Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa yang
merupakan pengganti dari Pajak Penjualan (PPn) yang diterapkan di Indonesia.
Beberapa pengertian yang
terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPn BM), antara lain:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
2. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi barang di dalam Daerah Pabean yang berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan tergolong barang mewah;
3. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruangan udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontingen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
4. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara, atau
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya;
5. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan
jasa dari luar Daerah Pabean yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan Pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP;
6. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai
ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang;
7. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984 sebagai mana telah diubah
dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
8. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta, oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang PPN 1984 dan perubahannya
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
9. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang PPN 1984
dan perubahannya;
10. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar Pengenaan Pajak.
11. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak tersebut;
12. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar penggantian atas Jasa kena Pajak tersebut;
13. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena
Pajak (JKP);
14. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada bendahara Pemerintah, badan
atau instansi Pemerintah;
15. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penyedia Barang/Jasa adalah PKP yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendahara Pemerintah.
Objek Pemungutan PPN dan PPn BM
Sesuai Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, bendahara
pemerintah ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
kepada bendahara pemerintah, badan atau instansi pemerintah.
Objek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang/jasa oleh bendahara adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh PKP Penyedia barang/jasa;
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh PKP Penyedia barang/jasa;
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
PPn BM hanya dipungut oleh bendahara dalam hal PKP Penyedia Barang/Jasa
adalah pabrikan dari BKP yang tergolong mewah.
Pembayaran yang Tidak Dipungut PPN dan
PPn BM
Pembayaran PPN dan PPn BM dilakukan oleh bendahara, namun terdapat beberapa
pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPN dan PPn BM. Pembayaran yang
dikecualikan tersebut, antara lain:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
a. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00, termasuk PPN dan PPn
BM;
b. PPN dan PPn BM yang terutang atas pembayaran yang jumlahnya maksimal Rp
1.000.000,00 dipungut dan disetor oleh PKP yang bersangkutan sesuai ketentuan
yang berlaku umum.
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah.
3. Pembayaran atas Penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut perundang-undangan
yang berlaku, dibebaskan dari pengenaan PPN, seperti:
a. Pembayaran untuk penyerahan BBM oleh Pertamina;
b. Pembayaran atas rekening telepon;
c. Pembayaran untuk jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
d. Pembayaran yang dilakukan oleh bendahara, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4a yaitu atas penyerahan BKP dan atau JKP yang
dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pemungutan PPN dilakukan pada saat pembayaran dengan cara pemotongan secara
langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah.
Barang Kena Pajak
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN.
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya meliputi:
a. Minyak mentah (crude oil);
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung
oleh masyarakat;
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit,
gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan
kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah
diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakit;
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih
bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi:
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai;
f. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus;
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan,
atau dikemas;
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan,tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas;
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas; dan
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak bergAnda
karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah; dan
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 juga diatur tentang
penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN, yaitu meliputi:
1. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam proses
menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak tersebut, tidak termasuk suku cadang;
2. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan, baik
penangkapan maupun budidaya;
3. jangat dan kulit mentah yang tidak disamak;
4. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian;
5. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau
perikanan;
6. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan;
7. pakan ikan;
8. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk imbuhan
pakan dan pelengkap pakan, yang kriteria dan/atau rincian bahan pakan diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
9. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk perak
batangan; dan
10. unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui kredit
atau pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m² (dua puluh satu meter persegi) dan
tidak melebihi 36 m² (tiga puluh enam meter persegi);
b. pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
c. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang rumah susun; dan
d. batasan terkait harga jual unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik dan
penghasilan bagi orang pribadi yang memperoleh unit hunian Rumah Susun
Sederhana Milik ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat
pertimbangan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
11. listrik, kecuali untuk rumah dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) Voltase
Amper.
Jasa Kena Pajak
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang PPN.
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UndangUndang
PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
Jenis jasa yang dibebaskan PPN secara rinci dijelaskan sebagai berikut
1. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b. jasa dokter hewan;
c. jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
d. jasa kebidanan dan dukun bayi;
e. jasa paramedis dan perawat;
f. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium;
g. jasa psikolog dan psikiater; dan
h. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2. Jasa pelayanan sosial meliputi:
a. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b. jasa pemadam kebakaran;
c. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. jasa lembaga rehabilitasi;
e. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;
f. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko
tempel.
4. Jasa keuangan, meliputi:
a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak
lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel
unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
2) anjak piutang;
3) usaha kartu kredit; dan/atau
4) pembiayaan konsumen;
d. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia; dan
e. jasa penjaminan.
5. Jasa asuransi, merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa, dan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen
asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
6. Jasa keagamaan, meliputi:
a. jasa pelayanan rumah ibadah;
b. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
d. jasa lainnya di bidang keagamaan.
7. Jasa pendidikan, meliputi: jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan jasa
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
8. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni
dan hiburan.
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi baik
yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
11. Jasa tenaga kerja, meliputi:
a. jasa tenaga kerja;
b. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
c. jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
12. Jasa perhotelan, meliputi:
a. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap; dan
b. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian Ijin Usaha
Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
14. Jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/ atau
pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun swasta.
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
17. Jasa boga atau katering.
Berdasarkan PMK 18/PMK.010/2015 tentang kriteria jasa boga atau katering yang
termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN dijelaskan:
1. Jasa catering merupakan jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi
dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan dan
penyajian untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan
2. Penyajian makanan dan atau minuman di lokasi dapat dilakukan dengan atau tanpa
peralatan dan petugasnya
3. Tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering yaitu penjualan makanan dan
atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios dan
sejenisnya untuk menjual makanan dan atau minuman baik penjualan secara langsung
maupun tidak langsung/pesanan
PPn BM
Selain dikenakan PPN, dikenakan juga PPn BM terhadap:
1. Penyerahan BKP yang tergolong mewah
2. Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong
mewah. Tujuan pengenaan pajak atas barang mewah tersebut, antara lain:
1. Perlunya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Pengendalian pola konsumsi barang mewah; dan
3. Perlunya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
Dengan demikian, yang dimaksud barang mewah adalah:
1. Barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat.
2. Barang konsumsi masyarakat tertentu.
3. Pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan menunjukkan
status.
Tarif PPN dan PPn BM
1. Tarif PPN
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen), sedangkan tarif
PPN atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan
berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan
ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan
Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen)
dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif
tunggal. Perubahan tarif tersebut, harus dengan Peraturan Pemerintah.
2. Tarif PPn BM
Tarif PPn BM yang berlaku sekarang ini paling rendah 10% dan paling tinggi
200%. Pembayaran yang dilakukan oleh bendahara kepada PKP, sehubungan dengan
penyerahan BKP atau JKP, maka PPN terutang pada saat penyerahan BKP atau JKP.
Pemungutan PPN dan/atau PPn BM oleh Bendahara dilakukan pada saat dilakukan
pembayaran kepada penyedia barang/jasa Pemerintah, dengan cara pemungutan
secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan/penyedia barang/jasa
Pemerintah tersebut.
Faktur Pajak
Sesuai UU PPN pasal 1 disebutkan bahwa Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan
JKP atau pada saat impor BKP. Pada pasal 13 UU PPN disebutkan juga Pengusaha Kena
Pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Orang atau badan yang tidak dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
Faktur pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. Faktur pajak dinyatakan
memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, sedangkan dinyatakan
memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Sesuai Perdirjen Pajak Nomor Per-16/PJ/2014 faktur pajak dibuat melalui aplikasi atau
sistem elektronik yang disediakan oleh Ditjen Pajak. Faktur ini berbentuk elektronik atau
disebut e-faktur. E-Faktur tersebut harus dibuat pada:
1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
atau
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
E-Faktur harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak;
2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7. Nama dan tAnda tangan elektronik yang berhak menAndatangani Faktur Pajak
Dasar Pemungutan PPN dan PPn BM
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM yakni berdasarkan jumlah pembayaran baik
dalam bentuk uang muka, pembayaran sebagian, maupun pembayaran seluruhnya yang
dilakukan oleh Pemungut PPN kepada PKP Penyedia Barang/jasa. Jumlah pembayaran
yang dilakukan oleh pemungut PPN tersebut, termasuk PPN dan PPn BM yang terutang
tanpa memperhatikan apakah dalam kontrak menyebutkan ketentuan pemungutan PPN
dan/atau PPn BM maupun tidak.
PPN yang dipungut oleh bendahara adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran (harga
yang sudah termasuk PPN).
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan
Dasar Pengenaan pajak yang meliputi harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak. Nilai lain sesuai PMK 38/PMK.03/2013 ditetapkan bermacam-macam antara lain
1. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
2. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh:
Satker Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan melakukan perikatan kepada PT Kiriman
Kilat untuk pengiriman paket buku sebesar Rp.10.000.000,00. Terhadap perikatan itu
bendahara harus memungut PPN sebesar:
Tata Cara Pemungutan PPN dan PPn BM
Tata cara pemungutan dalam PPN dan PPn BM, meliputi:
1. PKP selaku penyedia barang/Jasa wajib menerbitkan Faktur Pajak dan SSP pada saat
menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah baik untuk sebagian maupun
seluruh pembayaran. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penagihan atau
sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP, maka Faktur Pajak wajib diterbitkan pada saat
pembayaran diterima.
2. PKP selaku penyedia Barang/Jasa Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang
terutang pada Faktur Pajak, apabila dalam penyerahan BKP tersebut terdapat PPn BM
yang terutang.
3. Faktur Pajak dibuat dalam rangkap tiga:
a. Lembar pertama untuk Bendahara;
b. Lembar kedua untuk arsip PKP rekanan/ penyedia barang/jasa Pemerintah;
c. Lembar ketiga untuk KPP melalui Bendahara pemerintah.
Setoran Pajak dibuat oleh PKP rekanan dengan nama, alamat dan NPWP dari PKP
rekanan/penyedia barang jasa pemerintah yang bersangkutan.
Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPN
dan PPn BM
Tata cara penyetoran dalam PPN dan PPn BM, meliputi:
1. PPN/PPn BM yang dipungut Bendahara selaku Pemungut Pajak, wajib disetorkan ke
Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya bulan
terjadinya pembayaran tagihan. Dalam hal pada hari ketujuh (7) bertepatan dengan hari
libur, maka penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya;
2. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran.
Tata cara pelaporan dalam PPN dan PPn BM, meliputi:
1. Pemungutan PPN/PPn BM yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah harus
dilaporkan di KPP tempat bendahara terdaftar paling lambat akhir bulan setelah
berakhirnya bulan dilakukan pembayaran tagihan. Bentuk pelaporan bagi Bendahara
dilakukan dengan menggunakan formulir ” Surat Pemberitahuan Masa Bagi Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai (Formulir 1107 PUT)”.
2. Dalam hal Bank Pemerintah atau Bank Pembangunan Daerah bertindak sebagai
”Kasir” dari Bendahara Pemerintah (misalnya Proyek jaring pengaman sosial), maka
faktur pajak dan SSP diteruskan ke Bank yang bersangkutan melalui Bendahara. Bank
yang bersangkutan tersebut berkewajiban untuk memungut dan melaporkannya;
3. Apabila dalam satu bulan tidak terdapat pemungutan/penyetoran, laporan tetap dibuat
dengan mempergunakan laporan nihil.
Contoh
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembelian komputer ke CV Wijaya
yang beralamat di Jalan Sewu 1 Nomor 14 Bogor, dengan NPWP 01.029.298.0.561.000 dan
NPPKP 01.562.358.3-529.000. Pembayaran sebesar Rp. 11.000.000,00 (termasuk PPN)
dilakukan pada tanggal 8 April 2016. Bagaimana kewajiban perpajakan yang harus dilakukan
oleh bendahara?
Kewajiban Bendahara
a. melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib
Pajak CV Wijaya dengan cara membubuhi cap “disetor tanggal....” serta membubuhi
tandatangan dan memastikan bahwa
1) Faktur Pajak yang diterima merupakan e-Faktur
2) Keterangan yang tercantum dalam e-Faktur tersebut sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya dan/atau sesungguhnya melalui pemindaian barcode/QR Code
yang tertera pada e-Faktur (handphone atau smartphone tertentu dapat
melakukan scanning QR Code)
b. menyetorkan secara elektronik PPN dan PPh pasal 22 atas nama CV Wijaya paling
lambat tanggal 15 April 2016
c. menyerahkan copi bukti setor ektronik PPh Pasal 22 dan PPN, Faktur pajak kepada
CV Wijaya;
d. melaporkan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama tanggal 14 Mei 2016 ke KPP Pratama
Bogor;
e. melaporkan SPT Masa PPN ke KPP Pratama Bogor paling lama tanggal14 Mei 2016.
No comments:
Post a Comment