Monday, June 4, 2018

KEPATUHAN WAJIB PAJAK



Salah satu fungsi keberadaan suatu negara adalah untuk melindungi dan menyediakan pelayanan kepada setiap warga negaranya. Pemerintah dibentuk untuk melaksanakan fungsi negara. Dalam era yang semakin maju, Indonesia sebagai negara berkembang mau tidak mau dituntut untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain. Negara Indonesia didirikan dengan komitmen para founding fathers untuk menjadikan Negara ini menjadi makmur, sejahtera, cerdas, sekaligus berkontribusi pada perdamaian dunia. Bukan hal yang mudah untuk mewujudkannya, tentu diperlukan daya dan upaya dari penyelenggara negara beserta dukungan penuh masyarakat. Upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut harus berlandaskan pada prinsip-prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk itu diperlukan aturan-aturan hukum yang mengatur kehidupan bernegara dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut.
Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan melakukan pembangunan nasional, yang diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus memerhatikan dana atau anggaran yang ada, agar proses pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut lagi, dana atau anggaran yang dikelola tertuang melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Sumber Penerimaan APBN/APBD berasal dari sumber minyak dan gas bumi (migas) dan non migas. Sumber penerimaan negara dari non migas, khususnya dari pajak.
Penerimaan pajak merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal  8 huruf e. Amanat tersebut mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu unsur pengemban tugas pelaksanaan pembangunan negara, penerimaan perpajakan harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara. Mendesaknya tuntutan akan kenaikan pendapatan negara dari perpajakan seiring dengan kebutuhan belanja negara untuk pembangunan nasional.
Sampai saat ini, sektor pajak masih sangat diandalkan pemerintah sebagai sumber penerimaan utama dalam membiayai pembangunan dan belanja negara. Sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) bahwa pajak merupakan penerimaan terbesar dari dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi pajak sebagai sumber penerimaan terbesar merupakan satu hal yang sangat wajar, sebab sumber penerimaan ini mempunyai umur yang tidak terbatas, terlebih dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya. (Hardiningsih dan Yulianawati 2011).
Menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik apabila wajib pajak tidak mempunyai kewajiban dalam membayar pajak (Hammar et al., 2005 dalam arum 2012). Begitu besarnya peran pajak untuk menunjang kelangsungan hidup bernegara menyebabkan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus dituntut bekerja ekstra keras dalam memaksimalkan penerimaan Negara dari sektor pajak tersebut.
Oleh karena itu, Dalam rangka peningkatan penerimaan pajak khususnya penerimaan dari dalam negeri, pemerintah melakukan suatu reformasi besar-besaran di bidang perpajakan (Tax Reform) pada tahun 1983 yang semula menganut sistem official assestment system dimana tanggung jawab sistem pemungutan pajak terletak padapetugas pajak (fiskus) menjadi self assestment system. Hal ini dianggap penting untuk dapat lebih memaksimalkan penerimaan pajak, yang dimana selama hanya mengandalkan peran dari Ditjen Pajak maupun petugas pajak, tanpa peran aktif dari para wajib pajak itu sendiri. Self assestment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak (Pranadata, 2014).
Self Assessment System menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (Harahap, 2004 dalam Supadmi, 2010) menyatakan bahwa dianutnya sistem Self Assessment membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memenuhi kewajiban pajak secara sukarela merupakan tulang punggung dari Self Assessment System.
Dalam praktiknya, Self Assessment System sulit dijalankan sesuai harapan, bahkan sering disalahgunakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya wajib pajak yang dengan sengaja tidak patuh, begitupun dengan kesadaran wajib pajak yang rendah atau kombinasi dari keduanya, sehingga membuat wajib pajak enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak.Kepatuhan wajib pajak (Tax Compliance) dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk melaporkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam menghitung dan membayar pajak terhutang, kebenaran jumlah pembayaran angsuran PPh pasal 25/29. Jamin (2001) dalam Santi (2012) mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan lebih baik dibanding Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar Wajib Pajak Badan menggunakan jasa konsultan dalam menangani masalah pajak perusahaan, sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi mengurus sendiri masalah pajaknya.
Berangat dari hal itu, maka muncul anggapan bahwa  kepatuhan pajak atau Tax Compliance dianggap sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilan secara akurat dan jujur. Tetapi, kenyataan yang ada di Indonesia menunjukkan tingkat kepatuhan sukarela pada masyarakat masih rendah.  Hal tersebut dapat dilihat dari belum optimalnya penerimaan pajak yang tercermin dari tax ratio (perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Angka ini merupakan sebuah rasio yang dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara) dan tax coverage ratio (besarnya perbandingan antara jumlah pajak yang telah dipungut dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut).

