Sunday, August 8, 2021

Exchange Trade Fund

 


Krisis keuangan global yang terjadi tahun 2002 Bappenas, (2011) disebabkan oleh pemberian subprime mortgage kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak tetap di Amerika Serikat. Subprime mortgage memiliki risiko gagal bayar sangat tinggi sehingga lembaga keuangan Lehman Brother mengalami kebangkrutan. Akibat krisis keuangan global, perantara pasar keuangan mencari fitur alternatif dalam menginvestasikan dananya, dan muncullah produk investasi exchange trade funds (ETF).

Investor global menganggap ETF sebagai alternatif produk investasi yang bersifat fleksibel dan transparan karena diperdagangkan di bursa efek layaknya saham. Pada dasarnya ETF merupakan penggabungan karakteristik produk reksadana berbentuk terbuka (open ended fund) dengan saham. ETF di Indonesia sudah diperkenalkan sejak tahun 2007, tetapi baru di tahun 2014 mengalami pertumbuhan yang signifikan sehingga akan menjadi daya tarik bagi investor.

Beberapa pihak yang terlibat dalam ETF terdiri dari: pertama, manajer investasi merupakan pengelola reksadana kontrak investasi kolektif exchange trade fund (KIK ETF); kedua, bank kustodian; ketiga, dealer partisipan merupakan anggota bursa yang menandatangani perjanjian dengan manajer investasi untuk melakukan penjualan atau pembelian unit penyertaan baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan bersama pemegang unit penyertaan. Dealer partisipan wajib memiliki kemampuan untuk mewujudkan perdagangan yang likuid atas unit penyertaan KIK ETF; keempat, sponsor merupakan pihak yang menandatangani perjanjian dengan manajer investasi untuk melakukan penyertaan dalam bentuk uang dan/atau efek yang untit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek, dan kelima, investor. ETF berbentuk kontrak investasi kolektif. Penjualan kembali atau pelunasan unit penyertaan ETF oleh manajer investasi per hari maksimal sebesar 10 persen dari total unit penyertaan. Penjualan atau pelunasan kembali ETF ini hanya dapat dilakukan oleh sponsor dan dealer partisipan (Bursa Efek Indonesia, 2020).

ETF merupakan reksadana terstruktur yang diperdagangkan di pasar modal (Bursa Efek Indonesia, 2020). Reksadana terstruktur merupakan reksadana yang dibeli atau dijual kembali oleh investor pada saat tertentu yang ditentukan oleh manajer investasi. Keuntungan berinvestasi dalam ETF adalah: pertama, unit penyertaan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia; kedua, subcription dan redemption hanya diperbolehkan untuk dealer partisipan dan sponsor; ketiga, gangguan redemption yang dapat mempengaruhi nilai aktiva bersih lebih kecil; keempat, portopolio dalam saham lebih transparan; kelima, trend kenaikan nilai aktiva bersih mengikuti trend kenaikan indeks; keenam, minimum jumlah investasi nasabah jauh lebih kecil. Disisi lain, kelemahan dari ETF adalah: pertama, ETF tetap rawan terhadap fluktuasi harga karena faktor ekonomi makro seperti suku bunga dan nilai tukar; kedua, ETF dapat dipengaruhi oleh stabilitas politik; ketiga, investor tidak dapat memilih saham yang dikelola dalam ETF tetapi hanya berada dalam indeks ETF; keempat, investor tidak dapat menentukan harga yang diinginkan.

Strategi berinvestasi menurut teori portofolio Markowitz untuk menghasilkan return yang maksimal dengan risiko yang minimal dilakukan melalui diversifikasi produk (Markowitz, 2010). Model Markowitz menghasilkan 3 bentuk portofolio yaitu: pertama, maximizing portfolio return terhadap nilai risiko pasar dari portofolio yang ditentukan; kedua, minimizing market risk dari portofolio terhadap minimum return yang diharapkan; ketiga, multy criteria optimization yang merupakan kombinasi dari return maksimal dengan risiko minimal dengan pertimbangan porsi dari komponen yang ada ditentukan oleh koefisien investor aversion.

Disisi lain Treynor dan Mazuy Black et al., (1972) membuktikan hubungan antara risiko pasar dan return portofolio tidak selamanya linier. Treynor dan Mazuy menambahkan quadratic term pada market risk premium untuk mengakomodir faktor non linier yang mempengaruhi return portofolio dan dikenal dengan Treynor Measure. Treynor measure mengasumsikan portofolio telah terdiversifikasi dengan baik, sehingga risiko yang relevan hanyalah risiko pasar. Ketika nilai alpha positif menunjukkan adanya stock selection skill dan ketika nilai beta positif menunjukkan adanya market timing ability. Hal ini mengindikasikan manajer investasi menghasilkan excess return portofolio ETF yang lebih besar dibandingkan dengan excess return market.

Penggunaan Teynor Measure didukung oleh penelitian Philippe dan Georges (Cogneau & Hübner, 2011), hasilnya market timing ability dan stock selection skill manajer investasi menghasilkan kinerja lebih baik jika menggunakan data harian dibandingkan data bulanan dengan menggunakan Sharpe Performance Index (Sharpe, 1994). Penggunaan Sharpe Performance Index digunakan untuk mengevaluasi kinerja ETF yang didasarkan pada risk premium. Risk premium merupakan perbedaan antara rata-rata kinerja yang dihasilkan reksadana dengan rata-rata kinerja investasi bebas risiko (Tandelilin, 2010).

Seorang manajer investasi akan melakukan strategi investasi aktif dalam mengelola portofolionya yaitu dengan melakukan analisis peramalan fundamental perusahaan maupun keadaan pasar di masa depan. Pemilihan saham (stock selection) dan antisipasi waktu (market timing) yang tepat akan mendukung keberhasilan manajer investasi. Tingkat pengembalian ini dilihat dari nilai konstanta. Jika konstanta ETF memiliki nilai positif berarti pembentukan portofolio yang dilakukan oleh manajer investasi optimal atau pembobotan yang telah dilakukan manajer investasi cukup proporsional (Kaslani, 2004). Penelitian Kireina & Sampurno, (2016), Alexandri, (2015), Putri & Haryanto, (2014) membuktikan Stock selection skill bernilai positif terhadap kinerja reksadana.


No comments: