Saturday, March 24, 2018

BEA METERAI


Pengertian Bea Meterai

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga Undang-Undang Bea Meterai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Selain itu, untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.


Objek Pemungutan Bea Meterai

Objek pemungutan bea meterai diatur berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 13 tahun 1985 adalah dokumen. Dokumen yang menjadi objek pemungutan adalah dokumen yang ditulis di atas kertas. Dokumen yang tidak ditulis di atas kertas tidak termasuk ke dalam objek dari pemungutan bea meterai. Misal dokumen yang disimpan di dalam komputer, film dan CD bukan merupakan objek pemungutan bea meterai, namun tidak semua dokumen harus membayar bea meterai. Dokumen yang harus dibayar bea meterainya adalah dokumen yang akan digunakan sebagi alat bukti di peradilan dalam rangka hukum perdata. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga UndangUndang Bea Meterai dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang dikenakan tarif bea meterai antara lain:


Dokumen yang Tidak Dikenakan Bea Meterai

Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada surat tanda tanpa bea meterai, namun berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 disebutkan bahwa terdapat dokumen-dokumen tertentu tidak dikenakan bea meterai, antara lain: 
1. Dokumen yang berupa: 
a. Surat penyimpanan barang; 
b. Konosemen; 
c. Surat angkutan penumpang dan barang; 
d. Bukti pengiriman dan penerimaan barang; 
e. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; f. Surat-surat lainnya dalam rangka hukum publik. 

2. Segala bentuk ijazah, yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran; 

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran tersebut; 

4. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, kas daerah, dan bank; 

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas Negara, kas pemda dan bank; 

6. Tanda terima penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi; 

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; 

8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian; 

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


Saat Terutangnya Bea Meterai

Pada dasarnya, bea meterai terutang pada saat dokumen tersebut selesai dibuat atau pada saat dokumen tersebut selesai digunakan. Untuk mengetahui suatu dokumen mulai terutang bea meterai, maka dapat dilihat dari sifat dokumen tersebut. Sifat dokumen digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu: 

1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah terutang pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan pada saat ditandatangani. 
Contoh: Kuitansi tanda terima uang, terutang bea meterai pada saat kuitansi tersebut diserahkan. 

2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah terutang pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan.
Contoh: Dokumen perjanjian hutang piutang, terutang bea meterai setelah dokumen hutang piutang tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak. 

3. Dokumen yang dibuat di luar negeri, adalah terutang pada saat digunakan di Indonesia. 
Contoh: Dokumen perjanjian antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Perusahaan Kontraktor di Prancis dalam rangka pembuatan sistem pengeboran minyak lepas pantai. Perjanjian dibuat di Paris, maka atas dokumen perjanjian tersebut terutang bea meterai pada saat dimulainya pelaksanaan perjanjian tersebut di Indonesia.


Tata Cara Pelunasan Bea Meterai

Pihak yang terutang bea meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Pelunasan bea meterai terhadap dokumen yang terutang bea meterai dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 
1. Menggunakan benda meterai/meterai tempel; Pelunasan dengan meterai tempel/benda meterai diatur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 122A/PJ/2000 tanggal 1 Mei tahun 2000. Pelaksanaan pelunasan dilakukan dengan menempelkan meterai di tempat di mana tanda tangan akan dibubuhkan dan tanda tangan tersebut harus dibubuhkan sebagian di atas meterai tempel dan sebagian di atas dokumen. 
2. Menggunakan kertas meterai/kertas segel; Pelunasan bea meterai dengan menggunakan kertas meterai atau sering dikenal dengan kertas segel, yakni dengan menggunakan kertas meterai/kertas segel yang sah dikeluarkan oleh pemerintah dengan bentuk, ukuran dan warna sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2000 c.q. Keputusan Menteri Keuangan nomor 133/KMK.04/2000, yaitu ukuran kertas A3 atau A4 kopur Rp.6.000,00. 
3. Menggunakan mesin tera bea meterai (taxograph); Pelunasan bea meterai dengan mesin tera bea meterai dapat dilakukan dengan izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dan hasil pencetakan bea meterai lunas dibayar, dilaporkan ke Direktur Jenderal Pajak (Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133B/KMK.04/2000), dengan ketentuan pelunasan dengan membubuhkan tanda meterai lunas dibayar, sebagai berikut: 

Cara pelunasan dengan mesin tera hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal 50 dokumen.

Berikut ini beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam hal penerbitan dokumen yang menggunakan mesin tera, antara lain: 

a. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan bea meterai dengan mesin tera bea meterai harus mengajukan izin secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merek dan tahun pembuatan mesin tera yang akan dipergunakan. Dilampiri surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi bea meterai setiap hari; 

b. Sebelum menggunakan mesin tera bea meterai, harus melakukan penyetoran di muka minimal sebesar Rp.15.000.000,00 ke Kas Negara (melalui bank persepsi); 

c. Kepada penerbit dokumen yang mendapat izin penggunaan mesin tera bea meterai berkewajiban untuk: 
1) Menyampaikan laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat tanggal 15 setiap bulan. 
2) Apabila mesin tera tidak dipakai lagi, harus membuat laporan paling lambat satu bulan setelah mesin tera tidak dipakai. 

d. Izin penggunaan mesin tera bea meterai berlaku 2 tahun, apabila sudah melewati batas waktu 2 tahun dan tidak diperpanjang izinnya, maka izin penggunaan mesin tera bea meterai tersebut dicabut. 

e. Laporan ke kantor Pelayanan Pajak akan mengakibatkan pencabutan izin penggunaan mesin tera bea meterai. 

4. Menggunakan alat cetak; Pelunasan bea meterai dengan menggunakan alat cetak, dilaksanakan oleh Perum PERURI dan/atau Perusahaan Sekuriti yang mendapat izin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BASUPAL) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. Diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro dan efek dengan nama atau bentuk apapun; 
b. Harus dilakukan pembayaran di muka sejumlah dokumen yang harus dilunasi bea meterai ke Kas Negara melalui Bank Persepsi; 
c. Mengajukan izin ke Direktur Jenderal Pajak; 
d. Perum PERURI harus lapor bulanan ke Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 di bulan berikutnya; 
e. Tanpa izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dapat dikenakan sanksi pidana selama-lamanya 7 tahun. 

5. Menggunakan Sistem Komputerisasi Pelunasan dengan sistem komputerisasi dilaksanakan hanya untuk dokumen yang berbentuk surat: 
a. Yang menyebutkan jumlah uang; 
b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank; 
c. Yang berisi pengakuan bahwa utang yang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi. 

Pelaksanaan penggunaan sistem komputerisasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 

a. Pelaksanaannya harus mengajukan izin tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi bea meterai setiap hari; 
b. Penerbit dokumen dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan sistem komputer, harus terlebih dahulu melakukan pembayaran bea meterai di muka, minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi bea meterai setiap bulannya ke rekening Kas Negara, yang mana penyetorannya melalui bank persepsi; 
c. Pelunasan dengan menggunakan komputerisasi harus membuat laporan bulanan tentang realisasi penggunaan (paling lambat tanggal 15 setiap bulannya); 
d. Saldo bea meterai yang lebih dibayar pada saat mengajukan izin masih mencukupi kebutuhan untuk pemeteraian 1 bulan; 
e. Penggunaan pelunasan bea meterai dengan sistem komputerisasi tanpa izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, dipidana maksimal 7 (tujuh) tahun; 
f. Bea meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari pembayaran di muka dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang kurang dibayar; 
g. Apabila melewati masa berlakunya izin yang diberikan, maka dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin; 
h. Apabila laporan ke Direktorat Jenderal Pajak melewati batas waktu dikenakan sanksi pencabutan izin.


Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea meterai sebagaimana mestinya maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. 

Pemeteraian kemudian dilakukan atas: 
a. Dokumen yang semula tidak terutang bea meterai, namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan; 
b. Dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya; dan 
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.


Daluwarsa dan Sanksi

Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang mempunyai daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal dokumen dibuat. Hal ini berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. Berdasarkan pasal 8 UU No.13 Tahun 1985 disebutkan bahwa dokumen yang tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pelunasan bea meterai terutang berikut dendanya dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian. Pemeteraian kemudian dilakukan oleh pejabat pos. 

No comments: