Monday, April 10, 2017

Tanggung Jawab (Amanah) Kepemimpinan Perspektif Islam



                                                     

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seorang pemimpin dapat dikatakan memimpin apabila memiliki nilai-nilai yang membentuk karakter kepemimpinannya, salah satunya adalah tanggung jawab. Pada hakikatnya setiap pribadi manusia adalah pemimpin yang mempunayi tujuan untuk dicapai. Setidaknya setiap pribadi adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Jika ia telah mampu untuk memimpin dirinya sendiri maka barulah ia akan mampu untuk memimpin orang lain serta membimbing mereka mencapai tujuan.
Seorang pemimpin tentunya memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang menjadi kewajiban atau tugasnya dan juga harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya secara menyeluruh. Selain tanggung jawab seorang pemimpin juga harus memiliki etika dalam memimpin. Siapapun pasti tidak ingin disebut sebagai pemimpin yang tidak beretika. Seorang pemimpin harus mengawali dengan membangun kesadaran dirinya bahwa kepadanya ada penanggungjawaban kepemimpinan.
Penanggungjawaban kepemimpinan ini juga menjelaskan bahwa pemimpin memiliki tugas, kewenangan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan pertanggungjawaban menyeluruh atas segala dan semua dalam kepemimpinannya. Penanggungjawaban kepemimpinan yang ada pada seorang pemimpin menjelaskan bahwa ia sepenuhnya bertanggungjawab atas jatuh bangunnya kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. Dalam kaitan ini, keberhasilan ataupun kegagalan kepemimpinan tergantung dan bergantung sepenuhnya pada sang pemimpin.
Penanggungjawaban kepemimpinan seorang pemimpin memberikan otoritas sebagai landasan kewibawaan kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang bijak dan bertanggung jawab pasti memiliki kiat untuk menghindari sekaligus mengatasi tabrakan antara kepentingan pribadi dengan etika dan moralitas kehidupan serta memiliki hati nurani untuk hidup dalam etika yang tidak melecehkan semua kepercayaan dari para stakeholdersnya.
Pemimpin bertanggung jawab atas semua yang dilihatnya. Itu berarti, dia juga bertanggungjawab atas apa yang dilihat oleh organisasinya serta tim yang dipimpinnya. Dia bertanggung jawab atas hasil-hasil yang dicapainya, baik hasil yang baik maupun hasil yang buruk. Pemimpin bertanggung jawab untuk memulai


komunikasi secara proaktif. Ketika kesalahpahaman terjadi dan gosip timbul, pemimpin bertanggung jawab untuk meluruskan dan membangun komunikasi agar kesalahpahaman tidak muncul lagi. Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan dalam islam?
2)      Bagaimana tanggung jawab pemimpin dalam melayani masyarakat?
3)      Bagaimana batasan taat kepada pemimpin?
4)      Apa saja macam-macam tanggung jawab?
5)      Bagaimana wujud dari sebuah tanggung jawab kepemimpinan?
6)      Bagaimana tanggung jawab dalam islam?

C.     Tujuan Masalah
1)      Mengetahui apa pengertian dari kepemimpinan dalam islam.
2)      Mengetahui bagaimana tanggung jawab pemimpin dalam melayani masyarakat.
3)      Mengetahui batasan taat kepada pemimpin,
4)      Mengetahui apa saja macam-macam tanggung jawab.
5)      Mengetahui wujud dari sebuah tanggung jawab kepemimpinan.
6)      Mengetahui tanggung jawab dalam islam.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tanggung Jawab Dalam Kepemimpinan
Disebutkan dalam kamus lisanul arab, kata al qaudu “memimpin atau menuntun” lawan kata dari as-sauqu “mengiring”, seperti perkataan menuntun binatang dari depan dan mengiring binatang dari belakang. Dalam makna bahasa ini terdapat isyarat yang menarik. Intinya, posisi pemimpin adalah di depan agar menjadi petunjuk bagi anggota-anggotanya dalam kebaikan dan menjadi pembimbing bagi mereka kepada kebenaran.Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul sebagai akibat keyakin­annya terhadap suatu nilai[1].
Pengertian pemimpin secara umum adalah orang yang mampu membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pemimpin merupakan seseorang yang menyebabkan seseorang atau kelompok lain untuk bergerak menuju kearah tujuan-tujuan tertentu sehingga ia memiliki tanggung jawab agar orang yang dipimpinnya dapat meraih tujuan yang akan dicapainya.
Sedangkan pengertian dari kepemimpinan adalah suatu proses yang membutuhkan tanggung jawab dalam membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang ataupun kelompok sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan akan membawa seseorang atau kelompok tersebut menuju kearah yang lebih baik dan selalu berada dalam jalan kebenaran[2].
Tanggung Jawab dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatunya, jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja, tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya..
Tanggung jawab juga berkaitan dengan kewajiban. Kewa­jiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya. Kewajiban dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1)      Kewajiban Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh, mencuri yang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman. Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh, mencuri yang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman. Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh, mencuri yang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman[3].

2)      Kewajiban tidak Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawabnya diberlakukan kepada semua orang. Tanggung  jawab terhadap kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab dijalankan oleh suara hati, seperti keadilan dan kebajikan.


B.     Tanggung Jawab Pemimpin Dalam Melayani Masyarakat
Islam adalah agama yang sempurna, diantara kesempurnaan islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah SWT (Hablum minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk diantaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan. Karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur, dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semat, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi disisi lain juga bisa bermakna bertanggung jawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT. Mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah yang memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapapun yang dikehendaki-Nya. (Al-Quran Surat Ali Imran: 26).
Kita merasakan urgensi dan pentingnya pemimpin yang efektif melalui beberapa poin, salah satunya ialah kepemimpinan harus ada dalam kehidupan sehingga kehidupan bisa tertatur dengan rapih, keadilan bisa ditegakkan dan kesewenang-wenangan yang kuat terhadap yang lemah bisa dihalang-halangi. Serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada disekitarnya dan memanfaatkan perubahan untuk kepentingan organisasi mengembangkan, melatih dan menjaga anggota[4]
Adanya kesadaran seorang mu’min terhadap hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadiannya, ketika ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya sedikitpun, tidak akan menyelewengkan kekuasaannya dalam bentuk apapun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan dirinya dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia akan betul-betul melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja. Karena dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya pemimpin yang mengatur, membawahi dan mengarahkan kehidupan masyarakat itu. Pemimpin harus menjadi abdi masyarakat. Dia harus melayani dan menjadi fasilitator bagi keperluan-keperluan rakyat.
Dalam Islam hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.
Substansi kepemimpinan dalam prespektif islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang-orang yang benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa criteria yang islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera, dan tentram.
Disamping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Karena ketaqwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik? Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjahui segala larangan-Nya. Taqwa berarti taat dan patuh, yakni takut melanggar atau mengingkari dari segala bentuk perintah Allah SWT.
Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalanya. Seorang pemimpin tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya. (HR. Bukhari).

C.    Batasan Taat Kepada Pemimpin
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula untuk menggapai cita-cita tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Sabda Rasulullah saw “wajib atas seorang muslim”. Kalimat ini menunjukkan kewajiban. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq[5]
Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib di taati mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT. mereka memerintahkan sesuatu yang didalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, didalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak memberi hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka[6]
Maka dari itu, wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbuatan maksiat. Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’a, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu. Misalnya, pemimpin itu melarang wanita muslim mengenakan jilbab, pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian, dan masih banyak yang lain.
Kriteria-kriteria pemimpin yang wajib kita taati:
1)      Islam
2)      Mengikuti perintah-perintah Allah dan Rasulnya
3)      Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4)      Lebih mementingkan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi
5)      Tidak mendzalimi umat islam
6)      Memberikan teladan dalam beribadah

Ringkasnya, pemimpin atau penguasa adalah pemeliharaan umat yang harus dengan jujur melaksanakan amanah dan tuntutan rakyatnya untuk menciptakan kesejahteraan disegala bidang. Ia akan mempertanggungjawabkan semua kebijakan yang diambilnya sewaktu didunia menyangkut persoalan umat. Apabila adil, jujur, dan benar, maka Allah merahmatinya, tetapi bila dzalim dan menyelewengkan kekuasaannya, maka Allah akan melaknatnya. Dan jika pemimpin itu sesuai dengan yang dituliskan oleh Nabi maka kita wajib menaati segala apapun yang diperintahkannya.
Berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunya ayat ini (surah an-nisa:59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpinan) dan menolak perintah, untuk terjun kedalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya[7]
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggung jawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (lihat: al-Qur’an surat Ali Imran: 26), Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu[8].

D.    Macam-macam Tanggung Jawab
Dikenal jenis-jenis atau macam-macam dari tanggung jawab, yaitu:
1)      Tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri
Menurut sifatnya manusia adalah makhluk bermoral. Akan tetapi manusia juga seorang pribadi, dan sebagai makhluk pribadi manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, angan-angan untuk berbuat ataupun bertindak, sudah barang tentu apabila perbuatan dan tindakan tersebut dihadapan orang banyak, bisa jadi mengundang kekeliruan dan juga kesalahan. Untuk itulah agar maanusia itu dalam mengisi kehidupannya memperoleh makna, maka atas diri manusia perlu diberi Tanggung Jawab.

2)      Tanggung jawab kepada keluargajuga orang-orang lain yang menjadi anggota keluarga.
Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung Jawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi Tanggung Jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.

3)      Tanggung jawab kepada masyarakat
Secara kodrati dari sejak lahir sampai manusia mati, memerlukan bantuan orang lain. Terlebih lagi pada zaman yang sudah semakin maju ini. Secara langsung maupun tidak langsung manusia membutuhkan hasil karya dan jasa orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidup. Dalam kondisi inilah manusia membutuhkan dan kerjasama dengan orang lain.
Kekuatan pada manusia pada hakikatnya tidak terletak pada kemampuan fisik ataupun kemampuan jiwanya saja, namun juaga terletak pada kemampuan manusia bekerjasama dengan manusia lain. Karena dengan manusia lain, mereka dapat menciptakan kebudayaan yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Yang menyadarkan manusia ada tingkat mutu, martabat dan harkat, sebagai manusia yang hidup pada zaman sekarang dan akan datang.
Dalam semua ini nampak bahwa dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik, manusia mustahil dapat mutlak berdiri sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Kenyataan ini menimbulkan kesadaran bahwa segala yang dicapai dan kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia pada dasarnya berkat bantuan atau kerjasama dengan orang lain didalam masyarakat. Kesadaran demikian melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang terbaik bagi orang lain dan masyarakat. Boleh jadi inilah Tanggung Jawab manusia yang utama dalam hidup kaitannya dengan masyarakat[9].

4)      Tanggung jawab terhadap negara atau bangsa
Satu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individual adalah warga nagara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat olah norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semau sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara.

5)      Tanggung jawab terhadap Tuhan
Manusia ada tidak dengan sendirimya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia dapat mengembangkan diri sendiri dengan sarana-sarana pada dirinya yaitu pikiran, perasaan, seluruh anggota tubuhnya, dan alam sekitarnya. Dalam mengembangkan dirinya manusia bertingkah laku dan berbuat. Sudah tentu dalam perbuatannya manusia membuat banyak kesalahan baik yangdisengaja maupun tidak. Sebagai hamba Tuhan, manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang salah itu atau dengan istilah agama atas segala dosanya.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia bersembahyang sesuai dengan perintah Tuhan. Apabila tidak bersembahyang, maka manusia itu harus mempertanggung jawabkan kelalaiannya itu diakhirat kelak.
Manusia hidup dalam perjuangan, begitu firman Tuhan. Tetapi bila manusia tidak bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya, maka segala akibatnya harus dipikul sendiri, penderitaan akibat kelalaian adalah tanggung jawabnya. Meskipun manusia menutupi perbuatannya yang salah dengan segala jalan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya, misalnya dengan hartanya, kekuasaannya, atau kekuatannya (ancaman), namun manusia tak dapat lepas dari tanggung jawabnya kepada Tuhan[10].


E.     Wujud Dari Sebuah Tanggung Jawab Kepemimpinan
Wujud dari tanggung jawab juga berupa pengabdian dan pengorbanan. Pengabdian dan pengorbanan adalah suatu perbuatan yang baik untuk kepentingan manusia itu sendiri.
1)      Pengabdian
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan, kesetiaan antara lain kepada raja, cinta, kasih sayang, hormat, atau suatu ikatan dan semua dilakukan dengan ikhlas. Timbulnya pengabdian itu pada hakikatnya ada rasa tanggung jawab. Apabila kita bekerja keras dari pagi sampai sore dibeberapa tempat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, itu berarti mengabdi kepada keluarga, karena kasih sayang kita pada keluarga. Lain halnya jika keluarga kita membantu teman, karena ada kesulitan, mungkin sampai berhari-hari ikut menyelesaikannya sampai tuntas, itu bukan pengabdian, tetapi hanya bantuan saja. Pengabdian di bagi dengan beberapa macam pengabdian yakni sebagai berikut ini:
a)      Pengabdian terhadap keluaraga
Pada hakikatnya manusia hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga ini didasarkan cinta dan kasih sayang. Kasih sayang ini mengandung pengertian pengabdian dan pengorbanan. Tidak ada kasih sayang tanpa pengabdian. Bila ada kasih sayang tidak disertai pengabdian. Berarti kasih sayang itu palsu atau semu. Pengabdian kepada keluarga ini dapat berupa pengabdian kepada istri dan anak-anak, istri kepada suami dan anak-anaknya, anak-anak kepada orang tuanya.
b)      Pengabdian terhadap masyarakat
Manusia adalah anggota masyarakat, ia tidak dapat hidup tanpa orang lain, karena tiap-tiap orang lain saling membutuhkan. Bila seseorang yang hidup di masyarakat tidak mau memasyarakatkan diri dan selalu mengasingkan diri, maka apabila mempunyai kesulitan yang luar biasa, ia akan ditertawakan oleh masyarakat, cepat atau lambat ia akan menyadari dan menyerah kepada masyarakat lingkungannya.
c)      Pengabdian terhadap negara
Manusia pada hakikatnya adalah bagian dari suatu bangsa atau warga negara suatu negara. Karena itu seseorang wajib mencintai bangsa dan negaranya. Mencintai ini biasanya diwujudkan dalam bentuk pengabdian. Tidak ada arti cinta tanpa pengabdian.
d)     Pengabdian terhadap tuhan
Manusia tidak ada sendirinya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawabnya kapada Tuhan Yanag Maha Esa. Selain itu juga manusia harus menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[11].

2)      Pengorbanan
Pengorbanan berasal dari kata korban atau kurban yang berarti persembahan, sehingga pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian. Dengan demikian pengorbanan yang bersifat kebaktian itu mengandung unsur keikhlasan yang tidak mengandung pamrih. Pengorbanan dalam arti pemberian sebagai tanda kebaktian tanpa pamrih dapat dirasakan bila kita membaca tau mendengarkan ceramah di masjid. Dari kisah para tokoh atau nabi, manusia memperoleh tauladan yang baik, sebagaimana mestinya wajib berkorban bagi orang yang mampu atau orang memiliki harta yang lebih.
Perbedaan antara pengabdian dan pengorbanan tidak begitu jelas. Karena adanya pengabdian tentu ada pengorbanan. Pengorbanan merupakan akibat dari pengabdian. Pengorbanan dapat berupa harta benda, pikiran, perasaan, bahkan dapat juga berupa jiwanya. Pengorbanan diserahkan secara ikhlas tanpa pamrih, tanpa ada perjanjian, tanpa ada transaksi, kapan saja diperlukan dan dilakukan.
Pengabdian lebih banyak menunjuk kepada perbuatan, sedangkan pengorbanan lebih banyak menunjuk kepada pemberian sesuatu misalnya berupa pikiran, perasaan, tenaga, biaya, dan waktu. Dalam pengabdian selalu dituntut pengorbanan, akan tetapi pengorbanan belum tentu menuntut pengabdian[12].


F.     Tanggung Jawab Dalam Islam
Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat yang artinya : (Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban ).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telah melakukan kedzaliman. Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya ?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al An’am yang Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 yang artinya: “Tiap-tiapdiri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal.
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.
Allah SWT menyatakan dalam QS Yaasiin yang artinya: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yaasiin 12).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An nahl 25
Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
Di sini kita merenung sejenak seraya bertanya: “apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karrena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?” seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama raksyat masih bisa memiliki kehendak yang aada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sbb. : “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (Al ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” (Az Zukhruf 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa yang lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam di paksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dst. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. (lihat An Nahl 106 dan An Nisa’ 97-99)
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At Tahrim 6) Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadit)
Tanggungjawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimnitai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas semua perbuatannya disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya prilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilihseorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.
Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang sholeh. Perrtolongan allah tergantung niat sesuai dengan firman Allah Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (At Taghobun 11)

  


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dalam Islam hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.
Substansi kepemimpinan dalam prespektif islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang-orang yang benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa criteria yang islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera, dan tentram.

B.     Saran
Dari makalah ini, maka saran pemakalah ialah bahwa kita sebagai pemimpin harus bisa bertanggung jawab dalam apapun yang kita pimpin, karena tanggung jawab seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat atau rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Allah SWT. Kita sebagai mahasiswa harus bisa bertanggung jawab dari hal yang paling kecil hingga hal yang paling besar.






DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la Al-Maududi. Khalifah dan Kerajaan. Bandung, Karisma, 2007.
Ali, M. Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta 1998.
As-suwaidan, Thariq Muhammad Dan Faishal Umar Basyarahil. 2005. Melahirkan Pemimpin
Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Hartono. Dkk. 1991. ILMU BUDAYA DASAR: Untuk Pegangan Mahasiswa. Surabaya: Pt
Bami Ilmu 1991.
Ibnu Taimiyah. 2004. Tugas Negara Menurut Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., 2004).
Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, Cet 3,
Bandung: Cv Diponegoro, 1982.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin. Syarah Royadhus Shalhin. Jilid 2. cet. 2. Jakarta
Timur:Darussunnah Press,2009.
Suyadi, M.P. 1984. Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar. Depdikbud U.T. 1984.
Thariq M As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melajirkan Pemimpin Masa Depan,
Jakarta, Gema Insani, 2005.
Widyo Nugroho, Achmad Muchji. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas
Gunadarma.




                                                                                                              



[1] As-suwaidan, Thariq Muhammad Dan Faishal Umar Basyarahil. 2005. Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press 2005. Hlm 53-60

[2]Abul A’la Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, Bandung, Karisma, 2007, hlm. 374.
[3]Widyo Nugroho, Achmad Muchji. 1996.  Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma 1996.
[4]Thariq M As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melajirkan Pemimpin Masa Depan, Jakarta, Gema Insani, 2005, hlm. 301.
[5]Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin,Syarah Royadhus Shalhin  Op. Cit, Hal. 1053-1054.
[6]Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Royadhus Shalhin Op. Cit, Hal. 1053-1056.

[7]Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, Cet 3, Bandung: Cv Diponegoro, 1982, Op. Cit, Hal. 138-139

[8]Ibnu Taimiyah. 2004. Tuga Negara Menurut Isalm. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004. Hlm 360
[9]Shaleh, Dkk. 1982. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunya Ayat-Ayat Al-quran. Ctk 3. Bandung: Cv Di ponogoro. Hlm 370

[10]Hartono. Dkk. 1991. ILMU BUDAYA DASAR: Untuk Pegangan Mahasiswa. Surabaya: Pt Bami Ilmu 1991.

[11]Suyadi, M.P. 1984. Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar. Depdikbud U.T. 1984.

[12]Ali, M. Daud. 1998. Pendidikan Agama Isalam. Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada 1998.

No comments: