Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak ke berbagai
sektor dalam kehidupan masyarakat, termasuk sektor keuangan
daerah. Pemerintah daerah
sebagai penyelenggara pemerintahan dalam
era desentralisasi saat ini,
memiliki peran strategis dalam mengatasi pandemi COVID-19. Namun umumnya pemerintah daerah
menghadapi situasi yang
cukup sulit. Pada
sisi belanja, pemerintah
daerah harus menghadapai
kenyataan bahwa kebutuhan belanja makin meningkat, terutama untuk kegiatan mengatasi
pandemi COVID-19. Sebagai
suatu wabah, sudah
barang tentu berbagai
kegiatan atau program penanggulanganannya belum
sepenuhnya teralokasi dalam
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Pada sisi
pendapatan, lesunya perekonomian berefek pada menurunnya pendapatan pemerintah daerah. Oleh
karena itu, pengelolaan
keuangan daerah perlu
dilakukan secara hati-hati
agar tercapai tujuan program dan
kegiatan tanpa meninggalkan tertib dan disiplin anggaran.
Presiden melalui instruksi Nomor 4 Tahun 2020
menyatakan bahwa dengan penetapan wabah COVID-19 sebagai pandemi
global, maka seluruh
jajaran pemerintahan harus
melakukan refocussing kegiatan, realokasi angagran
serta pengadaan barang
dan jasa dalam
rangka percepatan penanganan
COVID-19.
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan telah
menyepakati keputusan bersama No. 119/2813/SJ dan No. 177/KMK.07/2020 yang
mengatur mengenai keharusan seluruh Pemda melakukan penyesuaian APBD TA
2020 dengan (a)
melakukan penyesuaian (penurunan)
target pendapatan dalam
APBD; (b) melakukan penyesuaian
belanja daerah melalui rasionalisasi belanja pegawai, barang, dan belanja
modal, dan (c) refocusing
dan realokasi belanja
untuk pembiayaan kegiatan
dalam rangka percepatan penanganan covid-19. Kegiatan
dalam rangka percepatan
penanganan COVID-19 dapat
berupa belanja bidang kesehatan,
penyediaan jariangan pengaman sosial, dan penanganan dampak ekonomi.
Belanja Tak Terduga merupakan jenis belanja yang
jarang digunakan dalam suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam masa pandemi COVID-19, anggaran belanja Tak Terduga menjadi hal yang
menarik dibicarakan karena alokasi anggaran ini saat ini banyak digunakan untuk
membiaya kegiatan penanganan COVID-19. Kegiatan penanganan COVID-19 tersebut
dapat merupakan kegiatan pengadaan bahan kesehatan, alat kesehatan, dan bahkan Permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perlakukan akuntansi atas
belanja tak terduga yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah.
Perlakuan akuntansi tersebut
meliputi pengakuan, pengukuran
dan penyajian dalam laporan keuangan. Selain itu, penelitian ini menyajikan
contoh transaksi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) suatu Pemerintah Daerah.
Dalam
Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah (PSAP) Nomor
2 paragraf 34
disebutkan bahwa belanja pemerintah diklasifikasikan menurut
klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi ekonomi
adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk
melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah
meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah,
bantuan sosial, dan belanja tak terduga (PSAP 02 Paragraf 35).
DJPK (2020) mendefinisikan Belanja
Tak Terduga sebagai pengeluaran anggaran
untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak
diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran
tidak terduga lainnya
yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah
pusat/daerah. PSAP Nomor 02 paragraf 38 juga memberikan definisi yang sama tentang
Belanja Tak Terduga.
Dalam Buletin Teknis Nomor 4 disebutkan bahwa
realisasi belanja tak terduga dicatat dan disajikan pada LRA sebagai
Belanja Tak Terduga.
Jika dari hasil
pengeluaran belanja tak
terduga diperoleh aset
tetap, maka aset tetap tersebut dicatat dan disajikan di neraca Pemda. Klasifikasi
Belanja Daerah terdiri atas belanja operasi, belanja modal, belanja tidak
terduga, dan belanja transfer (PP 12 Tahun 2019 Pasal 55 ayat 1 s.d. 5).
a. Belanja
operasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf a merupakan
pengeluaran anggaran untuk
Kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek.
b. Belanja modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari 1 (satu) periode akuntansi.
c. Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan pengeluaran anggaran atas Beban APBD untuk keperluan
darurat termasuk keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
d. (5) Belanja transfer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d merupakan pengeluaran uang dari Pemerintah Daerah
kepada Pemerintah Daerah
lainnya dan/atau dari
Pemerintah Daerah kepada pemerintah desa.
Belanja
Tak Terduga digunakan
untuk mencatat penurunan manfaat ekonomi
atau potensi jasa
dalam periode pelaporan yang menurunkan
ekuitas dalam bentuk pengeluaran
berupa beban tak terduga (Permendagri No. 90 Tahun 2019
Lampiran).
Dalam PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 56 dijelaskan bahwa Belanja operasi dirinci
menjadi jenis belanja pegawai; belanja
barang dan jasa; belanja bunga; belanja subsidi; belanja hibah;
dan belanja bantuan sosial.
PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 68 menyebutkan bahwa belanja tidak
terduga merupakan pengeluaran anggaran
atas Beban APBD
untuk keadaan darurat
termasuk keperluan mendesak
serta pengembalian atas kelebihan
pembayaran atas Penerimaan Daerah tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya dalam PP
12 Tahun 2019 Pasal 69 ayat
1 dijelaskan bahwa keadaan
darurat yang perlu dibiayai
dengan Belanja Tak Terduga meliputi:
a. bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial dan/atau
kejadian luar biasa;
b. pelaksanaan operasi pencarian dan pertolongan; dan/atau
c. kerusakan sarana/prasarana yang dapat mengganggu kegiatan
pelayanan publik.
Dalam PP 12 Tahun 2019 Pasal 69 ayat 2, diatur bahwa
suatu kondisi atau keperluan mendesak meliputi:
a. kebutuhan daerah dalam rangka Pelayanan Dasar masyarakat
yang anggaranya belum tersedia dalam tahun anggaran berjalan;
b. Belanja Daerah yang bersifat mengikat dan belanja yang
bersifat wajib;
c. Pengeluaran
Daerah yang berada
di luar kendali Pemerintah Daerah
dan tidak dapat
diprediksikan sebelumnya, serta amanat peraturan perundang-undangan;
dan/atau
d. Pengeluaran Daerah lainnya yang apabila ditunda
akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah danl atau
masyarakat.
Kriteria
keadaan darurat dan
keperluan mendesak dalam PP
12 Tahun 2019
Pasal 69 ayat
1 dan ayat 2 ditetapkan dalam Perda tentang APBD
tahun berkenaan.
(4)
Pengeluaran untuk mendanai
keadaan darurat yang
belum tersedia anggarannya, diformulasikan terlebih dahulu dalam
RKA SKPD, kecuali
untuk kebutuhan tanggap darurat bencana,
konflik sosial, dan/atau kejadian
luar biasa.
(5)
Belanja untuk kebutuhan
tanggap darurat bencana,
konflik sosial, dan/atau kejadian
luar biasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengeluaran untuk mendanai keperluan mendesak yang
belum tersedia anggarannya dan/atau tidak cukup tersedia anggarannya,
diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA SKPD dan/atau Perubahan DPA SKPD.
Beban diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi.
Klasifikasi ekonomi pada prinsipnya mengelompokkan berdasarkan jenis beban.
Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah pusat yaitu beban pegawai, beban barang, beban bunga,
beban subsidi, beban
hibah, beban bantuan sosial, beban
penyusutan aset tetap/amortisasi,
beban transfer, dan beban lain-lain. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah
daerah terdiri dari beban pegawai,
beban barang, beban
bunga, beban subsidi,
beban hibah, beban
bantuan sosial, beban penyusutan
aset tetap/amortisasi, beban transfer,
dan beban tak
terduga (PSAP 12
Paragraf 37 dan 38).
No comments:
Post a Comment