Sunday, June 3, 2018

PENGELOLAAN KEUANGAN DESA



Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi tersebut dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya tersendiri yang diatur oleh UU No. 32 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang menyebutkan Desa sebagai sebuah pemerintahan yang otonom dengan diberikannya hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa serta proses pembangunan desa. Selain itu, daerah provinsi juga memiliki status sebagai otonomi daerah.
Di Indonesia, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah harus melakukan upaya dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah untuk mewujudkan tata kelola yang baik. Pengelolaan keuangan daerah mengatur semua aspek teknis mencakup bidang peraturan, kelembagaan, sistem informasi keuangan daerah, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (Yuliani dkk., 2010: 206).
Indonesia merupakan negara yang berkembang. Indonesia disebut sebagai negara yang dibangun diatas dan dari desa. Istilah desa sering kali diidentikkan dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis, dan kolot. Namun sebenarnya desa mempuyai keluhuran dan kearifan lokal yang luar biasa. Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing (Furqani, 2010: 1).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan oleh segenap masyarakat desa tak terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan menjadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, resmi mengesahkan UU tersebut. Undang-Undang ini merupakan instrumen baru yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diikuti dengan PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dan PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Sementara itu dalam Peraturan Mendagri No. 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memberikan arah penyempurnaan atas Peraturan Mendagri No. 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa (Adhi Nugroho, 2015).
Dalam paradigma baru tersebut, desa merupakan kesatuan hukum yang otonomi dan memiliki hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangga sendiri. Desa tidak lagi merupakan level administrasi dan menjadi bawahan Daerah, melainkan menjadi independent community, yang masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan bukan ditentukan dari atas ke bawah. Desa yang selama ini diperankan sebagai figuran dan objek, sekarang berperan sebagai aktor (Aswandi, 2014: 1).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang merupakan produk dari era reformasi telah menandai dimulainya suatu era menuju kemandirian desa, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam pengelolaan keuangan desa. Tujuan pembangunan desa sesuai pasal 78 adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (Herry, 2015: 737).
Pengelolaan keuangan desa pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan daerah dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam pengelolaan keuangan Desa diperlukan suatu standar pengaturan yang dimulai dari aspek perencanaan dan penganggaran maupun aspek pelaksanaan, penatausahaan keuangan Desa dan pertanggungjawaban keuangan Desa (Setiadi, 2015). UU Desa ini, terdapat poin penting yaitu adanya aturan yang membahas terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang keuangan desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan mampu menyejahterakan masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara maksimal. Jika mampu mengelola dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil jika masyarakat desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan mungkin saja dapat bersaing dengan masyarakat desa lainnya atau bahkan masyarakat global secara umumnya.
Secara umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu memberikan hak-hak pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat menyejahterakan masyarakatnya sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa. Salah satu amanat dari undang-undang tersebut dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan alokasi dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10% setiap tahunnya. Maka dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1,2 miliar hingga 1,4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10% dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59,2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10% sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia. Dana tersebut nantinya akan dialirkan keseluruh desa yang ada di Indonesia melalui kabupaten, tanpa dipotong sepeserpun. Sementara pola penyaluran dana desa, menggunakan pola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan yang dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, yakni Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP). Dua pola ini bisa berarti jalan, irigasi, waduk dan sebagainya. Pemerintah berharap dengan adanya anggaran dana desa, pembangunan dapat merata. Tidak saja di pusat kota, pembangunan juga merata hingga kepelosok desa (Suroso, 2015: 2). Anggaran Rp. 1,4 miliar tiap desa per tahun yang diamanatkan UU Desa memang memunculkan kekhawatiran beberapa kalangan bahwa bukan tidak mungkin nanti terjadi berbagai penyelewengan dalam penggunaan anggaran desa (Suara Komunitas, 2014).
