BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Dengan berkembang pesatnya instrumen keuangan, berkembang
pula standar akuntansi kompleks dan perusahaan-perusahaan di Indonesia dituntut
untuk segera mengimplementasikan, bank diwajibkan untuk mulai
mengimplementasikannya dari 1 Januari 2010, sedangkan non-bank diwajibkan untuk
mulai mengimplementasikannya dari tahun 2012.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah menerbitkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 50 revisi 2006 mengenai
Instrumen Keuangan “ Penyajian dan Pengungkapan” dan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan
“Pengakuan dan Pengukuran” dimana PSAK 50 dan PSAK 55 tersebut akan berlaku
efektif mulai 1 Januari 2010. PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi
mengacu pada International Accounting Standard (IAS) 39 mengenai Recognition and Measurement of Financial
Instruments dan IAS 32 mengenai Presentation
and Disclosures of Financial Instruments. PSAK 50 dan 55 diharapkan dapat
mendorong proses harmonisasi penyusunan dan analisis laporan keuangan. Itu juga
akan mendorong terciptanya market
discipline.
International Financial Reporting Standard (IFRS) adalah
Standar, Interpretasi dan Kerangka yang diadopsi oleh International Accounting
Standard Board (IASB). Standar IFRS lebih dulu dikenal dengan nama
International Accounting Standard (IAS). IAS diterbitkan antara tahun 1973 dan
2001 oleh International Accounting Standard Comittee (IASC). Pada tanggal 1
April 2001, yang baru mengambil alih IASB dari IASC yang bertanggung jawab
untuk menetapkan Standar Akuntansi Internasional. IFRS dianggap sebagai
"berdasarkan prinsip" dalam standar tersebut mereka menetapkan
aturan-aturan yang luas. Standar Pelaporan Keuangan Internasional terdiri dari:
Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) - standar yang dikeluarkan setelah tahun 2001, Standar Akuntansi Internasional (IAS) - standar yang dikeluarkan sebelum 2001, Interpretasi berasal dari International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) - yang dikeluarkan setelah 2001 Standing Interpretations Committee (SIC) - yang dikeluarkan sebelum 2001.
Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) - standar yang dikeluarkan setelah tahun 2001, Standar Akuntansi Internasional (IAS) - standar yang dikeluarkan sebelum 2001, Interpretasi berasal dari International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) - yang dikeluarkan setelah 2001 Standing Interpretations Committee (SIC) - yang dikeluarkan sebelum 2001.
Kewajiban dan modal
merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari laporan keuangan. Terdapat
perubahan teori ekuitas pada kerangka pelaporan keuangan era IFRS dengan PSAK
yang sebelumnya yang mengacu pada US GAAP. Dimana sebelumnya menerapkan teori
kepemilikan, sedangkan IFRS menerapkan pada teori entitas. Sucipto. 2012, proprietary theory adalah aktiva bersih
(aktiva – utang) yang berarti pemilik lebih menekankan pada komponen laba rugi.
Terdapat kekurangan pada teori ini sehingga teori entitas muncul dengan maksud
mengurangi kelemahan- kelemahan yang ada dalam proprietary theory di mana pemilik menjadi pusat perhatian. Namun
demikian, entity theory pada dasarnya
tidak berbeda jauh dengan teori pendahulunya, proprietary theory.
Dalam konteks teori
ini, terdapat dua pandangan yang berbeda walaupun keduanya mengarah kepada
konklusi yang sama, yaitu stewardship atau pertanggungjawaban (accountability).
Versi pertama adalah versi tradisional yang memandang bahwa perusahaan
beroperasi untuk keuntungan pemegang saham, yaitu orang-orang yang menanamkan
dananya dalam perusahaan. Dalam hal ini, entitas bisnis memperlakukan akuntansi
sebagai laporan kepada pemegang saham tentang status dan konsekuensi dari
investasi mereka. Sementara itu versi kedua, yaitu pandangan yang lebih baru
terhadap entity theory, menganggap bahwa sebuah entitas adalah bisnis untuk
dirinya sendiri yang berkepentingan terhadap kelangsungan hidup dan
perkembangannya.
Dalam pelaporan
akuntansi, kewajiban membutuhkan definisi, pengukuran, penilaian dan pengakuan
untuk dapat disajikan dalam laporan keuangan agar laporan keuangan yang
dihasilkan dapat dipahami dan menghasilkan informasi yang dapat digunakan
sebagai pengambilan keputusan oleh semua pihak yang berkepentingan.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana penyajian kewajiban
dan ekuitas menurut IFRS dan SAK ETAP?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Akuntansi Keuangan, penulis juga ingin manambah wawasan tentang Kewajiban
dan Ekuitas khususnya, dan sebagai pengingat di kala lupa bagi pembaca pada
umumnya, serta untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi
disekitar kita terkait pembahasan ini .
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
KEWAJIBAN
Menurut FASB: Kewajiban adalah
pengorbanan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari
keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk mentransfer aset atau
menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain dimasa datang sebagai akibat
transaksi atau kejadian masa lalu.
Definisi FASB digunakan sebagai basis
pembahasan karena definisi tersebut cukup lengkap secara semantik. Artinya
definisi tersebut telah mencakupi berbagai gagasan atau kata kunci yang
terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber–sumber lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kewajiban mempunyai tiga karakteristik utama yaitu:
1. Pengorbanan Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban,
suatu objek harus memuat suatu tugas atau tanggung jawab kepada pihak lain yang
mengharuskan kesatuan usaha untuk melunasi, menunaikan atau melaksanakan dengan
cara mengorbankan manfaat ekonomik yang cukup pasti dimasa datang. Pengorbanan
manfaat ekonomik diwujudkan dalam bentuk transfer atau penggunaan aset kesatuan
usaha.
Transfer manfaat ekonomik kepada pemilik
(pemegang saham) tida termasuk dalam pengertian pengorbanan sumber ekonomik
masa datang yang membentuk kewajiban karena untuk menjadi kewajiban pengorbanan
tersebut harus bersifat memaksa dan bukan atas dasar kebijakan atau keleluasaan
manajemen untuk memutuskan baik dalam hal jumlah rupiah maupun dalam saat
transfer.
Secara umum, keharusan mengorbankan
sumber ekonomik masa datang tidak dapat menjadi kewajiban kalau keharusan
tersebut bersifat terbuka atau tidak pasti. Kesatuan usaha tidak mempunyai keharusan
untuk mentransfer aset ke pemilik kecuali dalam hal kesatuan usaha dilikuidasi.
Walaupun secara konseptual ekuitas juga merupakan kewajiban bagi perusahaan,
pengorbanan sumber ekonomiknya tidak cukup pasti baik dalam jumlah maupun saat
sehingga kewajiban harus dibedakan dan dilaporkan secara terpisah dengan
ekuitas.
2. Keharusan Sekarang
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban,
suatu pengorbanan ekonomik masa datang harus timbul akibat keharusan sekarang.
Pengertian “sekarang” dalam hal ini mengacu pada dua hal : waktu dan adanya.
Waktu yang dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca). Artinya: pada tanggal
neraca kalau perlu atau kalau dipaksakan secara yuridis, etis, atau rasional
pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan itu telah ada.
Keharusan kewajiban mencakupi keharusan
kontraktual, keharusan konstruktif atau bentukan, keharusan demi keadilan dan
keharusan bergantung atau bersyarat.
Ø Keharusan
Kontraktual
Keharusan yang timbul akibat perjanjian
atau peraturan hukum yang di dalam nya kewajiban bagi suatu kesatuan udaha di
nyatakan secara eksplit atau implicit dan mengikat. Contoh: utang
pajak, utang bunga, utang usaha, utang wesel, dan utang obligasi.
Ø Keharusan
Konstruktif
Keharusan yang timbul akibat kebijakan
kesatuan usaha dalam rangka menjalankan dan memajukan usahanya untuk memenuhi
apa yang disebut praktik usaha yang baik atau etika bisnis dan bukan untuk
memenuhi kewajiban yuridis. Contoh: servis gratis sepeda motor yang dijanjikan oleh
dealer sepeda motor, pengembalian uang untuk barang yang ternyata cacat atau
rusak, dan tunjangan hari raya.
Ø Keharusan Demi
Keadilan
Keharusan yang ada sekarang yang
menimbulkan kewajiban bagi perusahaan semata–mata karena panggilan etis atau
moral daripada karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang sehat. Contoh:
kewajiban memberikan donasi untuk badan amal tiap akhir tahun dan kewajiban
member hadiah kepada penduduk yang tinggal di sekitar pabrik karena
ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
Ø Keharusan
Bergantung atau bersyarat
Keharusan yang pemenuhannya tidak pasti
karena bergantung pada kejadian masa datang atau terpenuhinya syarat–syarat
tertentu dimana datang.
3. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu
Sama seperti definisi aset, kriteria ini
sebenarnya menyempurkan criteria keharusan sekarang dan sekaligus sebagai tes
pertama pengakuan suatu pos sebagai kewajiban tetapi tidak cukup untuk mengakui
secara resmi dalam system pembukuan. Untuk mengakui sebagai kewajiban, selain
definisi, criteria yang lain seoerti keterukuran, keberpautan, dan keterandalan
juga harus dipenuhi. Transaksi atau kejadian masa lalu adalah criteria untuk memenuhi
definisi tetapi bukan kriteria untuk
pengakuan. Jadi, adanya pengorbanan manfaat ekonomik masa datang tidak cukup
untuk mengakui suatu objek ke dalam kewajiban kesatuan usaha untuk dilaporkan
via statemen keuangan.
Istilah-istilah dalam kewajiban:
a. Contractual
liabilities adalah kewajiban yang didukung oleh perjanjian tertulis
b. Constructive
obligation adalah kewajiban yang tidak dinyatakan secara tertulis,
misalnya pembayaran cuti atau bonus tertentu
c. Equitable
obligation adalah kewajiban yang tidak dikuatkan dengan kontrak dan hanya
karena kewajiban moral atau kewajiban demi kewajaran atau keadilan
d. Contingent
liabilities adalah kewajiban yang berkaitan dengan kejadian di masa depan
yang tidak pasti, yang mungkin akan menimbulkan suatu keuntungan ataupun
kerugian bagi suatu entitas. Contohnya, jaminan atas produk yang dijual. Pinsip
akuntansi mengatur bahwa hanya kejadian yang berpotensi menimbulkan kerugian
(kewajiban) yang dicatat dengan persyaratan berikut:
Ø Kewajiban
itu sangat mungkin terjadi atau kekayaan entitas telah digunakan atau telah
dikorbankan
Ø Kewajiban
itu dapat diukur secara terpercaya
e. Deffered
credit adalah sejenis kewajiban, tetapi bukan dalam pengertian memberikan
pengorbanan di masa yang akan datang. Deffered credit dibedakan
menjadi:
Ø Prepaid
revenue adalah penerimaan fee di muka yang belum sepenuhnya diimbangi
dengan pemberian jasa atau produk yang dibayar
Ø
Deffered yang muncul akibat
peraturan pengakuan pendapatan, misalnya investment tax credit dan laba
rugi dari transaksi leaseback
Beberapa perkiraan yang termasuk dalam golongan
kewajiban:
1. Kewajiban lancar
Kewajiban lancar adalah kewajiban yang likuidasinya
diperkirakan secara layak memerlukan penggunaan sumber daya yang ada, yang
diklasifikasikan sebagai aktiva lancar, atau penciptaan kewajiban lancar lain
atau kewajiban yang penyelesaiannya dalam satu siklus operasi biasanya 1 tahun.
Beberapa
contoh kewajiban lancar:
Ø Hutang Usaha
Ø Wesel Bayar
Ø Jatuh Tempo Berjalan Hutang Jangka
Panjang
Ø Kewajiban Jangka Pendek yang
diharapkan akan didanai kembali
Ø Hutang Dividen
Ø Uang Muka Pelanggan dan Deposito
yang dapat dikembalikan
Ø Pendapatan diterima dimuka
Ø Hutang Pajak Penjualan
Ø Hutang PPh
Ø Kewajiban yang berhubungan dengan
karyawan
Dua rasio yang digunakan dalam menganalisis dan menguji
likuiditas adalah rasio lancar dan rasio cepat.
Rasio Lancar
Rasio
Lancar adalah rasio total aktiva lancar terhadap kewajiban lancar.
Aktiva Lancar
Rasio
Lancar
= ----------------------
Kewajiban Lancar
Rasio Cepat
Banyak
analis lebih menyukasi rasio cepat yang menghubungkan total kewajiban lancar
dengan kas, sekuritas dan piutang.
Kas + investasi jangka pendek + piutang bersih
Rasio
Cepat = --------------------------------------------------------
Kewajiban Lancar
2. Hutang wesel (Notes Payable)
Janji yang ditulis atau dinyatakan secara
formal untuk membayar sejumlah uang tertentu di masa yang akan datang sering
kali direfleksikan pada pembukuan sebagai hutang wesel. Pada umumnya
hutang wesel merupakan bukti dari surat promes. Promes merupakan bukti bahwa
suatu entitas bisnis memiliki hutang usaha jangka pendek, baik untuk tujuan
operasi maupun untuk pembelian barang dagangan. Hutang ini biasanya disertai
dengan tingkat bunga pasar yang di-discounted agar wesel tersebut berada
pada nilai bunga pasar yang sesungguhnya.
3. Hutang obligasi (Bond payable)
Sertifikat obligasi yang sering
disebut obligasi, merupakan surat pernyataan kewajiban yang dikeluarkan oleh
suatu entitas atau lembaga pemerintah yang menjamin pembayaran pokok pinjaman
pada waktu tertentu di masa yang akan datang ditambah dengan
bunga periodik, yang biasanya dinyatakan dalam satuan
uang. Hutang obligasi dicatat dengan net proceed setara
dengan present value dari bunga-bunga yang akan dibayarkan di masa yang
akan datang serta pelunasan pokok obligasi tersebut oleh pemilik obligasi.
Karena hutang dicatat berdasarkan net proceed dari transaksi, maka
premium atau diskonto obligasi dapat segera diketahui.
Pemegang saham dan kreditor jangka panjang berkepentingan dengan solvensi
jangka panjang perusahaan terutama kemampuannya membayar bunga yang akan jatuh
tempo dan melunasi nilai nominal hutangnya saat jatuh tempo.
Rasio
Hutang Terhadap Total Aktiva
Mengukur persentase total aktiva yang disediakan oleh kreditor.
Total
Hutang
Hutang
Terhadap Total Aktiva =
----------------
Total
Aktiva
Rasio
Berapa Kali Bunga Dihasilkan
Menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar bunga ketika jatuh tempo.
Laba
sebelum PPh dan Beban Bunga
Hutang
Terhadap Total Aktiva=
--------------------------------------------
Beban Bunga
4. Obligasi konvertibel (Convertible bond)
Jenis obligasi ini menyediakan
konversi ke dalam surat berharga jenis lainnya sebagai pilihan bagi para
pemegang obligasi. Ciri konversi yang dimiliki, yaitu pemegang obligasi pada
umumnya diperbolehkan untuk menukarkannya dengan saham biasa. Obligasi
konvertibel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø Tingkat
bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh entitas untuk
obligasi non-konvertibel
Ø Harga
konvesi awal yang lebih tinggi daripada harga saham biasa pada tanggal
keluarannya
Ø Hak
penarikan dipertahankan oleh entitas tersebut
Hak – Kewajiban Tak Bersyarat
Konsep hak – kewajiban tak
bersyarat menyatakan bahwa walaupun kontrak telah ditandatangani, salah satu
pihak tidak mempunyai kewajiban apapun sebelum pihak lain memenuhi apa yang
menjadi hak pihak lain. Jadi, konsep hak–kewajiban tak bersyarat menyatakan
“tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewjiban tanpa hak.
Kontrak – kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak saling mengimbangi
tak bersyarat atau kontrak eksekuatori.
Contoh: bila seseorang pembeli menandatangani order
pembelian, pada saat itu pembeli tidak mempunyai kewajiban apapun sampai barang
yang dipesan datang dan dikuasai pembeli walaupun jenis, kuantitas, harga,
waktu pengiriman barang sudah jelas.
Masalah timbul dalam kontrak pembelian
yang tidak dapat dibatalkan. Ada dua pendapatan mengenai hal ini, pendapat
pertama tetap memperlakukan kontrak tersebut sebagai eksekutori.sehingga
kewajiban tidak perlu diakui. Alasannya, aset atau manfaat ekonomik masa datang
belum dikuasai secara nyata. Pendapatan kedua, menganjurkan bahwa kewajiban diakui
pada saat penandatanganan kontrak bersamaan dengan aset yang terlibat.
Alasannya pada saat itu, pada dasarnya ketiga criteria kewajiban telah di
penuhi.
Transaksi atau kejadian yang dapat
dijadikan dasar untuk menandai saat, titik, atau tanggal pengakuan hak dan
kewajiban dalam suatu kontrak. Hukum perikatan atau kontrak juga cukup kompleks
untuk menentukan timbulnya hak dan kewajiban yuridis. Dalam Most menunjukkan
bahwa titik atau saat tersebut dapat berupa:
1. Tanggal kontrak ditandatangani
2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu
pihak
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh
salah satu pihak
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk
digunakan oleh pihak lain
5. Tanggal objek kontak telah diserahkan
6. Tanggal telah diterima/dibayarnya uang muka, bila
ada
7. Dalam kasus kontrak konstruksi jangka panjang:
a. Suatu titik selama konstruksi
berjalan
b. Pada saat konstruksi dimulai
Saat penentuan transaksi masa lampau
perlu dipertimbangkan dengan seksama memperhatikan kondisi yang melingkupi
suatu kontrak. Most mengemukakan hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih
saat yang tepat:
a. Pemenuhan
definisi aset dan kewajiban
b. Kekuatan mengikat yaitu
seberapa kuat bahwa pelaksanaan kontrak tidak dapat dibatalkan
c. Kebermanfaatan
bagi keputusan
Karakteristik Pendukung
FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung yaitu:
1.
Keharusan
membayar kas
Pelunasan kewajiban pada umumnya
dilakukan dengan pembayaran kas. Esensi kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik
masa datang daripada terjadinya pengeluaran kas. Adanya pengeluaran kas
merupakan hal penting untuk mengaplikasikan definisi kewajiban karena dua hal:
a. Sebagai bukti adanya suatu kewajiban
b. Sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban
yang cukup objektif
2. Identitas terbayar jelas
Bila identitas terbayar sudah jelas,
hal tersebut hanya menguatkan bahwa kewajiban memang ada tetapi untuk menjadi
kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat ditentukan pada saat keharusan
terjadi.
Jadi, yang penting adalah bahwa
keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik dimasa datang telah ada dan
bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat pelunasan
kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.
3. Berkekuatan hukum
Keharusan melakukan pengorbanan manfaat
ekonomik masa deatang tidak harus timbul dari desakan pihak eksternal tetapi
dari minat atau kebijakan internal manajemen. Itulah sebabnya kewajiban
mencakupi pengorbanan sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat keharusan
konstruktif dan demi keadilan. Main pihak lain seperti utang usaha tidak harus
di dukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau mempunyai daya paksa secara
hukum untuk memenuhi definisi kewajiban. Akan tetapi, demi keadilam dan
kewajaran, perusahaan harus membayar utang usaha tersebut.
Pendapatan sewa tak terhak, laba kotor
tangguhan, dan beberapa pos lain yang timbuk dalam penyesuaian akhir tahun
memenuhi criteria sebagai kewajiban meskipun tidak dilandasi oleh daya paksa
secara hukum dan bahkan bukan merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik.
Itulah sebabnya, definisi kewajiban APB memasukkan beberapa pos kredit
tangguhan yang non keharusan sebagai kewajiban. Laba kotor tangguhan adalah
contoh kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos kredit tangguhan yang
merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan.
Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian
Sebagai bayangan cermin aset, kewajiban
juga harus diukur dan diakui pada saat terjadinya. Kalau aset diukur atas dasar
penghargaan sepakatan (kos), demikian juga kewajiban. Jadi, kos sebagai
pengukur tidak hanya diterapkan untuk aset pada saat pemerolehan tetapi juga
untuk kewajiban pada saat terjadinya. Sebagai ketentuan umum, pengukuran
kewajiban harus sejalan dengan pengukuran aset yang berkaitan.
Kalau aset yang direprentasi oleh kos
mengalami tiga tahap perlakuan (pemerolehan, pengolahan, dan penyerahan),
kewajiban sebenarnya juga mengalami tiga tahap perlakuan yaitu: penanggungan
(pengakuan terjadinya), penelusuran, dan pelunasan (penyelesaian). Dalam hal
kewajiban, penelusuran berarti penentuan status dan jumlah rupiah (kos)
kewajiban pada setiap saat. Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal
neraca) dapat disebut dengan penilaian kewajiban.
Pengakuan
APB Statement No.4 serta SFAC No.5
menyatakan bahwa kewajiban harus dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan
kejadian atau transaksi. Jumlah yang dibayar di masa yang akan datang
kadang-kadang menggunakan diskonto. Prinsip akuntansi tentang kewajiban menyatakan,
bahwa secara umum kewajiban diukur dengan jumlah yang disepakati dalam
pertukaran. Hutang lancar seperti account payable diukur
berdasarkan nilai kewajiban yang akan dibayar oleh suatu entitas di masa
yang akan datang, sedangkan untuk kewajiban yang masuk kategori
non-current (hutang jangka panjang), pengukurannya didasarkan pada present value yangdihitung
berdasarkan current interest rates.
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada
saat keharusan telah mengikat akibat transaksi yang sebelumnya telah terjadi.
Mengikatnya suatu keharusan harus dievaluasi atas dasar kaidah pengakuan (recognition
rules). kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan pedoman umum dalam rangka
memenuhi karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen statemen keuangan
hanya dapat diakui bila kriteria definisi, keberpautan, keterandalan, dan
keterukuran dipenuhi.
Kriteria umum ini tidak operasional
sehingga diperlukan kaidah pengakuan sebagai penjabaran teknis kriteria
pengakuan umum. Dalam hal kewajiban, kaidah pengakuan berkaitan dengan saat
atau apa yang menandai bahwa kewajiban dapan diakui (dibukukan). Empat kaidah
pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu:
1. Ketersediaan dasar hukum
Kaidah ini
terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi. Faktur
pembelian (invoice) dan tanda penerimaan barang (receiving report)
merupakan dasar hukum yang cukup meyakinkan untuk mengakui kewajiban. Telah
disebutkan bahwa ketersediaan dasar hukum yang menimbulkan daya paksa hanya
merupakan karateristik pendukung definisi kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak
mutlak sehingga kewajiban juga dapat diakui bila terdapat bukti substantif
adanya keharusan konstruktif atau demi keadilan.
2. Keterterapan
konsep dasar
Kaidah ini merupakan penjabaran teknis
kriteria keterandalan. Keadaan-keadaan tertentu yang menjadikan konsep
konservatisma terterapkan dapat memicu pengakuan kewajiban. Implikasi dianutnya
konsep konservatisma adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak demikian
dengan untung. Ini berarti kewajiban dapat diakui segera sedangkan aset tidak.
3. Ketertentuan
substansi ekonomik transaksi
Kaidah ini berkaitan dengan masalah
relevansi informasi. Utang sewaguna (lease obligations) dapat diakui
pada saat transaksi meskipun tidak ada transfer hak milik dalam transaksi sewaguna
tersebut. Dalam hal ini, kewajiban dapat atau bahkan harus diakui kalau secara
substantif sewaguna tersebut sebenarnya adalah pembelian angsuran (yaitu
memenuhi salah satu kriteria kapitalisasi).
4. Keterukuran
nilai kewajiban
Keterukuran merupakan salah satu syarat
untuk mencapai kualitas keterandalan informasi. Definisi kewajiban mengandung
kata cukup pasti (probable) yang
mengacu tidak hanya pada terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang
tetapi juga pada jumlah rupiahnya.
Yang menjadi masalah teknis adalah
kapan keempat kaidah diatas dipenuhi. hal ini berkaitan dengan penentuan saat
(timing) pengakuan kewajiban. Pada umumnya saaat pengakuan terjadi sangat jelas
karena kebanyakan kewajiban timbul dari kontrak yang menyebutkan secara tegas
saat mengikatnya kontrak, jumlah rupiah pembayaran kewajiban, dan saat
pembayaran. Akan tetapi, untuk beberapa kasus, jumlah rupiah (kos) kewajiban
bergantung pada kejadian dimasa datang meskipun cukup pasti bahwa keharusan
membayar dimasa datang tidak dapat dihindari. Saat-saat mengakui kewajiban
yaitu:
a. Pada saat
penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah mengikat.
Dalam hal kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah satu pihak
memanfaatkan/menguasai manfaat yang diperjanjikan atau memenuhi kewajibannya (to
perform).
b. Bersamaan
dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya belum dicatat
sebagai aset sebelumnya.
c. Bersamaan
dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk menggunakan barang dan
jasa diperoleh.
d. Pada akhirnya
periode karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian. Pengakuan ini
menimbulkan pos utang atau kewajiban akrual (accrued liabilities).
Pengakuan Kewajiban Bergantung
Untuk keharusan bergantung (khususnya
rugi bergantung yang menimbulkan kewajiban), kaidah pengakuan keempat
(keterukuran nilai kewajiban) dan pasti tidaknya pengorbanan sumber ekonimik
masa datang akan terjadi menimbulkan masalah pengakuan. Kewajiban kontraktual,
konstuktif, dan demi keadilan dalam beberapa kasus juga bersifat bergantung
terutama bila kewajiban tersebut melibatkan penaksiran jumlah masa datang yang
merugikan. FASB memberikan
contoh keadaan-keadaan kebergantungan rugi (loss contingencies) yang
berpontensi memicu pengakuan kewajiban sebagai berikut:
a. Ketertagihan
piutang usaha.
b. Keharusan
berkaitan dengan jaminan produk dan kerusakan produk.
c. Resiko rugi
atau kerusakan properitas (fasilitas) kesatuan usahan akibat kebakaran,
ledakan, dan bahaya lainnya.
d. Ancaman
pengambilalihan aset oleh pemerintah.
e. Persengketaan
yang memberatkan atau menunggu keputusan.
f. Klaim atau
pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin (possible)
terjadi.
g. Resiko rugi
akibat bencana yang ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian dan kecelakaan
dan perusahaan reasuransi.
h. Jaminan
terhadap utang pihak lain.
i.
Keharusan bank komersial dalam
ikatan standby letters of credit.
j.
Perjanjian untuk membeli kembali
piutang atau aset yang terkait yang telah dijual.
FASB menetapkan bahwa rugi taksiran yang dapat terjadi
kebergantungan rugi harus diakru (to be accrued) dengan membebankannya
ke pendapatan (sebagai biaya atau rugi) bila kedua kondisi berikut dipenuhi:
a. Informasi yang
tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan bahwa suatu aset
cukup pasti telah turun nilainnya (impaired) atau suatu kewajiban cukup
pasti telah terjadi pada tanggal statemen keuangan. Pada tanggal statemen
keuangan harus sudah dapat disimpulkan bahwa kewajiban atau beberapa kejadian,
yang menegaskan adanya rugi, cukup pasti (probable) akan terjadi.
b. Jumlah rupiah
rugi dapat diestimasi dengan cukup tepat (reasonably estimated). Bila kondisi
diatas tidak dipenuhi, jumlah rupiah rugi potensial harus tetap diungkapkan
dengan menjelaskan sfat dan implikasi kebergantungan tersebut. Ketentuan tentang
dpat diakrunya rugi potensial sebelum kejadian yang menegaskan terjadi
dilandasi oleh interpretasi tentang makna kewajiban dan aset serta konsep dasar
penandingan (matching) dan konservatisma.
Pengukuran
Pengakuan dilakukan setelah suatu
kewajiban terukur dengan cukup pasti. Penentuan kos kewajiban pada saat terjadi
paralel dengan pengukuran asset. Terjadinya kewajiban pada umumnya disertai
dengan pemerolehan asset atau timbulmnya biaya. Pemerolehan asset dapat berupa
penguasaan barang dagangannya atau asset nonmoneter lainnya yang terjadi dari
transaksi pembelian. Pemerolehan asset dapat juga berupa kas yang terjadi dari
transaksi peminjaman (penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk
barang atau jasa. Oleh karena itu pengukur yang paling objektif untuk menentuka
kos kewajiban pada saat terjadinya adalah penghargaan sepakatan (meansured
considerations) dalam transaksi-transaksi tersebut dan bukan jumlah rupiah
pengorbanan ekonomik masa datang. Hal ini berlaku khususnya untuk kewajiban jangka
panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos
penundaan dianggap tidak cukup material sehingga jumlah rupiah kewajiban yang
diakui akan sama denga jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonimik (kas) masa
datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos pendanaan (financing
cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap
material.
Penghargaan sepakatan suatu kewajiban
merefleksi nilai setara tunai atau nilai sekarang (current value)
kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik seandainya kewajiban
dilunasi pada saat terjadinya. Dengan demikian, bisnis pencatatan kewajiban
adalah nilai setara tunai bukan nilai nominal utang.
Kewajiban Dalam Pembelian Kredit
Dasar pengukuran asset yang paling
objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos tunai implicit (implied
cash cost). Karena kewajiba merupakan bayangan cermin aset, pengukurannya juga mengikuti pengukuran
asset.
Misalnya suatu perusahaan
menandatangani kontrak pembelian mesin. Perusahaan menyepakati harga kontrak
mesin Rp 1.600.000 dan dibayar dalam delapan kali angsuran tiap akhir triwulan
sebesar Rp 200.000 tanpa menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam kasus
ini sebenarnya harga nominal (kontrak) tersebut melebihi kos tunai implicit
yaitu jumlah rupiah yang diperlukan seandainya pembelian dilakukan secara
tunai. Kalau mesin tersebut dapat diperoleh juga dari toko yang sama dengan
harga tunai Rp 1.465.000 maka jumlah rupiah ini kos tunai implicit sedangkan
selesih sebesar Rp 135.000 adlah setara dengan bunga dan harus dibebankan
terhadap pendapatan selama jangka waktu kontrak. Bunga ini akhirnya akan
menjadi biaya yang sesungguhnya terjadi atau nyata dan buka bunga hipotetis.
Dengan demikian, secara konseptual kewajiban harus diakui pada saat transaksi
sebagai berikut:
Mesin…………………… 1.465.000
Utang usaha…………….. 1.465.000
Secara teknisi pembukuan, dapat saja
jumlah rupiah bunga dicatat untuk kepentingan internal dan jumlah utang dicatat
sebesar nominalnya sebagai berikut:
Mesin……………………….1.465.000
Bunga Tangguhan…………..135.000
Utang usaha…………………1.600.000
Bila cara diatas dilakukan, pelaporan
kewajiban harus tetap menunjukkan nilai tunai implisitnya dengan cara
mengurangkan bunga tangguhan terhadap utang usaha. Bunga tangguhan tidak
dilaporkan sebagai asset. Kalau asset dan kewajiban dicatat dan dilaporkan
sebesar Rp 1.600.000 jelas kos asset dan kewajiban tercatat terlalu tinggi. Walaupun
demikian, kalau jangka waktu kontrak adalah pendek maka jumlah kelebihan kos
adalah kecil dan dapat diabaikan atas dasar konsep materialistas.
Diskon dan Premium Utang Obligasi
Nilai nominal atau jatuh tempo utang
obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah kesepakatan pada saat penerbitan
obligasi baik bagi penerbit maupun kreditor. Dasar pengukuran demikian
sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan pembayaran
bunga periodik dan pokok pinajaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran jumlah
rupiah (kos) utang dan asset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat
adalah kos tunai implicit.
Dalam hal obligasi jangka panjang,
jumlah rupiah uang yang diterima oleh penerbit dan yang dibayarkan oleh
kreditor pada saat penerbitan hanyalah merupakan bagian kecil dari jumlah
rupiah pembayaran masa datang (bunga periodik dan nominal obligasi). Pembayaran
masa datang ini sebenarnya terdiri atas dua unsure yaitu 1. Nilai sekarang
pembayaran bunga periodik dan nilai sekarang nominal obligasi dan 2. Bunga
efektif yang terlibat dalam penentuan harga obligasi tersebut.
Makna Harga Efektif Obligasi
Segera setelah transaksi terjadi maka
“kesepakatan” dalam hubungannya dengan obligasi tersebut mulai menunjukkan
makna yang sebenarnya. Dengan telah mulai berjalannya kesepakatan dalam
transaksi obligasi diatas, bunga Rp. 100.000 tiap tahun mulai terhimpun dan
dibayar secara periodik sampai jauh tempo. Bersamaan dengan itu, jumlah rupiah
utang obligasi yang mula-mula tercatat akan berangsur-angsur berubah
(bertambah) menuju jumlah rupiah nilai jatuh tempo atau nominal.
Diskon Obligasi
Diskon obligasi yang belum diamortisasi
bukan merupakan suatu rugi karena asset yang diperoleh sebelumnya tidak ada
yang berkurang atau menguap (dissipation). Diskon obligasi
sebenarnya merupakan bunga yang “belum dibayar”, yaitu bagian bunga efektif
total yang baru akan dibayar pada saat utang obligasi jatuh tempo.
Premium Obligasi
Sejalan dengan penalaran makna diskon
obligasi yang dilandasi konsep dasar penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan
bahwa premium yang dibayarkan investor untuk obligasi merupakan unsure dari
jumlah rupiah utang perusahaan. Bersamaan denga berjalannya waktu mendekati
jatuh tempo, jumlah rupiah bagian utang yang merupakan premium harus diamortisasi
secara sistematik dengan cara memisahkan dari penghargaan sepakatan bagian yang
diperhitungkan sebagai pembayaran “bunga” periodik. Mengartikan premium
obligasi sebagai “pendapatan tangguhan” (defferend income) jelas tidak
tepat karena secara konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses
pemerolehan utang.
Pendapatan hanya timbul dari kegiatan
pembentukan pendapatan (earning process). Atas dasar konsep kontinuitas
usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-benar merupakan
utang dan jumlah amortisasi periodik adalah merupakan penyesuaian (pengurang)
terhadap biaya bunga dan bukannya merupakan elemen pendapatan. Tanpa
peneysuaian ini biaya bunga periodik akan menjadi tersaji lebih (overstated).
Dari segi yudiris, utang memang harus
diukur sebesar nilai nomnalnya karena kalau terjadi likuidasi hak menerima
pelunasan yang melekat pada investor adalah sebesar nominal. Pandangan yudiris
yang tidak memperhatikan diskon dilandasi konsep pengukuran dengan asumsi
perusahaan likuidasi. Dalam keadaan likuidasi atau reorganisasi memang dapat
dijustifikasi pengukuran dengan menggunakan konsep yang berbeda dengan
akuntasi. Akan tetapi, secara umum akuntansi tidak harus mendasarkan diri pada
konsep tersebut.
Kewajiban Moneter dan Nonmoneter
Kewajiban moneter adalah kewajiban yang
pengorbanan sember ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah ada
saat yang pasti baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara berkala.
Untuk kewajiban moneter jangka pendek, kewajiban dapat diukur atas dasar nilai
nominal (face value) berdasarkan konsep dasar materialitas. Termasuk
dalam pengertian kewajiban moneter adalah penerimaan dimuka (advances)
yang akan dikompensasi dengan pembelian barang dan jasa dimasa datang. Disebut
kewajiban moneter karena kalau pembelian barang dan jasa batal, uang muka
tersebut harus dikembalikan.
Kewajiban nonmoneter adalah keharusan
untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah saat yang cukup pasti yang
bisanya timbul karena penerimaan pembayaran dimuka untuk barang dan jasa
tersebut. Bila pembayaran dimuka penuh, kewajiban nonmoneter harus diukur atas
dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk barang
dan jasa. Pembayaran penuh dimuka tersebut sebenarnya mereprentasikan jumlah untuk
menutup kos barang dan jasa yang akan diserahkan dan laba. Jumlah yang
digunakan untuk menutup kos itulah yang murni merupaka kewajiban sedangkan
jumlah untuk menutup laba merupakan laba tangguhan (deferred income)
yang tidak dapat disebut kewajiban karena tidak memenuhi definisi kewajiban.
Bila kos barang dan jasa merupakan
unsure yang dominan, pembayaran dimuka dapat dianggap seluruhnya menimbulkan
kewajiban (sebagai kewajiban lancar). Akan tetapi, kalau kos merupakan unsure yang kecil dari
seluruh harga jual barang dan jasa, pembayaran dimuka dapat dianggap seluruhnya
menimbulkan kredit
atau pendapatan tagguhan atau (unearned revenues) yang merupakan
kewajiban non keharusan. Perlakuan ini secara konseptual lebih didukung
daripada pemisahan uang muka menjadi komponen kos (merepresentasi kewajiban)
dan laba. Argumen yang didukung yaitu:
a. Keharusan
menyerahkan barang dan jasa merupakan bagian dari operasi perusahaan secara
keseluruhan sehingga barang dan jasa dinyatakan dalam harga jual dari kaca mata
kedua pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, pembayaran dimuka merupakan
pendapatan tangguhan yang menunggu penyerahan barang bukan jumlah untuk menutup
kos barang dan jasa.
b. Sebagai bagian
dari operasi perusahaan secara keseluruhan, penerimaan uang muka lebih tepat
bila diperlakukan seluruhnya sebagai kewajiban. Ini merupakan konsekuensi
argument a diatas.
c. Laba secara
automatis tercipta pada saat pendapatan telah diakui sehingga pemisahan antara
kewajiban dan laba tangguhan tidak ada manfaatnya karena keduanya sama-sama
akan dilaporkan disisi kredit dan bersifat kewajiban yang keduanya
terselesaikan pada saat barang atau jasa telah diserahkan.
d. Kas yang
diterima tidak dapat dikaitkan dengan kos penyediaan barang/produk dan jasa
yang diberi uang muka karena beberapa komponen produk atau jasa pada umumnya
sudah diperoleh perusahaan bahkan beberapa komponen mungkin belum diperoleh
perusahaan pada saat penerimaan uang muka.
e. Penyerahan
barang merupakan saat yang kritis untuk mengakui pendapatan daripada saat
penerimaan kas sehingga laba tidak dapat diakui pada saat penerimaan kas. Jadi,
percuma saja untuk memisahkan uang muka untuk mereprentasi kos dan laba.
Penilaian
Kalau pengukuran mengacu pada penentuan
nilai keharusan sekarang (the value of current obligation) pada saat
terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang pada
setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin
mendekati saat jatuh tempo, nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal
(face value) kewajiban.
Penilaian kewajiban pada saat tertentu
adalah penentuan jumlah rupiah yang harus dikorbankan seandainya pada saat
tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain, penilaian adalah penentuan
nilai sekarang kewajiban. Untuk kewajiban moneter, nilai sekarangnya biasanya
ditentukan atas dasar aliran kas keluar dimasa dtang didiskonan dengan
tingkat bunga pasar sebagai tarif diskon.
Pelunasan
Pelunasan adalah tindakan atau upaya
yang segaja dilakukan oleh kesatuan usaha untuk memenuhi (to satisfy)
kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha (in due course of
business) sehingga bebas dari kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya
merupakan pemenuhan secara langsung kepada pihak yang berpiutang. Pelunasan
menjadikan kewajiban tersebut hapus, tiada, atau lenyap (extinguished)
secara langsung (kewajiban langsung didebit).
Perlunasan secara langsung disebut juga
perlunasan secara yudiris karena kewajiban kepada pihak yang berpiutang secara
yudiris hapus melalui transaksi langsung yang benar-benar terjadi. Perlunasan
secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha melakukan tindakan yang
mengarah ke perlunasan misalnya dengan pembentukan dan khusus untuk perlunasan
(sinking fund) baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust
agency). Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini menjadikan kesatuan
usaha secara substantif menempati keadaan yang disebut pembatalan atau
pembebasan secara substansif (in substance defeasance).
Masalah akuntansi ysng berkaitan dengan
perlunasan langsung maupun tidak langsung adalah penentuan kapan kewajiban
telah dapat dikatakan hapus atau lenyap sehingga jumlah rupiahnya dapat diakui
dari sistem pembukuan. FASB memberikan pedoman tentang saat pelenyapan (extiguishment)
kewajiban. Pada mulanya FASB menentukan kriteria lenyapan suatu kewajiban
sebagai berikut:
a. Debitor
membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan dengan
utang.
b. Debitor telah
dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik oleh
keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan bahwa debitor
tidak akan diharuskan untuk melakukan pembayaran dimasa datang yang berkaitan
dengan utang dengan penjaminan dalam bentuk apapun.
c. Debitor menaruh
kas atau asset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu perwalian
yang semata-mata digunakan untuk perlunasan pembayaran bunga serta pokok suatu
pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor untuk diharuskan
lagi melakukan pembayaran dimasa dtang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut.
FASB berargumen pendekatan ini tidak
tepat sebagai basis untuk pengembangan standar yang berkaitan dengan peleyapan
dan pengakuan kewajiban. Dengan pendekatan ini, transaksi-transaksi yang tidak
cukup mempunyai substansi ekonomik dapat membenarkan pengakuan kewajiban dan
pengakuan untung yang dipandang FASB tidak menyimbolkan secara tepat realitas
kegiatan yang ada. FASB menerapkan pendekatan komponen-keuangan. Dengan
pendekatan ini, berbagai transaksi yang berkaitan dengan suatu kewajiban
tertentu dapat dianggap terpisah dan independen sehingga berbagai asset atau
kewajiban yang terlibat harus diperlakukan sebagai komponen-komponen terpisah. FASB
menetapkan bahwa suatu kewajiban dapat dikatakan lenyap kalau salah satu dari
kondisi berikut dipenuhi:
a. Debitor
membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada kewajiban.
Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, asset financial lain, barang, atau
jasa atau penebusan sekuritas utang oleh debitor untuk menghapus utang atau
untuk menahannya sebagai utang obligasi treasuri.
b. Debitor telah
dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang utama baik oleh
keputusan pengadilan maupun kreditor.
Transfer Aset Finansial
Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas
dapat mentransfer asset financial termasuk kas, barang, atau jasa. Bila
kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara penuh kas, barang, atau jasa
ke debitor maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas. Debitor tidak lagi
terlibat dengan asset atau kreditor secara financial. Perlunasan kewajiban
dengan asset financial juga dapat bersifat tuntas bila penyerahan asset
financial bersifat tak bersyarat dan dianggap sebagai penjualan. Artinya, asset
finasial dianggap dijual secara tunai dan kas yang diterima seketika itu pula
dianggap untuk melunasi kewajiban.
Kalau pelunasan kewajiban dilakukan
dengan transferan asset financial yang menimbulkan keterlibatan berlanjut (continuing involvement) pentransferan (transferor) dengan asset
transferan (transferred assets) atau
tertransfer (transferee). Dalam hal
ini kewajiban tidak lenyap secara tuntas atau ada kewajiban baru yang berkaitan
dengan asset transferan.
Perlunasan Sebelum Jatuh Tempo
Bila kewajiban dilunasi pada saat jatuh
tempo, nilai jatuh tempo (nominal) dengan sendirinya merefleksi nilai sekarang
(saat pelunasan) kewajiban sehingga tidak ada selisih antara jumlah rupiah yang
dibayar dan nilai nominal. Nilai jatuh tempo juga akan sama dengan nilai buku
atau nilai bawaan (carrying value)
kewajiban karena proses amortisasi selisih antara nominal dan nilai pasar pada
saat penerbitan utang (misalnya obligasi). Selama beredar, nilai pasar atau
nilai sekarang kewajiban berfluktuasi mengikuti tingkat bunga yang berlaku
tetapi pada umumnya fluktuasi tersebut tidak diakui dalam pembukuan debitor.
Penarikan kembali obligasi yang beredar
adalah suatu transaksi yang mempengaruhi kontrak debitor atau kreditor tetapi
transaksi ini sangat berbeda dengan transaksi aliran kegiatan operasi dan
transaksi penggunaan asset (investasi). Dengan demikian, terdapat pandangan
bahwa untung atau rugi yang berasal dari transaksi tersebut harus dilaporkan
sebagai suatu penyesusian modal. Bergantung pada sifatnya untung atau rugi dapat
dilaporkan sebagai pos diner atau pos ekstraordiner. Kriteria untuk menentukan
hal ini adalah apakah pos tersebut merupakan akibat dari transaksi atau
kejadian yang mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Sangat
berbeda dengan kegiatan operasi rutin kesatuan usaha
b. Tidak diharapkan
akan sering terjadi
c. Berpengaruh
material terhadap operasi perusahaan secara keseluruhan
APB berargumen bahwa sifat semula
pelunasan utang sebelum jatuh tempo pada dasarnya sama. Untuk perlunasan dengan
pendanaan sebenarnya terdapat tiga perlakuan alternative untuk selisih yaitu:
a. Selisih diamortisasi selama sisa umur
semula utang yang ditarik kembali
b. Selisih diamortisasi selama umur utang baru
yang diterbitkan
c. Selisih diakui pada saat penarikan dan
dilaporkan distatemen laba rugi tahun bersangkutan
Perlunasan utang sebelum jatuh tempo
sama sifatnya dengan perlunasan pada saat jatuh tempo tanpa memperhatikan cara
untuk melaksanakan hal tersebut (dengan pendanaan kembali atau tidak). Untung
atau rugi dapat dilaporkan sebagai pos ordiner atau ektraordiner tergantung
pada penilaian terhadap kondisi yang melingkupi transaksi.
Utang Terkonversi
Instrumen financial pada dasarnya
merupakan alat pembayaran atau pinjaman sehingga dapat digunakan oleh
pemegangnya untuk melunasi utang. Utang terkontroversi (convertible debt) merupakan salah satu instrument financial
tersebut. Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai
kewajiban dan ekuitas sekaligus. Artinya, pemegang instrument mempunyai hak
istimewa untuk mengubah status utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak
tersebut masih berlaku (belum habis). Instumen semacam ini merupakan salah satu
bentuk dari apa yang disebut sekuritas hibrida (hybrid securities).
Contoh yang paling sering dijumpai
dalam praktik adalah obligasi terkonversi. Obligasi terkontroversi pada umumnya
diterbitkan untuk menarik para investor karena mereka dapat menggeser resiko
atau mengubah status sekuritas menjadi lebih menguntungkan. Hak konversi
digunakan untuk menarik investor untuk mengimbangi tingkat bunga nominal yang
terlalu rendah dibandingka tingkat bunga umum. Harga perdana biasanya jauh
lebih tinggi dari obligasi biasa dengan tingkat resiko yang sama. Jadi,
investor bersedia membeli hak konversi dalam bentuk bunga yang lebih rendah
dari bunga obligasi setara yang dijual secara terpisah. Obligasi terkonversi
biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Tingkat bunga
nominal jauh dibawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasanya yang setara
b. Harga konversi
yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa
c. Harga konversi
tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena penyesuaian yang
diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham biasa seperti dalam
hal terjadi poemecahan saham atau dividen saham
Hal diatas menjadi karakteristik
obligasi terkontroversi karena pada umumnya perusahaan penerbit merupakan
perusahaan yang agresif dan sedang berkembang sehingga memerlukan dana yang
cukup murah. Bila prospek perusahaan sangat baik, obligasi terkontroversi masih
tetap menarik bagi investor. Walaupun harga konversi cukup tinggi pada saat
ditawarkan, pada saatnya harga saham dapat menjadi lebih tinggi dari harga
konversi dan prediksi kenaikan harga saham dapat menjadi cukup pasti memicu
investor untuk mengkonversi obligasinya. Karakteristik obligasi terkontroversi
menimbulkan masalah akuntansi pada saat pengakuan, pengkonversian, dan perlunasan.
Pendukung alokasi berargumen bahwa
karena utang terkonversi mengandung sifat utang dan ekuitas, kedua komponen
harus diakui secara terpisah. Pandangan ini didasarkan atas pemikiran sebagai
berikut:
a. Hak konversi
mempunyai nilai ekonomik sehingga tidak berbeda dengan sifat hak opsi atau
waran. Oleh karena itu, nilai tersebut harus dilaporkan secara terpisah dengan
nilai utang sejalan dengan perlakua hak opsi atau waran. Analogi dengan
goodwill, nilai hak konversi secara logis juga harus dipisahkan. Bila tidak
dipisahkan, akan terjadi inkonsistensi perlakuan akuntansi.
b. Pada saat
penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak konversi)
dapat diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesulitan teknis untuk
mengimplementasi pemisahan tersebut. Nilai ionformasional pemisahan jauh lebih
penting dari masalah kepraktisan sehingga kepraktisan tidak relevan sebagai
basis penolakan pemisahan.
c. Tujuan
penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan ekuitas.
Sifat utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan jelek yang dapat
menimpa perusahaan (dalam likuidasi, utang diprioritaskan). Oleh karena itu,
pelunasan utang bukan merupakan hal yang diharapkan oleh penerbit.
Sementara itu, pendukung semata-mata
utang mengajukan argument sebaliknya. Dasar pikiran yang melandasi perlakuan
sebagai utang semata-mata dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Utang obligasi
terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hak kontroversi tidak independen terhadap
utang obligasi.
b. Penilaian hak
konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua komponen (utang
dan hak konversi). Alasannya adalah adanya ketidakpastian dalam hal saat
pengambilan hak konversi dan nilai saham pada saat konversi. Kesulitan
praktis akan lebih terasa bila tidak ada sekuritas sejenis yang dijual secara
bebas tanpa hak konversi.
Jadi, ketidakterpisahkan dan
kepraktisan menjadi landasan pikiran
untuk memperlakukan utang
terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal ini menjadi bisnis opini APB yang
memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan. Walaupun
demikian, APB lebih menekankan alasannya pada ketidakterpisahan daripada
kepraktisan.
Perdebatan mengenai perlakuan sekuritas
hibrida timbul karena pembedaan elemen kewajiban dan ekuitas secara
definisional sehingga selalu timbul masalah klasifikasi terhadap sekuritas
hibrida atau instumen keuangan. Salah satu pemecahan masalah ini adalah
mendefinisi ekuitas dalam arti luas yang mencangkupi utang/kewajiban kemudian
mengklasifikasi ekuitas menjadi beberapa kelas atas dasar hak-hak yang melekat
pada tiap kelas.
Masih ada masalah apabila instrument
financial harus diakui dan dilaporkan via statemen keuangan utama karena selain
memenuhi definisi, suatu pos atau objek juga harus memenuhi kriteria pengakuan
yang lain yaitu terukur (meansureable),
terandalkan (reliable), dan berpaut (relevant). Oleh karena itu cara lain
untuk mengatasi masalah instrument keuangan adalah bukan dengan pengakuan
melainkan dengan pengungkapan (disclosures).
Pembebasan Substantif
Pada mulanya, FASB menetapkan bahwa kewajiban dapat dianggap lenyap bila
kreditor menaruh kas atau lainnya misalnya obligasi pemerintah yang tidak dapat
ditarik kembali dalam satu perwalian dan aliran kas dari aset tersebut akan
cukup untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok pinjaman.
Bila telah dicapai saat sehingga
debitor sehingga tidak perlu lagi melakukan pembayaran di masa datang yang
berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat tersebut secara substansif
debitor sudah bebas dari kewajiban sehingga dapat mengakui kewajiban dan aset
dalam perwalian meskipun utang belum jatuh waktu. Bila debitor membentuk dana
pelunasan utang obligasi, pada saat debitor sudah tidak perlu lagi membayar
atau menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan
dari dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat jatuh
tempo, maka pada saat itu kewajiban debitor secara substantive dianggap lenyao
meskipun kewajiban belum jatuh tempo. Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan
membayar, telah terjadi pembebasan substantif.
Dalam standar ini FASB menegaskan bahwa
pada saat terjadi pembebasan substantif, kewajiban tidak dapat dihapus karena
kejadian tersebut tidak memenuhi karakteristik atau criteria kritis sebagai
berikut:
a. Debitor tidak
hanya sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya lantaran
perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu perwalian.
b. Untuk pelunasan
kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang ditempatkan dalam
perwalian.
c. Kreditor tidak
mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas aset dalam perwalian dan
juga tidak dapat menghentikan atau membatalkan perwalian tersebut.
d. Kreditor
ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam kontrak pembentukan
dana pembebasan utang.
Alasan lain yang sering dikemukakan
adalah pengawakan kewajiban pada saat tercapainya pembebasan substantive sama
saja dengan mengkompensasi kewajiban dengan aset. Kritik lain adalah
pengawaakuan kewajiban pada saat terjadinya pembebasan substantif dapat
dimanfaatkan oleh debitor untuk melakukan manajemen laba dan peningkatan
kinerja secara kosmetik. Hal ini dapat dilakukan karena keuntungan bagi debitor
sebagai berikut :
a. Kewajiban
dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban – ekuitas membaik
b. Laba tahun
berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang terjadi dalam pengawaakuan
kewajiban
c. Untung
pengawaakuan kewajiban tidak dikenai pajak karena untung tersebut sebenarnya
belum terealisasi sehingga perusahaan dapat menghemat atau menunda pajak dan
meningkatkan profitabilitas secara cukup berarti pada saat pembebasan
substantive
d. Bila aset
berupa obligasi pemerintah, perusahaan dapat menghemat pajak karena untuk
perhitungan pajak pendapatan bunga obligasi pemerintah dapat dikompensasi
oleh biaya bunga utang
e. Pembebasan
substantive memungkinkan perusahaan untuk memperlakukan kewajiban jangka
seperti mengelola surat–surat berharga di sisi aset.
Penyajian
Secara umum, kewajiban disajikan dalam
neraca atas dasar urutan kelancarannya sejalan dengan penyajian aset. PSAK No.
1 (pasal 39) menggariskan bahwa aset lancer disajikan urut menurut urutan
likuidiats sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti
kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi
likuiditas perusahaan.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai
kewajiban jangka pendek harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka
panjang. Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek bila
(paragraph 44):
a. Diperkirkan
akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal opersi perusahaan
b. Jatuh tempo
dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca
Ada
3 bentuk pembiayaan di luar neraca:
1. Anak perusahaan yang tidak
terkonsolidasi
Perusahaan
induk tidak perlu melaporkan aktiva dan kewajiban anak perusahaannya. Yang
dilaporkan perusahaan dalam neraca hanyalah investasi dalam anak perushaan.
2. Entitas dengan Tujuan Khusus atau Special Purpose Entity
Perusahaan
dengan tujuan khusus ini biasanya merupakan perusahaan yang menjalankan sebuah
proyek.
3. Lease Operasi
Cara
lain agar perusahaan tidak perlu mencantumkan hutang di neraca adalah dengan
leasing. Daripada memiliki sebuah aktiva, perusahaan lebih memilih untuk
menyewanya.
Perusahaan yang mempunyai banyak terbitan hutang jangka
panjang dalam jumlah besar sering kali hanya melaporkan satu akun dalam neraca
dan mendukungnya dengan komentar dalam catatan yang menyertainya. Hutag jangka
panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun hrus dilaporkan sebagai hutang
lancar, kecuali kalau penarikan itu dipenuhi dengan aktiva selain aktiva lancar.
Jika hutang itu didanai kmbali, dikonversi menjadi saham, atau ditarik dari
dana pelunasan obligasi, maka hal itu harus terus dilaporkan sebagai pos tidak
lancar.
Pengungkapan catatan umumnya berisi sifat dari kewajiban,
tanggal jatuh tempo, suku bunga, provisi penarikan, konversi, pembatasan yang
dikenakan oleh kreditor dan aktiva yang disepakati sebagai jaminan.
Suatu kewajiban tetap dapat
diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang bila kewajiban tersebut tidak
akan dilunasi tetapi didanai kembali atau diperbarui. Paragraf 47 menyebutkan
bahwa kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasikan sebagai
kewajiban jangka panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam
jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, apabila:
a. Kesepakatan
awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan
b. Perusahaan
bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan jangka panjang
Hak Mengkompensasi
Ada kalanya hak mengontra diperbolehkan
bila kondisi tertentu dipenuhi. kondisi ini biasanya berkaitan dengan apa yang
disebut sebagai kontrak bersyarat dan kontrak pertukaran. Kontrak bersyarat
adalah kontrak yang hak dan kewajibannya bergantung pada timbulnya kejadian
masa datang tertentu yang belum tentu terjadi dan dapat mengubah saat
penerimaan, penyerahan, atau pertukaran jumlah rupiah atau instrument keuangan.
Contoh kontrak ini adalah futures
contracts dan forward purchase–sale
contracts. Kontrak pertukaran adalah kontrak yang mewajibkan adanya
pertukaran aset dan kewajiban dimasa datang dan bukan hanya transfer aset dari
satu pihak aja. Contoh kontrak ini adalah interest
rate swaps dan currency swaps.
Dalam FASB Interpretation No. 39, 45 FASB mendefinisi
hak mengontra sebagai berikut (paragraph 5): Hak mengintra
adalah hak yuridis debitor, lantaran kontrak antara lainnya, untuk menghapus
semua atau sebagian utang kepada pihak lain dengn cara mengkompensasi utang
tersebut dengan jumlah yang pihak lain berutang kepada debitor. Hak mengontra
dikatakan ada bilamana semua kondisi berikut dipenuhi:
a. Tiap pihak dari
dua pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah rupiah tertentu.
b. Pihak pelapor
mempunyai hak mengontra jumlah yang diutangnya dengan jumlah yang diutang pihak
lain.
c. Pihak pelapor
memang berniat untuk mengontra.
d. Hak mengontra
terpaksakan secara hukum.
2.2.
EKUITAS
Untuk perusahaan perseroan, ekuitas
sering disebut modal. Untuk perseroan, istilah ekuitas (ekuitas pemegang saham atau stockholders’
equity) lebih merefleksi makna yang ingin dikandungnya. Karena konsep
kesatuan usaha yang memisahkan antara manajemen dan pemilikan, informasi
tentang ekuitas pemegang saham menjadi sangat penting karena hal tersebut
menunjukkan hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham. Dari sudut
pemegang saham, ekuitas pemegang saham merupakan hak atas kekayaan atau nilai
yang tertanam dalam perseroan.
Pengertian
Karena artikulasi harus dipertahankan,
ekuitas tidak didefinisikan secara semantik tetapi secara sintatik. Artinya,
ekuitas didefinisikan secara mekanik atau prosedural dalam kaitannya dengan
elemen-elemen statemen keuangan yang lain. Dalam kerangka dasar Standar
Akuntansi Keuangan (2002), misalnya Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI)
mendefinisikan ekuitas sebagai berikut (pasal 49):
Ekuitas
adalah hak atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban. Godfrey, Hodgson dan Holmes
(1997) membedakan ekuitas dan kewajiban atas dasar kriteria berikut:
a. Hak-hak
masing-masing pihak ats penyelesaian klaim
b. Hak penggunaan
aset dalam operasi
c. Substansi
ekonomik perjanjian.
Atas dasar konsep kesatuan usaha, kreditor dan
pemegang saham sama-sama mempunyai klaim atau hak untuk dilunasi atas dana yang
ditanamkan dalam perusahaan. Akan tetapi, dua karakteristik yang melekat pada
hak kreditor yaitu:
a. Penyelesaian
klaim mereka pada tanggal tertentu melalui transfer aset.
b. Prioritas di
atas pemilik dalam penyelesaian klaim mereka dalam hal likuidasi.
Komponen Ekuitas Pemegang Saham
Dari segi riwayat terjadinya dan
sumbernya,
ekuitas
pemegang saham diklasifikasi atas dasar dua komponen penting yaitu modal
setoran dan laba ditahan. Modal setoran dipecah menjadi modal saham sebagai
modal yuridis dan modal setoran tambahan, dan komponen lain yang mereflaksi
transaksi pemilik.
Perbedaan Modal
Setoran dan Laba Ditahan
Klasifikasi ekuitas pemegang saham
menjadi modal setoran dan laba ditahan sebenarnya merefleksi pembedaan atas
dasar sumber. Penyajian ekuitas pemegang saham atas dasar sumber sebenarnya
bersifat tradisi karena anggapan bahwa penyajian seperti ini akan memberi
informasi tentang riwayat modal sejak berdirinya perseroan. Ditinjau dari
sumber, ada beberapa komponen yang membentuk ekuitas pemegang saham yaitu:
a. Jumlah rupiah
yang disetorkan oleh pemegang saham
b. Laba ditahan
yang merupakan sisa laba setelah pembagian deviden
c. Jumlah rupiah
yang timbul akibat apresiasi/revaluasi aset fisis tertentu
d. Jumlah rupiah
donasi dari pihak nonpemegang saham
e. Sumber lainnya
Paton dan Littleton (1970) berargumen
bahwa jumlah rupiah modal setoran tidak menunjukkan secara khusus tujuan
penggunaan jumlah rupiah tersebut. Jumlah tersebut hanya menunjukkan hak atau
kesepakatan atas dana yang ditanamkan pihak penyedia dana. Oleh karena itu,
perubahan dalam modal setoran harus dibatasi hanya untuk transaksi antara
perseroan dengan pemegang saham.
Obligasi Terkonversi
Dalam hal tertentu, perusahaan
menerbitkan obligasi dengan karakteristik bahwa obligasi tersebut dapat
ditukarkan dengan saham biasa atas kehendak pemegang obligasi dalam perioda
konversi tertentu.
Kalau hak tukar tersebut digunakan,
yang terjadi adalah prubahan status kewajiban menjadi modal sertoran. Masalah
teoritisnya adalah menentukan jumlah rupiah yang dapat dianggap sebagai modal
setoran sehingga modal saham dan kelebihan di atas modal saham dapat
ditentukan. Dalam hal ini, ada dua nilai yang dapat digunakan sebagai basis
kapitalisasi yaitu:
1. Nilai buku atau
nilai bawaan obligasi pada saat penukaran
2. Harga pasar
obligasi atau harga pasar saham.
Saham Prioritas Terkonversi
Pengukuran jumlah rupiah yang harus
diakui sebagai modal setoran dapat menggunakan cara seperti pada obligasi
terkonversi. Dengan pendekatan pertama,nilai nominal saham proritas plus porsi
premium/diskusi ditransfer ke modal pemegang saham dan premium/diskusi modal
pemegang saham biasa.
Kalau porsi premium tidak ditransfer
dan semua saham prioritas dikonversi menjadi saham biasa maka akan terjadi
kejanggalan karena akan terdapat premium saham prioritas padahal tidak ada
saham prioritas yang beredar. Konversi ini semata-mata menendai perubahan
status atau hak dua golongan pemegang saham.
Argumen lain yang mendukung harga pasar
sebagai dasar penilaian modal setoran adalah bahwa konversi tersebut mempunyai
substansi ekonomik tidak semata-mata formalitas. Setelah konversi berarti
perusahaan menjadi bebas dari kewajiban membayar deviden secara tetap. Ini
berarti likuiditas perusahaan bertambah dan akan mengurangi risiko pemegang
saham biasa.
Dividen Saham
Dividen saham adalah distribusi dividen
dalam bentuk saham yang sejenis dengan saham yang mula-mula diterbitkan. Bila
distribusi dividen saham tidak disertai dengan kapitalisasi laba ditahan,
deviden saham akan menyerupai pemecahan saham. Pemecahan saham adalah penurunan
nominal per saham dengan cara menukar tiap satu saham yang beredar dengan dua
atau lebih saham baru yang nilai nominal per sahamnya merupakan pecahan dari
nilai nominal saham semula.
Penilaian untuk menentukan kapitalisasi
laba ditahan dapat menggunakan dasar nominal saham atau harga pasar saham atau
dasar lainnya bergantung pada karakteristik atau tujuan pembagian dividen
saham.
Karakteristik Dividen Saham
Bagi pemegang saham, dividen saham
bukan merupakan pendapatan atau laba. Berbagai teori atau argumen diajukan
untuk menjelaskan mengapa dividen saham bukan merupakan laba bagi penerimanya.
Dividen kas hanya berfungsi sebagai
konfirmasi bahwa kemakmuran pemegang saham benar-benar telah naik secara
objektif sebelum dividen. Kalau laba ditahan dianggap sebagai ekuitas yang
terpisah sehingga ekuitas pemegang saham hanya terdiri atas modal setoran,
dividen saham atau kas merupakan pendapatan atau laba bagi pemegang saham
karena mereka memperoleh sesuatu yang sebelumnya tidak dipunyai.
Dari sudut pandang kesatuan pemilik,
dividen saham bukan merupakan laba bagi penerimanya. Alasannya adalah bahwa
laba perseroan juga merupakan laba pemilik. Oleh karena itu, dividen kas
dianggap sebagai pengambilan atau prive oleh pemilik dari sesuatu yang memang
sudah menjadi haknya sehingga tidak ada tambahan kemakmuran.
Kapitalisasi Atas Dasar Harga
Saham
Walaupun dividen saham berbeda dengan
dividen kas, sebagai dividen keduanya dianggap sebagai distribusi ke pemilik.
Oleh karena itu, deviden saham dapat dipandang sebagai pengganti dividen kas
karena dividen saham mempunyai nilai. Berbagai dasar pemikiran mendukung hal
ini:
a. Laba ditahan
pada dasarnya adalah reinvestasi dari pemegang saham tanpa tindakan pernyataan
resmi.
b. Transaksi
dividen saham dapat dianggap terdiri atasa dua transaksi yaitu pembagian
dividen kas dan penerbitan saham baru dengan harga sebesar dividen kas tersebut
c. Dari kaca mata
perusahaan, jumlah rupiah dividen saham adalah kos kesempatan penjualan saham
baru ke pasar modal.
d. Penggunaan
harga pasar juga mengurangi kesan keliru para pemegang saham bahwa masih
tersedia laba ditahan yang dapat didistribusi lagi baik dalam bentuk dividen
saham atau kas.
Hak Beli Saham
Hak beli saham adalah hak yang
diberikan bagi pemegang sahama lama untuk membeli sejumlah saham. Hal ini
biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan pemilikan pemegang saham lama. Pada
umumnya, hak beli saham umurnya tidak lama dan harga beli saham dengan hak beli
tersebut biasanya lebih rendah dari harga pasar saham bersnagkutan. Oleh karena
itu, hak beli saham sering dianggap mempunyai harga pasar sehingga timbul
pendapat bahwa hak beli saham tersebut dikapitalisasi.
Opsi Saham
Opsi merupakan saham instrumen yang
digolongkan sebagai sekuritas turunan-saham atau derivatif-saham. Disebut
turunan karena harus ada sekuritas yang melandasi atau menjadi basis. Secara
umum opsi diartikan sebagai klaim untuk membeli atau menjual saham tertentu
yang sengaja diciptakan oleh investor untuk dijual kepada investor lain.
Terdapat dua macam opsi yaitu call dan put. Opsi call memberi
hak kepada pemegang untuk membeli sejumlah saham dengan harga tertentu setiap
saat sebelum hak tersebut habis pada tanggal tertentu. Opsi put memberi
hak kepada pemegang untuk menjual sejumlah saham dengan harga tertentu setiap
saat sebelum hak tersebut habis pada tanggal tertentu.
Waran
Perusahaan dapat juga menjual hak beli
saham kepada nonpemegang saham dengan menjual kupon pembelian saham atau waran.
Dalam PSAK No. 41, IAI mendefinisi waran sebagai berikut:
Waran adalah efek yang diterbitkan oleh
suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegangnya untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu (pasal 03).
Waran berbeda dengan hak beli saham dan
opsi saham dalam beberapa aspek yaitu:
1. Waran diterbitkan
oleh perusahaan sedangkan hak beli saham diterbitkan oleh investor.
2. Jangka waktu
opsi waran biasanya lebih lama daripada jangka waktu opsi hak beli saham.
3. Waran dijual
atau diterbitkan kepada umum dan biasanya hal ini menjadi syarat bagi pembeli.
4. Saham dijual
dengan harga tertentu/tunai.
5. Harga pemeblian
saham total pada saat pengambilan opsi biasanya melebihi harga pasar saham pada
saat waran ditawarkan.
6. Bila hak opsi
tidak diambil, kos waran tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang waran.
7. Waran dapat
diterbitkan menyertai penerbitan surat utang.
Persoalan teoritis timbul bila waran
dijual sebagai bonus atau “pemanis” penjualan surat berharga lain misalnya
obligasi atau saham prioritas. Berkaitan dengan masalah diatas, PSAK No. 41
telah menetapkan perlakuan akuntansi untuk berbagai jenis waran sebagai
berikut:
Jumlah rupiah hasil penerbitan
sekuritas yang disertai waran lepas dialokasikan ke sekuritas dan waran atas
dasar nilai wajar masing-masing komponen pada saat penerbitannya. Jumlah rupiah
yang melekat pada sekuritas dilaporkan sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai
dengan karakteristiknya (pasal 15).
Apabila waran diambil,jumlah rupiah
yang melekat pada waran dikapitalisasi ke modal saham dan agio saham. Apabila
waran tidak diambil sampai masa opsi berakhir, jumlah rupiah tercatat waran
tetap diperlakukan sebagai modal setoran lain (pasal 16).
Seluruh jumlah rupiah hasil penerbitan
sekuritas yang disertai waran lekat diakui seluruhnya sebagai kewajiban atau
ekuitas sesuai dengan karakteristik (pasal 17).
Penerbitan waran bebas diperlukan
sebagai modal setoran lain sebesar jumlah rupiah hasil penerbitan tersebut.
Bila waran bebas diterbitkan secara Cuma-Cuma, tidak diperlukan penaksiran
nilai waran untuk diakui sebagai modal setoran lain (pasal 18-19).
Penurunan Modal Setoran
Berbagai sumber perubahan modal setoran
yang dibahas bersifat menaikkan atau menambah modal setoran. Pada umumnya lebih
banyak faktor yang besifat menaikkan modal setoran daripada yang
menurunkan modal setoran.
Paton dan Littleton menegaskan bahwa ditinjau dari segi
penilaian pasar terhadap perusahaan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa
baik perseroan maupun pemegang saham yang mengembalikan haknya memperoleh laba
efektif, atau menderita rugi efektif dalam transaksi modal tersebut.
Saham Treasuri
Transaksi yang jelas akan mengurangi
modal setoran adalah penarikan kembali untuk sementara saham menjadi saham
treasuri. Beberapa alasan perusahaan melakukan penarikan kembali saham sebagai
saham treasuri adalah:
a. Saham tersebut
akan diterbitkan kembali kepada karyawan dalam program opsi saham.
b. Saham tersebut
akan digunakan untuk membeli perusahaan lain dalam transaksi penggabungan
usaha.
Konsep Satu-Transaksi
Konsep ini disebut juga dengan metoda
kos karena jumlah rupiah total yang dibayarkan dianggap seakan-akan merupakan
kos pembelian saham trasuri. Artinya, pembelian dan penjualan dianggap sebagai
kesatuan transaksi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan transaksi saham
treasuri tersebut.
Perubahan Laba Ditahan
Laba yang dipindahkan dari akun
laba-rugi adalah laba yang merupakan selisih sleuruh elemen transaksi operasi dalam arti luas yang
disebut laba komprehensif. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan laba
ditahan dalam satu perioda berubah selain karena transaksi modal tetapi karena
transaksi khusus yaitu:
1. Penyesuaian
periode lalu
2. Koreksi
kesalahan dalam laporan keuangan sebelumnya
3. Pengaruh
perubahan akuntansi
4. Kuasi-reorganisasi
Perubahan akuntansi
Karena alasan tertentu suatu perusahaan
mungkin melakukan kebijakan yang mempunyai pengaruh terhadap konsistensi dalam
proses akuntansi dan pelaporan keuangan yang disebut dengan perubahan
akuntansi. Ada tiga macam perubahan akuntansi:
1. Perubahan
prinsip atau metoda akuntansi
2. Perubahan
taksiran akuntansi
3. Perubahan
kesatuan pelaporan
Urutan Penyerapan Rugi
Secara umum kos yang telah dikorbankan
menjadi biaya akan diserap melalui aliran pendapatan kotor. Urutan penyerapan
biaya,rugi, dan rugi luar biasa dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendapatan Kotor.
2. Laba Bersih.
3. Laba Ditahan.
4. Premium modal saham.
5. Modal saham.
Urutan Menerima Distribusi Aset
Urutan perlindungan menunjukkan siap
yang harus didahulukan dalam menerima distribusi aset atau siapa yang
menanggung segala akibat dalam kasus perusahaan dilikuidasi. Ditinjau dari segi
ini, urutan perlindungan dapat dikemukakkan sebagai berikut:
1. Karyawan dan Pemerintah.
2. Kreditor berjaminan.
3. Krerditor tak berjaminan.
4. Pemegang saham prioritas.
5. Pemegang saham biasa.
2.3. PENYAJIAN KEWAJIBAN
DAN EKUITAS MENURUT SAK ETAP
Kewajiban Diestimasi
a. Entitas
mengakui kewajiban diestimasi jika:
Ø Memiliki kewajiban kini sebagai
hasil dari peristiwa masa lalu
Ø Kemungkinan terjadi bahwa entitas
akan disyaratkan untuk mentransfer manfaat ekonomi pada saat penyelesaian
Ø Jumlah kewajiban dapat diestimasi
dengan andal
b. Entitas
mengakui kewajiban diestimasi sebagai kewajiban dalam neraca dan mengakui
jumlah kewajiban diestimasi tersebut sebagai beban dalam laporan laba rugi,
kecuali jika:
Ø Merupakan bagian dari biaya
memproduksi persediaan
Ø Termasuk dalam nilai aset tetap
c. Jumlah yang
diakui sebagai kewajiban diestimasi adalah hasil estimasi terbaik pengeluaran
yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban kini pada tanggal pelaporan. Jika
dampak nilai waktu uang cukup material, maka jumlah kewajiban diestimasi adalah
nilai kini dari perkiraan nilai pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan
kewajiban.
Kewajiban Kontinjensi
a. Kewajiban kontinjensi merupakan
kawajiban potensial yang belum pasti atau kewajiban kini yang tidak diakui karena
tidak memenuhi salah satu atau kedua kondisi pada item kewajiban diestimasi
a(2) dan a(3) diatas. Entitas tidak boleh mengakui kewajiban kontinjensi
sebagai kewajiban
b. Entitas tidak boleh mengakui aset
kontinjensi sebagai aset.
Pengungkapan
a. Untuk
setiap jenis kewajiban diestimasi, entitas harus mengungkapkan:
Ø Jumlah tercatat awal dan akhir
periode
Ø Kewajiban diestimasi tambahan
Ø Jumlah yang digunakan selama periode
bersangkutan
Ø Jumlah yang belum digunakan selama
periode besangkutan
Ø Peningkatan nilai kini
Ø Uraian singkat mengenai sifat
kewajiban dan perkiraan saat arus keluar sumber daya terjadi
Ø Indikasi ketidakpastian jumlah dan
saat arus ks keluar
Ø Jumlah ekspektasi penggantian
b. Entitas
mengungkapkan setiap jenis kewajiban kontinjensi pada saat pelaporan, uraian
dan sifat kontinjensi dan jika praktis dilakukan:
Ø Estimasi dampak keuangan
Ø Indikasi ketidakpastian
Ø Kemungkinan penggantian oleh pihak
ketiga.
Ekuitas
a. Modal saham badan usaha berbentuk PT
meliputi saham preferen, saham biasa dan akun tambahan modal disetor. Pos modal
lain seperti modal yang berasal dari sumbangan dapat disajikan sebagai bagian
dari tambahan modal disetor.
b. Penambahan modal disetor PT dicatat
berdasarkan:
Ø Jumlah uang yang diterima
Ø Setoran saham dalam bentuk uang sesuai
transaksi yang nyata
Ø Besarnya tagihan yang timbul atau
utang yang dikonversi menjadi modal
Ø Setoran dalam dividen saham
dilakukan dengan harga saham wajar yang disepakati
Ø Nilai wajar aset bukan kas yang
diterima
Ø Setoran saham dalam bentuk barang
menggunakan nilai wajar aset bukan kas yang diserahkan, yaitu nilai appraisal
tanggal transaksi yang disetujui dewan komisaris.
c. Pencatatan pengurangan modal disetor
PT:
Ø Jumlah uang yang dibayarkan
Ø Besarnya utang yang timbul
Ø Nilai wajar aset bukan kas yang
diserahkan
d. Pengeluaran saham PT dicatat sebesar
nilai nominal yang bersangkutan dan apabila ada selisih lebih dibukukan pada
agio saham.
e. Perolehan kembali saham yang telah
dikeluarkan dapat dicatat dengan menggunakan metode biaya atau metode nilai
pari.
f. Dividen dapat dibagikan dalam bentuk
kas maupun aset bukan kas.
g. Dividen saham adalah pembagian saldo
laba kepada pemegang saham yang diinvestasikan kembali oleh mereka daam bentuk
modal disetor, dan dicatat berdasarkan nilai wajar saham.
h. Konversi agio menjadi saham
digolongkan sebagai modal disetor sebesar nilai nominal dan tidak boleh
digolongkan sebagai pembagian deviden.
Penyajian dan
pengungkapan:
Ø Penyajian modal didalam neraca.
Ø Modal dasar, modal ditempatkan dan
modal disetor, nilai nominal dan banyaknya saham untuk setiap jenis saham
dinyatakan dalam neraca.
Ø Saldo laba menunjukkan akumulasi
hasil usaha periodic setelah memperhitungkan pembagian deviden dan koreksi laba
rugi periode lalu, serta dinyatakan terpisah dari akun modal saham. Seluruh
saldo laba dianggap bebas untuk dibagikan kecuali jika diberikan indikasi
mengenai pembatasan terhadap saldo laba.
Pengungkapan saldo laba meliputi:
Ø Penjatahan dan pemisahan saldo laba
Ø Peraturan, perikatan, batasan dan
jumlah batasan di sekitar saldo laba
Ø Koreksi masa lalu
Ø Pengungkapan jumlah deviden dan
dividen per lembar saham
Ø Tunggakan deviden
Ø Pengungkapan deklarasi deviden
setelah tanggal neraca, sebelum penyelesaian laporan keuangan.
Pengungkapan
per jenis saham:
Ø Modal dasar
Ø Modal ditempatkan atau dipesan belum
disetor
Ø Modal disetor
Ø Harga nominal per lembar
Ø Perubahan lembar saham tiap jenis saham
dan saldo nilai rupiah per jenis saham
Ø Hak istimewa
Ø Batasan khusus
Ø Penjelasan bila dapat konversi,
tarif konversi.
Pengungkapan
deviden:
Ø Jumlah deviden
Ø Dividen per lembar saham
Ø Bentuk dividen
Ø Batasan saldo laba minimum
Ø Utang dividen
Ø Pengumuman pembagian deviden
Ø Jumlah kapitalisasi deviden saham
dan pemecahan saham
Pengungkapan
saham beredar yang diperoleh kembali:
Ø Saham beredar, metode biaya
disajikan sebagai pengurang jumlah modal.
Ø Saham beredar yang diperoleh
kembali, metode nilai nominal sebagai pengurang saham sejenis.
Ekuitas sebagai bagian hak pemilik dalam entitas harus
dilaporkan sedemikian rupa sehingga memberikan informasi mengenai sumbernya
secara jelas dan disajikan sesuai dengan peraturan perundangan dan akta
pendirian yang berlaku. Bentuk hukum entitas dan ekuitas sebagai berikut:
Bentuk Hukum
|
Bentuk Ekuitas
|
Entitas
Perorangan
|
Entitas
Perorangan bukan suatu badan hukum, dan modalnya tidak terbagi atas saham.
Harta kekayaan pribadi pemilik entitas terikat pada utang piutang usaha
perorangan
|
Persekutuan
Perdata
|
Persekutuan
Perdata bukan suatu badan hukum, dan modalnya tidak terdiri atas saham
|
Firma
|
Modal
firma tidak terbagi atas saham dan para anggota Firma bertanggung jawab
renteng atas kewajiban Firma sebagai suatu persekutuan perorangan
|
Commandtaire
Vennootschap (CV)
|
Modal
suatu persekutuan CV harus dipisahkan antara Modal Pesero Aktif dan Modal
Pesero Komanditer. Pesero aktif adalah pesero yang bertindak aktif sebagai
pengurus CV. Pesero Komanditer adalah pesero tidak aktif sebagai pengurus CV
dan hanya bertanggung jawab sebatas modal CV yang menjadi bagiannya.
|
Perseroan
Terbatas (PT)
|
Modal
Perseroan Terbatas terdiri atas saham. Tanggung jawab persero terbatas pada
jumlah modal saham yang disetor jika PT telah disahkan Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia.
|
Koperasi
|
Koperasi
adalah badan hukum. Modal pokok koperasi adalah simpanan pokok anggota, mirip
saham atas nama, tak dapat dipindahtangankan dan dapat diambil kembali bila
anggota keluar dari keanggotaan koperasi. Ekuitas koperasi atau kekayaan
bersih koperasi adalah simpanan pokok, simpanan lain, pinjaman-pinjaman,
penyisihan hasil usaha termasuk cadangan.
|
Instrumen keuangan dibagi menjadi dua, yaitu instrumen
keuangan kewajiban dan instrumen keuangan ekuitas. Klasifikasi instrumen
keuangan ditentukan berdasarkan substansi pengakuan awal transaksi (contractual
arrangement on initial recognition). Jika pada awal transaksi penyerahan
suatu instrumen keuangan mengandung kewajiban kontraktual untuk menyerahkan
uang tunai atau sejenisnya di masa yang akan datang, maka instrumen keuangan
tersebut digolongkan sebagai kewajiban.
Jika pemegang instrumen keuangan tak mempunyai hak keuangan
masa depan pada penerbit instrumen, namun berhak secara proporsional atas
dividen atau distribusi berlandaskan ekuitas, maka instrumen tersebut
digolongkan sebagai ekuitas. Instrumen keuangan yang tidak mengandung pemaksaan
pelaksanaan kewajiban keuangan pada saat entitas dalam kondisi kurang
menggembirakan, digolongkan sebagai ekuitas.
Akuntansi
Ekuitas untuk Badan PT
Modal saham adalah bentuk ekuitas untuk badan usaha
berbentuk PT. Modal saham meliputi saham preferen, saham biasa dan akun
Tambahan Modal Disetor. Pos modal lainnya seperti modal yang berasal dari
sumbangan dapat disajikan sebagai bagian dari tambahan modal disetor.
Akun Tambahan Modal Disetor terdiri dari berbagai macam
unsur penambah modal, seperti agio saham, tambahan modal dari perolehan kembali
saham dengan harga yang lebih rendah dari jumlah yang diterima pada saat pengeluaran,
tambahan modal dari penjualan saham yang diperoleh kembali dengan harga di atas
jumlah yang dibayarkan pada saat perolehannya, tambahan modal dari perbedaan
kurs modal disetor dan lain sebagainya. Akun Tambahan Modal Disetor tidak boleh
didebit atau dikredit dengan pos laba atau rugi.
Penambahan
modal disetor dicatat berdasarkan:
1. Jumlah uang yang diterima.
Setoran
saham dalam bentuk uang, sesuai transaksi yang nyata. Untuk jenis saham yang
diatur dalam bentuk rupiah dalam akta pendirian setoran saham tunai dalam
bentuk mata uang asing dinilai dengan kurs berlaku tanggal setoran. Untuk jenis
saham yang diatur dalam mata uang asing dalam akta pendiriannya, setoran tunai
baik rupiah atau mata uang asing lain harus dikonversi ke mata uang asing dalam
akta pendirian sesuai kurs resmi yang berlaku pada tanggal setoran, kecuali
akta pendirian atau keputusan pemerintah menentukan kurs tetap. Selisih kurs
mata uang asing yang timbul sehubungan dengan transaksi modal, harus dibukukan
sebagai bagian dari modal dalam akun Selisih Kurs atas Modal Disetor dan bukan
merupakan unsur laba rugi.
2. Besarnya tagihan yang timbul atau
utang yang dikonversi menjadi modal.
Setoran
dalam dividen saham dilakukan dengan harga saham wajar yang disepakati Rapat
Umum Pemegang Saham untuk saham yang tidak ada harga pasarnya.
3. Nilai wajar aset bukan kas yang
diterima.
Setoran
saham dalam bentuk barang (inbreng), menggunakan nilai wajar aset bukan kas
yang diserahkan, yaitu nilai appraisal tanggal transaksi yang disetujui dewan
komisaris atau nilai kesepakatan dewan komisaris dan penyetor bentuk barang.
Pengurangan
modal disetor lazimnya dicatat berdasarkan:
1. Jumlah uang yang dibayarkan.
2. Besarnya utang yang timbul.
3. Nilai wajar aset bukan kas yang
diserahkan.
Pengeluaran saham dicatat sebesar nilai nominal yang
bersangkutan. Bila jumlah yang diterima dari pengeluaran saham tersebut lebih
besar dari pada nominalnya, selisih yang terjadi dibukukan pada akun Agio
Saham. Saham yang dikeluarkan sehubungan dengan penyertaan modal dalam bentuk
penyerahan aset bukan kas atau pemberian jasa umumnya dinilai sebesar nilai
wajar aset/jasa tersebut atau nilai wajar saham yang bersangkutan, tergantung
mana yang lebih jelas.
Bila ketentuan hukum yang ada memungkinkan penarikan kembali
saham yang telah dikeluarkan, maka pencatatan transaksi ini dilakukan dengan
mendebit akun Modal Saham dan mengkredit Modal Saham yang Diperoleh Kembali
sebesar jumlah yang dibukukan pada saat perolehan kembali saham yang
bersangkutan. Perolehan atau penarikan kembali
saham yang beredar dapat dijelaskan pada ketiga kategori dibawah:
1. Perolehan Kembali
Saham Beredar dengan Menggunakan Metode Biaya
Jika entitas memperoleh kembali saham yang telah
dikeluarkan, selisih antara jumlah yang dibayarkan pada saat perolehan kembali
dengan jumlah yang diterima pada saat pengeluaran saham tidak diakui sebagai
laba atau rugi entitas. Perolehan kembali saham yang telah dikeluarkan dapat
dicatat dengan menggunakan metode biaya atau metode nilai pari. Dengan metode
biaya, saham yang diperoleh kembali dicatat sebesar harga perolehan kembali dan
disajikan sebagai pengurang atas jumlah modal.
Saham yang dibeli kembali dicatat sesuai harga perolehan
kembali, disajikan sebagai pengurang akun Modal Saham, untuk saham sejenis,
disajikan dalam jumlah lembar dan nilai nominal. Kemudian, selisih harga
perolehan kembali dengan nilai disajikan sebagai pengurang atau penambah akun
Agio Saham, disajikan per jenis saham dan Rupiah, dengan judul Tambahan
(Pengurang) Agio Modal Dari Perolehan Kembali Saham. Jika agio saham menjadi
defisit (disagio) karena transaksi perolehan kembali, defisit tersebut
dibebankan pada saldo laba
2. Perolehan Kembali
Saham Beredar dengan Pari Value Method
Metode nilai nominal lazimnya digunakan dalam hal saham yang
diperoleh kembali tersebut akan di keluarkan lagi dikemudian hari. Dengan
metode nilai nominal, saham yang diperoleh kembali dicatat sebesar nilai
nominal saham yang bersangkutan dan disajikan sebagai pengurang akun Modal
Saham.
Apabila saham yang diperoleh kembali tersebut semula
dikeluarkan dengan harga di atas nilai nominal, akun Agio Saham akan didebit
dengan agio saham yang bersangkutan. Dalam hal jumlah yang dibayarkan lebih
besar daripada jumlah yang diterima pada saat pengeluarannya, selisih tersebut dibukukan
dengan mendebit akun Saldo Laba.
Sebaliknya bila jumlah yang dibayarkan lebih kecil,
selisihnya dianggap sebagai unsur penambah modal dan dibukukan dengan
mengkredit akun Tambahan Modal dari Perolehan Kembali Saham. Metode ini
lazimnya digunakan bila perolehan kembali dilakukan dalam rangka penarikan
saham.
3. Perolehan Kembali
Saham Dari Sumbangan
Saham yang diperoleh kembali dari sumbangan lazimnya dicatat
sebesar jumlah yang diterima pada saat pengeluarannya dengan mendebit akun
Modal Saham yang Diperoleh Kembali dan mengkredit akun Modal yang Berasal dari
Sumbangan. Pada saat saham tersebut dijual kembali, selisih antara jumlah yang
tercatat dengan harga jualnya ditambahkan pada akun Modal yang Berasal dari
Sumbangan.
Kewajiban entitas untuk membagi dividen timbul pada saat
deklarasi dividen, dan dengan demikian pada saat tersebut saldo laba akan
dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Kewajiban yang timbul lazimnya
disajikan dalam kelompok laibilitas lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk
aset bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aset yang
diserahkan. Dasar pencatatn untuk pembagian dividen dalam bentuk aset bukan kas
dan saham harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Pembagian dividen termasuk dividen saham berasal dari saldo
laba. Pembagian dividen saham adalah pembagian saldo laba kepada pemegang
saham, yang diinvestasikan kembali oleh mereka dalam bentuk modal disetor.
Pembagian dividen saham dicatat berdasarkan nilai wajar saham. Konversi agio
menjadi saham digolongkan sebagai Modal Disetor sebesar nilai nominal. Konversi
agio menjadi saham tidak boleh digolongkan sebagai pembagian dividen.
2.4. PENYAJIAN KEWAJIBAN DAN
EKUITAS MENURUT IFRS
IAS 32 mewajibkan bahwa penerbit suatu instrumen keuangan harus
mengklasifikasikan pada waktu pengakuan awal instrumen atau bagian dari
komponennya ke dalam:
Ø Ekuitas;
atau
Ø Liabilitas
keuangan; atau
Ø Aset
keuangan.
Hal ini harus dilakukan atas dasar substansi transaksi dan
definisi istilah. Suatu fitur yang kritis dari suatu liabilitas keuangan adalah
eksistensi dari:
Ø Suatu
liabilitas kontraktual dari penerbit instrumen keuangan untuk mengirimkan kas
atau aset keuangan lainnya kepada pemegang menurut kondisi yang secara
potensial tidak menguntungkan bagi penerbit; atau
Ø Liabilitas
kontraktual penerbit untuk menukarkan aset keuangan atau liabilitas keuangan
dengan pemegangnya.
Walaupun dividen seringkali dibayarkan untuk instrumen
ekuitas, tidak ada liabilitas untuk membayar dividen yang semacam itu. Bilamana
penerbit memiliki liabilitas untuk membayar dividen atau melunasi modal,
seperti dalam hal saham preferen yang dapat ditebus tanpa liabilitas membayar
bunga atau saham preferen yang tidak dapat ditebus dengan liabilitas membayar
bunga, maka instrumen diklasifikasikan sebagai suatu liabilitas.
PSAK 50 membahas tentang instrumen keuangan, yang diadopsi
dari IAS 32. Dalam penerapannya di indonesia, semua aturan yang terdapat di
dalam IAS 32 diterapkan, kecuali IAS 32 paragraf 96-97F tentang tanggal efektif
dan ketentuan transisi tidak diadopsi karena tidak relevan. IAS 32 paragraf
98-100 tentang penarikan tidak diadopsi karena tidak relevan.
Ruang
lingkup PSAK 50 adalah:
Pertama, tidak termasuk kontrak untuk imbalan kontijensi
dalam kombinasi bisnis. Kedua, tidak ada puttable
instrument. Ketiga, definisi aset keuangan termasuk suatu kontrak derivatif
yang diselesaikan dengan instrumen ekuitas entitas (tidak termasuk kontrak
untuk menyerahkan instrumen ekuitas entitas di masa depan).
Definisi liabilitas keuangan termasuk suatu kontrak
derivatif yang diselesaikan dengan instrumen ekuitas entitas (tidak termasuk
kontrak untuk menerima atau menyerahkan instrumen ekuitas entitas di masa
depan).
Instumen keuangan, diklasifikasikan sebagai instrumen
ekuitas jika Tidak memiliki kewajiban kontraktual untuk menyerahkan aset
keuangan, atau mempertukarkan aset keuangan atau liabilitas keuangan yang
berpotensi tidak menguntungkan; dan Jika diselesaikan dengan instrumen ekuitas
entitas, instrumen keuangan tersebut merupakan non derivatif dengan kewajiban
untuk menyerahkan instrumen ekuitas dengan jumlah bervariasi, atau derivatif
yang diselesaikan dengan instrumen ekuitas entitas (tidak termasuk kontrak
untuk menerima atau menyerahkan instrumen ekuitas entitas di masa depan).
Berikut adalah pengertian istilah yang digunakan dalam
Pernyataan ini: Aset keuangan adalah setiap aset yang berbentuk:
(a) Kas;
(b) Instrumen ekuitas yang diterbitkan
entitas lain;
(c) Hak kontraktual;
Ø Untuk menerima kas atau aset
keuangan lain dari entitas lain; atau
Ø Untuk mempertukarkan aset keuangan
atau liabilitas keuangan dengan entitas lain dengan kondisi yang berpotensi
menguntungkan entitas tersebut, atau
(d) Kontrak yang akan atau mungkin
diselesaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas yang diterbitkan oleh entitas
dan merupakan:
Ø Nonderivatif di mana entitas harus
atau mungkin diwajibkan untuk menerima suatu jumlah yang bervariasi dari
instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas; atau
Ø Derivatif yang akan atau mungkin
diselesaikan selain dengan mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau aset
keuangan lain dengan sejumlah tertentu instrumen ekuitas yang diterbitkan
entitas. Untuk tujuan ini, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tidak
termasuk instrumen keuangan yang mempunyai fitur opsi jual (puttable financial
instruments) yang dikategorikan sebagai instrumen ekuitas sesuai dengan
paragraf 13 dan 14, instrumen yang mensyaratkan suatu kewajiban terhadap
entitas untuk menyerahkan kepada pihak lain bagian prorata aset neto entitas
hanya pada saat likiudasi dan dikategorikan sebagai instrumen ekuitas sesuai
dengan paragraf 15 dan 16, atau instrumen yang merupakan kontrak untuk menerima
atau menyerahkan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tersebut di masa
yang akan datang.
Instrumen ekuitas adalah setiap kontrak yang memberikan hak
residual atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan seluruh
liabilitasnya. Instrumen keuangan adalah setiap kontrak yang menambah nilai
aset keuangan entitas dan liabilitas keuangan atau instrumen ekuitas entitas
lain.
Suatu instrumen ekuitas adalah suatu kontrak yang membuktikan
suatu kepentingan residual di dalam aset suatu entitas setelah dikurangkan
dengan semua liabilitasnya. Contoh instrumen ekuitas adalah:
1. Saham
ekuitas yang tidak dapat dijual kembali (non-puttable).
2. Jenis
saham preferen tertentu.
3. Waran
atau opsi beli tertulis yang mengizinkan pemilik untuk berlangganan atau
membeli sejumlah saham ekuitas tidak dapat dijual kembali (non-puttable) yang ditetapkan di dalam
entitas penerbit dalam menukarkan sejumlah kas atau aset keuangan lainnya yang
ditetapkan.
Suatu liabilitas
kontraktual dari penerbit instrumen keuangan untuk mengirimkan kas atau aset
keuangan lainnya kepada pemegang menurut kondisi yang secara potensial tidak
menguntungkan bagi penerbit.
Instrumen yang mempunyai fitur opsi jual (puttable instrument) adalah instrumen
keuangan yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menjual kembali instrumen
kepada penerbit dan memperoleh kas atau aset keuangan lain atau secara otomatis
menjual kembali kepada penerbit pada saat terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti di masa yang akan datang atau kematian atau purna karya dari pemegang
instrumen.
Mata uang (kas) adalah aset keuangan karena merupakan alat
tukar dan karenanya menjadi dasar bagi pengukuran dan pengakuan seluruh
transaksi dalam laporan keuangan. Setoran tunai pada bank atau institusi
keuangan serupa adalah aset keuangan karena memberikan hak kontraktual bagi
deposan untuk memperoleh kas dari institusi tersebut atau untuk melakukan
penarikan melalui cek atau instrumen serupa untuk melunasi liabilitas
keuangannya kepada kreditor.
Contoh dari instrumen ekuitas meliputi saham biasa yang
tidak dapat dijual kembali (nonputtable
ordinary shares), beberapa instrumen yang mempunyai fitur opsi jual (puttable instrument) (lihat paragraf 13
dan 14), beberapa instrumen, yang mensyaratkan suatu kewajiban kepada entitas
untuk menyerahkan ke pihak lain bagian aset neto entitas secara prorata hanya
pada saat likuidasi (lihat paragraf 15 dan 16), beberapa jenis saham preferen
(lihat paragraf PA34 dan PA35), waran atau penerbitan opsi beli yang
memungkinkan pemegangnya untuk memesan atau membeli pada entitas penerbit
sejumlah tertentu saham biasa yang tidak dapat dijual kembali dengan menukarkan
sejumlah tertentu kas atau aset keuangan lain.
Kewajiban entitas untuk menerbitkan atau membeli sejumlah
tertentu instrumen ekuitasnya dengan mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau
aset keuangan lain merupakan instrumen ekuitas entitas (kecuali yang dinyatakan
dalam paragraf 25). Namun, jika kontrak tersebut mengandung kewajiban bagi
entitas untuk menyerahkan kas atau aset keuangan lain sebagai pembayaran
(selain kontrak yang dikategorikan sebagai ekuitas sesuai dengan paragraf 13
dan 14 atau paragraf 15 dan 16), maka kontrak tersebut menimbulkan liabilitas
sebesar nilai kini dari jumlah penebusan (lihat paragraf PA36(a)).
Penerbit saham biasa yang tidak dapat dijual kembali
mengakui timbulnya liabilitas ketika penerbit telah bertindak secara formal
untuk melakukan distribusi dan menjadi berkewajiban secara hukum kepada
pemegang saham untuk melaksanakannya. Hal ini bisa terjadi setelah deklarasi
dividen atau ketika entitas mengakhiri operasinya dan setiap aset yang tersisa setelah
pelunasan seluruh liabilitasnya didistribusikan kepada pemegang saham. Liabilitas dan Ekuitas (Paragraf 11 – 30)
Tanpa Kewajiban Kontraktual untuk Menyerahkan Kas atau Aset Keuangan Lain
(Paragraf 19–22).
Saham preferen dapat diterbitkan dengan berbagai jenis hak.
Dalam menentukan apakah saham preferen merupakan liabilitas keuangan atau
instrumen ekuitas, penerbit menilai hak-hak tertentu yang melekat pada saham
untuk menentukan apakah saham tersebut memiliki karakteristik fundamental suatu
liabilitas keuangan.
Sebagai contoh, saham preferen yang memberi hak kepada
pemegangnya untuk menebus saham tersebut pada tanggal yang telah ditetapkan
atau pada tanggal yang dipilih oleh pemegangnya mengandung liabilitas keuangan
karena penerbit berkewajiban menyerahkan aset keuangan pada pemegang saham.
Potensi ketidakmampuan penerbit dalam memenuhi kewajibannya untuk menebus saham
preferen tersebut sesuai dengan kontrak, baik disebabkan karena tidak
tersedianya dana, atau karena dibatasi peraturan perundang-undangan, atau
karena tidak memadainya laba atau cadangan, tidak membatalkan kewajibannya
tersebut.
Suatu opsi bagi penerbit untuk menebus saham secara kas
tidak memenuhi definisi suatu liabilitas keuangan karena penerbit tidak
memiliki kewajiban saat ini untuk mentransfer aset keuangan kepada pemegang
saham. Dalam kasus ini, penebusan saham sepenuhnya didasarkan pada kebijakan
penerbit. Namun demikian, suatu kewajiban dapat timbul ketika penerbit saham
melaksanakan opsi yang dimilikinya, biasanya dengan pemberitahuan formal kepada
pemegang saham tentang niat untuk menebus saham-saham tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
IFRS akan menjadi “kompetensi wajib-baru” bagi para pekerja
accounting.
Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengadopsi IFRS sebagai standar pelaporan keuangan. Hingga saat ini Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan, salah satunya pada PSAK 50. Menurut kelompok kami, adanya perbedaan mengenai 6 (enam) hal yang terdapat dalam IFRS 32 dan PSAK 50 disebabkan berbagai macam hal. Salah satu yang paling mempengaruhi adalah keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya bangsa Indonesia. Karena IFRS dibuat atas dasar global (luas), sehingga perlu adanya penyesuaian dalam pengimplementasiannya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengadopsi IFRS sebagai standar pelaporan keuangan. Hingga saat ini Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan, salah satunya pada PSAK 50. Menurut kelompok kami, adanya perbedaan mengenai 6 (enam) hal yang terdapat dalam IFRS 32 dan PSAK 50 disebabkan berbagai macam hal. Salah satu yang paling mempengaruhi adalah keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya bangsa Indonesia. Karena IFRS dibuat atas dasar global (luas), sehingga perlu adanya penyesuaian dalam pengimplementasiannya.
Dengan diterapkannya IFRS di Indonesia telah membuktikan
bahwa Indonesia secara bertahap telah mengadaptasi dan mengharmonisasikan IFRS
dalam penyusunan standar. Sehingga diharapkan nantinya Indonesia dapat
menyajikan laporan keuangan yang berstandar internasional dan ikut berperan
serta dalam persaingan bisnis global.
DAFTAR PUSTAKA
Ankarath, dkk. 2012. Memahami IFRS. Indeks: Jakarta.
Aristiya M, Maya. 2014. Analisis
Perbedaan Tingkat Konservatisme Akuntansi Laporan Keuangan Sebelum dan Sesudah
Konvergensi IFRS (Online). Available
from: http://e-journal.uajy.ac.id/ diakses, 10
November 2016.
Astika.
Putra. 2011. Teori akuntansi: Konsep-konsep Dasar akuntansi Keuangan.
Denpasar: Udayana University Press.
Batsyeba W, Eka. 2012. Pengaruh
Konvergensi IFRS Terhadap Liabilitas dan Pengaruhnya Terhadap Laporan
Konsolidasi (Online). Available From: http://ejournal.unesa.ac.id/ diakses, 11
November 2016.
Cahyonowati, Nur. 2012. Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Informasi
Akuntansi (Online). Available from: http://jurnalakuntansi.petra.ac.id/ diakses, 11 November
2016.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi
Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi
Keuangan Entitas tanpa Akuntabilitas Publik. Jakarta: Dewan Standar
Akuntansi Keuangan.
Kartikahadi, Hans.
2012. Akuntansi Keuangan berdasarkan IFRS. Salemba Empat:
Jakarta.
Kieso, dkk 2009, Intermediate Accounting Jilid Satu, Edisi Kedua Belas,
Erlangga, Jakarta.
Suwardjono,
2013, Teori Akuntansi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment