Sunday, January 6, 2019

Lingkungan Institusional Adopsi IFRS di Indonesia


Konsisten dengan penelitian IFRS sebelumnya (misalnya Liu dan Liu, 2007; Van der Meulen, 2007; Barth dkk., 2008; Karampinis dan Hevas, 2011; Alali dan Foote, 2012), kualitas informasi akuntansi dalam penelitian ini diproksikan dengan relevansi nilai. Barth dkk. (2008) menyatakan perusahaan dengan kualitas informasi akuntansi yang tinggi mempunyai relevansi nilai laba bersih dan nilai buku ekuitas yang tinggi. 

Francis dan Schipper (1999) mendefinisikan relevansi nilai informasi akuntansi sebagai kemampuan angka-angka akuntansi untuk merangkum informasi yang mendasari harga saham, sehingga relevansi nilai diindikasikan dengan sebuah hubungan statistikal antara informasi keuangan dan harga atau return saham. Kualitas informasi akuntansi yang tinggi diindikasikan dengan adanya hubungan yang kuat antara harga/return saham dan laba serta nilai buku ekuitas karena kedua informasi akuntansi tersebut mencerminkan kondisi ekonomik perusahaan (Barth dkk., 2008). Pada umumnya analisis relevansi nilai mengacu pada kekuatan penjelas (explanatory power/R2) dari sebuah regresi antara harga/return saham dan laba bersih serta nilai buku ekuitas.

Karampinis dan Hevas (2011) menghipotesiskan dan memberikan bukti empiris bahwa faktor standar akuntansi saja (termasuk IFRS) tidak cukup untuk meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Dengan mengutip hasil penelitian Daske dkk. (2008) dan Ball dkk. (2003), Karampinis dan Hevas (2011) beragumen bahwa lingkungan institusional penyusun laporan keuangan, bukan standar, yang menentukan kualitas informasi akuntansi. Hal ini menjadi isu penting karena orientasi IFRS adalah untuk lingkungan institusional dengan tradisi common law (Barth dkk., 2008; Karampinis dan Hevas, 2011). IFRS disusun berdasar kerangka konseptual yang mirip dengan kerangka konseptual standar akuntansi negara-negara common law (Barth dkk., 2008). Oleh karena itu, manfaat IFRS bagi negaranegara dengan tradisi code-law masih menjadi pertanyaan penelitian yang penting. 

Negara-negara code law pada umumnya mempunyai model sistem keuangan yang lebih berorientasi pada pemangku kepentingan (stakeholder-oriented model) (Karampinis dan Hevas, 2011). Standar akuntansi disusun oleh lembaga regulasi yang dikendalikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang detail untuk mencapai keseragaman. Pendanaan perusahaan sangat menggantungkan pada perbankan sehingga pasar modal menjadi pilihan kedua (Karampinis dan Hevas, 2011). Besarnya intervensi pemerintah dalam penyusunan standar akuntansi dan dominasi perbankan dalam pendanaan perusahaan menyebabkan pelaporan keuangan lebih berorientasi pada kreditur dan pajak (creditor and tax-oriented financial reporting). Sebaliknya, sistem keuangan negara-negara common law cenderung berorientasi pada pemegang saham (shareholder-oriented). Penyusunan standar akuntansi diserahkan kepada lembaga profesional swasta yang menerima praktek berterima umum sebagai dasar utama dalam proses pengembangan standar. Pasar modal memiliki peran utama dalam pendanaan perusahaan sehingga pengungkapan publik merupakan prasyarat wajib bagi pelaporan keuangan. 

Dalam literatur bisnis internasional, Indonesia diklasifikasikan dalam kluster negaranegara code law (La Porta dkk. 1998). Hasil penelitian La Porta dkk (1998) serta Djankov (2008) negara-negara dalam kluster code law pada umumnya mempunyai tingkat perlindungan investor yang lemah dan sistem hukum yang kurang berjalan dengan baik. Lemahnya perlindungan investor menyebabkan kepemilikan yang terkonsentrasi (concentrated ownership). Hal ini sesuai dengan temuan Siregar dan Utama (2008) yang menunjukkan besarnya persentase kepemilikan pemegang saham mayoritas. 

Negara-negara dalam kluster code law umumnya mempunyai fungsi perbankan yang lebih dominan daripada pasar modal dalam memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaan (La Porta dkk., 1998). Berbagai karakteristik lingkungan institusional tersebut menyebabkan kebutuhan pengungkapan publik (public disclosure) menjadi kurang penting di negara-negara code law dibandingkan common law (Karampinis dan Hevas, 2011). Hal ini dapat menghambat tujuan adopsi IFRS untuk meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Temuan Karampinis dan Hevas (2011) menunjukkan bahwa adopsi IFRS di lingkungan institusional yang kurang sesuai menyebabkan tidak signifikannya peningkatan kualitas informasi akuntansi setelah adopsi dilakukan. Hal ini mendukung argumen Bradshaw dan Miller (2007) serta Alali dan Foote (2012) bahwa pengaruh adopsi IFRS terhadap kualitas informasi akuntansi tergantung pada faktor-faktor spesifik setiap negara (country-specific factors).

Barth dkk. (2008) berargumen bahwa IFRS sebagai principles-based standards lebih dapat meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi. Hal ini karena pengukuran dengan fair value lebih dapat menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik perusahaan. Hal ini lebih dapat membantu investor dalam mengambil keputusan investasi. Selain itu model ekspektasi rasional Ewert dan Wagenhofer (2005) menunjukkan bahwa laba IFRS lebih dapat merefleksikan kinerja ekononomik perusahaaan. Meskipun demikian, Barth dkk. (2008) juga menyatakan competing hypothesis bahwa IFRS justru dapat menurunkan relevansi nilai informasi akuntansi. Hal ini disebabkan pembatasan diskresi manajerial dalam pilihanpilihan pengukuran dapat mengurangi kemampuan manajemen untuk menggambarkan posisi ekonomik perusahaan. Selain itu, pengaruh dari komponen-komponen sistem pelaporan keuangan selain standarnya sendiri dapat mengurangi kualitas informasi akuntansi IFRS. Hal ini dapat terjadi jika enforcement dan litigation dari penerapan IFRS kurang kuat (Barth dkk., 2008).

Argumentasi bahwa IFRS belum tentu dapat meningkatkan relevansi informasi akuntansi juga dinyatakan oleh Van der Meulen dkk. (2007). Mereka menyatakan masih menjadi perdebatan bahwa proses penyusunan standar oleh IASB belum melalui due process yang baik. Selain itu, enforcement IFRS belum seketat US GAAP. Van der Meulen dkk. (2007) juga menyatakan standar akuntansi yang disusun IASB tersebut bersifat umum dan kurang detail berbeda dengan rulebased standards yang lebih detail dalam aturanaturan pengungkapan. Van der Meulen dkk. (2007) menyatakan masih menjadi perdebatan apakah aturan yang lebih ketat tersebut dapat menghasilkan informasi akuntansi yang lebih relevan. 

No comments: