Wednesday, October 19, 2016

Sumber Hukum Islam

Alquran Surat An-Nisaa: 59, menyebutkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Alquran, An-nisa’: 59). 

Abdul Wahhab Khalaf menafsirkan ayat tersebut yaitu sebagai berikut. (1) Perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, artinya ialah mengikuti Qur’an dan Al-Sunnah; (2) Perintah untuk taat kepada Ulil Amri di antara Muslim, artinya ialah mengikuti hukum-hukum yang disepakati oleh para Mujtahidin karena mereka itulah Ulil Amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum syariah Islam; (3) Perintah mengembalikan kejadian-kejadian yang dipertentangkan di antara umat Islam kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, artinya perintah mengikuti Al-Qiyas ketika tidak terdapat nash atau ijma karena pengertian (taat dan mengembalikan) dalam masalah ini, artinya ialah mengembalikan masalah yang dipertentangkan itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mengacu pada penafsiran ayat di atas, dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam meliputi: (1) Alquran, (2) Sunnah/Hadis, (3) Ijma, dan (4) Qiyas.

Penetapan sumber hukum Islam juga dapat mengacu pada dialog antara Rasulullah Muhammad SAW dengan Mu’adz bin Jabal:
Pada saat Rasulullah Muhamad SAW hendak mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah bertanya:’’ agaimana engkau memberikan putusan hukum ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian, apabila pengaturanya tidak terdapat dalam Alquran, tidak terdapat dalam hadis dan tidak ada ijtihad para sahabat?. Atas pertanyaan tersebut, kemudian Mu’az bin jabal menjawab bahwa ia akan memutuskan berdasarkan pendapat yang diyakini. Atas jawaban tersebut, Rasulullah menepuk dada mu’adz seraya bersabda:’’Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah merasa puas dengan itu’’. 

Berpedoman pada dialog antara Rasulullah Muhammad SAW dengan Mu’az bin Jabal, dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam meliputi Alquran, Hadis dan ijtihad yang merupakan penggunaan akal pikiran/ al-ra’yu yang hasilya adalah fikih.

Menurut Sulaiman Abdullah, sumber-sumber /dalil-dalil hukum fikih (ushul Fikih) terdiri dari hal-hal berikut. 
1. Berbentuk naqli terdiri dari Alquran Assunah dan dihubungkan dengan keduanya: (a) Ijma, (b) Mazhab sahabat, (c) Syariah terdahulu, dan (d) ‘Urf/adat, karena semua berasaskan pada periwayatan yang sahih (benar). .
2. Berbentuk ‘aqly/ijtihady,terdiri dari: (a) Qiyas, (b) Istihsaan, (c) Maslakhat Mursalah/Istishlah, dan (d) Istihaab.
Hasbi (Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy) mendukung pendapat yang menyatakan bahwa sumber fikih dalam bidang muamalah ialah Alquran, Hadis dan Sunnah Nabi, Qiyas, Ra’yu serta ‘Urf adat kebiasaan . 

a. Alquran
Ada dua sifat yang dianut Alquran dalam masalah hukum. Pertama, hukum yang bersifat tetap dan berlaku sepanjang masa serta bagi seluruh umat. Terhadap hukum yang bersifat tetap ini, Alquran menyebutnya secara rinci. Kedua, hukum yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi kaidah-kaidah hukum. Pedoman ini berasaskan keadilan, persamaan, kebersamaan, musyawarah, perdamaian, pengakuan hak individu, tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial, menyampaikan amanah serta tidak memberatkan. Dari sifat kedua yang dianut Alquran memberi petunjuk syariah ditetapkan bukan untuk membebani pelaksanaan hukum (mukalaf), tetapi guna memberi kemaslahatan bagi manusia sendiri. Tujuannya adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan kehidupan sejahtera bagi manusia yang mengarah pada kebaikan perorangan dan masyarakat. Sifat umum yang dianut oleh Alquran jelas mengandung makna bahwa Alquran membiarkan masalah-masalah mu’amalat, siyasah dan qadla’(peradilan) berkembang menurut kebutuhan masa, keadaan dan tempat. 

b. As-Sunnah
Hasbi memilih pendapat Ahli Ushul yang memformulasikan hadis dengan :’’dengan perbuatan, ucapan dan taqrir (persetujuan/keputusan) nabi yang berhubungan dengan hukum. Antara hadis dan sunnah mengandung makna yang sama, yakni sama-sama semua perbuatan, ucapan dan taqrir Nabi. Perbedaanya, hadis adalah semua peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja terjadi selama hayatnya. Sunnah adalah amaliah Nabi yang mutawatir , khususnya dari segi maknanya. Menurut Hasbi, Rasulullah di samping berfungsi sebagai rasul Allah, juga sebagai manusia biasa. Ucapan atau perbuatan Rasululah dalam kualitasnya sebagai manusia biasa tidak menjadi syariah yang harus ditaati. Hanya ucapan, perbuatan dan taqririnya dalam kualitasnya sebagai Rasul yang memang berkewajiban menyampaikan wahyu dan menjelaskan syariah yang wajib diikuti.

Sunah ialah semua perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah SAW yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Pengertian tersebut menunjukan adanya 3 bentuk sunnah, yaitu Qauliyah (berupa perkataan), Fi’liyah (berupa perbuatan) dan Taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan orang lain). Contoh sunnah Qauliyah misalnya, hadis yang menyatakan bahwa amal kebaikan itu hendaklah didahului dengan niat dan seseorang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Sunnah Fi’liyah misalnya, ketentuan tentang shalat, haji, keharusan menggunakan saksi dalam berperkara dan sebagainya. Sunnah taqririyah, misalnya, persetujuan terhadap pernyataan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman, ia akan memutuskan perkara dengan ijtihad bira’yi apabila tidak ditemui petunjuk dalam Alquran dan Al-Hadis.

c. Ijma
Ijma adalah konsensus atau permufakatan terhadap penetapan hukum. Dasar yang melahirkan ijma adalah permusyawaratan Nabi dalam mengambil keputusan yang bersifat duniawi, seperti kasus tawanan perang badar, melakukan musyawarah dengan para sahabat. Dengan menggunakan ijma’ sebagai sumber hukum, fikih dapat terus diperkaya. 

Kehujahan ijma adalah Alquran An-nisaa: 59). Berkaitan dengan kata ’’Ulil Amri’’, sebagaimana tersebut dalam Alquran, Surat An-Nisa: 59: Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa penertian Ulil Amri agamawi adalah para mujtahid dan ahli fatwa agama . Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri dalam konteks ini adalah Ulama. Menurut Abdul Wahab Khalaf, Ulil Amri diartikan sebagai mujtahid yang telah mengadakan Ijma’ atas suatu hukum dan hukum yang telah ditetapkan harus ditaati.

Ijma’ menurut syara’ dalam pandangan jumhur adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan dengan masa setelah wafat Nabi tentang suatu hukum syara’ yang amali. Menurut Jumhur Ulama Ijma’ hanya terwujud apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur berikut. 

(1) Bersepakat para mujtahid. (2) Semua mujtahid tersebut bersepakat, tak seorangpun yang berpendapat lain. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul. (3) Kesepakatan mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak mesti disepakati oleh mutjahid berikutnya. (4) Kesepakat tersebut terjadi setelah nabi Wafat; (5) Masing-masing mujtahid memberikan pendapatnya dan mendapat persetujuan pada saat peyimpulan. (6) Kesepakatan tersebut diambil secara bulat dan tidak ada pendapat ketiga.

d. Qiyas dan Ra’yu.
Qiyas menduduki peringkat keempat dalam sumber hukum Islam. Maknanya adalah, qiyas baru digunakan apabila dalam Alquran, hadis dan Ijma’ tidak ditemukan. Qiyas tidak dapat dijadikan hujjah syariah dalam masalah ibadah badaniah, apalagi masalah haram dan halal. Manurut Hasbi, makna Ra’yu pada masa sahabat ialah:’’pilihan hati karena dirasa benar, setelah direnungkan dan dipikirkan serta dicari mana yang benar terhadap hal yang betentangan dalilnya atau tidak diperoleh nash baginya’’. Manurut Hasbi, qiyas yang berlandaskan maslhahat mursalah seperti konsep Malik pada asalnya sama maknanya dengan ra’yu yang berlandaskan istihsan (kebaikan berasaskan keadilan) seperti konsep Abu Hanifah.

Qiyas artinya menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan benda lain yang menyamainya, misalnya mengukur baju dengan meteran. Artinya mengukur bagian-bagianya dengan meteran. Juga dikatakan Qiyas ialah menyamakan karena mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan di antara dua benda tersebut. Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nasnya dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya. 

Menurut ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan suatu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash. 

Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa semua hukum syara’ yang dibawa oleh nash itu, diisyaratkan untuk mewujudkan kemshlahatan/kepentingan manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk katagori yang tak terdapat jalan bagi akal mencari kemashalhatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh penetapanya, seperti hukum ibadah, hukum ini disebut ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaannya menurut ketentuan yang dibawa oleh nash. Akan tetapi apabila hukum-hukum yang dibawa nash termasuk tujuanya dan illat yang melandasinya, subjek hukum (mukalaf) wajib melaksanakan/memperlakukanya pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuan syara’ menetapkanya serta mengetatui illat yang jelas yang dijadikan syara’ sebagai hubungan hukum, karena di dalam hubungan itulah terwujud kemashlahatan.

Penetapan Qiyas dan Ra’yu sebagai sumber hukum Islam, di dalamnya dibicarakan tentang penafsiran terhadap teks baik Alquran maupun Hadis. Penafsiran adalah pemahaman seseorang terhadap teks, sehingga antara orang yang satu dengan orang yang lain mungkin terdapat persamaan dan mungkin juga sebaliknya. Hal ini akan terus berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas.

Menurut Anshori, LAL dalam perspektif ulumul Quran, setidaknya ditemukan dua terminologi penafsiran, yaitu tafsir bi al-mat’tsur dan tafsir bi al-ra’yi untuk yang terahir terkait dengan kedudukan Ra’yu sebagai sumber hukum Islam: penulis). Tafsir bi al-ma’tsur menurut Anshori, LAL yang bersumber dari al-Zarqani diartikan sebagai tafsir dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir Alquran dengan Alquran hadis, pendapat sahabat atau tabi’in. Tafsir bi al-ra’yi menurut Anshori, LAL yang bersumber dari Abd al-Rahman al-Ak adalah upaya menyikap isi kandungan Alquran dengan Ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal. Model penafsiran yang pertama, menurut Anshori tidak menimbulkan masalah (perbedan pendapat) karena sumber tafsir bi al-ma’tsur diyakini sangat otoritatif yakni Alquran, hadis, pendapat sahabat atau tabi’in. Untuk penafsiran yang kedua, menimbulkan pro dan kontra. Dengan mengacu pada berbagai sumber, kata al ra’yu menurut Anshori diartikan beragam.Al-Ra’yu ada yang mengartikan sebagai keyakinan dan ada juga yang mengartikan sebagai ijtihad. Dengan demikian menurut Anshori, dalam proses penafsiran al-ra’yi sejatinya tidak hanya rasio/logika yang dijadikan titik tolak penafsiran, tetapi juga ada unsur lain yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir yaitu penguasaan ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab dan aspek-aspek dilalahnya, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at, syari’r-sya’ir arab, jahili dan ain-lain. 

Dalam pandangan Abdul Mustaqim, kebenaran Alquran adalah mutlak dan kebenaran tafsir Alquran bersifat relatif dan tentatif. Tafsir adalah respons mufasir ketika memahami teks kitab suci, situasi dan problem sosial yang dihadapi. Jadi, tidak ada tafsir yang objektif. Pada saat mufasir menafsirkan ayat Alquran, menurut Abdul Mustaqim ia sudah memiliki prior text, yakni latar belakang keilmuan, konteks sosial politik, kepentingan, dan tujuan penafsiran. Dengan demikian, hasil penafsiran tidak sama dengan Alquran itu sendiri. Penafsiran tidak hanya mereproduksi makna teks, tetapi juga memproduksi makna baru teks. Dengan ide-ide kreatif dan inovatif dalam menafsirkan Alquran menjadi sangat niscaya. 

e. Urf
Adat kebiasaan (“urf’’) yang dijadikan sumber hukum, bukan hanya adat kebiasaan yang terdapat di Arab. Adat istiadat di luar Arab yang dipandang baik oleh akal dan diterima oleh tabi’at manusia yang sejahtera, dapat dijadikan landasan hukum. Syariah Islam mengakui “Urf’’ sebagai sumber hukum menurut Hasbi karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peran penting dalam mengatur lalulintas hubungan dan tertib sosial di kalangan anggota masyarakat. Hasbi memberikan contoh Rasulullah membiarkan Al-Abbas ibn Abdul Muthalib menerima laba dari modal yang diputar oleh orang lain karena hak itu sudah menjadi urf bagi masyarakat Mekah. Urf yang dijadikan sumber hukum adalah urf yang tidak bertentangan dengan aqidah, tauhid, dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Urf adalah sesuatu yang telah sering dikenal manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatanya dan atau hal yang meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Menurut istilah syara’, tidak ada perbedaan di antara urf dan adat. Maka, urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling mengerti manusia tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa shighot yang diucapkan.

Terdapat keterkaitan antara hukum dan kenyataan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Islam melegalisasi kenyataan-kenyataan tersebut sebagai sumber hukum (Urf) sepanjang dalam praktiknya tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Maknanya adalah ada ketergantungan antara hukum dan kenyataan sosial yang oleh para sosiologi dispesifikasikan sebagai kajian sosiologi hukum. Harus diakui, secara teknis terkadang terlihat tidak ada keterkaitan antara hukum dan sosial. Akan tetapi dalam praktik keberlakuan hukum berdampak pada kondisi sosial. Tom R. Tyler, pernah menyatakan:
’’Sometimes, the legal rule in question does not really implicate a social norms but instead implicates a socially shared attitide about what justice reques.In these situations, it is possible to measure empirically the socially shared attutitude and then conform the law to the consensus (assuming that there is no independen reason to think that the consensus makes for bad legal policy).. 

Pernyataan Tom R. Tyler, dapat dipahami, ’’Kadang-kadang aturan hukum dalam pertanyaan tidak berpengaruh nyata pada norma-norma sosial tetapi berpengaruh dalam perilaku sosial mengenai apakah permintaan keadilan. Pada situasi ini mungkin langkah nyata,bagian dari sikap sosial dan penyesuaian hukum sesuai dengan kesepakatan (asumsi bahwa di sana tidak ada kebebasan berargumen dan berpikir bahwa kesepakatan membuat kebijakan hukum yang tidak baik ’’.

No comments: