BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seorang pemimpin dapat dikatakan
memimpin apabila memiliki nilai-nilai yang membentuk karakter kepemimpinannya,
salah satunya adalah tanggung jawab. Pada hakikatnya setiap pribadi manusia
adalah pemimpin yang mempunayi tujuan untuk dicapai. Setidaknya setiap pribadi
adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Jika ia telah mampu untuk memimpin
dirinya sendiri maka barulah ia akan mampu untuk memimpin orang lain serta
membimbing mereka mencapai tujuan.
Seorang pemimpin tentunya memiliki
tanggung jawab terhadap sesuatu yang menjadi kewajiban atau tugasnya dan juga
harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya secara menyeluruh. Selain tanggung
jawab seorang pemimpin juga harus memiliki etika dalam memimpin. Siapapun pasti
tidak ingin disebut sebagai pemimpin yang tidak beretika. Seorang pemimpin
harus mengawali dengan membangun kesadaran dirinya bahwa kepadanya ada
penanggungjawaban kepemimpinan.
Penanggungjawaban kepemimpinan ini juga
menjelaskan bahwa pemimpin memiliki tugas, kewenangan, hak, kewajiban, tanggung
jawab, dan pertanggungjawaban menyeluruh atas segala dan semua dalam
kepemimpinannya. Penanggungjawaban kepemimpinan yang ada pada seorang pemimpin
menjelaskan bahwa ia sepenuhnya bertanggungjawab atas jatuh bangunnya
kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. Dalam kaitan ini, keberhasilan
ataupun kegagalan kepemimpinan tergantung dan bergantung sepenuhnya pada sang
pemimpin.
Penanggungjawaban kepemimpinan seorang
pemimpin memberikan otoritas sebagai landasan kewibawaan kepemimpinannya.
Seorang pemimpin yang bijak dan bertanggung jawab pasti memiliki kiat untuk
menghindari sekaligus mengatasi tabrakan antara kepentingan pribadi dengan etika
dan moralitas kehidupan serta memiliki hati nurani untuk hidup dalam etika yang
tidak melecehkan semua kepercayaan dari para stakeholdersnya.
Pemimpin bertanggung jawab atas semua
yang dilihatnya. Itu berarti, dia juga bertanggungjawab atas apa yang dilihat
oleh organisasinya serta tim yang dipimpinnya. Dia bertanggung jawab atas
hasil-hasil yang dicapainya, baik hasil yang baik maupun hasil yang buruk.
Pemimpin bertanggung jawab untuk memulai
komunikasi
secara proaktif. Ketika kesalahpahaman terjadi dan gosip timbul, pemimpin bertanggung jawab untuk meluruskan dan membangun
komunikasi agar kesalahpahaman tidak muncul lagi. Tanggung jawab kepemimpinan
bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar
tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan
jika dapat memenuhi peranan tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1) Apa
yang dimaksud dengan kepemimpinan dalam islam?
2) Bagaimana
tanggung jawab pemimpin dalam melayani masyarakat?
3) Bagaimana
batasan taat kepada pemimpin?
4) Apa
saja macam-macam tanggung jawab?
5) Bagaimana
wujud dari sebuah tanggung jawab kepemimpinan?
6) Bagaimana
tanggung jawab dalam islam?
C. Tujuan
Masalah
1) Mengetahui
apa pengertian dari kepemimpinan dalam islam.
2) Mengetahui
bagaimana tanggung jawab pemimpin dalam melayani masyarakat.
3) Mengetahui
batasan taat kepada pemimpin,
4) Mengetahui
apa saja macam-macam tanggung jawab.
5) Mengetahui
wujud dari sebuah tanggung jawab kepemimpinan.
6) Mengetahui
tanggung jawab dalam islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tanggung
Jawab Dalam Kepemimpinan
Disebutkan
dalam kamus lisanul arab, kata al qaudu
“memimpin atau menuntun” lawan kata dari as-sauqu
“mengiring”, seperti perkataan menuntun binatang dari depan dan mengiring
binatang dari belakang. Dalam makna bahasa ini terdapat isyarat yang menarik.
Intinya, posisi pemimpin adalah di depan agar menjadi petunjuk bagi
anggota-anggotanya dalam kebaikan dan menjadi pembimbing bagi mereka kepada
kebenaran.Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya
apabila ia memiliki
kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul
sebagai akibat keyakinannya terhadap suatu nilai[1].
Pengertian pemimpin secara umum adalah
orang yang mampu membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan
tingkah laku seseorang. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pemimpin
merupakan seseorang yang menyebabkan seseorang atau kelompok lain untuk
bergerak menuju kearah tujuan-tujuan tertentu sehingga ia memiliki tanggung
jawab agar orang yang dipimpinnya dapat meraih tujuan yang akan dicapainya.
Sedangkan pengertian dari kepemimpinan
adalah suatu proses yang membutuhkan tanggung jawab dalam membimbing,
mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang
ataupun kelompok sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan akan
membawa seseorang atau kelompok tersebut menuju kearah yang lebih baik dan
selalu berada dalam jalan kebenaran[2].
Tanggung Jawab dalam Kamus Umum Besar Bahasa
Indonesia adalah keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatunya,
jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan,
dan sebagainya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya
yang disengaja maupun yang tidak disengaja,
tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya..
Tanggung jawab juga berkaitan dengan
kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang.
Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada
hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya.
Kewajiban dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Kewajiban
Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawab
diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh,
mencuri yang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman. Kewajiban ini
tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang
larangan membunuh, mencuri yang disampingnya dapat diadakan
hukuman-hukuman. Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap
orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh, mencuri yang disampingnya
dapat diadakan hukuman-hukuman[3].
2) Kewajiban
tidak Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawabnya diberlakukan
kepada semua orang. Tanggung jawab terhadap kewajiban ini nilainya lebih
tinggi, sebab dijalankan oleh suara hati, seperti keadilan dan kebajikan.
B.
Tanggung Jawab Pemimpin
Dalam Melayani Masyarakat
Islam adalah agama yang sempurna,
diantara kesempurnaan islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
baik yang berhubungan dengan Allah SWT (Hablum
minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk diantaranya masalah kepemimpinan di
pemerintahan. Karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya
harus dengan cara yang benar, jujur, dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu
juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam
menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semat,
tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna
kekuasaan, tetapi disisi lain juga bisa bermakna bertanggung jawab. Ketika
kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT. Mengingatkan kita bahwa
hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah yang memberikan kekuasaan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari
siapapun yang dikehendaki-Nya. (Al-Quran Surat Ali Imran: 26).
Kita merasakan urgensi dan pentingnya
pemimpin yang efektif melalui beberapa poin, salah satunya ialah kepemimpinan
harus ada dalam kehidupan sehingga kehidupan bisa tertatur dengan rapih, keadilan bisa
ditegakkan dan kesewenang-wenangan yang kuat terhadap yang lemah bisa dihalang-halangi.
Serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada disekitarnya dan memanfaatkan
perubahan untuk kepentingan organisasi mengembangkan, melatih dan menjaga
anggota[4].
Adanya kesadaran seorang mu’min terhadap
hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadiannya, ketika
ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan
dalam dirinya sedikitpun, tidak akan menyelewengkan kekuasaannya dalam bentuk
apapun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan dirinya
dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia akan betul-betul
melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatan seoptimal mungkin untuk
kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya
pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja. Karena dalam kehidupan
masyarakat diperlukan adanya pemimpin yang mengatur, membawahi dan mengarahkan
kehidupan masyarakat itu. Pemimpin harus menjadi abdi masyarakat. Dia harus
melayani dan menjadi fasilitator bagi keperluan-keperluan rakyat.
Dalam Islam hampir semua ulama
menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan
sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus
dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah
SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul
yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu dalam melaksanakan amanah,
manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia
bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut
kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin
demi keuntungan materi semata.
Substansi kepemimpinan dalam prespektif
islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang-orang yang
benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar serta
adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa criteria yang islam tawarkan
dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada
kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera, dan tentram.
Disamping itu, pemimpin juga harus orang
yang bertaqwa kepada Allah SWT. Karena ketaqwaan ini sebagai acuan dalam
melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana
mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan
baik? Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjahui segala larangan-Nya. Taqwa berarti taat dan
patuh, yakni takut melanggar atau mengingkari dari segala bentuk perintah Allah
SWT.
Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah
gembala, dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai
gembalanya. Seorang pemimpin tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia
akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya. (HR. Bukhari).
C.
Batasan Taat Kepada
Pemimpin
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang
terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai
keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai
cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Sabda Rasulullah saw
“wajib atas seorang muslim”. Kalimat ini menunjukkan kewajiban. Walaupun ia
memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya,
kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah
itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
terhadap khaliq[5].
Perintah yang sesuai dengan yang
diperintahkan Allah ta’ala maka wajib di taati mereka memerintahkan
kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka apapun yang
terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka
mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT. mereka memerintahkan
sesuatu yang didalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, didalam hal
ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang
berdosa, dan penguasa berhak memberi hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang
sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka[6].
Maka dari itu, wajib mendengar dan patuh
kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan
perbuatan maksiat. Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat
yang tidak dibenarkan oleh syara’a, maka rakyat tidak boleh mendengar dan
mematuhi perintah itu. Misalnya, pemimpin itu melarang wanita muslim mengenakan
jilbab, pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian, dan masih banyak yang
lain.
Kriteria-kriteria
pemimpin yang wajib kita taati:
1) Islam
2) Mengikuti
perintah-perintah Allah dan Rasulnya
3) Menyuruh
berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4) Lebih
mementingkan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi
5) Tidak
mendzalimi umat islam
6) Memberikan
teladan dalam beribadah
Ringkasnya, pemimpin atau penguasa
adalah pemeliharaan umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan
tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan disegala bidang. Ia akan
mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu didunia
menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah
merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah
akan melaknatnya. Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang dituliskan oleh Nabi
maka kita wajib menaati segala apapun yang diperintahkannya.
Berkaitan dengan surah annisa ayat 59,
al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah,
munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunya ayat ini
(surah an-nisa:59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara
taat kepada pemerintah (pimpinan) dan menolak perintah, untuk terjun kedalam
api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan
hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya[7].
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna
kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggung jawab. Ketika
kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa
hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari
siapa pun yang dikehendaki-Nya (lihat: al-Qur’an surat Ali Imran: 26), Katakanlah:
“Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu[8].
D.
Macam-macam Tanggung
Jawab
Dikenal
jenis-jenis atau macam-macam dari tanggung jawab, yaitu:
1) Tanggung
jawab manusia terhadap diri sendiri
Menurut
sifatnya manusia adalah makhluk bermoral. Akan tetapi manusia juga seorang
pribadi, dan sebagai makhluk pribadi manusia mempunyai pendapat sendiri,
perasaan sendiri, angan-angan untuk berbuat ataupun bertindak, sudah barang
tentu apabila perbuatan dan tindakan tersebut dihadapan orang banyak, bisa jadi
mengundang kekeliruan dan juga kesalahan. Untuk itulah agar maanusia itu dalam
mengisi kehidupannya memperoleh makna, maka atas diri manusia perlu diberi
Tanggung Jawab.
2) Tanggung
jawab kepada keluargajuga orang-orang lain yang menjadi anggota keluarga.
Tiap
anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung Jawab ini
menyangkut nama baik keluarga. Tetapi Tanggung Jawab juga merupakan
kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.
3) Tanggung
jawab kepada masyarakat
Secara kodrati dari sejak lahir sampai
manusia mati, memerlukan bantuan orang lain. Terlebih lagi pada zaman yang
sudah semakin maju ini. Secara langsung maupun tidak langsung manusia
membutuhkan hasil karya dan jasa orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan
hidup. Dalam kondisi inilah manusia membutuhkan dan kerjasama dengan orang
lain.
Kekuatan pada manusia pada hakikatnya
tidak terletak pada kemampuan fisik ataupun kemampuan jiwanya saja, namun juaga
terletak pada kemampuan manusia bekerjasama dengan manusia lain. Karena dengan
manusia lain, mereka dapat menciptakan kebudayaan yang dapat membedakan manusia
dengan makhluk hidup lain. Yang menyadarkan manusia ada tingkat mutu, martabat
dan harkat, sebagai manusia yang hidup pada zaman sekarang dan akan datang.
Dalam semua ini nampak bahwa dalam
mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik, manusia mustahil
dapat mutlak berdiri sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain.
Kenyataan ini menimbulkan kesadaran bahwa segala yang dicapai dan kebahagiaan
yang dirasakan oleh manusia pada dasarnya berkat bantuan atau kerjasama dengan
orang lain didalam masyarakat. Kesadaran demikian melahirkan kesadaran bahwa
setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi orang
lain dan masyarakat. Boleh jadi inilah Tanggung Jawab manusia yang utama dalam
hidup kaitannya dengan masyarakat[9].
4) Tanggung
jawab terhadap negara atau bangsa
Satu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia,
tiap individual adalah warga nagara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat,
bertindak, bertingkah laku manusia terikat olah norma-norma atau ukuran-ukuran
yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semau sendiri. Bila
perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara.
5) Tanggung
jawab terhadap Tuhan
Manusia ada tidak dengan sendirimya,
tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia dapat
mengembangkan diri sendiri dengan sarana-sarana pada dirinya yaitu pikiran,
perasaan, seluruh anggota tubuhnya, dan alam sekitarnya. Dalam
mengembangkan dirinya manusia bertingkah laku dan berbuat. Sudah tentu dalam
perbuatannya manusia membuat banyak kesalahan baik yangdisengaja maupun tidak.
Sebagai hamba Tuhan, manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
salah itu atau dengan istilah agama atas segala dosanya.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia
bersembahyang sesuai dengan perintah Tuhan. Apabila tidak bersembahyang, maka
manusia itu harus mempertanggung jawabkan kelalaiannya itu diakhirat kelak.
Manusia hidup dalam perjuangan, begitu
firman Tuhan. Tetapi bila manusia tidak bekerja keras untuk kelangsungan
hidupnya, maka segala akibatnya harus dipikul sendiri, penderitaan akibat
kelalaian adalah tanggung jawabnya. Meskipun manusia menutupi perbuatannya yang
salah dengan segala jalan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya, misalnya
dengan hartanya, kekuasaannya, atau kekuatannya (ancaman), namun manusia tak
dapat lepas dari tanggung jawabnya kepada Tuhan[10].
E.
Wujud Dari Sebuah
Tanggung Jawab Kepemimpinan
Wujud dari tanggung jawab juga berupa
pengabdian dan pengorbanan. Pengabdian dan pengorbanan adalah suatu perbuatan
yang baik untuk kepentingan manusia itu sendiri.
1) Pengabdian
Pengabdian
adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan,
kesetiaan antara lain kepada raja, cinta, kasih sayang, hormat, atau suatu
ikatan dan semua dilakukan dengan ikhlas. Timbulnya pengabdian itu pada
hakikatnya ada rasa tanggung jawab. Apabila kita bekerja keras dari pagi
sampai sore dibeberapa tempat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kita,
itu berarti mengabdi kepada keluarga, karena kasih sayang kita pada keluarga.
Lain halnya jika keluarga kita membantu teman, karena ada kesulitan, mungkin
sampai berhari-hari ikut menyelesaikannya sampai tuntas, itu bukan pengabdian,
tetapi hanya bantuan saja. Pengabdian di bagi dengan beberapa macam pengabdian
yakni sebagai berikut ini:
a) Pengabdian
terhadap keluaraga
Pada
hakikatnya manusia hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga ini didasarkan cinta dan
kasih sayang. Kasih sayang ini mengandung pengertian pengabdian dan
pengorbanan. Tidak ada kasih sayang tanpa pengabdian. Bila ada kasih sayang
tidak disertai pengabdian. Berarti kasih sayang itu palsu atau semu. Pengabdian
kepada keluarga ini dapat berupa pengabdian kepada istri dan anak-anak, istri
kepada suami dan anak-anaknya, anak-anak kepada orang tuanya.
b) Pengabdian terhadap
masyarakat
Manusia adalah
anggota masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa orang lain, karena tiap-tiap
orang lain saling membutuhkan. Bila seseorang yang hidup di masyarakat tidak
mau memasyarakatkan diri dan selalu mengasingkan diri, maka apabila mempunyai
kesulitan yang luar biasa, ia akan ditertawakan oleh masyarakat, cepat atau
lambat ia akan menyadari dan menyerah kepada masyarakat lingkungannya.
c) Pengabdian
terhadap negara
Manusia
pada hakikatnya adalah bagian dari suatu bangsa atau warga negara suatu negara.
Karena itu seseorang wajib mencintai bangsa dan negaranya. Mencintai ini
biasanya diwujudkan dalam bentuk pengabdian. Tidak ada arti cinta tanpa
pengabdian.
d) Pengabdian
terhadap tuhan
Manusia
tidak ada sendirinya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan
Tuhan manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawabnya kapada
Tuhan Yanag Maha Esa. Selain itu juga manusia harus menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[11].
2) Pengorbanan
Pengorbanan
berasal dari kata korban atau kurban yang berarti persembahan, sehingga
pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian. Dengan demikian
pengorbanan yang bersifat kebaktian itu mengandung unsur keikhlasan yang tidak
mengandung pamrih. Pengorbanan dalam arti pemberian sebagai tanda kebaktian
tanpa pamrih dapat dirasakan bila kita membaca tau mendengarkan ceramah di
masjid. Dari kisah para tokoh atau nabi, manusia memperoleh tauladan yang baik,
sebagaimana mestinya wajib berkorban bagi orang yang mampu atau orang memiliki
harta yang lebih.
Perbedaan
antara pengabdian dan pengorbanan tidak begitu jelas. Karena adanya pengabdian
tentu ada pengorbanan. Pengorbanan merupakan akibat dari pengabdian.
Pengorbanan dapat berupa harta benda, pikiran, perasaan, bahkan dapat juga
berupa jiwanya. Pengorbanan diserahkan secara ikhlas tanpa pamrih, tanpa ada
perjanjian, tanpa ada transaksi, kapan saja diperlukan dan dilakukan.
Pengabdian
lebih banyak menunjuk kepada perbuatan, sedangkan pengorbanan lebih banyak
menunjuk kepada pemberian sesuatu misalnya berupa pikiran, perasaan, tenaga,
biaya, dan waktu. Dalam pengabdian selalu dituntut pengorbanan, akan tetapi
pengorbanan belum tentu menuntut pengabdian[12].
F.
Tanggung Jawab Dalam
Islam
Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan
bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya
membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat yang artinya : (Kepada para
malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman
sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka
tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat
perhentian karena mereka sesungguhnya akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban
).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa
kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila
telah melakukan kedzaliman.
Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab
seorang pemimpin di akhirat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya
seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai
pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya
?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah
dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah
kelak.
Pada prinsipnya tanggungjawab dalam
Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam
beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al An’am yang Artinya: “Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 yang
artinya: “Tiap-tiapdiri bertanggungjawab atas apa yang telah
diperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu
merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan
kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh
pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada
amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat
dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia
meninggal.
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi
hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak
gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi
perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan
tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat
besar pahala atau dosanya.
Allah SWT menyatakan dalam QS Yaasiin
yang artinya: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan
bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yaasiin 12).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab
itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua
akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu
yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan
meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini
jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala
atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang
meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An nahl 25
Artinya: “(Ucapan mereka)
menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari
kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui
sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka
pikul itu.”
Di sini kita merenung sejenak seraya
bertanya: “apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang
pemimpin yang memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung
dosanya dan dosa rakyatnya karrena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus
menaggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?” seorang
penguasa dianggap tidak memaksa selama raksyat masih bisa memiliki kehendak
yang aada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan
tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua
perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan
pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sbb. : “Pada hari
ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah
baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan
mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami
dari jalan yang benar”. (Al ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan
tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu
di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu
bersekutu dalam azab itu.” (Az Zukhruf 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang
dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa yang lahiriyahnya.
Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap
akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang
menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan
membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal
Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam di paksa harus murtad seperti
Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dst. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran.
(lihat An Nahl 106 dan An Nisa’ 97-99)
Tanggung jawab seorang berkaitan erat
dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di
masyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara
bertanggung jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya,
masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai
orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At
Tahrim 6) Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya..”(Al Hadit)
Tanggungjawab vertikal ini
bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat,
bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimnitai pertanggungjawabannya
sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak
akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa
akan mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para
salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemimpin dalam level apapun akan
dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas semua perbuatannya
disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan
buruknya prilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana
rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilihseorang pemimpin.
Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta
akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang
kedurhakaan rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.
Seorang penguasa tidak akan terlepas
dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi
yang rusak pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan
menggantinya dengan orang yang sholeh. Perrtolongan allah tergantung niat
sesuai dengan firman Allah Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
akan ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (At
Taghobun 11)
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dalam Islam hampir semua ulama
menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan
sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus
dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah
SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul
yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu dalam melaksanakan amanah,
manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia
bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut
kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin
demi keuntungan materi semata.
Substansi kepemimpinan dalam prespektif
islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang-orang yang
benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar serta
adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa criteria yang islam tawarkan
dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada
kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera, dan tentram.
B.
Saran
Dari makalah ini, maka saran pemakalah
ialah bahwa kita sebagai pemimpin harus bisa bertanggung jawab dalam apapun
yang kita pimpin, karena tanggung jawab seorang pemimpin tidak hanya
bertanggung jawab kepada masyarakat atau rakyat, tetapi juga bertanggung jawab
kepada Allah SWT. Kita sebagai mahasiswa harus bisa bertanggung jawab dari hal
yang paling kecil hingga hal yang paling besar.
DAFTAR PUSTAKA
Abul
A’la Al-Maududi. Khalifah dan Kerajaan. Bandung, Karisma,
2007.
Ali,
M. Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta 1998.
As-suwaidan,
Thariq Muhammad Dan Faishal Umar Basyarahil. 2005. Melahirkan Pemimpin
Masa
Depan.
Jakarta: Gema Insani Press.
Hartono. Dkk.
1991. ILMU BUDAYA DASAR: Untuk Pegangan Mahasiswa. Surabaya: Pt
Bami
Ilmu 1991.
Ibnu
Taimiyah. 2004. Tugas Negara Menurut Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar., 2004).
Shaleh, dkk,
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, Cet 3,
Bandung:
Cv Diponegoro, 1982.
Syaikh Muhammad
Bin Shalih Al-Utsaimin. Syarah Royadhus Shalhin. Jilid 2. cet. 2. Jakarta
Timur:Darussunnah
Press,2009.
Suyadi,
M.P. 1984. Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar. Depdikbud U.T.
1984.
Thariq M
As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melajirkan Pemimpin Masa Depan,
Jakarta,
Gema Insani, 2005.
Widyo Nugroho,
Achmad Muchji. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
[1] As-suwaidan, Thariq
Muhammad Dan Faishal Umar Basyarahil. 2005. Melahirkan Pemimpin Masa Depan.
Jakarta: Gema Insani Press 2005. Hlm 53-60
[2]Abul A’la Al-Maududi,
Khalifah dan Kerajaan, Bandung, Karisma, 2007, hlm. 374.
[3]Widyo Nugroho, Achmad
Muchji. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas
Gunadarma 1996.
[4]Thariq M As-Suwaidan dan
Faishal Umar Basyarahil, Melajirkan Pemimpin Masa Depan, Jakarta, Gema Insani,
2005, hlm. 301.
[5]Syaikh Muhammad Bin
Shalih Al-Utsaimin,Syarah Royadhus Shalhin Op. Cit, Hal. 1053-1054.
[6]Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Royadhus
Shalhin Op. Cit, Hal. 1053-1056.
[7]Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat
Al-Quran, Cet 3, Bandung: Cv Diponegoro, 1982, Op. Cit, Hal. 138-139
[8]Ibnu Taimiyah. 2004. Tuga Negara Menurut Isalm. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2004. Hlm 360
[9]Shaleh, Dkk. 1982. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya
Ayat-Ayat Al-quran. Ctk 3. Bandung: Cv Di ponogoro. Hlm 370
[10]Hartono. Dkk. 1991. ILMU BUDAYA DASAR: Untuk Pegangan Mahasiswa.
Surabaya: Pt Bami Ilmu 1991.
[11]Suyadi, M.P. 1984. Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar. Depdikbud
U.T. 1984.
[12]Ali, M. Daud. 1998. Pendidikan Agama Isalam. Jakarta:
Pt RajaGrafindo Persada 1998.
No comments:
Post a Comment