Kapasitas administrasi dan tata kelola aparat pemerintah desa masih minim khususnya pada pejabat pelaksana pengelola keuangan di 73 ribu desa yang ada. Maka sebaiknya proses penyusunan laporan keuangan desa terutama dalam implementasi pelaksanaan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa ini juga harus merupakan tanggungjawab pemerintah mulai dari pemerintah pusat, provinsi sampai kabupaten. Dengan demikian, seluruh aparatur pemerintah mulai dari pusat sampai desa, khususnya yang berkaitan di bidang akuntansi harus dialokasikan, yaitu untuk sumber daya manusia yang terbatas mengerjakan porsi pekerjaan yang paling spesifik untuk beberapa desa sekaligus, dan sumber daya yang lebih banyak yaitu para perangkat desa untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih umum dan mudah dikerjakan (Simo, 2014).
Namun sampai saat berlakunya UU desa belum ada pembahasan mengenai realisasi anggaran sesuai dengan yang pernyataan. Kesiapan pemerintah desa bisa diestimasikan dari ketidaktahuan mengenai kapan seharusnya UU Desa ini berlaku. Pemerintah telah mencanangkan perkembangan Desa dengan hanya membicarakan berapa besar anggaran yang akan dicairkan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kuantitas sumber daya pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah seharusnya tidak hanya mengimani aturan-aturan pemerintah melainkan kitab suci yang sebenarnya mengatur banyak hal tentang pengelolaan keuangan. Dalam  bahasa  akuntansi  lebih  dikenal  dengan  accountability  dan transparancy.
Dalam  lingkungan  kepemerintahan,  akuntabilitas  dan  transparansi merupakan  urat nadi  untuk  mencapai  tata  kelola  yang  baik.  Baik  dari  sumber manusia  maupun  pengelolaan,  pengendalian,  sampai  pada  pengawasan  keuangan pemerintah daerah. Untuk itu kepada PPTKN selaku pengelola keuangan desa/negeri dari berbagai sumber dana yaitu sumber dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten yang membutuhkan kepercayaan (trust), rasa tanggung jawab dan harus cermat serta teliti sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam mengelola keuangan tersebut yang mengacu kepada regulasi yang sudah ditetapkan .
 Adanya kewenangan   atas   pengelolaan   keuangan   desa (berdasarkan Permendagri 113/2014) dan adanya alokasi dana desa (berdasarkan PP 43/2014), serta Perbup Kepulauan Selayar No. 1 Tahun 2016 tentang APBDesa, yang juga mendukung dalam pengelolaan keuangan desa di Selayar. Peraturan-peraturan tersebut masih terhitung baru karena mengalami banyak perubahan dari peraturan sebelumnya. Setiap desa dituntut untuk mempersiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) hingga 30 Desember 2016. Selain Keterbatasan waktu penyusunan APBDesa, kesulitan yang dihadapi pemerintah desa yaitu sistem administrasi yang jauh berbeda dengan sistem administrasi yang sebelumnya. Serta pengelolaan keuangan secara mandiri oleh pemerintah desa, termasuk didalamnya pengelolaan penghasilan bagi para perangkat desa dan belanja publik dengan perbandingan 30% untuk gaji perangkat desa serta 70% untuk pembangunan.
Kecamatan Bontoharu merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Selayar yang menjadi lokasi penelitian ini akan menerima sebuah anggaran berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 yang mana telah dijanjikan oleh Pemerintah. Desa-desa tersebut adalah Desa Bontosunggu, Desa Bontotangnga, Dan Desa Kahu-Kahu. Selain Kecamatan Bontoharu, secara administratif Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki 10 kecamatan diantaranya: Kecamatan Benteng, Kecamatan Bontomanai, Kecamatan Buki, Kecamatan Bontomatene, Kecamatan Bontosikuyu, Kecamatan Pasimasunggu, Kecamatan Pasimasunggu Timur, Kecamatan Taka Bonerate, Kecamatan Pasimarannu, Kecamatan Pasilambena.
Masyarakat Desa Bontosunggu, Desa Bontotangnga, Dan Desa Kahu-Kahu sampai saat ini hampir 75% dari penduduknya berpenghasilan sebagai peternak, nelayan dan petani, sedangkan 25% penduduk terbagi kedalam beberapa macam kategori ada yang berpenghasilan sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, karyawan, melihat dari kondisi yang demikian berpengaruh pada pendapatan desa. Selain itu, dari sumber daya manusianya pun masih relatif rendah. Adapun rata-rata pendidikan masyarakat yang hanya berijazah SD, melihat dari latar belakang pendidikan para aparatur pemerintah desa baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesiapan pemerintah dalam mengelola keuangan desa khususnya dalam hal APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Apalagi masih minimnya potensi-potensi daerah yang sekiranya dapat dijadikan tumpuan pembangunan desa.

No comments: