PENDAHULUAN
Peter
M. Senge adalah seorang ahli sosial dan manajemen. Kesarjanaannya dimulai dari
sarjana Tehnik di Stanford, program Masternya dilaluinya pada pemodelan sistem
sosial di MIT (Massachustts Institut of Teknology) sementara
program Doktornya dalam bidang Manajemen. Daricurriculum vitae studinya,
maka bisa dimaknai bahwa pendidikan yang dilaluinya bernuansa penyatuan antara
ilmu sosial dan manajemen. Dalam bukunya School That Learn Peter M. Senge
menguraikan dengan gamblang dan tuntas prinsip-rinsip belajar.
Belajar merupakan aktifitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan. Baik – buruknya belajar seseorang akan
berdampak kepada maksimal atau tidaknya hasil yang dicapai. Belajar bukan hanya
dengan menggunakan benda saja. Belajar bisa dilakukan dengan menggunakan
segenap kemampuan yang ada dalam diri. Seseorang akan terfokus belajarnya jika
kemampuan, keinginan serta sarana yang ada.
Menurut Peter M. Sange ada lima
prinsip yang harus ditanamkan dan dipraktekkan bagi seseorang yang belajar.
Apapun bentuknya, lima prinsip (five principle) sesuai digunakan karena
prinsip-prinsip itu bisa dikondisikan dalam segala aktifitas. Kelima prinsip
itu adalah :Personal Mastery (Penguasaan diri), Mental
Models (Model mental), Shared Vision (Visi
bersama), Team Learning(Belajar beregu), dan System
Thinking (Berfikir sistem).
Kelima prinsip ini menjadi acuan
dasar bagi orang yang ingin belajar. Dalam makalah ini akan diuraikan
penjelasan dan cara kerja masing-masing prinsip. Dengan uraian itu nanti akan
memberikan pemahaman sekaligus tolak ukur dalam sudut pandang tentang belajar
baik aspek pendidikan, organisasi, maupun kinerja apapun yang ada dalam
kehidupan.
A.
Personal
Mastery (Penguasaan Pribadi)
Pengertian dari Personal Mastery ini
dapat didefenisikan dengan penguasaan pribadi. Kata “Mastery” bisa difahami
sebagai “master”. Bila dirilik dari sudut bahasa, maka apabila dikatakan
master, yang terbayang dalam maknanya adalah seseorang yang telah mapan, mampu,
dan super. Sementara kata “Personal” dapat pula diartikan sebagai “diri, jiwa,
dan pribadi.” Sehingga kalai kita artikan dengan bahasa yang bebas, personal
mastery difahami sebagai diri yang telah mampu dalam menguasai masalah.
Pengertian ini senada dengan apa yang
diungkapkan Peter M. Senge, “ The practice of personal mastery is an
individual matter.” Kekuatan dan penguasaan diri dalam menghadapi
permasalahan merupakan kematangan personal mastery. Dalam bukunya Peter M.
Senge memberikan pemahaman personal matery ini dengan ilustrasi yang mudah
difahami. Dalam iliustrasi itu dicontohkan dengan seorang anak yang ingin
sekali untuk bisa membaca kepada gurunya. Gurunya menjawab, bahwa ia akan bisa
membaca setelah dia selesai belajar dengan baik dan berhasil.
Dari penggalan percakapan ini, maka
dapat difahami bahwa kemampuan seseorang itu akan dapat dia rasakan setelah
benar-benar belajar dan telah mampu menguasai apa yang telah dipelajarinya.
Dalam belajar seseorang akan mampu mengetahui apabila telah menguasai apa yang
diterimanya.
Setiap orang memiliki kemampuan khusus
yang khas. Keahlian individua ini akan menjadi nyata ketika setiap indisvidu di
organisasi memberikan komitmen tinggi dalam proses pembelajaran dirinya sendiri
sehingga menjadi pakar di bidangnya yang nantinya akan membawa manfaat besar
dalam organisasi.
Demikian halnya tentang diri seseorang
akan mampu bekerja apabila dia telah mengetahui dan menguasai dirinya. Kalau
ingin mencapai sesuatu, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah mengukur
kemampuan diri. Menguasai diri merupakan hal yang pertama sebelum menaklukkan
dan mencapai apa yang diingini.
Alangkah banyaknya orang yang tidak
mencapai puncak kejayaannya dikarenakan ketidak mampuannya menguasai diri.
Orang yang miskin, apabila mendapat uang yang banyak yang diluar kebiasaannya
ternyata kaget dan tidak mampu mempergunakan uangnya sehingga habis tanpa bekas
dan miskin kembali. Orang yang taat dalam beribadah juga akan tergelincir ke
lembah dosa diakibatkan ketidak mampuan menguasai diri. Bahkan seorang anak
yang pada mulanya baik ternyata menjadi nakal karena ketidak mampuan menguasai
diri dari pergaulan sesamanya.
Diri, jiwa atau pribadi manusia
merupakan sosok yang harus dipelajari agar bisa menentukan langkah. Menguasai
diri bukanlah perbuatan yang mudah. Hal ini disebabkan bahwa terkadang dengan
berbagai kondisi ternyata penguasaan diri itu bisa tak terkendali. Maka dari
itu hal yang pertama sekali dilakukan untuk melangkah itu adalah penguasaan
diri.
Secara bahasa sederhana Personal Mastery
dapat diartikan dengan menciptakan sesuatu dalam kehidupan dan pekerjaan sesuai
dengan apa yang diinginkan. Dengan demikian diri kita akan menjadi apa yang
dicita-citakan. Kalau ingin menjadi seorang teknokrat, maka mulailah membangun
komitmen dan tanamkan dalam diri untuk mencapainya melalui saluran
yang tersedia. Seorang anak akan menjadi dokter, maka dengan tekad yang kuat ia
akan belajar ilmu eksakta dan biologi. Seorang yang berkeinginan menjadi
pengusaha sukses, maka tanamkanlah keinginan itu dalam diri dengan usaha-usaha
ke arah itu. Seorang yang berkeinginan menjadi guru, maka tanamkanlah keinginan
itu dengan berusaha terus melalui jalur pendidikan keguruan.
“Cita-cita itu dimulai dengan mimpi”.
Itulah ungkapan yang sesuai dengan Personal Mastery. Cita-cita yang dimulai
dengan mimpi akan masuk ke alam khayal dari waktu ke waktu, akan terngiang
terus sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat. Keinginan yang kuat akan
membuahkan kepada mengumpulkan segala bentuk kekuatan untuk meraihnya. Sehingga
orang akan berhasil itu adalah orang yang tetap menjaga dan melestarikan
penguasaan diri dalam mencapai keinginan yang terbaik.
B.
Shared
Vision (Visi Bersama)
Shared Vision (Visi Bersama) dapat
diartikan sebagai membangun rasa komitmen dalam suatu kelompok. Sebab masa
depan itu akan lebih baik apabila terciptanya nilai-nilai kebersamaan. “the
future we want to create together”. Dengan adanya kebersamaan tentu akan
menciptakan satu visi yang harus dipatuhi dan dijalankan demi ketercapaian
tujuan.
Ide yang ada dalam setiap individu
dibangkitkan melalui kebersamaan. Berbagai macam ide individual digabungkan
dalam satu ide besar yang handal untuk mewakili dari masing-masing individu.
Beberapa visi yang dikumpulkan akan dikombinasikan menjadi sebuah variasi yang
utuh dan universal. Inilah yang dinamakan Shared Visi.
Sebuah organisasi yang terdiri dari
beberapa anggota terlebih dahulu menyamakan visi untuk menjalankan roda
organisasi. Sebuah sekolah yang unggul merupakan kumpulan dari unsur guru-guru
yang sama-sama membangun visi ke depan dalam mengarahkan tujuan sekolah itu.
Ilsutrasi yang pantas untuk dipakaikan dalam shared visi ini seperti alat
transportasi yang digunakan untuk pengangkutan penumpang. Dalam menentukan alat
transportasi itu, maka pemilik, yang menjalankan serta orang-orang yang bekerja
pada alat transportasi itu terlebih dahulu menyamakan nama merek dan tujuan
sehingga calon penumpang cepat faham dan mengerti tentang alat transportasi
itu. Melihat namanya saja penumpang akan mengerti dengan jelas mereknya,
tujuannya serta kondisi alat transportasi itu.
Pada intinya shared visi ini merupakan
langkah yang dilakukan demi terbangunnya komitmen anggota untuk mengembangkan
visi bersama, dan sama-sama merumuskan strategi untuk mencapai visi
tersebut. Visi itu bukan hanya milik atau hasil fikiran pemimpin saja,
tetapi merupakan milik dan hasil pemikiran dari seluruh anggota. Hal ini
disebabkan bahwa organisasi atau lembaga itu tidak akan berjalan dan mencapai
tujuan yang ingin dicapai kalau hanya pemimpin saja.
Bagaimana langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam menciptakan shared vision ini? Peter Senge
memberikan 5 langkah, yaitu : Telling, Selling, Testing, Consulting, dan Co
creating.
1.
Telling (Menceritakan)
Menceritakan disini
bukanlah menceritakan dengan orang lain. Tetapi menceritakan dalam diri sendiri
secara internal individual. Setiap individu merumuskan sendiri dalam dirinya
visi yang dibentuknya dalam dirinya. Secara psikologis, maka disinilah terjadi
proses berfikir individu tentang visinya yang akan dilimpahkannya ke dalam
organisasinya.
2.
Selling (Menjualkan)
Selling (menjualkan)
visi disini dimaksudkan menyampaikan visi hasil individual (Telling) ke forum
anggota. Disinilah visi individual ditawarkan kepada seluruh anggota untuk
disatukan. Masing-masing anggota menyampaikan visi yang telah mereka hasilkan
agar anggota lainnya bisa memahaminya. Dari sini nanti akan nampak gambaran,
keunggulan, keefisienan, serta daya dukung untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapai. Dari berbagai visi yang ada, maka akan dibuat suatu kesimpulan akhir
yang terlebih dahulu memikirkan pemahaman dari seluruh anggota.
3.
Testing ( Uji coba)
Kebulatan hasil
komitmen dalam melahirkan visi itu juga harus diuji kehandalannya. Sebab hal
ini penting dilakukan untuk melihat dimana kelemahan dan kekurangan yang ada.
Testing ini dimaksudkan selain mencari kelemahan juga sebagai penguatan
pemahaman anggota dalam menyikapi kelemahan itu. Sebuah visi yang belum matang
dan belum teruji kehandalannya apabila dilaksanakan akan membawa
kepada kerusakan di masa mendatang. Dalam mengujicobakan visi ini juga
diperlukan objektivitas. Kalau ada kelemahan harus disampaikan sebagai bahan
perbaikan untuk direvisi.
4.
Consulting (Dirundingkan)
Tahap ini merupakan
tahap kedua terakhir dalam pelaksanaan visi. Kekurangan, kelemahan, dan hal-hal
yang dipandang perlu untuk memperbaiki vis itu dkonsultasikan dalam anggota.
Kelemahan yang banyak diminimalisir dan disempurnakan. Sehingga tidak ada celah
yang akan mengganggu pelaksanaan visi itu. Ujicoba yang telah dilaksanakan
harus dikonsltasikan demi kesempurnaan. Setelah diperbaiki dan disepakati, maka
visi yang telah disempurnakan itu dilaksanakan secara bersama-sama.
5.
Co-Creating (Melaksanakan bersama)
Disinilah operasional
dari visi yang telah sama-sama dibuat. Seluruh anggota, pimpinan dan unsur yang
terkait wajib menjunjung tinggi dan melaksanakan visi itu. Ini merupakan
konsenwensi yang harus dilaksanakan sebab seluruh anggota, pimpinan, dan unsur
yang terkait telah faham proses terciptanya visi yang dihasilkan.
Semua bertanggung jawab penuh dalam menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam
menjalankan visi guna terlasananya organisasi yang ingin mencapai tujuan
bersama.
C.
Mental
Models (Model Mental)
Mental
models mengandung arti karakter mental yang dimiliki oleh setiap individu.
Model mental sangat menentukan bagi seseorang dalam bertindak. Gambaran mental
model ini akan nampak di luar dirinya. Dalam diri seseorang apabila mentalnya
baik, maka akan baik pula dirinya. Sebaliknya apabila mentalnya buruk, maka akan
buruk pula perbuatannya.
Dalam
organisasi atau lembaga, biasanya terdiri atas beberapa individu. Baik buruknya
lembaga atau organisasi itu ditentukan juga dengan model mental anggotanya.
Ibaratkanlah sebuah sekolah, yang teridira atas guru-guru, kepala sekolah, dan
pegawai. Apabila guru-gur yang mengajar disekolah itu mempunyai mental baik,
maka iklim kerja disekolah itu akan kondusif, jika dibandingkan dengan apabila
guru-guru mempunyai mental yang buruk. Apa yang akan terjadi, jika mental
guru-gur tidak baik? Sudah bisa ditebak, bahwa yang terjadi adalah akan ada
terjadi saling menyalahkan satu sama lain yang berakibat kepada runtuhnya iklim
kerja yang baik.
Mendeteksi
model mental, bukanlah hal yang mudah untuk diketahui dari setiap individu.
Sebab ini erat kaitannya dengan psikologi. The practice of working with
mental models emerged from “action science.” Apa yang ada disekitar
lingkungan kita bisa berubah sesuai dengan bagaimana model mental kita.
Model
mental merupakan gambaran, asumsi, dan kisah yang kita bawa dalam benak kita
tentang diri kita sendiri, orang lain, institusi, lingkungan, dan setiap aspek
dari dunia ini. Melihat alam dengan segala problematikanya maka penilaian dari
dalam diri, akan memberikan penilaian terhadap makna yang terjadi. Apabila
orang lain berbuat, maka penilaian yang pertama sekali adalah bagaimana kita
menilai orang tersebut.
Asumsi
yang ada dalam benak seseorang akan ikut menentukan bagaimana penilaian
terhadapnya. Sehingga model mental itu bisa dirinci sebagai : (1) lensa yang
kita gunakan dalam memandang realitas, (2) kerangka untuk menginterpretasikan
realitas, (3) struktur yang berhadapan dengan realitas, (4) dasar yang kita
ambil untuk memilih kegiatan yang akan dilakukan.
Model
mental merupakan alamiah individualistik bagi seseorang. Setiap orang
memilikinya dan terus ada selagi hidup. Sehingga pandangan dan perbuatan selalu
diiringi dengan model mental. Disamping itu, model mental yang ada dalam setiap
individu bersifat aktif apabila melihat sebuah realitas. Apa yang dilihat
secara spontan akan mempengaruhi penilaian. Penilaian benar atau salah bukan
hal yang penting, sebab itu terjadi secara alami. Maka model mental kita itu
tercermin dari interpratasi diri terhadap realitas.
Realitas
yang ada itu bisa dibagi kepada: realitas eksternal yang mencakup; keluarga,
masyarakat, dan tempat kerja. Sementara realitas internal itu mencakup; image,
asumsi, generalisasi, dan sejarah hidup. Maka dari itu setiap ada permasalahan
yang muncul dari dua bentuk realitas itu, pengambil keputusan dan tindakan
sangat dipengaruhi oleh model mental.
Organisasi,
sekolah, tempat kerja akan baik apabila model mental aparaturnya baik.
Sementara kekacauan, iklim kerja yang tidak kondusif, dan perpecahan di tubuh
organisasi atau lembaga sehingga visi yang sama-sama di bangun hancur
berantakan juga di akibatkan lodel mental.
D.
Team
Learning (Belajar Beregu)
Kemampuan dasar yang ada dalam diri
seseorang tidak akan berkembang apabila hanya dimilikinya sendiri tanpa
ditulrakan kepada orang di sekitar. Kemampuan/potensi yang ada hanya akan
menjadi benda mati yang terus menerus akan terkubur di tengah berbagai macam
kemampuan yang ada. Dinamika heterogenitas manusia akan menjadi sebuah
keindahan dan sinerji yang kokoh apabila dibuktinyatakan dalam kondisi
kebersamaan. Disinilah perlunya team learning dalam membangun pembelajaran
sesama.
Akumulasi pengetahuan dari pembelajaran
setiap individu yang kemudian dibagi kepada anggota lainnya sehingga menjadi
pengetahuan tim. Berbagi ilmu pengetahuan sangat diperlukan demi kekuatan tim
di instansi/lembaga/organisasi. Merupakan suatu keterpurukan bersama apabila
masing-masing individu bertahan dengan kemampuan yang dimiliki. Kalau ada
permasalahan yang muncul nanti tentu akan berdampak kepada egois masing-masing.
Bukankah bersatu kita teguh bercerai
kita runtuh merupakan semboyan yang sangat ampuh dalam membangun kebersamaan
dan kemajua?. Untuk itu team learning harus ditumbuh suburkan dalam sebuah
organisasi/lembaga. Sehingga sistem berat sama dipikul ringan sama dijinjing
sekaligus memupuk rasa kekeluargaan dalam dunia kerja akan menciptakan iklim
yang kondusif dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan dalam visi.
E.
System
Thinking (Berfikir sistem)
System Thinking merupakan motor
penggerak pembelajaran dalam memberikan arah dalam mencapai visi dan tujuan. “System
thinking is particularly relevan to education because of the types of problems
that are prevalent in school system. Kesesuaian system berfikir ini akan
mendorong unsur yang berfungsi sesuai dengan tugasnya. Adanya keterkaitan dan
saling tergantung diantara seluruh fungsi-fungsi organisasi. Semuanya bekerja
dalam satu kesatuan dalam satu sistem.
Berfikir sistemik juga akan memberikan
kegiatan yang maksimal. Kepala sekolah bekerja sebagai fungsinya dalam memimpin
(leader), sementara guru juga melaksanakan fungsinya sesuai dengan tugas yang
diembannya, demikian juga tata usaha selaku fasilitator administratif
operasional sekolah. Apabila salah satu sistem rusak, maka akan berdampak
kepada seluruh unsur yang ada.
Komputer yang bekerja sistemik, akan
sangat membantu kinerja bagi pemakainya. Segala urusan akan selesai sesuai
perintah operator. Namun apabila satu unsur komputer itu rusak, maka semua
keinginan operator tidak akan terbacanya sehingga terganggunya kerja.
Demikianlah system thinking bekerja
dalam operasionalnya. Sistem berfikir yang positif dalam setiap individu akan
menentukan tata kerja. Dengan sistem berfikir segala pekerjaan yang semula
berat, akan dapat diselesaikan.
KESIMPULAN
Fifth
dicipline (lima prinsip) yang dikemukakan Peter Senge ternyata telah
membuka cakrawala berfikir bagi seluruh aspek. Tidak saja dalam dunia
organisasi, lembaga, sekolah, bahkan masyarakat sendiripun sangat terbantu
dengan lima prinsip ini. Dalam lima prinsip ini telah menggabungkan antara
individualistik, masyarakat, dan bangsa.
Kondisi
zaman yang terus berkembang, seperti kompetisi yang semakin ketat, sinerji
antar anggota tim yang berbeda-beda, perubahan yang sangat cepat,
dan mengantisipasi masa depan yang penuh ketidakpastian, ternyata
telah bisa teratasi kalau dengan menggunakan tulisan teori ini.
Namun
demikian, hambatan dan kelemahan-kelemahan dari teori ini pasti ada. Tinggal
lagi konsep dasar dan tujuan tetap dipertahankan. Fleksibelitas dalam
memecahkan problematika kerja dan individu harus hal yang utama.
Bukankah sebuah teori itu akan berkembang sesuai kondisi zaman yang ada? Bisa
saja teori ini tergantikan dengan teori yang lebih menjawab tantangan zaman.
Sebab ilmu itu dinamis. Sekarang dianggap baru namun beberpa saat ke depan
telah usang dan tak terpakai lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Peter
Senge. School That Learn. London: Nicholas Brealey. 2012.
Mouhammad
Noer. Mengapa Organisasi/Perusahaan Perku Menciptakan Budaya Belajar. www.muhammadnoer.com.
Diakses 10 Agustus 2017.
Abdusima.blogspot.co.id/2014/02/lima-prinsip-peter-sange.html.
Dikses 05 Agustus 2017.
No comments:
Post a Comment