Sunday, February 3, 2019

Epidemiologi DBD




Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS); ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi.
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.14 Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun. Penelitian di Jepara dan Ujung pandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain.
Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.
Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem imun. Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain.
Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan [requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: [pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain]. Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.
Patogenesis DBD Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.
Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya. Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS .
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.
TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3. Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya.
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.
Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan. Vektor Demam Berdarah Dengue Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut,10 tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai de-ngan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian 2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.
Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslandensis dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika, sedangkan subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama.

No comments: