Dewasa ini, dunia sedang
diguncang oleh pandemik hebat bernama Covid-19 (Corona Virus Disease).
Peningkatan dari hari kehari jumlah pasien terinfeksi virus Covid-19 sudah
sulit dikendalikan diperlukannya suatu perencanaan yang jelas dan lugas dari
pemerintah untuk menangulangi permasalahan ini. Coronavirus sendiri merupakan
sekumpulan virus yang berasal dari subfamili Orthocronavirinae dalam
keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales.
Virus ini dapat menyerang
hewan dan juga manusia dan pada manusia gejalanya berupa infeksi yang serupa
dengan penyakit SARS dan MERS, hanya saja Covid-19 bersifat lebih masif perkembangannya.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang terdampak wabah yang satu ini. Oleh
karena itu, perlu tindakan pemerintah dan kesadaran penuh dari masyarakat agar
angka penyebaran virus ini dapat ditekan.
Pemerintah Indonesia masih
hanya melakukan penanganan berupa pembatasan sosial saja (social distancing).
Padahal banyak kalangan yang menganggap bahwa lebih efektif menerapkan sistem karantina
wilayah atau lockdown untuk mencegah penyebaran virus ini agar tidak
menginfeksi lebih banyak orang, sedangkan pembatasan sosial masih rawan
penyebarannya disebabkan banyak masyarakat yang tidak mau mengikuti karena pada
hakikatnya hal tersebut hanya sekadar imbauan dan tidak ada sanksi berat yang
bisa membuat masyarakat patuh.
Pemerintah dituntut untuk
menangani ancaman nyata Covid-19. Jawaban sementara pemerintah terhadap
tuntutan tersebut adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 terkait Kekarantinaan
Kesehatan. Keputusannya adalah pemerintah pusat tidak memberlakukan karantina
wilayah atau lockdown melainkan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 dan juga melakukan
tindakan tes massal menggunakan alat rapid test yang jika seseorang dinyatakan
hasil tesnya reaktif maka akan dilakukan swab test untuk memastikan
orang tersebut positif atau negatif Covid-19.
Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan diharuskan dapat mengurangi permasalahan yang sudah ada, Setidaknya
upaya memberantas epidemi maupun pandemi di Indonesia dilakukan melalui tindakan-tindakan,
seperti: kewaspadaan diri, penanganan
terhadap penderita, sumber penyakit harus dimusnahkan, dan sosialisasi kepada
masyarakat. Upaya-upaya yang sistematis yang dilakukan diantaranya adalah
perencanaan gerakan skala nasional pemberantasan penyakit dan perjanjian-perjanjian
skala regional maupun internasional.
Badan Kesehatan Dunia (WHO)
juga membuat rilis panduan yang bersifat sementara sesuai dengan instrumen International
Health Regulation 2005 (Organization, 2008) seperti panduan tentang
surveilans dan respons, diagnosis via laboratorium, manajemen klinis, tindakan
preventif dan tindakan pengendalian infeksi, komunikasi risiko, pola perawatan
untuk pasien dengan status dalam pengawasan atau terduga terinfeksi Covid-19,
dan pemberdayaan khalayak. Sebelumnya, WHO mengatakan Covid-19 tergolong virus
yang eskalasi penyebarannya sangat tinggi juga menyebar di banyak sekali negara
sehingga langsung menentukan status Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC) sejak tanggal 30 Januari 2020 (Tim Kerja Kementerian Dalam
Negeri, 2020).
Pemerintah Indonesia selain
mengadakan kegiatan Rapid Test di berbagai daerah, juga aktif
memberlakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR), tes ini berupa
pemeriksaaan imunoglobulin sebagai upaya tes screening terhadap
Covid-19. Bedanya dengan Rapid Test, tes PCR dilakukan dengan pengambilan
spesimen lendir, dahak, atau cairan pada nasofaring yang kemudian
diteliti dengan cara mengubah RNA menjadi DNA sehingga alat PCR bisa memproses
amplifikasi (perbanyakan materi genetik) sehingga mampu mendeteksi RNA virus corona,
sedangkan Rapid Test dilakukan hanya dengan mengambil sedikit sampel
darah untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG yang diproduksi tubuh untuk
melawan Covid-19. Namun kalau soal sensitivitas, PCR masih unggul dibanding
Rapid Test karena mungkin saja IgM dan IgG yang terbentuk itu karena adanya
infeksi virus lain yang bukan Covid-19, akan tetapi PCR membutuhkan waktu yang
cukup lama dan metodologi di laboratorium yang rumit.
Walaupun sudah cukup banyak
artikel mengenai Covid-19 tapi masih belum ada yang melihat secara detail akan
perencanaan pemerintah dalam empat strategi seperti strategi promotif,
preventif, kuratif dan jejaring media sosial dalam rangka menangulangi
persebaran virus Covid-19.
Tindakan-tindakan yang bisa
dilakukan oleh pemerintah baik strategi yang bersifat preventif (pencegahan), promotif
(pemberdayaan), dan kuratif (pengobatan) yang berhubungan dengan kesehatan
warga negara maupun strategi pemberian Jaring Pengaman Sosial (JPS) di tengah
situasi pandemi agar warga negara merasa tercukupi secara ekonomi, karena
dampak lain dari pandemik Covid-19 bukan hanya terkait krisis kesehatan akan
tetapi krisis ekonomi juga merupakan hal yang pasti terjadi. Dalam hal ini,
masyarakat juga harus berperan proaktif dalam mengikuti segala imbauan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, hal itu penting sebagai bentuk sinergitas antara
pemerintah dan masyarakat yang sama-sama harus saling berkolaborasi untuk
mempersingkat masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
COVID-19 dan Persebarannya
Virus corona atau dikenal
juga dengan nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2) merupakan virus baru yang menginfeksi sistem pernapasan orang yang
terjangkit, virus ini umumnya dikenal sebagai Covid-19. Virus ini bahkan
membuat kita melakukan kebiasaan baru bahkan di Lembaga peradilan dan dunia
Pendidikan. Virus Corona bisa menyebabkan hal yang fatal terutama bagi mereka
yang mengidap gangguan pernapasan sebelumnya akan mengalami sindrom gangguan
pada pernapasan tingkat akut walaupun sudah dinyatakan sembuh dari virus ini.
Hal itu disebut sebagai efek
dalam jangka panjang dari infeksi Covid-19 dan penderita akan menurun fungsi
paru-parunya sebanyak 20 sampai 30 persen setelah melewati serangkaian
pemulihan. Selain paru-paru ternyata ginjal juga bisa terdampak, penderita
Covid-19 dengan persentase 25 sampai 50 persen mengalami gangguan pada ginjal. Penyebabnya
adalah protein dan juga sel darah merah akan cenderung lebih banyak. Dengan persentase
15 persen juga pasien Covid-19 cenderung turun fungsi penyaringan pada
ginjalnya, serta penyakit ginjal akut juga bisa saja menjadi masalah lain yang
akan diderita oleh orang yang terinfeksi Covid-19.
Pada sistem saraf juga bisa
saja terserang akibat infeksi dari Covid-19, virus ini dapat menyerang sistem
pada saraf pusat. Di negara China misalnya orang yang menderita gangguan pada sistem
saraf mencapai 36 persen dari 214 orang yang dinyatakan positif Covid-19.
Gejala-gejala yang timbul seperti pusing dan gangguan di indera pencium serta
indera perasa.
Corona Virus Disease 2019 ini awal
penyebarannya terjadi di kota Wuhan, China pada penghujung tahun 2019. Virus
ini menyebar dengan sangat masif sehingga hampir semua negara melaporkan
penemuan kasus Covid-19, tak terkecuali di negara Indonesia yang kasus pertamanya
terjadi di awal bulan Maret 2020. Sehingga merupakan hal yang wajar banyaknya
negara yang mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi di negara
masing-masing dan membuat hubungan antara beberapa negara menjadi tidak
berjalan baik salah satunya autrasilia dengan negara-negara pasifik, akan
tetapi kebijakan yang paling banyak diambil adalah dengan memberlakukan lockdown
yang dianggap sebagai strategi tercepat memutus mata rantai penyebaran virus
yang satu ini.
Kebijakan Pemerintah
Terkhusus di Indonesia,
setidaknya secara garis besar pemerintah telah melakukan berbagai strategi
dalam menghambat penambahan kasus positif Covid-19 baru. Adapun
strategi-strategi yang diberlakukan oleh pemerintah di Indonesia terbagi
menjadi tiga dalam hal kesehatan yaitu dalam bentuk promotif, preventif dan
kuratif untuk penanganan penyebaran Covid-19. Selain itu, dalam bidang ekonomi
pemerintah juga memberlakukan Jaring Pengaman Sosial untuk membantu warga negara
melewati masa krisis ekonomi.
Strategi Promotif
Pemerintah secara proaktif
mengajak warga negara untuk meningkatkan imunitas guna mempersiapkan kondisi
tubuh untuk menghadapi virus Covid-19 ini. Berbagai sumber merilis upaya-upaya apa
saja yang bisa dilakukan oleh Masyarakat dalam memperbaiki daya tahan tubuh terhadap
infeksi saluran napas. Beberapa diantaranya adalah dengan tidak merokok dan berhenti
mengonsumsi alkohol, mengatur pola tidur, serta mengonsumsi suplemen tubuh. Selain
itu, pemerintah juga mengimbau warga negara untuk menerapkan Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) dengan mengikuti rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam menghadapi wabah Covid-19.
Langkah-langkah proteksi
mendasar seperti cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dengan air,
menjaga jarak aman jika ada orang yang terlihat batuk dan bersin, memberlakukan
etika batuk dan bersin seperti menutup mulut dengan tangan, dan pergi ke rumah
sakit untuk melakukan crosscheck apabila terdapat gejala Covid-19 pada
tubuh. Anjuran jarak aman untuk memenuhi kaidah physical distancing minimal
satu meter karena tujuannya agar tidak terjadi penyebaran yang dipengaruhi oleh
droplets penderita Covid-19. Pasien rawat inap yang ada indikasi terinfeksi
Covid-19 juga harus diberlakukan jarak aman minimal satu meter tersebut dengan pasien
atau petugas medis, dipakaikan masker khusus medis, diberi arahan mengenai
etika batuk/bersin, dan dicontohkan cara cuci tangan yang baik dan benar.
Strategi Preventif
Presiden mendirikan gugus
tugas khusus percepatan penanganan Covid-19 yang difungsikan sebagai juru
teknis penanganan pandemi Covid-19 dan dukungan penuh dari seluruh aspek pertahanan.
Dikala negara lain menerapkan karantina wilayah atau lockdown,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (kemenkes) menerapkan kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Permenkes 9 tahun 2020 mengenai
Panduan PSBB dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 dan sebelumnya
menerapkan social distancing serta physical distancing bagi masyarakat.
Pembatasan Sosial Berskala
Besar merupakan suatu langkah yang cukup strategis untuk diambil oleh
pemerintah dengan bertujuan menekan laju dari penularan Covid-19 di Indonesia
ini Individu yang merasa pernah ada kontak dengan pasien yang dinyatakan
positif Covid-19 juga harus memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan yang
nantinya dilakukan serangkaian tes menggunakan metode rapid test terlebih
dahulu dan nantinya jika reaktif akan dilakukan tes PCR, apabila orang tersebut
mengalami gejala ringan bisa melakukan self-isolation dan jika gejalanya
berat harus dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19.
Badan Kesehatan Dunia juga
sudah merilis panduan penilaian risiko bagi petugas medis yang merawat pasien
positif Covid-19 sebagai pedoman tindakan lanjutan. Bagi kelompok pasien
Covid-19 yang berisiko tinggi, direkomendasikan agar ada isolasi di fasilitas
kesehatan total dalam jangka waktu 14 hari dan terus dipantau petugas medis dan
diberi pertolongan yang bisa membantu pasien Covid-19 agar cepat sembuh. Pada
kelompok pasien Covid-19 yang berisiko rendah, diimbau melaksanakan self-isolation
dengan selalu memerhatikan suhu tubuh dan sistem pernafasan selama 14 hari,
apabila keluhan memberat harus segera minta tim medis menjemput agar bisa ditangani
di fasilitas kesehatan. Pada masyarakat umum, upaya mitigasi dilaksanakan
dengan tidak berkerumun dalam jumlah besar (social distancing) dan
selalu jaga jarak aman satu meter (physical distancing).
SARS-CoV-2 menular terutama
melalui droplets. Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu
strategi pencegahan penularan selama penggunaannya rasional. Selain itu, Badan
Kesehatan Dunia menyatakan bahwasanya masker non medis dapat dijadikan salah
satu Alat Pelindung Diri (APD) untuk masyarakat yang sehat untuk menghindari
paparan droplets dari penderita Covid-19 yang masih berkeliaran di
lingkungan, sedangkan masker medis ditekankan hanya digunakan oleh para petugas
medis (World Health Organization, 2020).
Strategi Kuratif
Seperti yang dikatakan oleh
Prof. Dr. dr. Faisal Yunus Sp.P (K), FCCP kepada. Beliau mengatakan ada
beberapa treatment yang diberikan kepada pasien Covid-19 contohnya adalah dengan
pemberian obat yang dahulu pernah dipakai untuk wabah sebelum penyakit Sars-CoV2
seperti obat oseltamivir
untuk wabah fluburung. Bagi pasien Covid-19 yang menderita
pneumonia dilakukan intervensi medis berupa pemberian antibiotik dan juga
mereka diminta mengonsumsi vitamin C dengan dosis tinggi di bawah pengawasan
dokter. Apabila pasien menderita gangguan pada hati akan diberikan
hepatoprotector yang merupakan senyawa obat yang dapat memproteksi hati dari kerusakan
akibat virus.
Selain itu, Presiden Joko
Widodo juga mengatakan bahwa Indonesia akan memakai avigan dan klorokuin untuk
mengobati pasien Covid-19. Klorokuin misalnya, sebelumnya dikenal sebagai obat
untuk menyembuhkan penyakit jenis malaria. Menurut Dr.Keri Lestari, M.Si,Apt. Penggunaan
obat yang sedianya digunakan untuk penyakit tertentu dan sekarang dipakai untuk
penyakit lain merupakan hal yang lumrah di dunia medis, istilahnya dikenal
sebagai repurposing drug. Di dunia internasional, penggunaan obat jenis
ini untuk menangani wabah Covid-19 mendapat sorotan dari Pengawas Obat dan
Makanan AS (FDA). FDA mengatakan bahwa klorokuin belum disetujui sebagai obat
virus corona, akan tetapi penggunaannya tetap diperbolehkan dengan seizin
pasien corona itu sendiri.
Strategi Jaring Pengaman
Sosial
Perpu Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Covid-19 yang diterbitkan oleh pemerintah sebetulnya lebih banyak
memuat terkait pengaturan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah,
stabilitas sistem keuangan, kebijakan perpajakan, pemulihan perekonomian
nasional, dsb. Sedangkan untuk Jaring Pengaman Sosial hanya disinggung sedikit
dan hanya berupa pasal yang menyebutkan dana desa bisa digunakan untuk Bantuan
Langsung Tunai (BLT) kepada penduduk miskin di tingkat desa dan program
percepatan penanganan Covid-19 (Maftuchan, 2020).
Pemerintah melalui konferensi
pers yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo per tanggal 31 Maret 2020
mengumumkan skema Jaring Pengaman Sosial yang akan berlaku untuk membantu masyarakat
di tengah pandemi, hal ini dinilai oleh berbagai kalangan tak kalah pentingnya
dengan strategi-strategi yang berhubungan dengan kesehatan karena dengan
ekonomi yang terjamin membuat efektivitas dari program seperti PSBB bisa
terjamin. Adapun rincian skema bantuannya adalah sebagai berikut;
(1) Program Keluarga Harapan
(PKH) yang penerima manfaatnya ditingkatkan dari 9,2 juta menjadi 10 juta
dengan besaran manfaatnya meningkat 25 persen dari yang sebelumnya. Seperti
untuk ibu hamil naik dari Rp 2.400.000,00 menjadi Rp 3.000.000,00 per tahun,
keluarga dengan anak usia dini sebesar Rp 3.000.000,00 per tahun, keluarga
dengan disabilitas Rp 2.400.000,00 per tahun. Kebijakan ini telah efektif sejak
bulan April 2020 dengan anggaran yang dialokasikan sebesar 37,4 Triliun;
(2) Bantuan Pangan Non-Tunai
(BPNT). Pemerintah meningkatkan juga penerima bantuan jenis ini dari 15,2 juta
menjadi 20 juta dengan diikuti naiknya persentase besaran bantuan 30 persen
dari yang tadinya Rp. 150.000,00 per penerima menjadi Rp. 200.000,00 per
penerima;
(3) Kartu Prakerja, untuk jenis
bantuan ini juga ternyata pemerintah menaikkan anggarannya dari yang sebelumnya
hanya sebesar Rp. 10 triliun menjadi Rp. 20 triliun, penerima manfaatnya
sebanyak 5,6 juta orang dengan sasaran pekerja informal dan pelaku Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) dengan nilai manfaat antara Rp. 650.000,00 – Rp.
1.000.000,00 per bulan dan berlaku selama empat bulan;
(4) Bantuan Subsidi Listrik,
Pemerintah memberi subsidi penuh terhadap pelanggan listrik bertegangan 450 VA
yang jika dilihat dari jumlah penggunanya sebanyak 24 Juta. Pemerintah juga
bersubsidi 50 persen bagi pengguna listrik bertegangan 900 VA yang jumlah
penggunanya sebanyak 7 Juta pelanggan. Kedua jenis subsidi listrik tersebut
sama-sama berlaku tiga bulan mulai dari April hingga Juni 2020;
(5) Alokasi cadangan anggaran,
dana sebesar Rp 25 Triliun akan digunakan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan
pokok, operasi pasar dan logistik;
(6) Pemerintah akan memberi
keringanan kredit dibawah 10 miliar untuk pekerja sektor informal dan pelaku
UMKM.
Analisis Sinergitas Antara
Pemerintah dan Masyarakat
Apabila berbicara juga
mengenai kesehatan selama pandemi Covid-19, menurut Badan Kesehatan Dunia
dinyatakan bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu
hak asasi bagi setiap orang”. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kesehatan
merupakan fundamental rights atau hak mendasar. Kewajiban untuk
menjunjung tinggi hak kesehatan warga negara sudah pasti dibebankan kepada
pemerintah, menurut Badan Kesehatan Dunia “government has a responsibility
for the health of their people which can be fullfilled only by the provision of
adequate health and social measure”.
Sudah jelas bahwasanya dalam
menentukan arah kebijakan selama pandemi Covid-19 prioritas pemerintah
harus mengacu kepada bidang kesehatan bukan kepada bidang lain semisal ekonomi.
Hal ini penting dalam menjamin kesehatan warga negara karena ekonomi masih bisa
di
bangkitkan lagi ketika masa
pandemi Covid-19 selesai, akan tetapi warga negara yang menjadi korban jiwa
sudah tidak bisa dikembalikan lagi pastinya. Karena sebenarnya dalam slogan
hukum juga sudah jelas ditegaskan bahwa keselamatan warga adalah hukum
tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto.
Saat ini setelah PSBB
diberlakukan di berbagai daerah selama kurang lebih dua bulan, kini pemerintah
pusat dan daerah mulai melakukan relaksasi dengan dua opsi kebijakan yang
terdiri dari;
(1) PSBL (Pembatasan Sosial
Berskala Lokal), pemberlakuannya ada dilokus kecil seperti RT atau RW dengan status
zona merah, contohnya seperti informasi yang diambil melalui (Vivanews.com, 2020),
RT 05 RW 04 di Petamburan yang masuk kategori zona merah memberlakukan
kebijakan ini, teknisnya tidak jauh beda sebetulnya dengan PSBB, hanya saja
cakupannya yang berbeda karena dilakukan di skala RT atau RW, hal-hal yang
dilakukan warga diantaranya adalah melakukan penutupan akses keluar masuk,
pemberian masker bagi warga yang keluar rumah, pembuatan tempat cuci tangan,
dsb;
(2) New
normal life (Tatanan kehidupan normal yang baru), opsi yang satu ini cukup
kontroversial karena diberlakukan disaat angka penambahan kasus positif masih
terbilang banyak tiap harinya, konsep ini dikemukakan pertama kali ketika
Presiden Joko Widodo memberi keterangannya di Istana Merdeka, beliau mengatakan
bahwa “Sampai nanti ditemukan vaksin yang efektif untuk Covid-19, maka kita
harus hidup dengan berdamai bersama Covid-19 untuk beberapa waktu kedepan”.
Narasi yang dipakai oleh Presiden Joko Widodo tersebut menurut Deputi Bidang Protokol,
Pers, serta Media di Sekretariat Presiden, Boy Machmudin, memiliki arti
penyesuaian dengan tatanan kehidupan normal yang baru. Pada tataran konsep,
yang dimaksud dengan new normal life adalah masyarakat melakukan
aktivitas seperti sebelum ada pandemi Covid-19 akan tetapi diatur dengan
protokol kesehatan yang sangat ketat seperti physical distancing,
menggunakan masker saat bepergian, social distancing, serta mencuci
tangan setiap waktu. Menurut Wiku selaku ketua Tim Pakar Gugas Percepetan
Penanganan Covid-19, new normal life adalah sebuah perubahan atas perilaku
masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas tapi dengan protokol kesehatan
ketat agar mencegah menularnya Covid-19 (Indonesia.go.id, 2020).
Relaksasi PSBB memang sangat kontraproduktif dengan situasi dan
kondisi yang sebetulnya belum cukup aman dilaksanakannya kebijakan tersebut.
Akan tetapi jika pemerintah sudah menetapkan protokol kesehatan selama fase
PSBL maupun new normal life, seyogyanya masyarakat mengikuti imbauan
tersebut, karena jika sudah tidak ada lagi intervensi pemerintah terhadap arus mobilitas
warga diluar maka prinsip kehati-hatian harus ditingkatkan, karena bisa jadi
banyak orang yang menjadi carrier Covid-19.
Maka dari itu pemerintah tak henti-hentinya mengingatkan masyarakat
terkait bahaya tersebut dan meminta masyarakat agar berdiam diri di rumah saja
apabila tidak ada aktivitas yang mendesak, sekarang tinggal bagaimana
masyarakat berpikir secara logis dan rasional dalam menyikapi hal ini. Jangan
sampai terjadi bias kognitif, bias kognitif itu sendiri adalah suatu kesalahan
terstruktur dalam cara pikir yang mempengaruhi penilaian dan keputusan yang
dipakai seseorang. Masyarakat harus menghindari pemikiran yang bias tersebut, karena
cepat atau lambatnya masa pandemi Covid-19 juga selain dipengaruhi oleh
pengaturan kebijakan dari pemerintah juga dipengaruhi oleh kedisiplinan
masyarakat dalam mematuhinya.
Sinergitas antara pemerintah
dan masyarakat merupakan hal utama dalam menangulangi penyebaran wabah Covid-19,
Sebagaimana diketahui pemerintah merelaksasi PSBB dan mengeluarkan dua opsi
yakni Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL) tingkat RT atau RW dan new
normal life atau tatanan kehidupan normal yang baru yang mana kedua
kebijakan ini sangat tergantung dari peran serta masyarakat untuk taat
mengikutinya. Untuk peran pimpinan daerah seperti RT/RW merupakan hal pokok
utama yang dapat dikondisikan pemerintah dalam mengupayakan sinergitas antara
pemerintah dan masyarakat dapat terjadi.
No comments:
Post a Comment