Tuesday, June 5, 2018

Laporan Keuangan Rumah Sakit


Masalah utama mengenai laporan keuangan rumah sakit adalah laporan keuangan yang disusun sesuai standar saat ini tidak memberikan informasi yang memadai dan akurat tentang rumah sakit For Profit (FP) dan rumah sakit Non Profit (NP). Perbedaan status hukum keduanya diperlukan untuk membuat laporan keuangan rumah sakit menjadi relevan dan berguna bagi stakeholders (Sherman, 1986).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan membuat rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian khusunya dalam hal pengelolaan teknis keuangan maupun penganggaraannya, termasuk penentuan biaya. Rumah sakit Pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Dalam pengelolaannya, rumah sakit Pemerintah memiliki peraturan pendukung yang terkait dengan pengelolaan keuangan yang fleksibel.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, rumah sakit Pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum. Perubahan kelembagaan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan.
          Laporan keuangan rumah sakit ada dua versi yaitu: pertama, disusun dan disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, SAP ini berisi prinsip akuntansi yang diterapkan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan Pemerintah. Kedua, laporan keuangan pada badan layanan umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76 Tahun 2008 Tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum yang dapat dijelaskan bahwa BLU menyusun laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). 
Badan Layanan Umum/Daerah merupakan instansi Pemerintah yang tidak mengutamakan untuk mencari keuntungan, maka SAK yang tepat adalah PSAK No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. Menurut (IAI, 2011) laporan keuangan organisasi non profit seperti rumah sakit meliputi:
a.    Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi aktiva dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya. Sedangkan aktiva bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat, terikat kontemporer dan terikat permanen. Pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh penyumbang sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan tertentu.
b.    Laporan aktivitas (penghasilan, beban, surplus/defisit dan perubahan dalam aktiva bersih).
c.    Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan.
d.    Catatan atas laporan keuangan memuat estimasi dan penilaian akuntansi. Catatan tersebut meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam laporan posisi keuangan, laporan aktivitas dan laporan arus kas.

          Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 26 ayat (2), rumah sakit diperkenankan untuk menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi Akuntansi Indonesia agar tercapainya pelaksanaan manajemen bisnis yang sehat. Penyelenggaraan haruslah menggunakan basis akrual baik itu dalam hal pengakuan pendapatan, biaya, aset kewajiban dan ekuitas dana. Meskipun demikian, apabila tidak terdapat standar akuntansi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi Akuntan Indonesia, rumah sakit bisa menggunakan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. Dalam hal pengembangan dan penerapan sistem akuntansi, rumah sakit harus berpedoman kepada standar akuntansi yang berlaku dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Berkenaan dengan pendapatan, rumah sakit menerima pendapatan dari berbagai sumber sebagai berikut (Astawa dan Hendra, 2016):
a.     Jasa layanan, yang merupakan imbalan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan.
b.     Hibah, baik dalam bentuk terikat maupun tidak terikat.
c.      Hasil kerja sama dengan pihak lain, yaitu pendapatan yang diperoleh dari kerja sama operasional, sewa menyewa, dan usaha lainnya.
d.     APBD, yakni berupa pendapatan yang berasal dari otorisasi kredit anggaran pemerintah daerah yang bukan dari kegiatan pembiayaan APBD.
e.     APBN, yaitu pendapatan yang diterima dari Pemerintah (pusat) dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan dan lain-lain. Akan tetapi, pengelolaannya terpisah dan harus sesuai dengan mekanisme pengelolaan keuangan APBN.
f.       Lain-lain pendapatan yang sah seperti hasil pejualan kekayaan yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan kekayaan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi (potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengelolaan barang dan/atau jasa dan terakhir hasil investasi).

Mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit terdiri dari dua komponen yaitu biaya operasional dan biaya non operasional. Biaya operasional merupakan biaya yang menjadi beban rumah sakit dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya. Biaya operasional dialokasikan untuk membiayai program peningkatan pelayanan, kegiatan pelayanan yang dialokasikan sesuai kelompok, jenis, program dan kegiatan. Sedangkan biaya non operasional adalah biaya yang menjadi beban rumah sakit dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya.

No comments: