Tuesday, December 6, 2016

KUMPULAN CERPEN (Cerita pendek)


Bertemu Kembali

     Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Tareq temanku sudah menunggu diluar rumahku dia mengajakku untuk bermain bola basket. Ayo kita bermain basket ke lapangan, ajaknya padaku. Sekarang? tanyaku dengan sedikit mengantuk. Besok! Ya. Sekarang! jawabnya dengan kesal. Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!, Iya tapi cepat ya, pintanya. Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumahku. Sesampainya di lapangan , ternyata di sana sudah banyak orang. Karena ramai tareq jadi malas main basket. Mahdi! seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. Zaini? tanyaku padanya. Zaini adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Zaini juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. Hai masih ingat aku nggak? tanyanya padaku. Zaini kan? tanyaku . Yupz! Jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ari. Ari! Sini panggilku pada Ari yang sedang asyik bermain basket. Apa lagi? Tanyanya padaku. Ada yang datang jawabku. Siapa? tanyanya , Zaini! jawabku. Ari heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Zaini yang tiba-tiba menyapanya. Zaini, apa kabarmu kenapa baru pulang ke makassar ? tanya Ari.

     Mumpung libur sekolah saya menyempatkan diri dating ke Makassar. Setelah itu kami berbincang tentang pangalaman masing-masing. Saat asyik bercerita zaini tiba-tiba di senggol motor, dan langsung terlempar. Kami langsung panik , kami tak tau harus berbuat apa. Kami meminta tolong pada orang di sekitar jalan, tetapi tidak ada orang. Karena terdesak, Terpaksa kita membawanya ke rumah sakit. Ternyata kaki zaini terkilir dan
dia tidak bisa berjalan, sehingga harus di rawat di rumah sakit.
    
     Hampir setiap hari kami menjenguk zaini di rumah sakit sampai sembuh. Saat kaki zaini kembali sehat, ia keluar dari rumah sakit. tapi dia sudah mau pulang ke bandung. Yah..! kita jadi tidak sempat bermain bersama.

  ~Unsur-unsur intrinsik cerpen Bertemu Kembali~

Tema              : Kecelakaan

Alur                 : Alur Mundur

Penokohan        : - Tareq = baik dan ramah
                         -  Ari    = ramah dan baik
                          - Zaini  = baik, tetapi sedikit ceroboh

Sudut pandang : Cerpen tersebut menarik Karena bahasa
                         yang di gunakan bahasa yang mudah
                         di mengerti sehingga pembaca merasakan
                         sendiri kejadian yang ada dalam cerpen.

Amanat           : Jika berjalan kita harus hati-hati untuk
                         menjaga keselamatan kita sendiri.





 Kupu-Kupu Tidur

     Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya. 


     Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.



     "Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."



Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.



     "Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."



     Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.



     Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.



     Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.



     Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".



     Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.



     "Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.


     "Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.


     Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak. 



     "Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."



     Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.



     Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.


    Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.




Cahaya Bulan

     Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss.


     Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara.



     Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya.



     Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan.



     Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss.



     Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya. 



     Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?"
     Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?"



     Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi. 
     "Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku pasti akan mengetahuinya."



     Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!"



     Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku … aku punya seorang kekasih."
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya.



     Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan.



     "Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mudah jatuh.



     Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.



     Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu.



     Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’



     Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat.



     Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu.



     Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat.



     Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?



     Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’



     Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit.



     Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.



     Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.
Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!"

     Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu.




Wabah

Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga kepada yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, "Bau apa ini?" Lalu keadaan itu meningkat menjadi bisik-bisik antar "kelompok" dalam keluarga besar itu. Kakek berbisik-bisik dengan nenek. "Kau mencium sesuatu, nek?"

"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab nenek.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"

"Mungkin anakmu."
"Belum tentu; boleh jadi cucumu!"

"Atau salah seorang pembantu kita."
Ayah berbisik-bisik dengan ibu. "Kau mencium sesuatu, Bu?"

"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab ibu.
"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"

"Mungkin ibumu."
"Belum tentu; boleh jadi menantumu."
"Atau salah seorang pembantu kita."

Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan istri atau suami masing-masing. Anak-anak berbisik antarmereka. Para pembantu berbisik-bisik antarmereka. Kemudian keadaan berkembang menjadi bisik-bisik lintas "kelompok". Kakek berbisik-bisik dengan ayah atau menantu laki-laki atau pembantu laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu atau menantu perempuan atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orang tua masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu perempuannya atau pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak laki-lakinya atau menantu laki-lakinya atau pembantu laki-laki. Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.

Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya tercium oleh masing-masing itu semakin menjadi masalah, ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling curiga antarmereka. Apalagi setiap hari selalu bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu.

Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan keluarga besar itu. Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh tak sedap itu. Masing-masing menuduh yang lainlah sumber bau aneh tak sedap itu.

Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami deadlock, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada menganalisa saja mengapa muncul bau aneh tak sedap itu.

Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri maupun lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman. Setiap hari, masing-masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan seterusnya. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Menumpuk atau merendam pakaian kotor dilarang keras.

Juga disepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar tak ada seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas. Siapa tahu bau itu muncul justru dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan memakai parfum dan menyemprot kamar masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau seperti trasi, ikan asin, jengkol, dan sebagainya dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami, ditanami bunga-bunga yang berbau wangi seperti mawar, melati, kenanga, dan sebagainya.

Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil dan justru bau aneh tak sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk beramai-ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap sesuatu penyakit. Mereka percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau seperti sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dan sebagainya. Pertama-tama mereka datang ke puskesmas dan satu per satu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas yang memeriksa mereka menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang pun yang mengidap sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis; mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja. Semua dokter yang memeriksa tidak menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya.

Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter --mulai dari dokter puskesmas hingga dokter-dokter spesialis-- di kota, mereka dinyatakan sehat. Setidak-tidaknya bau aneh dan busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap. Namun ini tidak memecahkan masalah. Sebab bau aneh tak sedap itu semakin hari justru semakin menyesakkan dada. Mereka pun berembug kembali.

"Sebaiknya kita cari saja orang pintar;" usul kakek sambil menutup hidung, "siapa tahu bisa memecahkan masalah kita ini."
"Paranormal, maksud kakek?" sahut salah seorang menantu sambil menutup hidung.

"Paranormal, kiai, dukun, atau apa sajalah istilahnya; pokoknya yang bisa melihat hal-hal yang gaib."
"Ya, itu ide bagus," kata ayah sambil menutup hidung mendukung ide kakek, "Jangan-jangan bau aneh tak sedap ini memang bersumber dari makhluk atau benda halus yang tidak kasat mata."

"Memang layak kita coba," timpal ibu sambil menutup hidung, "orang gede dan pejabat tinggi saja datang ke "orang pintar" untuk kepentingan pribadi, apalagi kita yang mempunyai masalah besar seperti ini."

Ringkas kata akhirnya mereka beramai-ramai mendatangi seorang yang terkenal "pintar". "Orang pintar" itu mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja. Mereka kira mudah. Ternyata pasien "orang pintar" itu jauh melebihi pasien dokter-dokter spesialis yang sudah mereka kunjungi. Mereka harus antre seminggu lamanya, baru bisa bertemu "orang pintar" itu. Begitu masuk ruang praktik sang Eyang atau sang Kiai atau sang Ki, mereka terkejut setengah mati. Tercium oleh mereka bau yang luar biasa busuk. Semakin dekat mereka dengan si "orang pintar" itu, semakin dahsyat bau busuk menghantam hidung-hidung mereka. Padahal mereka sudah menutupnya dengan semacam masker khusus. Beberapa di antara mereka sudah ada yang benar-benar pingsan. Mereka pun balik kanan. Mengurungkan niat mereka berkonsultasi dengan dukun yang ternyata lebih busuk baunya daripada mereka itu.

Keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu giliran ternyata memakai masker. Juga ketika mereka keluar dari rumah sang dukun mereka baru ngeh bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan, ternyata memakai masker.

Mungkin karena beberapa hari ini seluruh perhatian mereka tersita oleh problem bau di rumah tangga mereka sendiri, mereka tidak sempat memperhatikan dunia di luar mereka. Maka ketika mereka sudah hampir putus asa dalam usaha mencari pemecahan problem tersebut, baru mereka kembali membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio seperti kebiasaan mereka yang sudah-sudah. Dan mereka pun terguncang. Dari siaran TV yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan kemudian, mereka menjadi tahu bahwa bau aneh tak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.

Wabah bau yang tak jelas sumber asalnya itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi setelah korban berjatuhan setiap hari dan jumlahnya terus meningkat. Ulasan-ulasan cerdik pandai dari berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran TV, diudarakan melalui radio-radio, dan memenuhi kolom-kolom koran serta majalah. Bau aneh tak sedap itu disoroti dari berbagai sudut oleh berbagai pakar berbagai disiplin. Para ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang masing-masing. Mereka semua --seperti halnya keluarga besar kita-- mencurigai banyak pihak sebagai sumber bau aneh tak sedap itu. Tapi --seperti keluarga besar kita--tak ada seorang pun di antara mereka yang mencurigai dirinya sendiri.

Hingga cerita ini ditulis, misteri wabah bau aneh tak sedap itu belum terpecahkan. Tapi tampaknya sudah tidak merisaukan warga negeri --termasuk keluarga besar itu-- lagi. Karena mereka semua sudah terbiasa dan menjadi kebal. Bahkan masker penutup hidung pun mereka tak memerlukannya lagi. Kehidupan mereka jalani secara wajar seperti biasa dengan rasa aman tanpa terganggu.


Nyonya Alvi dan Mawar Hitam

Nyonya Alvi tentulah ia seorang yang baik, ramah, dan boleh jadi sangat perhatian. Suatu kali ia pernah mengingatkan kerah bajuku yang kurang pas. Hal kecil sebenarnya tapi amatlah berarti semestinya ditaruh dalam hati. Itulah barangkali yang membuatku kerasan ngobrol dengannya. Obrolan kami tidaklah lebih dari soal bunga, lain dari itu secuil saja. Sesekali pernahlah kami ngobrol selain bunga, tapi bicara selain bunga hanyalah bumbu untuk ngobrol soal bunga. Hmm, Nyonya Alvi ia begitu tergila-gila akan bunga.

Begitulah, setiap Minggu pagi jam delapanan, aku musti mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia membeli bunga-bunga yang kubawa untuk dipeliharanya di pekarangan atau di belakang rumahnya yang karuan luas. Entah berapa banyak koleksi bunga hias yang dimiliki dengan beragam jenisnya. Sudah hampir tiga tahun setiap Minggu ia membeli bunga. Sepertinya membeli bunga merupakan suatu kemutlakan baginya. Itu yang Nyonya Alvi beli padaku. Sebelum aku, ia pernah punya penjual bunga, tapi penjual bunga itu telah pindah ke kota lain. Dicarilah penjual bunga baru. Dan akulah penjual bunga itu hingga kini.

Sorot mata Nyonya Alvi menunjukkan ia perempuan cerdas. Dan, pastilah ia akan teliti sekali kalau sudah memperhatikan bunga, berbinar. Bukan hanya itu, ia sentuh bunga-bunga tidaklah dengan alakadarnya, melainkan juga melibatkan perasaannya.

Alih-alih soal Nyonya Alvi yang begitu sangat mencintai bunga: sekiranya kuranglah pas untuk seorang Nyonya Alvi jika harus selalu kelihatan sendiri dan hanya berkutat dengan bunga-bunga saja. Setiap aku mampir, jarang terlihat suaminya, padahal menurut Nyonya Alvi suaminya sedang ada di rumah. Tapi kenapa jarang kelihatan berdua-duaan layaknya suami-istri. Ya, duduk bersama sambil minum teh sekadar mengisi waktu senggang, misalnya. Atau jalan-jalan pagi menikmati Minggu yang cerah, seperti keluarga pada umumnya. Setidaknyalah rumah besar itu tak berkesan hanya dihuni oleh bunga, pembantu, dan nyonya saja.

Beberapa kali saja kulihat, itupun dua tahun yang lalu. Dua kali tepatnya. Ya, aku ingat betul. Pertama, ketika lelaki itu menutup garasi setelah memasukkan mobil saat pembantunya lagi mudik. Kedua, waktu aku dan Nyonya Alvi asyik ngobrol di beranda seorang tamu menyatroni lalu menanyakan keberadaannya, masuklah Nyonya Alvi ke dalam: memanggil suaminya itu. Tak lama, keluarlah lelaki itu --suami Nyonya Alvi- pun hanya sebatas di ambang pintu saja guna mempersilahkan tamunya masuk. Setelahnya tak lagi aku melihatnya. Aku tak tahu persis, selain hari Minggu apakah mereka --Nyonya Alvi dan suami-- begitu akrab, suka jalan-jalan, ya setidaknya bertegur sapalah.
***
Minggu ini aku datang lebih pagi. Jam tujuh. Konon Nyonya Alvi punya acara --dikabarinya aku lewat telepon kemarin lusa. Maka dari itu kedatanganku diajukan. Ah, Nyonya Alvi, ia selalu terlihat cantik seperti Minggu biasanya. Ini kali rambut sebahunya berbasah-basah, usai keramas tentulah, diurainya berkali-kali dengan jari-jari lentiknya yang kukunya dicat merah, merah jambu jelasnya. Ah, tapi kenapa Nyonya Alvi kali ini sendu begitu? Hmm, sendu tapi masih nampak cantik. Justru perempuan akan nampak sempurna jika berona sendu-merayu seperti itu. Ah, Nyonya Alvi, pastilah lelaki beruntung yang dapat menyangkarkannya. Ya semacam anugerahlah.

"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin tapi agak kecil, dibawa?" Ya, gaya bicaranya. Aku suka gaya bicara Nyonya Alvi yang khas itu. Intonasinya enak disimak. Bibirnya berkecumik sedemikian rupa jika sedang bicara, tapi tidaklah terkesan direka. Wajar, indah dan tepat.

"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil, dibawa?"
"Ya, ya, aku bawa. Tulip yang indah, Nyonya Alvi pasti suka."
"Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil. Bukan Tulip. Kalau Tulip kemarin juga sudah ambil."

"O, maaf," aku gugup. "Ya, anggrek. Ah, anggrek yang Nyonya pesan itu, kan? Saya bawa tiga dengan jenis yang berbeda. Silahkan Nyonya ?"
"Hmm, merah, jingga, kuning?Yang ini saja, jingga."
"Baik, Nyonya."

"Letakkan di selasar sebelah sana. Saya ambil uang?"
"Iya, Nyonya."
Nyonya Alvi masuk ke dalam. Memalukan! Pastilah tadi ia kentarai kekikukanku yang aku sendiri tak memahami. Langkah sepatunya mendekat. Ah, sebaiknya aku menguasai diri dari ketololan.

"Ini uangnya?"
"Terima kasih, Nyonya."
"Untuk Minggu besok, bawakan saya Mawar Hitam."
"Mawar Hitam?"

"Ya. Kenapa?"
"Eem, tidak apa. Berapa Nyonya?"
"Sebanyaknya."
"Sebanyaknya?"
"Kenapa?"

"Tidak. Baiklah. Minggu besok saya bawakan Mawar Hitam. Sebanyaknya?"
Nyonya Alvi masuk, sedikit terburu, mungkin karena segera bersiap untuk pergi.
***
Sesuai pesanan, aku bawa Mawar Hitam sebanyaknya. Pesanan aneh sebenarnya. Soalnya setiap ngobrol soal bunga, luputlah Nyonya Alvi menyinggung Mawar Hitam, apalagi memesan. Ah, tapi itu bukan urusanku. Aku sekadar penjual bunga. Jadi mengekor sajalah soal selera. Tapi?

Nyonya Alvi menyuruhku menunggu di ruang tamu, sebelum ia ngeluyur ke dalam tadi. Megambil sesuatu mungkin, entah apa. Baru kali ini aku singgah di ruang tamu. Bersih juga nyaman. Dari sini, leluasalah ke mana pandangan hendak diedarkan. Sesuka hati.

Keluar sana? O, tentulah akan menerobos bentangan kaca yang menyungkup ruang tamu ini, kemudian dapatlah kita mengintai pekarangan dengan gamblangnya. Pekarangan yang dicokoli warna-warni bunga yang bergerombol indah.

"Berapa banyak Mawar Hitam yang dibawa?" Nyonya Alvi mengujar setelah duduk di sofa.
"Semua Mawar Hitam yang saya punya," jawabku segera.
"Terima kasih. Letakkan semuanya di ruang tengah."
"Semua, Nyonya?"
"Ya."

Aku keluar untuk menjemput seabrek Mawar Hitam di mobil pengangkut bunga yang kuparkir di luar pagar. Nyonya Alvi masuk ke ruang tengah, pastilah hendak menata ruang di mana ratusan Mawar Hitam akan diposisikan.

"Di mana, Nyonya?" tanyaku dengan beberapa Mawar Hitam di tangan.
"Di sini. Letakkan semua di sekitar sini?"
Ah! Aku terhenyak lantas tertegun. Tentulah melihat peti itu. Peti di tengah ruang tengah ini. Peti yang dikelintari banyak lilin. Ya, peti mati yang telah disemayami seorang lelaki membujur dangan wajah pucat pasi serta mata mengatup rapat. O, lelaki itu?

"Minggu kemarin ia pulang. Livernya tak tertolong," ujar Nyonya Alvi dengan mata yang tiba-tiba sedikit berkaca.
Aku masih tertegun. Kulihat mata Nyonya Alvi berlinang. Ah, ia seperti mengharap kesudianku mendengar kalimat-kalimatnya yang sesekali terpatah oleh seniknya. Sekadar mendengar, tak apalah. Sedikitnya dapatlah melegakan hatinya yang mungkin tengah berjelaga, seperti mawar: Mawar Hitam.

"Saya membenci lelaki ini," lanjut Nyonya Alvi sambil memandang isi peti. "Ia kasar. Tapi entah kenapa saya begitu mencintainya. Jika ia tak pulang berhari-hari, berbulan-bulan lamanya keliling kota, saya tahu yang dilakukannya hanyalah menuntaskan bergelas-gelas alkohol dan berburu perempuan. Keraplah ia pulang dengan sempoyongan. Ya, duapuluh tahun pernikahan kami, tanpa anak, hambar, tanpa tegur-sapa yang berarti kecuali di atas ranjang usai mereguk seks. Seks kadang membuat segalanya menjadi mudah. Tapi, entahlah saya sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang saya lakukan ini. Ketololankah? Sungguh saya tak tahu. Saya hanya tahu bahwa saya selalu merasa ingin terus bersamanya. Itu sebabnya kenapa saya terus bekutat bersama bunga-bunga. Semata, agar saya selalu terus berada di rumah. Bersamanya, meski tak bersapa. Menunggunya, meski tak pulang. Tak apa, saya setia. Setia macam apa? Ah, saya juga tak tahu. Orang pasti akan mencibir nyinyir: ah! Nyonya Alvi tak lebih dari seorang perempuan tolol! Tak apa. Saya mencintainya. Ia telah pergi sekarang. Dan entah kenapa pula saya ingin meletakkan Mawar Hitam di sekeliling petinya, sebelum ia diusung ke pusara guna tetirah di kedamaian surga."
***
Minggu pagi yang cerah. Seperti biasa aku berkelintar ke setiap rumah membawa aneka bunga merekah. Ah, kali ini, aku tak mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia memang tak lagi memesan bunga. Ia tak lagi mencintai bunga setelah suaminya tetirah di kedamaian surga? Mencintai siapakah Nyonya Alvi kini?


Burung Terbang dari Kuburmu

BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.

Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.

Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang diderita oleh majikannya.

"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga."
"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."

"Lalu, pergi ke mana?"
"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap musim setiap waktu."

Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.

Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.

Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.

"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"
"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."

"Jadi?"
"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni."

"Ah!!"
"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya."

Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.

Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.

"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya."

Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.

Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.

"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.

"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.

Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.

Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau.

        

No comments: