Salah satu fungsi keberadaan suatu negara adalah untuk melindungi dan
menyediakan pelayanan kepada setiap warga negaranya. Pemerintah dibentuk untuk
melaksanakan fungsi negara. Dalam era yang semakin maju, Indonesia sebagai
negara berkembang mau tidak mau dituntut untuk dapat bersaing dengan
negara-negara lain. Negara Indonesia didirikan dengan
komitmen para founding fathers untuk menjadikan Negara ini menjadi makmur,
sejahtera, cerdas, sekaligus berkontribusi pada perdamaian dunia. Bukan hal
yang mudah untuk mewujudkannya, tentu diperlukan daya dan upaya dari
penyelenggara negara beserta dukungan penuh masyarakat. Upaya dalam mewujudkan
tujuan tersebut harus berlandaskan pada prinsip-prinsip kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Untuk itu diperlukan aturan-aturan hukum yang
mengatur kehidupan bernegara dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut.
Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan melakukan pembangunan nasional,
yang diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus memerhatikan dana atau anggaran yang
ada, agar proses pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut
lagi, dana atau anggaran yang dikelola tertuang melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Sumber Penerimaan APBN/APBD berasal dari
sumber minyak dan gas bumi (migas) dan non migas. Sumber penerimaan negara dari
non migas, khususnya dari pajak.
Penerimaan pajak merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal
ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara Pasal 8 huruf e. Amanat tersebut
mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu unsur pengemban tugas pelaksanaan
pembangunan negara, penerimaan perpajakan harus mampu memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara. Mendesaknya tuntutan akan kenaikan
pendapatan negara dari perpajakan seiring dengan kebutuhan belanja negara untuk
pembangunan nasional.
Sampai saat ini, sektor pajak masih sangat diandalkan
pemerintah sebagai sumber penerimaan utama dalam membiayai pembangunan dan
belanja negara. Sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja
Negara (APBN) bahwa pajak merupakan penerimaan terbesar dari dalam negeri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi pajak sebagai sumber penerimaan terbesar
merupakan satu hal yang sangat wajar, sebab sumber penerimaan ini mempunyai
umur yang tidak terbatas, terlebih dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk
setiap tahunnya. (Hardiningsih dan Yulianawati 2011).
Menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi
pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik apabila wajib pajak tidak
mempunyai kewajiban dalam membayar pajak (Hammar et al., 2005 dalam arum 2012). Begitu besarnya peran pajak untuk
menunjang kelangsungan hidup bernegara menyebabkan pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak harus dituntut bekerja ekstra keras dalam
memaksimalkan penerimaan Negara dari sektor pajak tersebut.
Oleh karena itu, Dalam rangka peningkatan penerimaan
pajak khususnya penerimaan dari dalam negeri, pemerintah melakukan suatu
reformasi besar-besaran di bidang perpajakan (Tax Reform) pada tahun 1983 yang semula menganut sistem official
assestment system dimana tanggung jawab sistem pemungutan pajak terletak
padapetugas pajak (fiskus) menjadi self assestment system. Hal ini dianggap penting untuk
dapat lebih memaksimalkan
penerimaan pajak,
yang dimana selama hanya mengandalkan
peran dari Ditjen Pajak maupun petugas pajak, tanpa peran
aktif dari para wajib pajak itu sendiri. Self
assestment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak
diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung, menyetorkan dan
melaporkan sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan pajak (Pranadata, 2014).
Self Assessment System menuntut adanya peran serta
aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (Harahap, 2004 dalam
Supadmi, 2010) menyatakan bahwa dianutnya sistem Self Assessment membawa misi
dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar
pajak secara sukarela (voluntary
compliance). Kepatuhan memenuhi kewajiban pajak secara sukarela merupakan
tulang punggung dari Self Assessment System.
Dalam praktiknya, Self Assessment System sulit
dijalankan sesuai harapan, bahkan sering disalahgunakan. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya wajib pajak yang dengan sengaja tidak patuh, begitupun dengan
kesadaran wajib pajak yang rendah atau kombinasi dari keduanya, sehingga
membuat wajib pajak enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak.Kepatuhan
wajib pajak (Tax Compliance) dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib
Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk melaporkan kembali Surat
Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam menghitung dan membayar pajak terhutang,
kebenaran jumlah pembayaran angsuran PPh pasal 25/29. Jamin (2001) dalam Santi
(2012) mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan lebih baik
dibanding Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini dapat terjadi karena sebagian
besar Wajib Pajak Badan menggunakan jasa konsultan dalam menangani masalah
pajak perusahaan, sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi mengurus sendiri masalah
pajaknya.
Berangat dari hal itu, maka muncul anggapan bahwa kepatuhan pajak atau Tax Compliance dianggap sebagai kondisi ideal wajib
pajak yang memenuhi peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilan secara
akurat dan jujur. Tetapi, kenyataan yang ada di Indonesia menunjukkan tingkat
kepatuhan sukarela pada masyarakat masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari belum
optimalnya penerimaan pajak yang tercermin dari tax ratio (perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan
dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Angka ini merupakan sebuah
rasio yang dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh
masyarakat dalam suatu negara) dan tax
coverage ratio (besarnya perbandingan antara jumlah pajak yang telah
dipungut dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut).
Tabel 1
Tax Ratio Indonesia Tahun 2010-2015
Tahun
|
Tax Ratio
LKPP (%)
|
Realisasi
Pajak (T)
|
Pendapatan
Negara (T)
|
Ratio Pajak/
Pendp Negara
|
2010
|
11,3
|
723,3
|
995,3
|
72,7%
|
2011
|
11,8
|
873,9
|
1.210,6
|
72,2%
|
2012
|
12,50
|
980,1
|
1.338,1
|
73,2%
|
2013
|
11,86
|
1.077,3
|
1.438,9
|
74,9%
|
2014
|
11,36
|
1.146,8
|
1.550,5
|
74,0%
|
2015
|
10,88
|
1.240,4
|
1.508,02
|
82,3%
|
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Kementerian Keuangan
Berdasarkan data dari LKPP tax ratio Indonesia dalam kurun waktu 2010-2015,
menunjukkan tren fluktuatif. Tax ratio cenderung
meningkat dalam periode 2010-2012
dari 11,3% hingga mencapai 12,50. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan tajam
ke posisi 10,88%. Walaupun pada tahun 2015 terjadi kenaikan realisasi pajak di
banding tahun 2014 dimana 1,146,8 T naik menjadi 1.240,4 T pada tahun 2015. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan pajak wajib pajak Indonesia
masih rendah. Angka tax gap yang signifikan dan tax ratio yang
masih rendah ini menunjukkan usaha memungut pajak (tax effort) Indonesia
rendah (Gunadi, 2005).
Kepatuhan wajib pajak
merupakan persoalan yang sejak dulu ada dalam perpajakan. Rasio kepatuhan wajib
pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannnya dari tahun ke tahun
masih menunjukkan presentase yang tidak mengalami peningkatan secara berarti.
Hal ini didasarkan pada perbandingan jumlah wajib pajak yang memenuhi syarat
patuh di Indonesia sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah total wajib
pajak terdaftar. Dari sekian banyak wajib pajak yang ada, sebagian besar wajib
pajak belum mengerti apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya. Selain melihat dari tax ratio, berikut
adalah gambaran tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Tabel 2
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia
Tahun
|
Jumlah WP
|
Target
|
Realisasi SPT Tahunan
|
Kepatuhan
|
2013
|
24.347.763
|
65%
|
9.966.833
|
56,21%
|
2014
|
27.379.256
|
70%
|
10.852.301
|
59,12%
|
2015
|
30.044.103
|
70%
|
10.972.336
|
60,42%
|
2016
|
32.769.215
|
72%
|
12.735.463
|
63,15%
|
Sumber:
Laporan Kinerja Dirjen Pajak Kementrian Keuangan 2016
Berdasarkan
data yang ada pada table 2 di atas, dapat dilihat bahwa dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2016, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia tidak pernah
memenuhi target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di
kota Makassar, tepatnya di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan,
tingkat kepatuhan wajib pajak sangat rendah, itu dapat dilihat dari data yang
diperoleh selama tiga tahun belakangan. Berikut ini adalah gambaran tingkat
kepatuhan wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Makassar Selatan.
Tabel 3
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di
KPP Pratama Makassar Selatan
Tahun
|
Jumlah WP
|
Realisasi SPT Tahunan
|
Kepatuhan
|
2014
|
116.657
|
36.054
|
31%
|
2015
|
127.836
|
41.040
|
32%
|
2016
|
138.301
|
39.868
|
29%
|
Sumber: KPP Pratama Makassar Selatan
Dari
tabel 3 di atas, tingkat kepatuhann wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama
Makassar selatan mengalami tren yang fluktuatif, sebagaimana pada tahun 2012,
tingkat kepatuhan sebesar 31% dan mengalami peningkatan di tahun berikutnya
sebanyak 1%, akan tetapi ditahun berikutnya mengalami penurunan sebesar 2%.
Selain berfluktuatif, tingkat kepatuhan juga sangalah rendah. Dari fenomena
yang ada, baik ditingkat nasional maupun pada tingkat KPP Pratama, hal ini
membutuhkan kajian secara intensif guna mengetahui faktor-faktor apa yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak.
Menurut
Lars P.Field dan Bruno S. Frey (2007), masyarakat kurang tertarik akan membayar
pajakkarena tidak adanya insentif langsung dari negara. Pajak yang telah
dibayar juga tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Masyarakat akan membayar pajak dari penghasilan yang diterimanya apabila mereka
merasakan pelayanan publik sebanding dengan pembayaran pajaknya, adanya
perlakuan yang adil dari pemerintah serta proses hukum yang jelas dari pemerintah.
Kemudian, Allingham dan Sandmo (1972) menyebutkan kecenderungan masyarakat
tidak mau membayar pajak atau membayar pajak tapi pajak yang dibayar tidak
sesuai dari penghasilan yang sebenarnya disebabkan rendahnya pengawasan
pemerintah dan. sanksi atau denda yang dikenakan terhadap wajib pajak yang
tidak patuh masih sangat kecil.
Beberapa penelitian terdahulu
telah membahas mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak, seperti Hasil penelitian dari Riyanti (2015) yang hasilnya Sosialisasi
Perpajakan, Kualitas Pelayanan Fiskus dan Sanksi Perpajakan berpengaruh
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak selain itu ada
Jatmiko (2006) yang mengungkapkan bahwa Sikap wajib pajak terhadap sanksi denda, pelayanan fiskus, dan kesadaran perpajakan berpengaruh positif terhadapkepatuhan
wajib pajak. Setyoningrum et al (2014) juga mengungkapkan bahwa sosialisasi
perpajakan, kualitas pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak.
Akan tetapi, terdapat
penelitian terdahulu yang tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya
seperti Winerungan (2013) menemukan hal
yang berbeda, sosialisasi
perpajakan, pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan tidak berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak. Begitu pula dengan
Veronica (2015) yang mengungkapkan bahwa sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak. Andinata (2015) sanksi
perpajakan, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan, serta
kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
No comments:
Post a Comment