Tabel 1
Tax Ratio Indonesia Tahun 2010-2015
Tahun
Tax Ratio
LKPP (%)
Realisasi
Pajak (T)
Pendapatan
Negara (T)
Ratio Pajak/
Pendp Negara
2010
11,3
723,3
995,3
72,7%
2011
11,8
873,9
1.210,6
72,2%
2012
12,50
980,1
1.338,1
73,2%
2013
11,86
1.077,3
1.438,9
74,9%
2014
11,36
1.146,8
1.550,5
74,0%
2015
10,88
1.240,4
1.508,02
82,3%
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan
Berdasarkan data dari LKPP tax ratio Indonesia dalam kurun waktu 2010-2015, menunjukkan tren fluktuatif. Tax ratio cenderung meningkat dalam periode 2010-2012 dari 11,3% hingga mencapai 12,50. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan tajam ke posisi 10,88%. Walaupun pada tahun 2015 terjadi kenaikan realisasi pajak di banding tahun 2014 dimana 1,146,8 T naik menjadi 1.240,4 T pada tahun 2015. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan pajak wajib pajak Indonesia masih rendah. Angka tax gap yang signifikan dan tax ratio yang masih rendah ini menunjukkan usaha memungut pajak (tax effort) Indonesia rendah (Gunadi, 2005).
Kepatuhan wajib pajak merupakan persoalan yang sejak dulu ada dalam perpajakan. Rasio kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannnya dari tahun ke tahun masih menunjukkan presentase yang tidak mengalami peningkatan secara berarti. Hal ini didasarkan pada perbandingan jumlah wajib pajak yang memenuhi syarat patuh di Indonesia sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah total wajib pajak terdaftar. Dari sekian banyak wajib pajak yang ada, sebagian besar wajib pajak belum mengerti apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya. Selain melihat dari tax ratio, berikut adalah gambaran tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.

Tabel 2
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia
Tahun
Jumlah WP
Target
Realisasi SPT Tahunan
Kepatuhan
2013
24.347.763
65%
9.966.833
56,21%
2014
27.379.256
70%
10.852.301
59,12%
2015
30.044.103
70%
10.972.336
60,42%
2016
32.769.215
72%
12.735.463
63,15%
Sumber: Laporan Kinerja Dirjen Pajak Kementrian Keuangan 2016

Berdasarkan data yang ada pada table 2 di atas, dapat dilihat bahwa dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia tidak pernah memenuhi target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di kota Makassar, tepatnya di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan, tingkat kepatuhan wajib pajak sangat rendah, itu dapat dilihat dari data yang diperoleh selama tiga tahun belakangan. Berikut ini adalah gambaran tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Makassar Selatan.

Tabel 3
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Pratama Makassar Selatan
Tahun
Jumlah WP
Realisasi SPT Tahunan
Kepatuhan
2014
116.657
36.054
31%
2015
127.836
41.040
32%
2016
138.301
39.868
29%
Sumber: KPP Pratama Makassar Selatan

Dari tabel 3 di atas, tingkat kepatuhann wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Makassar selatan mengalami tren yang fluktuatif, sebagaimana pada tahun 2012, tingkat kepatuhan sebesar 31% dan mengalami peningkatan di tahun berikutnya sebanyak 1%, akan tetapi ditahun berikutnya mengalami penurunan sebesar 2%. Selain berfluktuatif, tingkat kepatuhan juga sangalah rendah. Dari fenomena yang ada, baik ditingkat nasional maupun pada tingkat KPP Pratama, hal ini membutuhkan kajian secara intensif guna mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak.
Menurut Lars P.Field dan Bruno S. Frey (2007), masyarakat kurang tertarik akan membayar pajakkarena tidak adanya insentif langsung dari negara. Pajak yang telah dibayar juga tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat. Masyarakat akan membayar pajak dari penghasilan yang diterimanya apabila mereka merasakan pelayanan publik sebanding dengan pembayaran pajaknya, adanya perlakuan yang adil dari pemerintah serta proses hukum yang jelas dari pemerintah. Kemudian, Allingham dan Sandmo (1972) menyebutkan kecenderungan masyarakat tidak mau membayar pajak atau membayar pajak tapi pajak yang dibayar tidak sesuai dari penghasilan yang sebenarnya disebabkan rendahnya pengawasan pemerintah dan. sanksi atau denda yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak patuh masih sangat kecil.
Beberapa penelitian terdahulu telah membahas mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, seperti Hasil penelitian dari Riyanti (2015) yang hasilnya Sosialisasi Perpajakan, Kualitas Pelayanan Fiskus dan Sanksi Perpajakan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak selain itu ada Jatmiko (2006) yang mengungkapkan bahwa Sikap wajib pajak terhadap sanksi denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan berpengaruh positif terhadapkepatuhan wajib pajak. Setyoningrum et al (2014) juga mengungkapkan bahwa sosialisasi perpajakan, kualitas pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Akan tetapi, terdapat penelitian terdahulu yang tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya seperti  Winerungan (2013) menemukan hal yang berbeda, sosialisasi perpajakan, pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Begitu pula dengan Veronica (2015) yang mengungkapkan bahwa sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Andinata (2015) sanksi perpajakan, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan, serta kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.


No comments: