Laporan keuangan adalah catatan informasi suatu entitas pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja entitas tersebut. Menurut PP No. 24 tahun 2005 tentang SAP, laporan keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi–transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan. Laporan keuangan disusun dan disajikan sekurang-kurangnya setahun sekali untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna. Pada umumnya laporan keuangan terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas, serta catatan-catatan laporan keuangan.
Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber daya yang diperoleh sudah digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan posisi keuangan pemerintah saat itu. Laporan keuangan juga berguna untuk:
1. Transparansi
2. Akuntabilitas
3. Manajemen
4. Keseimbangan Antargenerasi
Suatu organisasi yang besar, seperti pemerintah daerah, dapat dianggap sebagai pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban besar tersebut dapat dibagi–bagi lagi menjadi pusat–pusat pertanggungjawaban yang lebih kecil, seperti Dinas–Dinas. Setiap jenis pusat pertanggungjawaban membutuhkan data pengeluaran dan output yang dihasilkan selama masa anggaran.
Bentuk laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah selama satu tahun anggaran adalah dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Kualitas dari laporan keuangan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor ketaatan terhadap standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, guna untuk meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kualitas laporan keuangan dari periode ke periode.
Pengelolaan keuangan pemerintah daerah harus dilakukan berdasarkan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance government), yaitu pengelolaan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel, yang memungkinkan para pemakai laporan keuangan untuk dapat mengakses informasi tentang hasil yang dicapai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah wajib memperhatikan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan untuk keperluan perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, ada 25 urusan wajib dan 8 urusan pilihan pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olahraga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemerintahan umum, kepegawaian, pemberdayaan masyarakt dan desa, statistik, arsip, serta komunikasi dan informatika. Sedangkan klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi.
Klasifikasi belanja menurut organisasi ini meliputi unsur pemerintahan daerah yang terdiri atas DPRD, Kepala Daerah/Wakil dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pembaharuan manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah ini, ditandai dengan perubahan yang sangat mendasar, mulai dari sistem penganggarannya, perbendaharaan sampai kepada pertanggungjawaban laporan keuangannya. Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pertanggungjawaban laporan keuangan daerah yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah hanya berupa Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan dan sistem yang digunakan untuk menghasilkan laporan tersebut adalah MAKUDA (Manual Administrasi Keuangan Daerah) yang diberlakukan sejak tahun 1981.
Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000, pernerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah. Sistem tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kewajiban pemerintah daerah dalarn membuat laporan pertanggungjawaban kuangan daerah yang bersangkutan.
Setiap pengguna laporan keuangan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda–beda terhadap informasi laporan keuangan yang diberikan pemerintah. Kebutuhan informasi pemakai laporan keuangan pemerintah daerah:
1. Masyarakat pengguna layanan publik membutuhkan informasi atas biaya, harga dan kualitas pelayanan yang diberikan.
2. Masyarakat yang membayar pajak ingin mengetahui penggunaan dana.
3. Kreditor dan investor membutuhkan informasi untuk menghitung tingkat risiko, likuiditas, dan solvabilitas.
4. Parlemen membutuhkan informasi keuangan untuk melakukan pengawasan, mencegah laporan keuangan yang bias dan mencegah terjadinya penyelewengan keuangan Negara.
5. Pegawai membutuhkan informasi atas gaji dan kompensasi.
Laporan keuangan pemerintah daerah berfokus pada unit kerja pemerintahan sebagai suatu organisasi. Unit kerja tersebut merupakan unit kerja yang otonom. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) berorientasi jangka panjang, karena adanya keterkaitan antara konsep politik dan kenegaraan. Jika laporan keuangan pemerintah buruk, maka dapat menimbulkan implikasi negatif, yaitu:
a. Menurunkan kepercayaan masyarakat.
b. Investor takut menanamkan modalnya pada daerah.
c. Kualitas keputusan menjadi buruk.
d. Laporan keuangan tidak dapat mencerminkan kinerja aktual.
Dari dampak–dampak negatif yang akan timbul jika laporan keuangan pemerintah buruk, maka pemerintah berupaya untuk menghindari resiko ketidakpercayaan investor terhadap kinerja mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah akan berusaha untuk menunjukkan bahwa kinerja mereka selama ini baik dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan daerah (Safitri, 2009).
Terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Dalam menjalankan otonomi daerah, perlu pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka memberantas praktik KKN (Korupsi,Kolusi dan Nepotisme), pemerintah bersama DPR kemudian mengesahkan Undang–Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), kemajuan teknologi informasi berpengaruh sangat besar. Karena perkembangan teknologi dirasa mampu membantu pemerintah menyusun LKPD secara cepat dan akurat. Pemanfaatan teknologi informasi mencakup adanya (a) pengolahan data, pengolahan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronik dan (b) pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masysrakat (Hamzah, 2009 dalam Winidyaningrum, 2010).
Laporan keuangan hanyalah salah satu media penyampaian informasi. Namun penyampaian laporan keuangan harus sesuai dengan PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum). Dalam rangka memperkuat akuntabilitas, setiap pejabat yang menyajikan laporan keuangan harus memberikan pernyataan tanggung jawab atas laporan keuangan, harus secara jelas menyatakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem pengendalian internal dan sesuai dengan SAP (Standar Akuntansi Pemerintah). Sedangkan untuk mewujudkan transparansi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah, yang bermaksud bahwa pemerintah daerah wajib menyajikan informasi keuangan daerah secara terbuka pada masyarakat, konsekuensinya setiap pemerintah daerah harus membangun sistem informasi keuangan daerah.
Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) juga memiliki kendala dalam informasinya, yaitu setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi yang ideal dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang relevan dan andal akibat keterbatasan (limitations) atau karena alasan–alasan kepraktisan. Hal–hal yang menimbulkan kendala dalam informasi akuntansi dan laporan keuangan pemerintah daerah:
1. Materialitas
Informasi dipandang material apabila kesalahan dalam mencatat informasi dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil berdasarkan laporan keuangan daerah.
2. Pertimbangan biaya dan manfaat
Laporan keuangan pemerintah daerah tidak semestinya menyajikan segala informasi yang manfaatnya lebih kecil dari biaya penyusunannya.
3. Keseimbangan antar karakteristik kualitatif
Keseimbangan antar karakteristik kualitatif diperlukan untuk mencapai suatu keseimbangna yang tepat diantara berbagai tujuan normatif yang diharapkan dipenuhi oleh laporan keuangan pemerintah.
Laporan keuangan yang telah dibuat harus diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai lembaga pemeriksaan ekstern yang kuat dan mandiri, sebelum disampaikan pada badan legislatif (DPR/Dewan Perwakilan Rakyat). Pemeriksaan oleh BPK bermaksud untuk pemberian pendapat (opini).
Sebagaimana diketahui dasar hukum pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diatur dalam undang–undang No. 15 tahun 2004. Pasal 2 dari undang–undang No. 15 tahun 2004 menyatakan:
1. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan Negara.
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Arja Sadjiarto (2000:9) mengutip Wayne C. Parker (1996:3) yang menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu:
1. Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan.
Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilakukan dalam keterbatasan data dan berbagai pertimbangan politik serta tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan tujuan pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain, adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan perhatian pada hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar terhadap pelaksanaan anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan program baru.
2. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal.
Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas. Lini teratas pun kemudian akan bertanggungjawab kepada pihak legislatif. Dalam hal ini disarankan pemakaian sistem pengukuran standar seperti halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes.
3. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik.
Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi kinerja pemerintah kepada masyarakat dirasakan cukup menakutkan, namun publikasi laporan ini sangat penting dalam keberhasilan sistem pengukuran kinerja yang baik. Keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah menjadi semakin besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin diperhatikan.
4. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan.
Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang berarti tanpa adanya kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu program. Tanpa ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah akan dinilai dengan obyektif.
5. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif.
Masyarakat semakin kritis untuk menilai program-program pokok pemerintah sehubungan dengan meningkatnya pajak yang dikenakan kepada mereka. Evaluasi yang dilakukan cenderung mengarah kepada penilaian apakah pemerintah memang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk menyerahkan sebagian pelayanan publik kepada sektor swasta dengan tetap bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) adalah serangkaian prosedur, mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer. SAPD terdiri atas dua subsistem, yaitu akuntansi pemda dan akuntansi Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi/Kota/Kabupaten dikeluarkan dua kali dalam satu tahun anggaran, yaitu:
1. Semester, yang dimulai dari periode Januari–Juni
2. Tahunan, yang dimulai dari Januari-Desember
Siklus anggaran daerah akan meliputi empat tahap yang terdiri atas perencanaan dan evaluasi, persetujuan/pengesahan, implementasi, dan pelaporan dan evaluasi (Spicer dan Bingham dalam Bingham et al.,1991) Laporan keuangan merupakan cerminan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya. Dimana pengelolaan keuangan daerah tersebut dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Oleh karena itu laporan keuangan harus memiliki karakteristik:
a. Relevan
Informasi keuangan dapat dikatakan relevan apabila laporan keuangan tersebut selesai tepat waktu, dan dapat mempengaruhi keputusan manajerial. Serta dapat digunakan sebagai acuan untuk masa depan (predictive value) dan memperbaiki harapan yang telah dibuat sebelumnya (feedback value), serta disajikan secara lengkap, yaitu mencakup semua informasi akuntansi yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
b. Andal
Suatu laporan keuangan dapat dikatakan andal jika:
1. Laporan keuangan itu netral/bebas dari keberpihakan, dan dapat memenuhi kebutuhan umum,
2. Disajikan secara wajar dan jujur tanpa adanya permainan angka dalam laporan keuangan tersebut,
3. Dapat diuji kebenarannya (verification),
4. Dapat Dibandingkan.
Laporan keuangan dapat disebut sebagai informasi jika dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya, atau berdasarkan pada entitas dan ekuitasnya.
5. Dapat dipahami
Karena laporan keuangan merupakan acuan pengambilan keputusan, maka laporan keuangan harus dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak–pihak yang menggunakan laporan keuangan ini.
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggung jawaban atas kepengurusan sumber daya ekonomi yang dimiliki suatu entitas. Laporan keuangan yang diterbitkan harus disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku agar laporan keuangan tersebut dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau dibandingkan dengan laporan keuangan entitas lainnya. Nordiawan (2006:134). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, laporan keuangan merupakan laporan terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan. Data yang termuat di dalam laporan keuangan mencerminkan ringkasan kuantitatif operasi dan aktivitas suatu entitas. Rumah sakit sebagai suatu entitas penyedia jasa juga diharuskan menyajikan laporan keuangan. Laporan keuangan dapat memberikan banyak informasi mengenai kekuatan sumber daya rumah sakit, kelemahan, masalah, efisiensi operasi dan sebagainya.
Menurut Nordiawan (2006: 202) ada empat macam laporan keuangan utama yang dihasilkan proses akuntansi rumah sakit yaitu: (1) Laporan Keuangan (Kas, Piutang, lnvestasi, Aktiva tetap, Aktiva yang disisihkan, Utang Jangka Panjang, Saldo); (2) Laporan Operasi (Pendapatan jasa penderita dihitung pada jumlah bruto, Penyesuaian kontraktual berasal dari keterlibatan pihak ketiga dalam penggantian pembayaran medis, Pendapatan dari kegiatan lainnya mencerminkan pendapatan yang berasal bukan dari penderita seperti kantin dan sewa parker, Transfer antar dana ditujukan apabila ada transfer dari saldo dana yang dikelompokkan sebagai dana terikat menjadi dana tidak terikat, Beban dana umum yang diakui secara akrual seperti halnya pada entitas komersial, Sumbangan atau donasi dikelompokkan menjadi donasi yang berbentuk jasa atau berbentuk aktiva; (3) Laporan Perubahan Aktiva Bersih( tidak terikat, terikat sementara dan terikat permanen); (4) Laporan Arus Kas.
No comments:
Post a Comment