Tujuan utama berdirinya sebuah perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore, 2005). Nilai perusahaan dapat menggambarkan keadaan perusahaan. Nilai perusahaan dapat diartikan sebagai kondisi tertentu yang telah dicapai oleh perusahaan sebagai gambaran kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan dan gambaran prospek perusahaan di masa depan. Nilai perusahaan mencerminkan nilai asset yang dimiliki perusahaan seperti surat-surat berharga perusahaan. Salah satu surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah saham. Bagi perusahaan, memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Nurlela dan Islahudin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value atau yang dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Umumnya terdapat dua pihak yang berkaitan erat dengan nilai perusahaan yaitu manajemen perusahaan dan investor atau pemegang saham. Manajemen perusahaan, dalam hal ini manajer, berkepentingan atas kondisi keuangan dan prospek perusahaan di masa depan. Dalam usaha mencapai tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan nilai perusahaan, manajer harus mampu menginvestasikan dana, mengatur sumber dana dengan optimal, dan mengelola keuangan perusahaan dalam rangka meningkatkan nilai perusahaan (Husnan, 2000).
Investor adalah orang atau lembaga yang melakukan kegiatan investasi. Sebelum melakukan investasi ke sebuah perusahaan maka ada banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh investor. Salah satunya adalah dengan melihat dari sisi nilai perusahaan dimana investor tersebut akan melakukan investasi. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Tingginya nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran secara maksimum kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen aset. Jadi, semakin tinggi harga pasar saham berarti kemakmuran pemegang saham akan semakin meningkat (Bringham Gapenski, 1996). Keadaan ini sangat menarik bagi investor karena dengan permintaan saham yang semakin meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan juga akan mengalami peningkatan.
Dalam analisis fundamental, nilai perusahaan dapat diukur dengan PBV (price book value). PBV merupakan rasio pasar yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya (Ang, 1997). Nilai yang tercantum dalam laporan keuangan disebut sebagai nilai buku. Nilai buku dapat diukur dengan dengan membagi jumlah ekuitas saham terhadap jumlah saham beredar. PBV menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. PBV menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan dengan jumlah modal yang diinvestasikan oleh perusahaan. PBV dihitung dengan membandingkan harga suatu saham dengan nilai buku. PBV yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan. Perusahaan yang baik umumnya mempunyai rasio PBV diatas satu. Semakin tinggi PBV mencerminkan harga saham yang tinggi dibandingkan nilai buku per lembar saham. Semakin tinggi harga saham, semakin berhasil perusahaan dalam menciptakan nilai bagi para pemegang sahamnya.
Meningkatnya perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan telah menarik para peneliti untuk menyelidiki nilai yang tersembunyi pada laporan keuangan perusahaan. Nilai ini merupakan aset tersembunyi milik perusahaan yang mampu meningkatkan nilai perusahaan. Adanya nilai ini mengindikasi adanya informasi mengenai aset tidak berwujud (intangible asset) seperti: human capital, inovasi, teknologi, atau pelanggan yang tidak dimasukkan oleh pihak manajemen ke dalam laporan keuangan dikarenakan kesulitan dalam hal identifikasi maupun pengukurannya.
Menurut Frank, (1999) aset dibedakan menjadi dua, yaitu aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud adalah aset yang nilainya bergantung pada wujud fisiknya, seperti bangunan, tanah, dan mesin. Aset tidak berwujud menunjukkan tuntutan hukum terhadap manfaat di masa depan. Nilai yang dimilikinya tidak berhubungan dengan wujud fisiknya. Aset tidak berwujud dalam hal ini adalah intellectual capital (Chen et.al, 2005). Intellectual capital merujuk pada modal-modal non fisik atau modal tidak berwujud yang terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan oleh perusahaan. Intellectual capital atau modal intelektual diyakini dapat berperan penting dalam peningkatan nilai perusahaan. Perusahaan yang mampu memanfaatkan modal intelektualnya secara efisien, maka nilai perusahaannya akan meningkat.
Firer dan Williams, (2003) mendefinisikan Intellectual capital sebagai kekayaan perusahaan yang merupakan kekuatan dibalik penciptaan nilai perusahaan. Intellectual capital terdiri dari 3 komponen yaitu, Human Capital (HC), Customer Capital (CC), dan Structural Capital (SC). Sigit dan Silvia, (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa human capital, customer capital, dan structural capital memiliki kapasitas yang berbeda-beda dan kontribusi yang berbeda-beda pula. Menurut Kasmawati, (2017) Human capital menjabarkan informasi-informasi yang berkaitan dengan pribadi karyawan dan manajer seperti produktifitas, nilai tambah yang diberikan, pengalaman yang dimiliki, kebijakan untuk pelatihan dan pendidikan, serta kombinasi dari pengetahuan, kemampuan, dan keahlian dari karyawan yang ada pada suatu perusahaan seperti kompetensi, komitmen, motivasi, loyalitas dari karyawan dan lain-lain. Customer capital menjabarkan segmen pasar berdasarkan produk atau bisnis, penjualan yang dijabarkan berdasarkan produk atau bisnis, konsumen baru, konsumen, kebijakan harga, serta hubungan antara perusahaan dengan mitra bisnis seperti pemasok, pelanggan, pemerintah, maupun masyarakat. Structural capital adalah sumber daya perusahaan yang dimilik perusahaan meliputi sistem informasi, teknologi, budaya organisasi, inovasi pada produk baru, pengetahuan tentang distribusi pasar, innovative capital, relational capital, infrastruktur organisasi, dan lain-lain.
Menurut Ulum (2009), metode yang tepat untuk mengukur nilai dari intellectual capital belum bisa ditetapkan. Dalam penelitian Pulic (1998), ukuran penilaian efisiensi nilai tambah intellectual capital meliputi sumber daya fisik (VACA-Value Added Capital Employed), sumber daya manusia (VAHU-Value Added Human Capital), dan sumber daya struktural (STVAStructural Capital Value Added). Informasi mengenai intellectual capital tersebut menjadi informasi yang bernilai untuk diketahui investor karena di era globalisasi ini, adanya pengungkapan intellectual capital di dalam laporan keuangan perusahaan memiliki peran yang cukup besar dalam meningkatkan nilai perusahaan (Pulic, 1998; Bontis, 2001). Semua informasi tersebut sangat penting bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Apabila informasi mengenai nilai perusahaan yang dilaporkan dalam laporan keuangan ini tidak lengkap dan kemudian digunakan oleh investor untuk mengambil keputusan maka akan menjadi bahan pertimbangan yang salah. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk mengidentifikasi intellectual capital agar informasi mengenai nilai perusahaan dalam laporan keuangan tersebut lengkap dan dapat menjadi bahan pertimbangan yang baik bagi investor dalam mengambil keputusan investasi yang tepat.
Menurut Sihotang dan Winata (2008), implementasi intellectual capital merupakan sesuatu yang masih baru, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dilingkungan bisnis global, hanya beberapa negara maju seperti Australia, Amerika, dan Rusia saja yang telah menerapkan konsep ini. Implementasi intellectual capital di Indonesia mulai berkembang terutama setelah pemerintah mengeluarkan PSAK No.19 revisi 2009 (IAI, 2009) tentang aktiva tidak berwujud dan Peraturan No. VIIIc (Bapepam-LK, 2011) tentang pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian aktiva tidak berwujud di pasar modal. Munculnya PSAK ini menarik minat perusahaan untuk mengenal lebih lanjut pentingnya pengungkapan intellectual capital dalam laporan keuangan.
Adanya pengungkapan informasi mengenai intellectual capital juga dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan. Kinerja keuangan mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba selama periode tertentu. Kinerja keuangan perusahaan diukur dengan menggunakan Return On Assets (ROA). ROA mewakili rasio profitabilitas, dimana digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih melalui aset perusahaan. Semakin tinggi ROA, semakin efektif dan efisien manajemen suatu perusahaan sehingga semakin tinggi pula kinerja maka semakin tinggi laba yang diperoleh perusahaan.
Meningkatkan kinerja keuangan merupakan salah satu strategi perusahaan dalam mencapai tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Bagi perusahaan, meningkatkan kinerja keuangan dapat membuat saham perusahaan menarik bagi investor. Jika kinerja keuangan menunjukkan prospek yang baik, maka saham akan diminati oleh investor dan berpengaruh pada harga jual saham tersebut. Biasanya investor melakukan peninjauan dengan melihat rasio keuangan sebagai alat evaluasi investasi. Pemanfaatan seluruh intellectual capital perusahaan akan meningkatkan nilai tambah perusahaan. Adanya rasio ini akan mempererat hubungan antara kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Pengaruh intellectual capital berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, kinerja keuangan positif dan dapat memediasi hubungan antara Intellectual Capital dengan nilai perusahaan seperti penelitian yang dilakukan Hikmah dan Aida (2016), Cicilya dan Mitha (2014), Harahap (2014), Nurnyaman (2015) dan Fadillah (2016). Hal ini menunjukkan bahwa pasar akan memberikan penilaian yang lebih kepada perusahaan yang memiliki kinerja keuangan yang lebih tinggi, kinerja keuangan yang meningkat karena perusahaan mampu mengelola sumber daya intelektualnya dengan efisien sehingga peningkatan kinerja keuangan tesebut akan direspon positif oleh pasar sehingga meningkatkan nilai perusahaan.
Lain halnya dengan yang dilakukan pada penelitian Lestari dan Chandra (2016), Rendy dan Rohman (2013), Suzy (2015), dan Sunarsih dan Mendra (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh intellectual capital tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Namun, intellectual capital berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan dan kinerja keuangan dapat memediasi hubungan antara intellectual capital dengan nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai intellectual capital yang tinggi akan mendorong nilai kinerja keuangan yang lebih besar yang diyakini akan dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Lain halnya dengan yang dilakukan pada penelitian Lestari dan Chandra (2016), Rendy dan Rohman (2013), Suzy (2015), dan Sunarsih dan Mendra (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh intellectual capital tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Namun, intellectual capital berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan dan kinerja keuangan dapat memediasi hubungan antara intellectual capital dengan nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai intellectual capital yang tinggi akan mendorong nilai kinerja keuangan yang lebih besar yang diyakini akan dapat meningkatkan nilai perusahaan.
No comments:
Post a Comment