Monday, October 29, 2018

Hubungan Diplomatik Indonesia–Australia


1. Sejarah Perkembangan Hubungan Diplomatik antara Indonesia–Australia

Indonesia adalah tetangga Australia yang terdekat. Hubungan antara kedua negara ini mempunyai sejarah yang panjang. Persamaan antara hewan dan tanaman yang ada di Australia, Irian Jaya, Nusa Tenggara dan Sulawesi merupakan bukti adanya hubungan tersebut. Juga terdapat hubungan sosial dan budaya. Cerita mengenai hubungan ini sudah lama dimulai dalam sejarah manusia. Namun sulit untuk mengatakan kapan tepatnya hubungan antara Australia  Indonesia itu dimulai.
Hubungan paling awal yang dicatat sejarah tentang kerjasama Indonesia – Australia dimulai bahkan jauh sejak sebelum adanya bangsa Eropa di Australia, hubungan ini dimulai dengan nelayan-nelayan dari Bugis dan Makassar yang secara teratur berlayar ke perairan Australia untuk mencari ikan Teripang. Pelayaran ini kemungkinan dilakukan pada waktu kekuasaan kerajaan Gowa di Makassar sekitar tahun 1720-an. Para pelaut Makassar dan Bugis menyebut tanah Arnhem (salah satu dari lima region atau wilayah utara Australia dibawah administrasi Northern Territory Australia) dengan sebutan Marege dan bagian daerah barat laut Australia, Kayu Jawa.
 Para nelayan ikan Teripang ini membangun rumah-rumah sementara, menggali sumur dan menanam pohon-pohon asam di tanah Australia ini. Hutan kecil pohon asam tersebut masih ada sampai saat ini. Banyak orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan Teripang tersebut, mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau, membuat gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan meminjam beberapa kisah yang mereka ceritakan.
 Bahkan ada beberapa orang Aborijin yang juga ikut berlayar dengan para nelayan itu pada saat mereka pulang ke Sulawesi, dan kembali ke Austalia pada musim monsun (awal musim hujan sekitar bulan Desember) berikutnya, dan beberapa di antaranya ada yang menetap di Sulawesi. Pengaruh orang Bugis dan Makasar masih dapat dilihat dalam bahasa dan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang tersebut pada saat ini.
Hingga saat ini para nelayan tradisional Indonesia masih terus mengunjungi perairan Australia. Mereka mencari ikan di sekitar karang dan kepulauan yang terletak di antara Australia dan Indonesia. Meskipun perairan ini milik Australia para nelayan Indonesia ini diberi hak untuk mencari ikan disana asal dengan syarat mereka menggunakan perahu layar tradisional dan teknik-teknik mencari ikan secara tradisional.


2. Perkembangan Hubungan Diplomatik antara Indonesia-Australia pada Masa Kolonial

Tahun 1788 sampai dengan tahun 1901 merupakan zaman penjajahan Inggris. Negara-negara bagian di Australia diperintah oleh para gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah Inggris. Pada saat itu, Indonesia berada di bawah jajahan Belanda. Hubungan antara Australia dan Indonesia dikendalikan oleh Inggris dan Belanda.
Sejak tahun 1790 dan seterusnya, Belanda dan Inggris memperluas perdagangan mereka di seluruh dunia. Mulailah berkembang jalur palayaran tetap antara Australia dan Indonesia, ini bisa dibilang awal mula hubungan Indonesia dengan bangsa Eropa di Australia.
Pemukiman Eropa yang pertama di Australia adalah di kawasan yang kemudian disebut Sydney. Persediaan makanan merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup para pemukim pertama ini. Pada tahun-tahun pertama pemukiman, para pemukim bergantung kepada persediaan makanan yang dibawa dari Eropa melalui perahu layar. Pada saat itu persediaan makanan seringkali dibawa dari Jawa. Oleh karena itu, mulailah terjadi hubungan terawal antara orang Eropa di Australia dengan pulau-pulau di Indonesia.
Kapal pertama yang datang di Sydney dari Indonesia adalah kapal Waaksamheyd pada tahun 1790. Kapal itu membawa persediaan makanan dari Batavia (nama Jakarta pada saat itu). Persediaan makanan itu mencakup:
·         171 ton daging sapi
·         172 ton daging babi
·         39 ton tepung
·         4.500 kg gula
·         31.000 kg beras

Pada pelayaran pertama yang dilakukan oleh Waaksamsheyd ke Sydney ini, banyak awak kapal Indonesia yang terkena sakit demam, dan 16 di antaranya meninggal. Pelayaran perdagangan ini sulit dan berbahaya. Banyak kapal Belanda yang juga terdampar di sepanjang garis pantai barat di Australia pada perjalanan mereka dari Eropa ke Batavia.
Pada masa-masa kolonialisme kedua negera, perdagangan Teripang berlanjut selama abad ke-19, yang bebas dari pengendalian Inggris maupun Belanda. Ikan, tiram mutiara, kerang jenis trokus, kura-kura, dan kayu dalam jumlah terbatas juga telah dikumpulkan oleh para nelayan Indonesia tersebut.
Para pemukim Eropa di Australia Utara mengimpor ternak banteng dari Indonesia dan mereka mencoba membuat industri daging sapi. Usaha ini tidak berhasil. Kemudian kerbau diimpor juga. Kedua jenis hewan ini sekarang masih ada di Australia bagian utara.


            3. Perkembangan Hubungan Diplomatik Indonesia–Australia pada Masa Pra-Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan

Ketika bangsa Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, dibentuklah pemerintahan Kolonial Belanda dalam pengasingan di Australia. Sebagai anggota tentara Sekutu, Belanda dan pemerintahannya yang dalam pengasingan tersebut mendapatkan kekuasaan ekstra teritorial serta dibantu oleh pemerintah Australia.
Oleh karena adanya penjajahan Jepang tersebut, banyak pengungsi Indonesia yang berkumpul di Australia. Di antara pengungsi ini ada pelaut dan pramugara Indonesia dari kapal-kapal Belanda, dan ada juga tentara Indonesia dari angkatan bersenjata Belanda, serta petugas dan pegawai kesehatan.
Pada tahun 1943 Belanda mengangkut 500 orang lebih ke Australia, baik pria, wanita dan anak-anak, dari perkampungan tawanan di Tanah Merah. Juga, Belanda bermaksud untuk mengasingkan para tawanan ini di Australia.
Para tawanan ini berhasil menyampaikan surat kepada seorang Australia pekerja pelabuhan dan kemudian juga kepada seorang pegawai kereta api. Surat-surat ini berisi penjelasan mengenai maksud Belanda tersebut di atas dan mereka meminta bantuan kepada masyarakat Australia. Tanggapan terhadap surat ini cepat dan kuat. Serikat Buruh Australia melakukan kampanye secara bersemangat dan berhasil membebaskan para tawanan ini.
Mereka juga membantu orang-orang Indonesia yang terdampar di Australia akibat Perang Dunia, untuk mengatur pemberian dukungan bagi negaranya. Sesudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, semakin bersemangatlah kampanye yang dilakukan oleh Serikat Buruh di Australia. Serikat Buruh tersebut menekan Pemerintah Australia agar mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Australia merupakan salah satu dari negara-negara yang pertama mengakui hak Indonesia untuk merdeka.
Usaha-usaha Pemerintah Belanda untuk meneguhkan kembali kendali kolonialnya di Indonesia di antara tahun 1945 dan 1949 benar-benar dihalangi oleh Serikat Buruh dan oleh Pemerintah Australia yang waktu itu dikuasai Partai Buruh. Kapal-kapal Belanda tidak diberi bahan bakar, dan para pekerja pelabuhan tidak mau menaikkan muatan bahan persediaan ke atas kapal Belanda.
Pada bulan Oktober 1945, Pemerintah Indonesia mulai memulangkan orang-orang Indonesia ke beberapa daerah di Indonesia yang dikuasai oleh tentara Republik, meskipun usaha ini ditentang oleh Belanda.
Australia membantu para pejuang nasionalis Indonesia dalam perjuangan mereka mencapai kemerdekaan. Pada tahun 1947, Indonesia meminta Australia untuk mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara yang diusahakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Australia mewakili Indonesia dalam perundingan-perundingan yang menuju ke pengakuan Belanda terhadap Indonesia pada tahun 1949. Australia juga mensponsori masuknya Indonesia ke PBB pada tahun 1950.
Hubungan antara Indonesia dengan Australia pada tahun 1945-1950 bisa dikatakan sangat kuat. Pada saat itu, Australia mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Pada awal usaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda melalui perundingan yang dirangkum dalam perwakilan tiga negara, Indonesia menunjuk Australia sebagai mediator dalam perundingan.
Perjalanan hubungan Indonesia dan Australia pertama kali ditandai pada masa perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada masa kepresidenan Soekarno, Indonesia menjalankan politik luar negeri yang militan dalam usaha menggalakkan kampanye pembebasan Irian Barat, hubungan diplomatik keduanya pun dinilai dingin (Suryadinata, 1998: 115).
Pada tahun 1949, terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Akan tetapi muncul isu Belanda tidak berniat melepaskan Irian Barat. Sebaliknya pada saat itu, presiden Soekarno bersikeras ingin menjadikan Irian Barat masuk dalam Indonesia karena Irian Barat bekas jajahan Belanda. Pada poin ini, hubungan antara Indonesia dengan Australia merenggang karena Australia mendukung Belanda. Australia dibawah pemerintahan Menzies Australia melihat tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikawatirkan menjadi ancaman keamanan Australia (Suryadinata, 1998).
Pada tahun 1961, sikap Australia terhadap Indonesia perlahan-lahan melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia dengan belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun itu pula menteri luar negeri Australia Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Australia untuk takut terhadap klaim Indonesia atas irian Barat. Barwick juga mengubah haluan Australia yang kemudian mendukung Indonesia asal semua berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan setuju atas kontrol Indonesia terhadap Irian Barat walaupun banyak dikritk oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia adalah karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih menguntungkan dari pada dengan Belanda, Australia ingin menghindari peperangan dengan negara tetangga terdekat dan mispersepsi tentang Indonesia.
Australia dan Indonesia tetap menjaga hubungan baik sejak saat itu. Kedua negara saling bertukar duta besar, duta besar Australia di Indonesia terletak di komplek HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan, sedangkan duta besar Indonesia di Austalia terletak di Yarralumla, Canbera. Namun, terdapat juga beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan kondisi hubungan kerjasama Indonesia – Australia juga mengalami pasang surut. Salah satu perbedaan tersebut berkenaan dengan perselisihan yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan Belanda atas Nugini Barat (Irian Jaya dan kemudian menjadi Papua sekarang) dan konfrontasi dengan Malaysia pada sekitar tahun 1960-an serta yang terakhir isu penyadapan oleh Australia terhadap tokoh pemimpin di Indonesia baru-baru ini.


          4. Konflik Irian Jaya/Papua

Antara tahun 1959 dan tahun 1962 pemerintah Australia berpihak kepada pemerintah Belanda selama perjuangan Indonesia menentang pemerintahan Belanda di Irian Barat. Pada saat itu Partai Komunis Indonesia mulai berpengaruh dan ada kekhawatiran di Australia mengenai pengaruh itu. Dikhawatirkan bahwa integrasi daerah jajahan Belanda yang dulu disebut Nugini Barat itu dengan Indonesia akan memperluas pengaruh komunisme.
Masalah tersebut di atas menimbulkan ketegangan terhadap hubungan antara Australia dan Indonesia. Akhirnya dirundingkanlah penyelesaian pada tahun 1962, dengan bantuan PBB, dan Irian Jaya menjadi propinsi Indonesia yang ke-26.
Sejak tahun 1962, Australia telah mengakui Irian Jaya (yang sejak awal tahun 2002 disebut Papua) sebagai bagian integral dari Republik Indonesia.
           

            5. Perseteruan antara Indonesia dengan Australia

Dalam periode tahun 1963 hingga 1965 terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Australia dan Indonesia mempunyai pandangan yang berlainan mengenai pembentukan negara Malaysia. Daerah bekas jajahan Inggris ini meliputi Malaya, Sarawak, Sabah, dan Singapura. Namun, pada tahun 1965 Singapura keluar dari Malaysia.
Sebagai sebuah negara Persemakmuran, Malaysia mempunyai kaitan yang penting dalam hubungan militer dan pendidikan dengan Australia. Angkatan Bersenjata Australia sebelumnya telah membantu tentara Malaysia dan Inggris dalam perjuangannya melawan gerilya komunis yang aktif di Malaysia. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno waktu itu menyebut Malaysia sebagai rezim ciptaan neo-kolonialis dan menganggapnya ancaman bagi Indonesia.
Australia waktu itu terus mendukung Malaysia dan semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia. Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan konfrontasi yang digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya tentara Australia, yang mendukung Pemerintah Malaysia, terlibat dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Borneo (sekarang Kalimantan).
Masalah tersebut di atas terpecahkan dengan adanya kudeta yang gagal di Indonesia pada tahun 1965, dan dengan diangkatnya President Soeharto sebagai pemimpin. Sesudah tahun 1965 hubungan antara Australia-Indonesia mulai berkembang lagi, dan menjelang tahun 1967 Australia memberikan dana bantuan untuk membantu membangun kembali ekonomi Indonesia.
           
6. Hubungan Diplomatik Indonesia–Australia sesudah tahun 1966

Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia merupakan suatu masa berkembangnya hubungan antara Australia–Indonesia. Hubungan kita telah berkembang semakin luas dan semakin dalam.
 a.      Wisatawan Australia memilih Indonesia
Sejak awal 1970-an Indonesia telah menjadi tujuan utama wisata bagi orang Australia. Penerbangan Garuda, Qantas, Sempati dan Merpati mengangkut penumpang dari Australia ke Indonesia dan sebaliknya. Australia telah menjadi sumber wisatawan yang penting bagi Indonesia. Bali merupakan propinsi yang paling dikenal. Ada sebuah lagu populer di Australia berjudul "I've been to Bali too" (Saya juga pernah ke Bali).
Sekarang, orang Australia mulai tertarik mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia. Semakin banyak yang mulai mengunjungi kota-kota, seperti Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, selain Denpasar. Kepariwisataan telah menjadi cara yang penting untuk meningkatkan pengetahuan orang Australia tentang bahasa dan budaya Indonesia.

b.      Integrasi Timor-Timur
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 telah ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, terjadi perselisihan di antara berbagai kelompok politik di Timor Timur. Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979.

c.       Kemerdekaan bagi Timor Timur
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%).
Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atauInternational Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Peristiwa-peristiwa ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan Australia-Indonesia dalam jangka pendek tersebut. Namun, kedua negara telah sepakat untuk memandang ke depan, bukan ke belakang, disertai semangat yang positif, dan keduanya sepakat untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan.

d.      Kerjasama semakin meningkat
Kerja sama antara Pemerintah Australia-Indonesia dan hubungan antara kedua bangsa telah semakin meningkat. Pemerintah kedua negara bekerja keras untuk membina saling pengertian antara bangsa Indonesia dan Australia. Sehubungan dengan hal tersebut, sedang dikembangkan hubungan yang lebih akrab dalam perniagaan, politik, pendidikan, kesenian, media dan komunikasi, olahraga dan profesi.

e.       Kerjasama Kawasan Celah Timor
Salah satu perkembangan yang penting dalam hubungan Australia-Indonesia adalah ditandatanganinya Perjanjian Celah Timor pada tahun 1989. Perjanjian tersebut adalah mengenai pemanfaatan bersama minyak/gas alam di Laut Timor pada perbatasan Timor Timur dan Australia. Perjanjian yang dibicarakan antara Indonesia dan Australia tersebut digantikan dengan perjanjian baru yang ditandatangani oleh Australia dan Timor Timur sesudah kawasan ini mencapai kemerdekaannya.

f.       Lembaga Australia-Indonesia
Lembaga Australia-Indonesia didirikan pada tahun 1989.
Lembaga ini bertujuan untuk:
·         ikut mengembangkan hubungan yang stabil antara kedua negara kita;
·         memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia mengenai keanekaragaman budaya di Australia, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi;
·         mengembangkan pengertian masyarakat Australia mengenai keanekaragaman budaya di Indonesia dan peluang kerja sama ekonomi.
Lembaga ini mendorong adanya hubungan antara orang Australia dan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, media, perniagaan, ilmu pengetahuan, teknologi, olahraga, dan kesenian.


g.      Wisatawan Indonesia menemukan Australia
Sekarang Australia menjadi tujuan wisata yang semakin populer bagi wisatawan Indonesia. Sejak tahun 1991, jumlah orang Indonesia yang mengunjungi Australia telah meningkat rata-rata 55% setiap tahun.
Lebih dari 106.000 orang Indonesia yang mengunjungi Australia di tahun 1994/1995. Kebanyakan orang-orang ini berkunjung sebagai bagian dari suatu kelompok orang yang sedang berlibur. Tujuan utama bagi orang Indonesia yang mengunjungi Australia adalah untuk berlibur, melanjutkan pendidikan, dan untuk berniaga.

h.      Bantuan dari Australia ke Indonesia
Pada tahun 2001 hingga 2002 Australia akan menyediakan bantuan pembangunan kepada negara-negara lain sejumlah 1,725 juta dolar Australia. Indonesia akan menerima kira-kira 7,04% dari dana bantuan ini, yang berjumlah 121,5 juta dolar, melalui Program Kerjasama Pembangunan.
Australia merupakan negara pemberi donor terbesar kelima kepada Indonesia. Australia telah menyumbang 1.5% sampai 6% dana bantuan luar negeri Indonesia. Tujuan bantuan Australia adalah pengurangan kemiskinan dengan bantuan yang melalui dua aliran:
ü  Memperbaiki pemerintahan termasuk administrasi pemerintah, lembaga perbankan, keuangan dan keadilan;
ü  pengembangan sumber daya manusia masyarakat yang miskin dengan memperbaiki pendidikan;
ü  Kesehatan, khususnya ibu dan anak serta pengendalian HIV/AIDS; dan penyediaan air minum;

Banyak sumbangan Australia yang diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya sebab daerah-daerah ini merupakan daerah yang paling miskin dan paling ketinggalan di Indonesia. Kebanyakan bantuan Australia berbentuk program pendidikan dan pelatihan. Dalam sektor pendidikan di Indonesia, Australia menyediakan program beasiswa yang terbesar.

Pada masa pemerintahan Soeharto, yang menjadi isu dalam hubungan diplomatik Indonesia – Australia adalah Timor Timur (pemberontakan Fretilin) 1974-1982, peristiwa D Jenkins yang berbuntut pertentangan dengan pers Australia 1976-1986, Timor Timur II 1991.
Hubungan diplomatik sepanjang 1974 antara pemerintahan Soeharto dan PM Australia, Gough Whitlam tercermin dalam sikap kooperatif Australia manakala Timor Timur hendak diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia secara damai (Suryadinata, 1998, p.116). akan tetapi, tindakan Indonesia yang melakukan pendudukan agresif di Timor Timur dikritik publik Australia dan akhirnya pemerintah Australia pun mengkritiknya di PBB. Kritik ini diyakini muncul akibat aksi invasif Indonesia yang mengakibatkan lima wartawan Australia tewas. Sejak saat itu, pers Australia gencar melakukan pemberitaan yang konfrontatif dan kritis terhadap Indonesia.
Ketika kursi perdana menteri dipegang oleh Malcolm Fraser pada 1976. Indonesia masih kerap mendapatkan kritik tajam dari Australia, antara lain Fraser dan James Dunn, mantan konsul Australia di Timor Timur 1977. Pada 1982, hubungan diplomatik Indonesia-Australia mulai meninggalkan isu Timor Timur, ketika Perdana Menteri Australia, Anthony Street mengajak masyarakat Internasional untuk mulai mengesampingkan isu tersebut (Suryadinata, 1998118).
Konflik pers Australia menyusul pemberitaan oleh D Jenkins (1986) mengakibatkan pembekuan hubungan Indonesia dengan Australia secara sepihak (Suryadinata, 1998118-120). Hal itu dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai cermin dari kemarahan dari rasa tersinggung terhadap pemberitaan yang mengungkap jaringan usaha Soeharto, singkat kata nepotisme. konflik Indonesia melawan publik pers Australia semata-mata merupakan mispersepsi yang terjadi seputar arti dan implementasi demokrasi masing-masing, yang mana demokrasi di Australia mengijinkan seluas-luasnya kebebasan pers dan berpendapat di daerahnya, sementara saat itu pemerintah Indonesia masih tertutup dari keterbukaan yang demikian yang menjadi karakter era Soeharto yang terlalu proteksionis.

Pada masa Menteri Luar Negeri Ali Alatas, menggunakan pendekatan personal antara Alatas dengan PM Australia Gareth Evans, hubungan bilateral kedua negara pun melunak kembali hingga isu Timor-Timur untuk kedua kalinya muncul ke permukaan di tahun 1991 (Suryadinata, 1998122). Meskipun isu Timor Timur tidak menghilang, peran PM Australia Paul Keating dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dinilai sangat akomodatif dan kooperatif, lebih singkat Suryadinata (1998) menjelaskan bahwa semata-mata dikarenakan adanya pergeseran kepentingan Australia terhadap isu pembangunan blok kepentingan ekonomi non-China yang memposisikan Indonesia sejajar dengan Vietnam dan Australia untuk tidak terlibat ke dalam orbit China. Kemudian hubungan baik Indonesia-Australia dengan berhasil diimplementasikan ke dalam penandatangan perjanjian seputar penghormatan keamanan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah kedua negara (Suryadinata, 1998124).

No comments: