Masalah utama mengenai laporan keuangan rumah sakit adalah laporan
keuangan yang disusun sesuai standar saat ini tidak memberikan informasi yang
memadai dan akurat tentang rumah sakit For
Profit (FP) dan rumah sakit Non
Profit (NP). Perbedaan status hukum keduanya diperlukan untuk membuat
laporan keuangan rumah sakit menjadi relevan dan berguna bagi stakeholders (Sherman, 1986).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan membuat
rumah sakit harus melakukan banyak penyesuaian khusunya dalam hal pengelolaan
teknis keuangan maupun penganggaraannya, termasuk penentuan biaya. Rumah sakit
Pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu. Dalam
pengelolaannya, rumah sakit Pemerintah
memiliki peraturan pendukung yang terkait dengan pengelolaan keuangan yang
fleksibel.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum,
rumah sakit Pemerintah telah mengalami perubahan sebagai badan layanan umum.
Perubahan kelembagaan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan bukan lagi
kepada departemen kesehatan tetapi kepada departemen keuangan.
Laporan keuangan rumah
sakit ada dua versi yaitu: pertama, disusun
dan disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, SAP ini berisi prinsip akuntansi yang diterapkan dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangan Pemerintah. Kedua, laporan keuangan pada badan layanan umum diatur dalam
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76 Tahun 2008 Tentang Pedoman Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum yang dapat dijelaskan bahwa BLU menyusun laporan
keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Badan Layanan Umum/Daerah merupakan instansi Pemerintah yang tidak mengutamakan untuk mencari
keuntungan,
maka SAK yang tepat adalah PSAK
No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. Menurut (IAI, 2011) laporan keuangan organisasi non profit seperti rumah sakit meliputi:
a. Laporan
posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi
aktiva dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada umumnya. Sedangkan aktiva
bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat, terikat kontemporer dan
terikat permanen. Pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya
yang ditetapkan oleh penyumbang sedangkan pembatasan temporer adalah pembatasan
penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya
tersebut dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan
terpenuhinya keadaan tertentu.
b. Laporan
aktivitas (penghasilan, beban, surplus/defisit dan perubahan dalam aktiva
bersih).
c. Laporan
arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas investasi dan
aktivitas pendanaan.
d. Catatan atas
laporan keuangan memuat estimasi dan penilaian akuntansi. Catatan tersebut meliputi
penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam laporan posisi
keuangan, laporan aktivitas dan laporan arus kas.
Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Pasal 26 ayat (2), rumah
sakit diperkenankan untuk menyelenggarakan akuntansi dan
pelaporan keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi Akuntansi Indonesia agar tercapainya pelaksanaan
manajemen bisnis yang sehat. Penyelenggaraan haruslah menggunakan basis akrual baik
itu dalam hal pengakuan pendapatan, biaya, aset kewajiban dan ekuitas dana. Meskipun demikian, apabila tidak terdapat standar
akuntansi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi Akuntan Indonesia, rumah
sakit bisa menggunakan standar akuntansi industri yang
spesifik setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. Dalam hal pengembangan dan penerapan sistem akuntansi,
rumah
sakit harus berpedoman kepada standar akuntansi yang
berlaku dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Berkenaan dengan pendapatan, rumah sakit menerima pendapatan dari berbagai sumber sebagai
berikut
(Astawa dan
Hendra, 2016):
a.
Jasa layanan, yang
merupakan imbalan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan.
b.
Hibah, baik dalam
bentuk terikat maupun tidak terikat.
c.
Hasil kerja sama
dengan pihak lain, yaitu pendapatan yang diperoleh dari kerja sama operasional,
sewa menyewa, dan usaha lainnya.
d.
APBD, yakni berupa pendapatan
yang berasal dari otorisasi kredit anggaran pemerintah daerah yang bukan dari
kegiatan pembiayaan APBD.
e.
APBN, yaitu
pendapatan yang diterima dari Pemerintah (pusat) dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan dan lain-lain. Akan tetapi,
pengelolaannya terpisah dan harus sesuai dengan mekanisme pengelolaan keuangan
APBN.
f.
Lain-lain pendapatan yang sah seperti hasil pejualan kekayaan yang tidak
dipisahkan, hasil pemanfaatan kekayaan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi (potongan ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengelolaan barang dan/atau
jasa dan terakhir hasil investasi).
Mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh rumah
sakit terdiri dari dua komponen yaitu
biaya operasional dan biaya non operasional. Biaya operasional merupakan biaya
yang menjadi beban rumah sakit dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya. Biaya operasional dialokasikan untuk membiayai
program peningkatan pelayanan, kegiatan pelayanan yang dialokasikan sesuai
kelompok, jenis, program dan kegiatan. Sedangkan biaya non operasional adalah
biaya yang menjadi beban rumah sakit dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya.
No comments:
Post a Comment