Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue
yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS); ditularkan nyamuk
Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue
yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus
DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara negara
baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100
negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap
tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,
tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui
gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah
tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan
kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di
Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14 Pada tahun-tahun berikutnya jumlah
kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun
2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian
1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak
154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang
termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus
sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus
sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transexsual dari
nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial
dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan
inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun. Penelitian di Jepara dan Ujung pandang menunjukkan bahwa
nyamuk Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di
masyarakat; tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia
karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi
virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain.
Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang
terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari,
lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue
serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali
akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih
aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk
tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga
dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae.
aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi
menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host
terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia
dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.
Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh
keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang
berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula
bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh,
apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem
imun. Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh
manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang
masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status
gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti
berat badan, tinggi badan, dan lain lain.
Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang
diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan [requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:
[pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain
lain]. Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena
zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang,
otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu
melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu
mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi
menghadapi keadaan darurat. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi
adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45
tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya
munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi,
diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang
memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga
dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk,
kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup,
golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.
Patogenesis DBD Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus
dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada
individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke
dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer
hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada
infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel
dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen
struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam
sel.
Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap
serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus lainnya. Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4
fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody
dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya,
terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki
serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non
netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS .
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan
DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus
infection) dan antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis
infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh
satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka
akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang
terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus
dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi
internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor
necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya
akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.
TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel
pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat
lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di
bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi
infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing
antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi
infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik
terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan
oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat
menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik
immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS,
didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3. Selain kedua teori tersebut, masih ada
teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi
virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2,
DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi
berbeda antara daerah satu dengan lainnya.
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada
penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang
ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita
DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel
pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi
aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang
menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai
mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama
endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat,
hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat
kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolic.
Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue Salah satu
faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan
terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya
KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak
mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air
minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa
menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari
penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar
rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan
pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan
jentik tidak menjadi faktor risiko.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti
dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di
wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi.
Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah
jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta
migrasi ke daerah perkotaan. Vektor Demam Berdarah Dengue Demam berdarah dengue
ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi vektor utama serta Ae.
albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan
di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas 1000 di
atas permukaan laut,10 tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan pada daerah
dengan ketinggian sampai de-ngan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan dapat
ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian 2.200
meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa berukuran
lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.
Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes
dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat
dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae.
aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah
yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae.
albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian
dorsalnya. Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti
queenslandensis dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di
Afrika, sedangkan subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif
menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies
pertama.
No comments:
Post a Comment