Analisis kredit adalah kajian yang dilakukan
untuk mengetahui kelayakan dari suatu permasalahan kredit. Tujuan utama analisis kredit
adalah untuk memperoleh keyakinan apakah
perusahaan memiliki kemauan dan kemampuan
untuk memenuhi kewajibannya kepada bank
secara tertib sesuai dengan kesepakatan bank
(Rivai dan Veithzal 2006). Menurut Rivai dan
Veithzal (2006), terdapat 6 prinsip dalam analisis
kredit (6 C’s analysis), yaitu: character, capital,
capacity, collateral, condition of economy, dan
constraint.
Menurut Rivai dan Veithzal (2006), aspekaspek analisis kredit dan perhitungan kredit
meliputi: aspek yuridis, pemasaran, manajemen
dan organisasi, teknis, keuangan, jaminan, sosial
ekonomi dan analisis dampak lingkungan (AMDAL),
dan analisis risiko. Dalam aspek pemasaran salah
satu faktor yang dinilai analis kredit adalah
kebijakan dan strategi pemasaran perusahaan,
termasuk political power yang digunakan untuk
menopang pemasarannya, apakah kebijakan dan
strategi pemasaran cukup andal untuk merebut
pangsa pasar. Dalam aspek keuangan, analis
kredit menggunakan analisis rasio untuk pengambilan keputusan, dalam hubungannya dengan
penelitian keadaan keuangan perusahaan. Rasio
yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
Debt to tangible net worth (rasio financial leverage)
dan (2) Net profit margin.
Prinsip 6C analisis kredit menempatkan
faktor capital (non-earnings information) dan
capacity (earnings information) sebagai 2 faktor
terpenting setelah character. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan Zmijewski, yang diambil dari Palepu et al. (2004), menjelaskan bahwa
faktor yang paling berguna dalam memprediksi
kebangkrutan untuk satu tahun kedepan adalah
profitabilitas dan volatility (earnings information)
dan financial leverage (non-earnings information).
Earnings berbasis nilai historis memiliki kelemahan utama yaitu diijinkannya pemilihan berbagai
metode akuntansi oleh standar akuntansi. Hal ini
memberikan insentif bagi perusahaan untuk
terlibat dalam manajemen laba.
Tujuan perusahaan melakukan manajemen
laba antara lain untuk memperoleh kredit dalam
jumlah besar, dengan cara memberikan informasi
bahwa kondisi keuangan perusahaan baik. Hal ini
mengakibatkan earnings menjadi bias optimistik
karena muatan manajemen laba yang berlebihan.
Mandatory disclosure yang rendah (Leuz dan
Oberholzer-Gee 2003) dan praktek akuntansi serta
auditing di Indonesia yang buruk, tidak mampu
menghambat manajemen laba di Indonesia. Hal
ini menyebabkan asimetri informasi antara perusahaan dan bank di Indonesia semakin besar.
Studi teoritik dan empiris di atas mendukung
dugaan bahwa analis kredit di Indonesia lebih
mempertimbangkan non-earnings information dibanding earnings information, sehingga level of
assurance dan reputasi kantor akuntan publik
tidak dipertimbangkan. Tjondro (2007) menemukan bahwa level of assurance dan reputasi kantor
akuntan publik tidak berpengaruh terhadap
keputusan kredit bank.
No comments:
Post a Comment