Pengertian Bea Meterai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut
Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai
Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
atau disebut juga Undang-Undang Bea Meterai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1
Januari 1986. Selain itu, untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.
Objek Pemungutan Bea Meterai
Objek pemungutan bea meterai diatur berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 13 tahun 1985
adalah dokumen.
Dokumen yang menjadi objek pemungutan adalah dokumen yang ditulis di atas
kertas. Dokumen yang tidak ditulis di atas kertas tidak termasuk ke dalam objek dari
pemungutan bea meterai. Misal dokumen yang disimpan di dalam komputer, film dan CD
bukan merupakan objek pemungutan bea meterai, namun tidak semua dokumen harus
membayar bea meterai. Dokumen yang harus dibayar bea meterainya adalah dokumen
yang akan digunakan sebagi alat bukti di peradilan dalam rangka hukum perdata.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga UndangUndang
Bea Meterai dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai,
menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang dikenakan tarif bea meterai antara lain:
Dokumen yang Tidak Dikenakan Bea Meterai
Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada surat tanda tanpa
bea meterai, namun berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
disebutkan bahwa terdapat dokumen-dokumen tertentu tidak dikenakan bea meterai, antara
lain:
1. Dokumen yang berupa:
a. Surat penyimpanan barang;
b. Konosemen;
c. Surat angkutan penumpang dan barang;
d. Bukti pengiriman dan penerimaan barang;
e. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; f. Surat-surat lainnya dalam rangka hukum publik.
2. Segala bentuk ijazah, yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat
Belajar (STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan,
latihan, kursus, dan penataran;
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, tunjangan, dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran tersebut;
4. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, kas daerah, dan bank;
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari kas Negara, kas pemda dan bank;
6. Tanda terima penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut;
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian;
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Saat Terutangnya Bea Meterai
Pada dasarnya, bea meterai terutang pada saat dokumen tersebut selesai dibuat atau
pada saat dokumen tersebut selesai digunakan. Untuk mengetahui suatu dokumen mulai
terutang bea meterai, maka dapat dilihat dari sifat dokumen tersebut. Sifat dokumen
digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah terutang pada saat dokumen itu
diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan pada
saat ditandatangani.
Contoh:
Kuitansi tanda terima uang, terutang bea meterai pada saat kuitansi tersebut
diserahkan.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah terutang pada saat dokumen
itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang
bersangkutan.
Contoh:
Dokumen perjanjian hutang piutang, terutang bea meterai setelah dokumen hutang
piutang tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri, adalah terutang pada saat digunakan di
Indonesia.
Contoh:
Dokumen perjanjian antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan
Perusahaan Kontraktor di Prancis dalam rangka pembuatan sistem pengeboran
minyak lepas pantai. Perjanjian dibuat di Paris, maka atas dokumen perjanjian
tersebut terutang bea meterai pada saat dimulainya pelaksanaan perjanjian tersebut di
Indonesia.
Tata Cara Pelunasan Bea Meterai
Pihak yang terutang bea meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen,
kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Pelunasan bea meterai
terhadap dokumen yang terutang bea meterai dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain:
1. Menggunakan benda meterai/meterai tempel;
Pelunasan dengan meterai tempel/benda meterai diatur berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor 122A/PJ/2000 tanggal 1 Mei tahun 2000. Pelaksanaan
pelunasan dilakukan dengan menempelkan meterai di tempat di mana tanda tangan
akan dibubuhkan dan tanda tangan tersebut harus dibubuhkan sebagian di atas
meterai tempel dan sebagian di atas dokumen.
2. Menggunakan kertas meterai/kertas segel;
Pelunasan bea meterai dengan menggunakan kertas meterai atau sering dikenal
dengan kertas segel, yakni dengan menggunakan kertas meterai/kertas segel yang
sah dikeluarkan oleh pemerintah dengan bentuk, ukuran dan warna sesuai dengan
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2000 c.q. Keputusan Menteri Keuangan nomor
133/KMK.04/2000, yaitu ukuran kertas A3 atau A4 kopur Rp.6.000,00.
3. Menggunakan mesin tera bea meterai (taxograph);
Pelunasan bea meterai dengan mesin tera bea meterai dapat dilakukan dengan izin
tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dan hasil pencetakan bea meterai lunas dibayar,
dilaporkan ke Direktur Jenderal Pajak (Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133B/KMK.04/2000), dengan ketentuan pelunasan dengan membubuhkan tanda
meterai lunas dibayar, sebagai berikut:
Cara pelunasan dengan mesin tera hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen
yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal 50
dokumen.
Berikut ini beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam hal penerbitan
dokumen yang menggunakan mesin tera, antara lain:
a. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan bea meterai dengan mesin
tera bea meterai harus mengajukan izin secara tertulis kepada Kantor Pelayanan
Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merek dan tahun pembuatan
mesin tera yang akan dipergunakan. Dilampiri surat pernyataan tentang jumlah
rata-rata dokumen yang harus dilunasi bea meterai setiap hari;
b. Sebelum menggunakan mesin tera bea meterai, harus melakukan penyetoran di
muka minimal sebesar Rp.15.000.000,00 ke Kas Negara (melalui bank
persepsi);
c. Kepada penerbit dokumen yang mendapat izin penggunaan mesin tera bea
meterai berkewajiban untuk:
1) Menyampaikan laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat,
paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
2) Apabila mesin tera tidak dipakai lagi, harus membuat laporan paling
lambat satu bulan setelah mesin tera tidak dipakai.
d. Izin penggunaan mesin tera bea meterai berlaku 2 tahun, apabila sudah
melewati batas waktu 2 tahun dan tidak diperpanjang izinnya, maka izin
penggunaan mesin tera bea meterai tersebut dicabut.
e. Laporan ke kantor Pelayanan Pajak akan mengakibatkan pencabutan izin
penggunaan mesin tera bea meterai.
4. Menggunakan alat cetak;
Pelunasan bea meterai dengan menggunakan alat cetak, dilaksanakan oleh Perum
PERURI dan/atau Perusahaan Sekuriti yang mendapat izin dari Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (BASUPAL) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro dan efek dengan
nama atau bentuk apapun;
b. Harus dilakukan pembayaran di muka sejumlah dokumen yang harus dilunasi
bea meterai ke Kas Negara melalui Bank Persepsi;
c. Mengajukan izin ke Direktur Jenderal Pajak;
d. Perum PERURI harus lapor bulanan ke Direktur Jenderal Pajak paling lambat
tanggal 10 di bulan berikutnya;
e. Tanpa izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dapat dikenakan sanksi pidana
selama-lamanya 7 tahun.
5. Menggunakan Sistem Komputerisasi
Pelunasan dengan sistem komputerisasi dilaksanakan hanya untuk dokumen yang
berbentuk surat:
a. Yang menyebutkan jumlah uang;
b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
bank;
c. Yang berisi pengakuan bahwa utang yang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi.
Pelaksanaan penggunaan sistem komputerisasi dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pelaksanaannya harus mengajukan izin tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen
yang akan dilunasi bea meterai setiap hari;
b. Penerbit dokumen dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan
sistem komputer, harus terlebih dahulu melakukan pembayaran bea meterai di
muka, minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi bea
meterai setiap bulannya ke rekening Kas Negara, yang mana penyetorannya
melalui bank persepsi;
c. Pelunasan dengan menggunakan komputerisasi harus membuat laporan
bulanan tentang realisasi penggunaan (paling lambat tanggal 15 setiap
bulannya);
d. Saldo bea meterai yang lebih dibayar pada saat mengajukan izin masih
mencukupi kebutuhan untuk pemeteraian 1 bulan;
e. Penggunaan pelunasan bea meterai dengan sistem komputerisasi tanpa izin
tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985, dipidana maksimal 7
(tujuh) tahun;
f. Bea meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari
pembayaran di muka dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200% dari
bea meterai yang kurang dibayar;
g. Apabila melewati masa berlakunya izin yang diberikan, maka dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin;
h. Apabila laporan ke Direktorat Jenderal Pajak melewati batas waktu dikenakan
sanksi pencabutan izin.
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea meterai sebagaimana mestinya maka
akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea meterai yang
tidak atau kurang dibayar. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh
pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh
Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya.
Pemeteraian kemudian dilakukan atas:
a. Dokumen yang semula tidak terutang bea meterai, namun akan digunakan sebagai
alat pembuktian di muka pengadilan;
b. Dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya;
dan
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
Daluwarsa dan Sanksi
Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang mempunyai
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal dokumen dibuat. Hal ini berlaku
untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.
Berdasarkan pasal 8 UU No.13 Tahun 1985 disebutkan bahwa dokumen yang tidak
atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200%
dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pelunasan bea meterai terutang berikut
dendanya dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian. Pemeteraian kemudian dilakukan
oleh pejabat pos.
No comments:
Post a Comment