dalam pengukuran nilai aktiva tetap, perusahaan dapat memilih penggunaan metode biaya atau revaluasi. Metode biaya menggunakan metode yang telah lama digunakan dalam akuntansi konvensional, sementara metode revaluasi yang mensyaratkan perusahaan untuk memperbarui aktiva secara periodik atas nilai pasarnya dinyatakan sebagai metode kurang konservatif. Dalam metode akuntansi ini, perusahaan dapat mengakui peningkatan nilai aktiva sebagai penambahan atas modal atau peningkatan nilai pendapatan jika penurunan nilai pada periode sebelumya telah diakui sebagai biaya
4. IAS 38 (Capitalism of Development Cost), pertama kali dikeluarkan pada tahun 1998, kemudian diikuti dengan revisinya yang berlaku sejak tanggal 31 maret 2004. Berdasarkan IAS 38, aktiva tidak berwujud yang berasal dari aktivitas pengembangan diakui sebagai aktiva jika telah memenuhi beberapa syarat tertentu. Sebelum diberlakukannya standar ini, pembebanan langsung menjadi acuan utama dalam perlakuan akuntansi yang kurang konservatif.
F. Perbandingan IFRS dan PSAK
1. Cakupan Pengaturan
Desain IFRS diperuntukkan untuk entitas yang bersifat profit oriented SME (small medium enterprise). IFRS belum mengatur standar akuntansi untuk perusahaan berbasis syariah. Sedangkan SAK diperuntukkan bagi entitas yang bersifat profit oriented, nirlaba, UKM (Usaha Kecil Menengah) yang disebut SAK ETAP, dan perusahaan berbasis syariah. Berikut ini merupakan perbandingan antara IFRS dan PSAK:
2. Kerangka Dasar
IFRS memungkinkan penilaian aktiva berwujud dan tidak berwujud menggunakan nilai wajar. laporan keuangan harus disajikan dengan basis true and fair (IFRS framework). SAK sama seperti IFRS, PSAK memberikan alternatif penggunaan nilai wajar untuk menilai kembali aktiva tetap berwujud dan tidak berwujud. Laporan keuangan disajikan dengan fairly stated (kerangka dasar par.46)
3. Pernyataan Kepatuhan akan Standar
IFRS entitas harus membuat pernyataan eksplisit tentang kepatuhan akan standar IFRS. SAK entitas tidak harus membuat pernyataan kepatuhan akan SAK.
4. Prinsip Ketetpatan Waktu (timeliness)
IFRS Tidak diatur secara khusus kapan entitas menyajikan laporan keuangan. SAK Dianjurkan agar entitas menyajikan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.
5. Basis Standar
IFRS menganut standar akuntansi berbasis prinsip untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbandingan laporan keuangan antar entitas secara global. SAK menganut standar akuntansi berbasis aturan.
6. Prinsip Konservatif
IFRS tidak lagi mengakui prinsip konservatif namun diganti dengan prinsip kehati-hatian (prudence). SAK masih mengakui prinsip konservatif.
G. Pemahaman Konsep Konservatisme Akuntansi
G. Pemahaman Konsep Konservatisme Akuntansi
Sebelum mengkaji lebih lanjut maka harus dimengerti dahulu mengenai konsep dari konservatisme itu sendiri. Berikut ini adalah definisi yang diungkapkan dalam penelitian mengenai konservatisme. Statement of Concepts No. 2 FASB mendefinisikan konservatisme sebagai kehati-hatian dalam merespon ketidakpastian dengan memastikan bahwa ketidakpastian dan risiko bisnis sudah dipertimbangkan secara memadai (“a prudent reaction to uncertainty to try to ensure that uncertainties and risks inherent in business situations are adequately considered”).
Terlihat bahwa konservatisme akuntansi dianggap sebagai suatu reaksi yang menunjukkan kehati-hatian dalam mengantisipasi ketidakpastian dimasa mendatang. Definisi lainnya dapat dilihat dari penjelasan Hendriksen (1982) yang mendefinisikan konservatisme dengan―melaporkan nilai yang terendah dari beberapa nilai yang mungkin untuk aktiva dan pendapatan serta nilai yang tertinggi dari beberapa nilai yang mungkin untuk kewajiban dan beban yang menyiratkan bahwa beban harus diakui sedini mungkin dan pendapatan diakui selambat mungkin.
Lalu, Smith dan Skousen (2007) menyatakan bahwa konservatisme didefinisikan sebagai sebuah aturan, ketika terdapat keragu-raguan akan beberapa alternatif pilihan pelaporan akuntansi, maka hendaklah dipilih alternatif yang paling memberikan dampak paling rendah terhadap ekuitas pemilik. Kemudian, konsep yang paling sederhana yang mengungkapkan konservatisme adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Bliss (1924) yang menyatakan: ―anticipate no profit, but anticipate all losses‖ (jangan antisipasi profit sama sekali, namun antisipasi semua kerugian). Sedangkan Watts (2003) yang menguraikan secara gamblang mengenai konservatisme mendefinisikannya dengan ―differential verifiability required for recognition of profits versus losses‖ (perbedaan dari tingkat verifikasi yang dibutuhkan untuk mengakui profit dibandingkan terhadap mengakui kerugian).
Sedangkan konsep konservatisme yang lain, yang kemudian dibedakan sebagai conditional conservatism adalah yang diungkapkan oleh Basu (1997) mendefinisikan dengan: ―the accountant’s tendency to require a higher degree of verification to recoqnize good news as gains than to recognize bad news as losses.‖ (kecenderungan seorang akuntan yang membutuhkan suatu tingkat verifikasi yang lebih tinggi untuk mengakui berita-berita baik sebagai hal yang menguntungkan dibandingkan dengan mengakui berita buruk sebagai hal yang merugikan).
Pemahaman lain yang juga mengungkapkan konsep konservatisme yang sama dengan cara yang berbeda adalah Godfrey et al. (2010), yaitu ―Recording expenses, losses and liabilities as soon as possible, eventhough the evidence may be weak; however, it requires that revenues, gains and assets be supported by more substantial evidence before they are recorded‖ (mencatat beban, kerugian dan kewajiban secepat mungkin, walaupun bukti yang dimiliki mungkin lemah; namun bagaimanapun juga, untuk mencatat pendapatan, keuntungan dan aset harus didukung dengan bukti yang lebih subtansial sebelum dapat dilakukan pencatatan).
Masih cukup banyak definisi yang kemudian dapat diacu dari artikel-artikel jurnal ilmiah, yang kemudian bila disederhanakan dan dicoba untuk dipahami esensinya maka dapat disajikan sebagai berikut dimana konservatisme dikonsepkan sebagai sebuah kriteria seleksi diantara beberapa prinsip akuntansi yang mendorong minimisasi pelaporan kumulatif laba dengan memperlambat pengakuan pendapatan, mempercepat pengakuan beban, menurunkan penilaian asset, dan menaikkan penilaian kewajiban (Stickney dan Weil 1994 dalam Givoly dan Hayn 2000). Secara khusus penelitian yang dilakukan oleh Givoly dan Hayn (2000) menggunakan definisi ini karena dianggap dapat mengakui pilihan akuntansi dalam periode multidimensi secara tepat yang menyebabkan derajat tingkatan konservatisme akuntansi.
Bila konservatisme disederhanakan sebagai suatu tuntutan untuk melakukan verifikasi yang asimetri bagi gains dan losses maka dengan pemahaman ini dapat diinterpretasikan bahwa tingkatan konservatisme akan semakin besar seiring dengan semakin tingginya perbedaan dalam tingkatan verifikasi yang dituntut untuk memverifikasi gains melawan losses. Tentu saja dalam hal ini memverifikasi gains (keuntungan) harus lebih ketat dibanding memverifikasi hal-hal yang menyebabkan losses (kerugian).
H. Kontroversi dalam Konservatisme
Pemikiran serta bukti empiris menunjukkan masih terdapat kontroversi mengenai manfaat angka-angka akuntansi yang konservatif. Terdapat dua pandangan yang bertentangan mengenai manfaat konservatisma akuntansi, yaitu:
1. Akuntansi Konservatif Bermanfaat
Konservatisma tetap digunakan dalam praktik akuntansi dan disiarkan untuk tetap digunakan. Givoly dan Hayn (2000) menunjukkan terjadi peningkatan konservatisma di Amerika Serikat. Akuntansi konservatif akan menguntungkan dalam kontrak-kontrak antara pihak-pihak dalam perusahaan maupun dengan luar perusahaan. Konservatisma dapat membatasi tindakan manajer untuk membesar-besarkan laba serta memanfaatkan informasi yang asimetri ketika menghadapi klaim atas aktiva perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Ahmed (2002) membuktikan bahwa konservatisma dapat berperan mengurangi konflik yang terjadi antara manajemen dan pemegang saham akibat kebijakan deviden yang diterapkan oleh perusahaan. Untuk menghindari konflik, manajemen cenderung menggunakan akuntansi yang lebih konservatif. Penelitian mengenai manfaat konservatisma telah dilakukan di Indonesia diantaranya Mayangsari dan Wilopo (2000) menggunakan C-Score sebagai proksi konservatisma membuktikan bahwa konservatisma memiliki value relevance, sehingga laporan keuangan perusahaan yang menerapkan prinsip konservatisma dapat mencerminkan nilai pasar perusahaan.
2. Akuntansi Konservatif Tidak Bermanfaat
Meskipun prinsip konservatisma telah diakui sebagai dasar laporan keuangan di Amerika Serikat, namun beberapa peneliti masih meragukan manfaat konservatisma. Staubus (1995) dalam Dewi (2004) berpendapat adanya berbagai cara untuk mendefinisikan dan menginterprestasikan konservatisma merupakan kelemahan konservatisma. Di samping itu, Basu (1997) konservatisma dianggap sebagai sistem akuntansi yang bias. Pendapat ini dipicu oleh definisi akuntansi yang mengakui biaya dan kerugian lebih cepat, mengakui pendapatan dan keuntungan lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai terendah, dan kewajiban dengan nilai yang tertinggi.
Penman dan Zhang (1999; 2000), Basu (1997), Feltham dan Ohlson (1995) memperkirakan bahwa konservatisma menghasilkan kualitas laba yang rendah, dan kurang relevan. Konservatisma mempengaruhi kualitas angka-angka yang dilaporkan di neraca maupun laba dalam laporan laba rugi. Ketika perusahaan meningkatkan jumlah investasi, maka akuntansi konservatif akan menghasilkan perhitungan laba yang lebih rendah dibandingkan akuntansi liberal/optimis. Akuntansi konservatif juga akan menciptakan cadangan yang tidak tercatat, sehingga memungkinkan manajemen lebih leluasa melaporkan angka laba di masa mendatang.
I. Konservatisme Kondisional dan Konservatisme
Non Kondisional Konservatisme umumnya dipahami dalam 2 jenis konservatisme. Penyebutan mengenai 2 jenis konservatisme ini dapat dinamakan berbeda-beda, namun secara konseptual akan mengacu hanya kepada 2 jenis konservatisme saja. Pembedaan akan dua jenis konservatisme, yang pertama kali adalah konservatisme yang diidentifikasi sebagai konservatisme ex ante (unconditional) dan konservatisme ex post (conditional) (Chan et al. 2009). Konservatisme ex ante atau unconditional conservatism adalah konservatisme yang berdasarkan akuntansi, terkait dengan neraca, dan tidak terkait atau bergantung pada terdapatnya berita (baik atau buruk) – artinya konservatisme jenis ini bersifat independen dari adanya berita baik atau berita buruk di lingkungan bisnis perusahaan. Secara akuntansi, konservatisme jenis ini misalnya adalah karena tidak melakukan pencatatan goodwill atau melakukan pembebanan yang relatif cepat terhadap aktivitas R&D, aktivitas pemasaran (periklanan) atau penggunaan metode pengalokasian yang bersifat akselerasi (depresiasi saldo menurun ganda), sehingga akibatnya dapat terjadi nilai buku aset yang understated.
Konservatisme jenis ini menghasilkan earnings yang lebih persistent (konsisten dalam jangka panjang) karena konservatisme yang dilakukan terkandung dalam kebijakan akuntansi yang dilakukan, dimana konsistensi perlakuan akuntansinya relatif lebih konsisten. Di sisi lain, Basu (1997) diakui dalam literatur akuntansi mengenai konservatisme sebagai pencetus konsep konservatisme jenis lainnya yaitu yang bersifat kondisional atau konservatisme ex post. Konservatisme jenis ini adalah konservatisme yang berdasarkan kondisi pasar, terkait dengan earnings dan bergantung pada berita (news dependent), maksudnya adalah bahwa konservatisme bentuk ini merupakan reaksi atau tanggapan dari perusahaan yang melakukan verifikasi yang berbeda sebagai penyerapan informasi yang terdapat dalam lingkungan bisnis yang dapat mempengaruhi earnings perusahaan berkaitan dengan informasi yang dapat berakibat pada terdapatnya gains dan losses ekonomis.
Akuntansi bersifat konservatif bila pengakuan terhadap berita yang mengindikasikan adanya losses ekonomis lebih tepat waktu (timely) dibandingkan pengakuan terhadap gains ekonomis dan dapat juga mencakup suatu tingkat tertentu dari diskresi manajerial yang dilakukan oleh seorang manajer yang tercermin di dalam laporan keuangan karena manajer dapat menentukan timing dan jumlah dari asset write-down atau restructuring charges yang diakui. Dalam hal ini, efek dari konservatisme kondisional terhadap aliran earnings dapat kurang persistent (konsisten dalam jangka panjang) dan lebih sulit bagi investor untuk mendeteksi konservatisme jenis ini.
Dengan demikian pendefinisian akan konservatisme dapat dibagi kedalam 2 bagian besar dan literatur menunjukkan penamaan yang berbeda-beda, yaitu, Ball et al. (2000) mengklasifikasikan konservatisme menjadi income statement conservatism (ex post) dan balance sheet conservatism (ex ante), sementara Pope and walker (1999) menamainya sebagai ex-post dan ex-ante conservatism. Terakhir, Ball and Shivakumar (2005) membedakannya dengan istilah conditional (ex post) dan unconditional conservatism (ex ante).
J. Alasan Konservatisme
Konservatisme yang berusaha untuk memverifikasi hal-hal yang mengakibatkan kerugian (loss) lebih cepat dibandingkan yang menghasilkan keuntungan (gain) dilakukan karena beberapa alasan. Alasan-alasannya adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Hendriksen (1982), bahwa konservatisme dilakukan karena:
1) Kecenderungan untuk bersikap pesimis dianggap perlu untuk mengimbangi optimisme yang mungkin berlebihan dari para manajer dan pemilik sehingga kecenderungan melebih-lebihkan dalam pelaporan relatif dapat dikurangi;
2) Laba dan penilaian (valuation) yang dinyatakan terlalu tinggi (overstatement) lebih berbahaya bagi perusahaan dan pemiliknya daripada penyajian yang bersifat kerendahan (understatement) dikarenakan resiko untuk menghadapi tuntutan hukum karena dianggap melaporkan hal yang tidak benar menjadi lebih besar;
3) Akuntan kenyataannya lebih mampu memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan mampu mengkomunikasikan informasi tersebut selengkap mungkin yang dapat dikomunikasikan kepada para investor dan kreditor, sehingga akuntan menghadapi 2 macam risiko yaitu risiko bahwa apa yang dilaporkan ternyata tidak benar dan risiko bahwa apa yang tidak dilaporkan ternyata benar.
1) Kecenderungan untuk bersikap pesimis dianggap perlu untuk mengimbangi optimisme yang mungkin berlebihan dari para manajer dan pemilik sehingga kecenderungan melebih-lebihkan dalam pelaporan relatif dapat dikurangi;
2) Laba dan penilaian (valuation) yang dinyatakan terlalu tinggi (overstatement) lebih berbahaya bagi perusahaan dan pemiliknya daripada penyajian yang bersifat kerendahan (understatement) dikarenakan resiko untuk menghadapi tuntutan hukum karena dianggap melaporkan hal yang tidak benar menjadi lebih besar;
3) Akuntan kenyataannya lebih mampu memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan mampu mengkomunikasikan informasi tersebut selengkap mungkin yang dapat dikomunikasikan kepada para investor dan kreditor, sehingga akuntan menghadapi 2 macam risiko yaitu risiko bahwa apa yang dilaporkan ternyata tidak benar dan risiko bahwa apa yang tidak dilaporkan ternyata benar.
K. Konsekuensi dan Kritik Terhadap Konsep
Konservatisme Sesuai dengan prinsip matching concept dimana pendapatan (revenue) yang diakui harus selaras dan cocok dengan pengakuan terhadap beban (expense) yang menyebabkan terjadinya atau terdapatnya pendapatan tersebut. Dengan melakukan verifikasi yang berbeda (asimetri) dimana mengakui hal-hal yang merugikan (expense, loss and liability) lebih lemah dan lebih cepat dibandingkan mengakui hal-hal yang menguntungkan (revenue, gain, and asset) maka interpretasi dari matching concept practice menjadi bias karena praktek konservatisme ini. Dalam hal ini konservatisme tidaklah berfokus pada bukti, tapi pada ketakutan akan terjadinya overstatement dari net assets dan profit dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya informasi yang menyesatkan (Godfrey et al 2010).
Konservatisme menyebabkan data yang dilaporkan secara konservatif tidak dapat diinterpretasikan secara tepat, karena kehati-hatian (prudent) yang diterapkan menyebabkan angka yang dilaporkan cenderung angkaangka yang rendah untuk hal-hal yang menguntungkan namun untuk hal-hal yang merugikan maka angka yang dilaporkan cenderung angka-angka yang relatif tinggi walaupun dengan verifikasi yang lemah. Selain itu, tampaknya konservatisme juga bertentangan dengan tujuan untuk mengungkapkan semua informasi yang relevan selain bahwa konservatisme dapat mengurangi keterbandingan (comparability) laporan keuangan karena tidak terdapat standar yang seragam dalam penerapannya.
(Hendriksen, 1982) Konsekuensi penting dari perlakuan asimetris konservatisme terhadap gains dan losses adalah terjadinya persistent understatement of net asset values (persistensi penentuan nilai aset bersih yang lebih rendah dari yang seharusnya) (Watts 2003). Dalam hal ini, otoritas pasar modal, penentu standar dan akademisi mengkritisi konservatisme sebagai sesuatu yang kurang baik karena terdapatnya understatement yang terjadi di periode sekarang dapat mengarahkan terjadinya overstatement nilai earnings di masa mendatang karena terjadinya understatement dari future expenses. Secara ringkas, konservatisme memungkinkan terjadinya pengakuan yang bernilai lebih rendah dari yang seharusnya, dan bila hal ini terjadi maka akan terdapat kemungkinan bahwa bila verifikasi terhadap hal-hal yang menguntungkan telah dilakukan maka suatu saat dimasa yang akan datang pelaporan akan menghasilkan angka-angka yang overstatement (lebih besar dari pada yang seharusnya) karena pada saat tersebut seluruh hal-hal yang menguntungkan telah selesai diverifikasi sekaligus.
Dari hal-hal di atas maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa konsekuensi dari konservatisme ini menimbulkan kritik terhadap konservatisme itu sendiri. Dalam hal ini kritik terhadap konservatisme adalah karena konservatisme memungkinkan prinsip matching concept tidak dilaksanakan secara tepat selain dari kemungkinan terjadinya understatement di periode terkini yang dapat memicu terjadinya overstatement dimasa mendatang. Konservatisme menyebabkan kemungkinkan timbulnya earnings yang non konservatif di masa depan karena estimasi net asset yang cenderung bias ke bawah untuk saat ini karena pengakuan yang bersifat asimetrik tersebut akan mengarahkan terjadinya nilai estimasi earnings yang cenderung bias ke atas pada saat asset tersebut direalisasikan.
L. Alasan Konservatisme Masih Bertahan
Walaupun secara konseptual terasa bahwa konservatisme menghasilkan masalah karena konservatisme menyebabkan akuntansi tidak melaporkan true value secara tepat, namun pada kenyataannya prinsip ini masih diterapkan oleh para akuntan. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan konservatisme masih layak untuk diterapkan dalam akuntansi. Watts (2003) mengungkapkan bahwa konservatisme masih diterapkan karena pengguna masih merasakan benefit dari pelaporan yang konservatif ini.
Adanya penerapan konservatisme akan membatasi prilaku opportunistik manajer dan konservatisme merupakan suatu penyeimbang bila terdapat bias manajerial dengan tuntutan verifikasi yang bersifat asimetris sehingga dengan adanya usaha menyeimbangkan antara tindakan opportunistik manajer dengan kewajiban melakukan verifikasi terlebih dahulu akan menyebabkan pelaporan tidak akan bersikap berlebihan namun juga tidak kerendahan. Di sisi lain, konservatisme dapat meningkatkan nilai perusahaan karena konservatisme membatasi pembayaran kepada pihak manajer ataupun pihak lain (shareholders) yang bersifat opportunistik (alasan contracting). Transaksi-transaksi yang menguntungkan pihak di luar perusahaan harus diverifikasi lebih mendalam berdasarkan konsep konservatisme ini sehingga akan mencegah terjadinya halhal yang opportunistik.
Adanya penerapan konservatisme akan membatasi prilaku opportunistik manajer dan konservatisme merupakan suatu penyeimbang bila terdapat bias manajerial dengan tuntutan verifikasi yang bersifat asimetris sehingga dengan adanya usaha menyeimbangkan antara tindakan opportunistik manajer dengan kewajiban melakukan verifikasi terlebih dahulu akan menyebabkan pelaporan tidak akan bersikap berlebihan namun juga tidak kerendahan. Di sisi lain, konservatisme dapat meningkatkan nilai perusahaan karena konservatisme membatasi pembayaran kepada pihak manajer ataupun pihak lain (shareholders) yang bersifat opportunistik (alasan contracting). Transaksi-transaksi yang menguntungkan pihak di luar perusahaan harus diverifikasi lebih mendalam berdasarkan konsep konservatisme ini sehingga akan mencegah terjadinya halhal yang opportunistik.
Terkait dengan litigasi atau tuntutan hukum maka litigasi lebih kecil kemungkinannya terjadi bagi perusahaan yang meng understate net asset dibanding mengover state net asset (alasan litigation). Masalah-masalahhukum yang umumnya menjerat auditor dan perusahaan karena terjadinya kebangrutan yang merugikan investor umumnya terjadi karena adanya overstatement dan bukan understatement. Selain itu investor cenderung bersifat risk averse sehingga understatement lebih dirasa amandibandingkan overstatement yang berisiko lebih menyesatkan bagi pengambilan keputusan seorang investor dibandingkan kondisi under-statement.
Bagi perusahaan yang mampu menghasilkan profit maka pengakuan yang asimetris antara gains dan losses (menunda pengakuan pendapatan dan mempercepat pengakuan beban) akan mengurangi present value dari pajak (menunda pembayaran pajak) dan meningkatkan nilai perusahaan. Penentu standar akuntansi dan otoritas regulator juga diuntungkan dengan lebih sedikitnya kemungkinan datangnya kritik karena terjadinya perusahaan yang melakukan overstate nilai net asset dibandingkan bila perusahaan melakukan understate dari net assetnya (alasan political cost).
Jadi setidaknya bagi para pengambil keputusan yang menggunakan laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan maka isi dari laporan keuangan yang understated dirasa lebih menguntungkan karena mengurangi risiko kerugian yang lebih besar bila laporan keuangan dilaporkan secara overstatement. Dengan demikian tampaknya pengguna laporan keuangan lebih nyaman dengan terdapatnya konservatisme di dalam akuntansi.
No comments:
Post a Comment