Konsisten dengan penelitian IFRS sebelumnya (misalnya Liu dan Liu, 2007; Van der Meulen,
2007; Barth dkk., 2008; Karampinis dan Hevas,
2011; Alali dan Foote, 2012), kualitas informasi
akuntansi dalam penelitian ini diproksikan
dengan relevansi nilai. Barth dkk. (2008) menyatakan perusahaan dengan kualitas informasi akuntansi yang tinggi mempunyai relevansi nilai laba
bersih dan nilai buku ekuitas yang tinggi.
Francis dan Schipper (1999) mendefinisikan
relevansi nilai informasi akuntansi sebagai kemampuan angka-angka akuntansi untuk merangkum informasi yang mendasari harga saham,
sehingga relevansi nilai diindikasikan dengan
sebuah hubungan statistikal antara informasi
keuangan dan harga atau return saham. Kualitas
informasi akuntansi yang tinggi diindikasikan
dengan adanya hubungan yang kuat antara
harga/return saham dan laba serta nilai buku
ekuitas karena kedua informasi akuntansi tersebut mencerminkan kondisi ekonomik perusahaan (Barth dkk., 2008). Pada umumnya analisis
relevansi nilai mengacu pada kekuatan penjelas
(explanatory power/R2) dari sebuah regresi antara
harga/return saham dan laba bersih serta nilai
buku ekuitas.
Karampinis dan Hevas (2011) menghipotesiskan dan memberikan bukti empiris bahwa faktor
standar akuntansi saja (termasuk IFRS) tidak
cukup untuk meningkatkan kualitas informasi
akuntansi. Dengan mengutip hasil penelitian
Daske dkk. (2008) dan Ball dkk. (2003), Karampinis dan Hevas (2011) beragumen bahwa lingkungan institusional penyusun laporan keuangan,
bukan standar, yang menentukan kualitas informasi akuntansi. Hal ini menjadi isu penting
karena orientasi IFRS adalah untuk lingkungan
institusional dengan tradisi common law (Barth
dkk., 2008; Karampinis dan Hevas, 2011). IFRS
disusun berdasar kerangka konseptual yang mirip
dengan kerangka konseptual standar akuntansi
negara-negara common law (Barth dkk., 2008).
Oleh karena itu, manfaat IFRS bagi negaranegara dengan tradisi code-law masih menjadi
pertanyaan penelitian yang penting.
Negara-negara code law pada umumnya
mempunyai model sistem keuangan yang lebih
berorientasi pada pemangku kepentingan (stakeholder-oriented model) (Karampinis dan Hevas,
2011). Standar akuntansi disusun oleh lembaga
regulasi yang dikendalikan oleh negara melalui
peraturan perundang-undangan yang detail untuk
mencapai keseragaman. Pendanaan perusahaan
sangat menggantungkan pada perbankan sehingga pasar modal menjadi pilihan kedua (Karampinis dan Hevas, 2011). Besarnya intervensi
pemerintah dalam penyusunan standar akuntansi
dan dominasi perbankan dalam pendanaan
perusahaan menyebabkan pelaporan keuangan
lebih berorientasi pada kreditur dan pajak
(creditor and tax-oriented financial reporting). Sebaliknya, sistem keuangan negara-negara common
law cenderung berorientasi pada pemegang saham
(shareholder-oriented). Penyusunan standar akuntansi diserahkan kepada lembaga profesional
swasta yang menerima praktek berterima umum
sebagai dasar utama dalam proses pengembangan
standar. Pasar modal memiliki peran utama
dalam pendanaan perusahaan sehingga pengungkapan publik merupakan prasyarat wajib bagi
pelaporan keuangan.
Dalam literatur bisnis internasional, Indonesia diklasifikasikan dalam kluster negaranegara code law (La Porta dkk. 1998). Hasil penelitian La Porta dkk (1998) serta Djankov (2008)
negara-negara dalam kluster code law pada
umumnya mempunyai tingkat perlindungan
investor yang lemah dan sistem hukum yang
kurang berjalan dengan baik. Lemahnya
perlindungan investor menyebabkan kepemilikan
yang terkonsentrasi (concentrated ownership). Hal
ini sesuai dengan temuan Siregar dan Utama
(2008) yang menunjukkan besarnya persentase
kepemilikan pemegang saham mayoritas.
Negara-negara dalam kluster code law
umumnya mempunyai fungsi perbankan yang
lebih dominan daripada pasar modal dalam
memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan (La
Porta dkk., 1998). Berbagai karakteristik lingkungan institusional tersebut menyebabkan kebutuhan pengungkapan publik (public disclosure)
menjadi kurang penting di negara-negara code law
dibandingkan common law (Karampinis dan
Hevas, 2011). Hal ini dapat menghambat tujuan
adopsi IFRS untuk meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Temuan Karampinis dan Hevas
(2011) menunjukkan bahwa adopsi IFRS di
lingkungan institusional yang kurang sesuai menyebabkan tidak signifikannya peningkatan kualitas informasi akuntansi setelah adopsi dilakukan.
Hal ini mendukung argumen Bradshaw dan Miller
(2007) serta Alali dan Foote (2012) bahwa
pengaruh adopsi IFRS terhadap kualitas informasi
akuntansi tergantung pada faktor-faktor spesifik
setiap negara (country-specific factors).
Barth dkk. (2008) berargumen bahwa IFRS
sebagai principles-based standards lebih dapat
meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi.
Hal ini karena pengukuran dengan fair value lebih
dapat menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik perusahaan. Hal ini lebih dapat membantu
investor dalam mengambil keputusan investasi.
Selain itu model ekspektasi rasional Ewert dan
Wagenhofer (2005) menunjukkan bahwa laba
IFRS lebih dapat merefleksikan kinerja ekononomik perusahaaan. Meskipun demikian, Barth dkk.
(2008) juga menyatakan competing hypothesis
bahwa IFRS justru dapat menurunkan relevansi
nilai informasi akuntansi. Hal ini disebabkan pembatasan diskresi manajerial dalam pilihanpilihan pengukuran dapat mengurangi kemampuan manajemen untuk menggambarkan posisi
ekonomik perusahaan. Selain itu, pengaruh dari
komponen-komponen sistem pelaporan keuangan
selain standarnya sendiri dapat mengurangi
kualitas informasi akuntansi IFRS. Hal ini dapat
terjadi jika enforcement dan litigation dari
penerapan IFRS kurang kuat (Barth dkk., 2008).
Argumentasi bahwa IFRS belum tentu dapat
meningkatkan relevansi informasi akuntansi juga
dinyatakan oleh Van der Meulen dkk. (2007).
Mereka menyatakan masih menjadi perdebatan
bahwa proses penyusunan standar oleh IASB
belum melalui due process yang baik. Selain itu,
enforcement IFRS belum seketat US GAAP. Van
der Meulen dkk. (2007) juga menyatakan standar
akuntansi yang disusun IASB tersebut bersifat
umum dan kurang detail berbeda dengan rulebased standards yang lebih detail dalam aturanaturan pengungkapan. Van der Meulen dkk.
(2007) menyatakan masih menjadi perdebatan
apakah aturan yang lebih ketat tersebut dapat
menghasilkan informasi akuntansi yang lebih
relevan.
No comments:
Post a Comment