Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah
provinsi tersebut dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya tersendiri yang diatur oleh UU
No. 32 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang menyebutkan Desa sebagai
sebuah pemerintahan yang otonom dengan diberikannya hak-hak istimewa,
diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa,
pemilihan kepala desa serta proses pembangunan desa. Selain itu, daerah
provinsi juga memiliki status sebagai otonomi daerah.
Di
Indonesia, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah
Daerah harus melakukan upaya dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah untuk mewujudkan tata kelola yang baik. Pengelolaan
keuangan daerah mengatur semua aspek teknis mencakup bidang peraturan,
kelembagaan, sistem informasi keuangan daerah, dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia (Yuliani dkk., 2010: 206).
Indonesia merupakan negara yang
berkembang. Indonesia disebut sebagai negara yang dibangun diatas dan dari
desa. Istilah desa sering kali diidentikkan dengan masyarakatnya yang miskin,
tradisionalis, dan kolot. Namun sebenarnya desa mempuyai keluhuran dan kearifan
lokal yang luar biasa. Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan
berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme
pemerintahan serta norma sosial masing-masing (Furqani, 2010: 1).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan oleh
segenap masyarakat desa tak terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya,
Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan
menjadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, resmi mengesahkan UU tersebut.
Undang-Undang ini merupakan instrumen baru yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang diikuti dengan PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6
tahun 2014 tentang Desa dan PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari APBN. Sementara itu dalam Peraturan Mendagri No. 113 tahun 2014
tentang Pengelolaan Keuangan Desa memberikan arah penyempurnaan atas Peraturan
Mendagri No. 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa (Adhi
Nugroho, 2015).
Dalam paradigma baru tersebut, desa
merupakan kesatuan hukum yang otonomi dan memiliki hak dan wewenang untuk
mengatur rumah tangga sendiri. Desa tidak lagi merupakan level administrasi dan
menjadi bawahan Daerah, melainkan menjadi independent community, yang
masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan bukan ditentukan
dari atas ke bawah. Desa yang selama ini diperankan sebagai figuran dan objek,
sekarang berperan sebagai aktor (Aswandi, 2014: 1).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa yang merupakan produk dari era reformasi telah menandai
dimulainya suatu era menuju kemandirian desa, baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan maupun dalam pengelolaan keuangan desa. Tujuan pembangunan desa
sesuai pasal 78 adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas
hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi
lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan
(Herry, 2015: 737).
Pengelolaan
keuangan desa pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pengelolaan
keuangan negara dan daerah dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan Desa dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam pengelolaan keuangan Desa diperlukan suatu
standar pengaturan yang dimulai dari aspek perencanaan dan penganggaran maupun
aspek pelaksanaan, penatausahaan keuangan Desa dan pertanggungjawaban keuangan
Desa (Setiadi, 2015). UU Desa ini, terdapat poin penting yaitu adanya aturan
yang membahas terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72
Ayat 2 tentang keuangan desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa,
ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah dengan
mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan
geografi. Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan
mampu menyejahterakan masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara
maksimal. Jika mampu mengelola dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang
mustahil jika masyarakat desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang
dan mungkin saja dapat bersaing dengan masyarakat desa lainnya atau bahkan
masyarakat global secara umumnya.
Secara
umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu memberikan hak-hak
pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di
desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat menyejahterakan
masyarakatnya sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa. Salah satu
amanat dari undang-undang tersebut dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan
alokasi dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling
sedikit 10% setiap tahunnya. Maka dapat diperkirakan setiap desa akan
mendapatkan dana sekitar 1,2 miliar hingga 1,4 miliar setiap tahunnya.
Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10% dari dan transfer
daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59,2 triliun, ditambah
dengan dana dari APBD sebesar 10% sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk
desa adalah Rp. 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
Dana tersebut nantinya akan dialirkan keseluruh desa yang ada di Indonesia
melalui kabupaten, tanpa dipotong sepeserpun. Sementara pola penyaluran dana
desa, menggunakan pola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan yang
dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, yakni Program Pembangunan Infrastruktur
Pedesaan (PPIP). Dua pola ini bisa berarti jalan, irigasi, waduk dan
sebagainya. Pemerintah berharap dengan adanya anggaran dana desa, pembangunan
dapat merata. Tidak saja di pusat kota, pembangunan juga merata hingga
kepelosok desa (Suroso, 2015: 2). Anggaran Rp. 1,4 miliar tiap desa per tahun
yang diamanatkan UU Desa memang memunculkan kekhawatiran beberapa kalangan bahwa
bukan tidak mungkin nanti terjadi berbagai penyelewengan dalam penggunaan
anggaran desa (Suara Komunitas, 2014).
Kapasitas administrasi dan tata kelola
aparat pemerintah desa masih minim khususnya pada pejabat pelaksana pengelola
keuangan di 73 ribu desa yang ada. Maka sebaiknya proses penyusunan laporan
keuangan desa terutama dalam implementasi pelaksanaan UU No.6 tahun 2014
tentang Desa ini juga harus merupakan tanggungjawab pemerintah mulai dari
pemerintah pusat, provinsi sampai kabupaten. Dengan demikian, seluruh aparatur
pemerintah mulai dari pusat sampai desa, khususnya yang berkaitan di bidang
akuntansi harus dialokasikan, yaitu untuk sumber daya manusia yang terbatas
mengerjakan porsi pekerjaan yang paling spesifik untuk beberapa desa sekaligus,
dan sumber daya yang lebih banyak yaitu para perangkat desa untuk mengerjakan
pekerjaan yang lebih umum dan mudah dikerjakan (Simo, 2014).
Namun sampai saat berlakunya UU desa
belum ada pembahasan mengenai realisasi anggaran sesuai dengan yang pernyataan.
Kesiapan pemerintah desa bisa diestimasikan dari ketidaktahuan mengenai kapan
seharusnya UU Desa ini berlaku. Pemerintah telah mencanangkan perkembangan Desa
dengan hanya membicarakan berapa besar anggaran yang akan dicairkan tanpa
mempertimbangkan kualitas dan kuantitas sumber daya pemerintah daerah. Selain
itu, pemerintah seharusnya tidak hanya mengimani aturan-aturan pemerintah
melainkan kitab suci yang sebenarnya mengatur banyak hal tentang pengelolaan
keuangan. Dalam bahasa akuntansi
lebih dikenal dengan
accountability dan transparancy.
Dalam
lingkungan kepemerintahan, akuntabilitas
dan transparansi merupakan urat nadi
untuk mencapai tata
kelola yang baik.
Baik dari sumber manusia maupun
pengelolaan, pengendalian, sampai
pada pengawasan keuangan pemerintah daerah. Untuk itu kepada
PPTKN selaku pengelola keuangan desa/negeri dari berbagai sumber dana yaitu
sumber dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten yang membutuhkan
kepercayaan (trust), rasa tanggung jawab dan harus cermat serta teliti
sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam mengelola keuangan tersebut yang
mengacu kepada regulasi yang sudah ditetapkan .
Adanya kewenangan atas
pengelolaan keuangan desa (berdasarkan Permendagri 113/2014) dan
adanya alokasi dana desa (berdasarkan PP 43/2014), serta Perbup Kepulauan
Selayar No. 1 Tahun 2016 tentang APBDesa, yang juga mendukung dalam pengelolaan
keuangan desa di Selayar. Peraturan-peraturan tersebut masih terhitung baru
karena mengalami banyak perubahan dari peraturan sebelumnya. Setiap desa
dituntut untuk mempersiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
hingga 30 Desember 2016. Selain Keterbatasan waktu penyusunan APBDesa,
kesulitan yang dihadapi pemerintah desa yaitu sistem administrasi yang jauh
berbeda dengan sistem administrasi yang sebelumnya. Serta pengelolaan keuangan
secara mandiri oleh pemerintah desa, termasuk didalamnya pengelolaan
penghasilan bagi para perangkat desa dan belanja publik dengan perbandingan 30%
untuk gaji perangkat desa serta 70% untuk pembangunan.
Kecamatan
Bontoharu merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kepulauan
Selayar yang menjadi lokasi penelitian ini akan menerima sebuah anggaran
berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 yang mana telah dijanjikan oleh Pemerintah.
Desa-desa tersebut adalah Desa Bontosunggu, Desa Bontotangnga, Dan Desa
Kahu-Kahu. Selain Kecamatan Bontoharu, secara administratif Kabupaten Kepulauan
Selayar memiliki 10 kecamatan diantaranya: Kecamatan Benteng, Kecamatan
Bontomanai, Kecamatan Buki, Kecamatan Bontomatene, Kecamatan Bontosikuyu,
Kecamatan Pasimasunggu, Kecamatan Pasimasunggu Timur, Kecamatan Taka Bonerate,
Kecamatan Pasimarannu, Kecamatan Pasilambena.
Masyarakat Desa Bontosunggu, Desa
Bontotangnga, Dan Desa Kahu-Kahu sampai saat ini hampir 75% dari penduduknya
berpenghasilan sebagai peternak, nelayan dan petani, sedangkan 25% penduduk
terbagi kedalam beberapa macam kategori ada yang berpenghasilan sebagai
pedagang, pegawai negeri sipil, karyawan, melihat dari kondisi yang demikian
berpengaruh pada pendapatan desa. Selain itu, dari sumber daya manusianya pun
masih relatif rendah. Adapun rata-rata pendidikan masyarakat yang hanya
berijazah SD, melihat dari latar belakang pendidikan para aparatur pemerintah
desa baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesiapan
pemerintah dalam mengelola keuangan desa khususnya dalam hal APBDesa (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa). Apalagi masih minimnya potensi-potensi daerah
yang sekiranya dapat dijadikan tumpuan pembangunan desa.
No comments:
Post a Comment