1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan kena pajak. Cara menghitung
Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto.
Sedangkan untuk orang pribadi dalam negeri adalah penghasilan neto dikurangi
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan PMK
101/PMK.010/2016 PTKP dalam satu tahun pajak yang berlaku saat ini adalah
sebagai berikut.
a. Rp.54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
b. Rp. 4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
c. Rp.54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami, dengan syarat:
1) Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu
pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang PPh Pasal 21; dan
2) Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
d. Rp. 4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
Besarnya PTKP bagi wanita berlaku ketentuan sebagaimana tabel berikut:
Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya
adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya
hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pengertian keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orangorang
dimana yang seorang adalah keturunan dari yang lain, atau antara orang-orang yang mempunyai bapak asal yang sama. Hubungan kekeluargaan sedarah dihitung
dengan jumlah kelahiran. Setiap kelahiran disebut derajat. Urutan derajat yang satu
dengan derajat yang lain disebut garis.
Garis lurus adalah urutan derajat antara orangorang
dimana yang satu merupakan keturunan dari yang lain. Dalam Garis lurus,
dibedakan garis lurus kebawah dan garis lurus keatas. Garis lurus kebawah
merupakan hubungan antara bapak-asal dan keturunannya; sedangkan garis lurus
keatas adalah hubungan antara seseorang dan mereka yang menurunkannya.
Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena
perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan kelurga sedarah
dari pihak lain. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama
seperti cara menghitung derajat kekeluargaan sedarah.
Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan awal tahun pajak atau awal
bagian tahun pajak.
3. Tarif Pajak
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Apabila
penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, bendahara melakukan pemotongan PPh
pasal 21 dengan tarif 20% (dua puluh persen) lebih tinggi dari tarif PPh 21 untuk
pegawai yang memiliki NPWP.
4. Ruang Lingkup Pemotongan Penghasilan Pasal 21 Bendahara
Bendahara pemerintah berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 kepada
Wajib Pajak yang menerima penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, uang
makan, uang lembur, dan pembayaran-pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang anggarannya dibebankan kepada APBN/APBD.
Ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh bendahara
pemerintah, adalah:
a. Pegawai, yaitu PNS (termasuk CPNS), Pegawai yang diusulkan menjadi CPNS
(Pegawai magang), anggota TNI atau Polri, pegawai honorer dan Pegawai tidak
tetap;
b. Bukan Pegawai, yaitu pihak pemberi jasa dalam segala bidang termasuk
narasumber acara atau trainer suatu kegiatan;
c. Peserta kegiatan yang diadakan oleh instansi pemerintah atau satuan kerja.
Penerima penghasilan yang berstatus pegawai dapat dikategorikan sebagai
Pegawai tetap dan Pegawai Tidak Tetap. Dalam ruang lingkup bendahara pemerintah,
Pegawai dapat dikategorikan sebagai Pegawai tetap apabila memenuhi kriteria:
a. Memiliki surat keputusan pengangkatan sebagai Pegawai termasuk CPNS
b. Biasanya surat keputusan tersebut memiliki jangka waktu lebih dari setahun
c. Menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur. Penghasilan secara
teratur artinya pembayaran dilakukan secara berkala pada suatu periode
tertentu.
Sedangkan kriteria Pegawai Tidak Tetap adalah:
a. Memiliki perjanjian atau kontrak pelaksanaan pekerjaan tertentu dalam suatu
jangka waktu tertentu.
b. Menerima penghasilan apabila yang bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah
hari kerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu
jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Berdasarkan kriteria tersebut, dalam ruang lingkup bendahara pemerintah, yang
dimaksud Pegawai tetap tidak hanya terbatas Pegawai yang berstatus sebagai PNS,
anggota TNI atau Polri dan pejabat negara termasuk CPNS, Pegawai yang diusulkan menjadi CPNS (Pegawai Magang) dan pegawai honorer. Sedangkan contoh Pegawai
Tidak Tetap misalnya orang pribadi yang dikontrak Badan Pusat Statistik sebagai
petugas sensus penduduk yang dibayar berdasar data penduduk yang berhasil
dikumpulkan.
Tidak termasuk subjek pajak yang dipotong PPh pasal 21 oleh bendahara
adalah:
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakukan
timbal balik
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
5. Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan POLRI,
serta Pensiunannya
a. Sumber Penghasilan
Sumber penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah
sumber penghasilan yang diperoleh dari penghasilan yang berkaitan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mana penghasilan tersebut
dibayarkan secara tetap dan teratur setiap bulan dan penghasilan lain yang
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban
APBN/APBD. Penghasilan tetap dan teratur adalah penghasilan yang dibayarkan
setiap bulannya yang dibebankan pada APBN/APBD, penghasilan tetap tersebut,
antara lain:
1) Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) Imbalan tetap lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang
undangan yang berlaku,yang diterima oleh Pejabat Negara,PNS,TNI,POLRI
dan pensiunannya. Penghasilan tersebut tidak termasuk biaya perjalanan
dinas.
b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan
POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap dan Teratur
Tata cara perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur,
disajikan dalam tahapan seperti gambar di bawah ini.
PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan secara
tetap dan teratur kepada PNS,Pejabat Negara,TNI, POLRI dan pensiunannya
berdasarkan PP 80 tahun 2010 ditanggung pemerintah. Apabila PNS, TNI,
POLRI dan pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada
lembaga yang tidak termasuk dalam kriteria Pejabat Negara, maka atas
penghasilan yang menjadi beban APBN/APBD. Terkait dengan kedudukannya
sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut, tetap dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan Pajak penghasilan yang
berlaku dan PPh Pasal 21 yang terutang tidak ditanggung pemerintah.
Contoh
Drs.Irwan Prayitno merupakan PNS golongan III/d yang menduduki jabatan
struktural sebagai eselon IV. Dia telah menikah dan memiliki 1 orang anak. Dia
telah memiliki NPWP dan menerima penghasilan yang sifatnya tetap dan teratur,
maka PPh Pasal 21 yang terutang sebagai berikut:
PPh Pasal 21 yang terutang sebesar Rp24.692,00 ditanggung pemerintah.
Apabila Drs. Irwan Prayitno tidak memiliki NPWP maka dari dikenakan tambahan
tarif 20% dari Rp. 24.692 yakni sebesar Rp.4.938,00, tarif lebih tinggi sebesar
Rp4.938,00 (20%) tersebut, tidak dibayarkan oleh pemerintah, melainkan
dipotong oleh bendahara dari penghasilan yang dibayarkan (gaji dan tunjangan).
c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan
POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak Tetap dan Tidak Teratur
Penghasilan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan
pensiunannya yang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun
yang menjadi beban APBN/APBD, dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara atau
pejabat lain yang ditunjuk melaksanakan pembayaran honorarium atau imbalan
lain tersebut. Pemotongan yang dilakukan oleh bendahara pemerintah atau
pejabat lain tersebut bersifat final.
Berdasarkan PP 80 tahun 2010, tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau
imbalan lain yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan
pensiunannya ditetapkan sebagai berikut:
1) Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang
dibayarkan kepada:
a) PNS golongan I(satu) dan Golongan II (dua); dan
b) Anggota TNI dan anggota POLRI dengan pangkat Tamtama dan
Bintara dan pensiunannya.
2) Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
yang dibayarkan kepada:
a) PNS golongan III (tiga); dan
b) Anggota TNI dan anggota POLRI golongan /pangkat Perwira Pertama
dan pensiunannnya.
3) Tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan
lain yang dibayarkan kepada:
a) Pejabat Negara;
b) PNS golongan IV (empat);
c) Anggota TNI dan anggota POLRI golongan/pangkat Perwira
Menengah dan Perwira Tinggi dan pensiunannya.
Contoh
Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayar kepada
Saudara Monang Sitorus selaku pengajar bela negara pada diklat Kuasa
Pengguna Anggaran, sebesar Rp. 1.000.000,00. Saudara Monang Sitorus
berkedudukan sebagai pensiunan Brigadir Jenderal. Maka PPh pasal 21 yang
harus dipotong bendahara sebesar:
6. Pajak Penghasilan Pasal 21 Selain Pejabat Negara, PNS, ANGGOTA TNI,
ANGGOTA POLRI, dan Pensiunannya
a. Subjek Pajak
1) Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik
sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga lepas, yang
bekerja berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan
atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan
berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan atau ketentuan lain
yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan
pekerjaan dalam jabatan negeri atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
Subjek pajak pegawai digolongkan menjadi dua golongan, yakni:
a) Pegawai tetap adalah “pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur”, artinya
penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji, tunjangan, dan imbalan
dengan nama apapun, yang diberikan secara periodik. Selain
penghasilan yang diperoleh pegawai tetap secara teratur, terdapat
pula penghasilan pegawai tetap yang diperoleh secara tidak teratur,
yakni penghasilan yang diperoleh sekali dalam satu tahun atau dalam
satu periode, misalnya Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, dll.
b) Pegawai tidak tetap /Tenaga lepas adalah “pegawai yang hanya
menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan
bekerja.” Perhitungan upah didasarkan pada jumlah hari bekerja,
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suati
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
2) Bukan pegawai, adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai
tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan
nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu
yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi
penghasilan meliputi:
a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
c) olahragawan
d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi,
dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g) agen iklan;
h) pengawas atau pengelola proyek;
i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
j) petugas penjaja barang dagangan;
k) petugas dinas luar asuransi;
l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya;
Dari susunan di atas dapat dikatakan bahwa daftar tersebut berbentuk
positive list yang berarti sudah jelas siapa yang dimaksud Bukan Pegawai.
Pemberi jasa yag tidak termasuk dalam daftar tersebut berarti bukan Bukan
Pegawai.
3) Peserta kegiatan termasuk penerima penghasilan yang tidak dapat
digolongkan ke dalam golongan pegawai dan bukan pegawai. Hal tersebut
dikarenakan, peserta kegiatan tidak memiliki karakteristik seperti yang telah
dikemukakan pada bagian sebelumnya. Peserta kegiatan adalah orang
pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti
rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan,
olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan keikutsertaannya dalam kegiatan.
b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap
dan Teratur
Pemotongan PPh Pasal 21 untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai,
dibedakan berdasarkan sifat penghasilannya, yakni penghasilan yang
berkesinambungan dan penghasilan yang tidak berkesinambungan.
Bagi Wajib Pajak yang berstatus bukan pegawai yang memenuhi syarat
1) menerima penghasilan berkesinambungan dan telah memiliki NPWP
2) hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong
PPh Pasal 21, serta tidak memperoleh penghasilan lain, maka PPh Pasal
21 yang dikenakan adalah:
Yang dimaksud dengan “bersifat berkesinambungan” adalah pembayaran
yang dilakukan secara bulanan atau berkala lebih dari satu kali pembayaran
yang sesuai dengan maksud perikatan/pemberian kerja.
Untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai yang tidak memenuhi dua
syarat diatas maka PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah:
Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang
hanya menerima penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dan bersifat
berkesinambungan
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun
dengan dr. Dewi Warastuti (memiliki NPWP, bukan PNS) , spesialis penyakit
dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan
dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta.
Dr. Dewi Warartuti hanya menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan
Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima
penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan hanya
menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh Pasal
21 terutang adalah sebagai berikut:
Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat
perhitungan sebagai berikut:
Contoh:
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang
menerima penghasilan lebih dari satu Pemberi Kerja dan bersifat
Berkesinambungan
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun
dengan dr. Dewi Warastuti (bukan PNS, memiliki NPWP) , spesialis penyakit
dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan
dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta.
Dr. Dewi Warartuti selain menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan juga menerima dari tempat lain
Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima
penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan tidak
hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh
Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
DPP PPh Pasal 21 per bulan = 50% x Rp 20.000.000,00
= Rp 10.000.000,00
Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat
perhitungan sebagai berikut:
c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak
Tetap dan Tidak Teratur
1) Penghasilan wajib pajak bukan pegawai yang bersifat tidak tetap dan
tidak teratur
Selain penghasilan yang berkesinambungan seperti yang telah
dipaparkan di atas, terdapat pula penghasilan tidak berkesinambungan
yang diperoleh oleh Wajib Pajak bukan pegawai. Yang dimaksud dengan
penghasilan tidak berkesinambungan yakni honorarium, uang saku, hadiah
atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, dan
pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau
kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang
diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan. PPh
Pasal 21 yang dikenakan terhadap golongan ini adalah:
Perhitungan PPh pasal 21 untuk Bukan Pegawai dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
Contoh
Dalam acara Capacity Building, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan
mengundang seorang motivator dengan pembayaran honor sebesar
Rp.120.000.000,00. Maka PPh Pasal 21 yang dipotong kepada motivator
tersebut sebesar:
Sehingga PPh 21 yang harus dipotong terhadap motivator tersebut adalah
Rp.4.000.000,-. Namun Apabila motivator tersebut tidak mempunyai
NPWP maka dikenakan 20% lebih tinggi 120% x Rp.4.000.000,- =
Rp.4.800.000,-.
2) Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Dibayarkan
Bulanan, Satuan, Harian, Mingguan, dan Borongan
Pemotongan PPh Pasal 21 yang terkait dengan pekerjaan jasa, dan
kegiatan orang pribadi yang menerima upah harian, mingguan dan
borongan, seperti penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang
menerima upah berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau
upah borongan, maka berdasarkan PMK 102/PMK.010/2016 berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) Apabila penghasilan bruto tidak melebihi Rp.450.000,- maka tidak
dipotong PPh pasal 21
b) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp.450.000,- dan masih
akumulasi masih dibawah Rp.4.500.000,- maka PPh pasal 21 = 5% x
(Upah sehari – Rp.450.000,-)
c) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp.450.000,- sehari atau
akumulasi penghasilan dalam sebulan lebih dari Rp.4.500.000,00 dan
masih dibawah Rp.10.200.000,- maka PPh pasal 21 = 5% x (Upah
sehari – PTKP/360)
d) Apabila penghasilan melebihi Rp.10.200.000,- dalam 1 bulan maka
PPh pasal 21 = (disetahunkan – PTKP) /12
Secara ringkas penghitungan PPh pasal 21 penghasilan secara
bulanan, mingguan, satuan, borongan, harian dapat dilihat pada gambar
berikut.
Contoh 1
Seto adalah seorang pria dengan status belum nikah, pada bulan
November bekerja sebagai buruh harian di kegiatan pembersihan halaman
kantor Balai Diklat Keuangan, pekerjaan tersebut dilakukan selama 6
(enam) hari dengan upah per hari Rp 500.000, (Lima ratus ribu rupiah),
maka perhitungan PPh 21 bagi Seto adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
3) Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Diterima
Peserta Kegiatan
Peserta kegiatan adalah
a) Peserta Perlombaan dalam segala bidang
b) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan atau kunjungan kerja
c) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai
penyelenggara kegiatan tertentu
d) Peserta Pendidikan dan pelatihan
e) Peserta Kegiatan lainnya
Penghasilan yang diterima peserta kegiatan adalah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun baik uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dan
penghasilan sejenis lainnya. Penghasilan dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 dengan perhitungan sebagai berikut:
Contoh
Saudara Retno mengikuti kegiatan bimbingan teknis merangkai bunga yang
diselenggarakan oleh Badan Latihan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Dia menerima uang saku sebesar Rp.700.000,00. Saudara
Retno telah memiliki NPWP. Maka PPh pasal 21 yang harus dipotong
bendahara adalah 5% x Rp. 700.000,00 = Rp. 35.000,00.
Berikut disajikan tabel dasar perhitungan untuk menghitung PPh pasal 21
Tabel 2.4. Dasar Penghitungan PPh pasal 21
7. Kewajiban Bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal 21
Kewajiban bendahara sebagai pemotong PPh Pasal 21, antara lain:
a. Menghitung, memotong, menyetor, dan melapor hal-hal yang terkait dengan PPh
Pasal 21;
b. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta atau tidak pada saat
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
c. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan (formulir 1721 A2),
kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI dan para
Pensiunan, dalam jangka waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan anggota ABRI berhenti
bekerja/pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti potongan diberikan
paling lambat 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan
anggota ABRI tersebut berhenti/pensiun.
d. Melaporkan SPT Masa PPh pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
8. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21
Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung Pemerintah dengan
menggunakan kode billing ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran
dilakukan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 21 yang terutang bagi pejabat negara,
PNS, anggota ABRI yang PPh-nya ditanggung Pemerintah, Bendahara melaporkan
penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN.
Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan
menggunakan SPT Masa (F.1.1.32.01) paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari
kerja sebelumnya.
Contoh:
Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan memotong honorarium yang
diterima oleh Kelompok Kerja ULP Paket Renovasi Gedung Anggrek pada tanggal 25
Maret 2016. Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang dan yang telah dipotong
oleh bendahara tersebut wajib disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lama
tanggal 10 di bulan berikutnya yaitu tanggal 10 April 2016, laporan disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 di bulan berikutnya atau tanggal 20
April 2016 dengan menggunakan dan melampirkan formulir yang ditentukan (SPT
Masa PPh Pasal 21/F.1.132.01, Daftar Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F.1.1.33.02,
Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F.1.1.33.02 dan Bukti elektronik penyetoran pajak.
No comments:
Post a Comment