Akuntansi Ditinjau Dari Al-Qur’an
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282, disebutkan kewajiban bagi umat mukmin untuk
menulis setiap transaksi yang masih belum tuntas (not completed atau non-cash).
“Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”.
Dalam ayat ini jelas sekali tujuan perintah ini untuk menjaga keadilan dan
kebenaran, artinya perintah itu ditekankan pada kepentingan pertanggung
jawaban (accountability) agar pihak yang terlibat dalam transaksi itu tidak dirugikan, tidak menimbulkan konflik, serta adil merata. Al-Qur’an melindungi kepentingan masyarakat dengan menjaga terciptanya keadilan, dan kebenaran. Oleh
karena itu, tekanan dari akuntansi bukanlah pengambilan keputusan (decision
making) melainkan pertanggungjawaban (accountability).
Dalam Al Quran juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil,
jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan
ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.
Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah
Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah
menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut
Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan,
biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan
secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi
dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng
kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi
pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam
Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Akuntansi Ditinjau Dari Al-Hadist
Setelah munculnya Islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah
saw, serta telah terbentuknya daulah Islamiyah di Madinah, mulailah perhatian
Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur
riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan,
monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan
Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik
secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka
diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Pada zaman
Rasulullah cikal bakal akuntansi dimulai dari fungsi-fungsi pemerintahan untuk
mencapai tujuannya dan penunjukan orang-orang yang kompeten. Dimana
pemerintahan Rasulullah memiliki 42 pejabat yang digaji, terspesialisasi dalam
peran dan tugas tersendiri.
No comments:
Post a Comment