Setiap negara memiliki standar akuntansinya masing-masing. Standar
akuntansi dari suatu negara tentunya memiliki beberapa perlakuan akuntansi yang
berbeda dengan standar akuntansi yang berlaku di negara lainnya. Sebagai
dampaknya, informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan antar
negara yang satu dengan negara yang lainnya menjadi kurang seragam dan sulit
untuk diperbandingkan. Seiring dengan adanya perkembangan globalisasi,
transaksi perusahaan lintas negara semakin banyak, baik transaksi perdagangan,
pinjam meminjam, investasi, maupun transaksi lainnya. Semakin banyaknya
transaksi lintas negara menandakan adanya suatu kebutuhan atas standar
akuntansi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan suatu laporan
keuangan dengan format dan perlakuan akuntansi yang seragam. Hal ini diperlukan
agar informasi yang tersaji pada laporan keuangan dapat dibandingkan sehingga
memudahkan pengguna laporan keuangan dalam menggunakan informasi tersebut untuk
pengambilan keputusan.
Salah satu keputusan yang harus mempertimbangkan informasi laporan
keuangan adalah keputusan terkait alokasi dana, yang tidak terbatas pada
perusahaan lokal dan nasional, tetapi dapat melibatkan lingkup internasional.
Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, maka dibentuk standar akuntansi
internasional yang disebut dengan IFRS (International Financial Reporting
Standard). Penerapan IFRS diharapkan dapat memudahkan pengguna untuk
memahami informasi yang disajikan laporan keuangan karena adanya keseragaman
standar akuntansi keuangan yang berbasis internasional. Dengan demikian,
perusahaan dapat meningkatkan arus investasi global secara transparan dan
memperoleh kesempatan untuk mendanai operasionalnya melalui pasar modal secara
global dengan biaya modal yang tidak terlalu mahal.
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang mulai diadopsi Indonesia semenjak tahun 2008 ke dalam standar akuntansinya, yaitu SAK (Standar Akuntansi Keuangan) dan diimplementasikan hingga sekarang. Tahapan konvergensi IFRS terhadap SAK Indonesia terdiri atas 3 tahap, yaitu: tahap adopsi, tahap persiapan, dan tahap implementasi.
Adopsi, 2008 – 2010. Pada tahap ini, dilakukan persiapan terkait proses adopsi IFRS ke SAK dan evaluasi dampak adopsi terhadap SAK.
Persiapan, 2011. Pada tahap ini, dilakukan penyelesaian infrastruktur untuk konvergensi IFRS serta mulai dilakukan penerapan beberapa SAK berbasis IFRS secara bertahap dimulai dari
Implementasi, 2012. Pada tahap ini, dilakukan penerapan SAK berbasis IFRS secara
bertahap serta evaluasi atas dampak penerapannya secara komprehensif.
SAK terdiri atas beberapa PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan). Setiap PSAK memberikan pengaturan mengenai perlakuan akuntansi untuk
rekening akuntansi dan transaksi tertentu. Salah satu PSAK yang mengadopsi ketentuan
IFRS adalah PSAK 16 yang mengatur perlakuan akuntansi terkait aset tetap. PSAK
16 ini mengadopsi ketentuan dari IAS (International Accounting Standard),
yaitu IAS 16. PSAK 16 mulai mengadopsi ketentuan dari IAS 16 secara bertahap
dan diberlakukan efektif per 1 Januari 2008 di Indonesia.
Sebelum PSAK 16 mengadopsi ketentuan IFRS, perusahaan harus menerapkan
model biaya dalam melakukan pengukuran aset tetapnya atau dengan kata lain aset
tetap harus disajikan sebesar nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan
pada setiap tanggal pelaporan. Hal tersebut dirumuskan dalam PSAK 16 (1994).
Dengan mengadopsi ketentuan dari IAS 16, DSAK IAI menerbitkan PSAK 16 (revisi
2007). IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang lebih berfokus pada
penerapan akuntansi nilai wajar (Clarkson, et.al., 2011). Dengan diadopsinya ketentuan
IFRS ke dalam PSAK 16, maka PSAK 16 (revisi 2007) menjelaskan bahwa perusahaan
dapat memilih untuk menerapkan model biaya atau model revaluasi dalam melakukan
pengukuran aset tetapnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).
Ketentuan mengenai pemilihan model biaya atau model revaluasi
dalam pengukuran aset tetap ini terus berlaku meskipun PSAK 16 telah direvisi
menjadi PSAK 16 (revisi 2015) yang mana merupakan ketentuan mengenai standar
akuntansi terkait aset tetap yang berlaku hingga saat ini di Indonesia. Model
revaluasi merupakan model yang lebih terfokus pada penerapan akuntansi nilai
wajar. Munculnya model revaluasi sebagai model
pengukuran aset tetap tidak membuat perusahaan-perusahaan di Indonesia
termotivasi menerapkannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
di Indonesia cenderung menerapkan model biaya sebagai model pengukuran aset
tetapnya selama tahap adopsi IFRS. Padahal, penggunaan nilai wajar sebagai
dasar pengukuran aset tetap memberikan informasi yang lebih relevan bagi
pengguna laporan keuangan sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan dengan
lebih tepat. Tercapainya pengambilan keputusan
dengan lebih tepat dan transparan merupakan salah satu tujuan diadopsinya IFRS,
namun pada kenyataannya model revaluasi yang merupakan hasil konvergensi dengan
IFRS belum diminati oleh banyak perusahaan di Indonesia, khususnya pada masa
adopsi IFRS.
Seiring dengan semakin berkembangnya perdagangan bebas dan
transaksi lintas negara, perusahaan-perusahaan memerlukan suatu standar
pelaporan keuangan yang lebih seragam. Sebagai akibatnya, dibentuklah standar
pelaporan keuangan internasional yang disebut IFRS (International Financial Reporting
Standard). Hal ini dimaksudkan agar memungkinkan dilakukannya perbandingan
kinerja keuangan antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, meskipun
perusahaan tersebut berada dalam negara yang berbeda. Selain dapat diperbandingkan,
laporan keuangan akan berguna dalam pengambilan keputusan jika informasinya
memiliki karakteristik yang salah satunya disebut sebagai relevan. Dengan demikian, investor dan kreditor dapat melakukan pengambilan keputusan
alokasi dana dengan baik yang tidak terbatas pada perusahaan dalam negeri saja,
tetapi juga perusahaan luar negeri.
Begitu pula halnya dengan pihak non investor dan kreditor, seperti
pelanggan, pemasok, dan pihak lainnya yang memerlukan informasi laporan
keuangan yang lebih seragam dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi
lainnya. IFRS sebelumnya merupakan suatu standar akuntansi yang dikenal dengan sebutan
IAS (International Accounting Standard). IAS merupakan standar akuntansi
internasional yang dibentuk oleh IASC (International Accounting Standard Committee). Kemudian, IASC berubah nama menjadi IASB
(International Accounting Standard Board) yang memiliki tanggung jawab untuk membentuk
standar akuntansi internasional yang kemudian disebut dengan IFRS. Sejak saat
itu, standar akuntansi internasional lebih dikenal oleh berbagai negara dan
mulai banyak negara yang melakukan adopsi standar akuntansinya dengan IFRS,
tidak terkecuali Indonesia yang mulai melakukan adopsi IFRS pada tahun 2008.
IFRS merupakan standar akuntansi keuangan yang bersifat principle-based dibandingkan GAAP negara lain yang bersifat rule-based. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan IFRS lebih membutuhkan banyak pertimbangan (judgement) dalam menentukan perlakuan akuntansi dari suatu transaksi agar sesuai dengan substansi dari transaksi tersebut. Prinsip substansi mengungguli bentuk tersebut diterapkan mengingat semakin dinamisnya ekonomi saat ini dengan berbagai macam transaksi yang ada. Dengan demikian, penerapan substansi mengungguli bentuk diharapkan dapat meningkatkan komparabilitas informasi yang tersaji dalam laporan keuangan dalam lingkungan yang dinamis saat ini.
Dari sisi perpajakan, revaluasi aset tetap mengharuskan perusahaan
untuk membayar pajak penghasilan yang bersifat final. Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008, perusahaan yang menerapkan
revaluasi aset tetap dikenakan PPh final sebesar 10% dari surplus revaluasi. Keberadaan
PPh final tersebut dirasa menambah beban perusahaan sehingga menurunkan minat
perusahaan di Indonesia untuk menggunakan model revaluasi sebagai model
pengukuran aset tetap karena merasa bahwa manfaat yang diperoleh tidak sebanding
dengan biayanya. Padahal penerapan akuntansi nilai wajar yang salah satunya
diwujudkan melalui model revaluasi aset tetap dapat memberikan potensi manfaat,
baik bagi perusahaan maupun pengguna laporan keuangan lainnya. Dalam rangka
mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melakukan revaluasi atas
aset tetapnya, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 191/PMK.010/2015.
Menurut peraturan tersebut, keuntungan atau surplus revaluasi
dikenakan PPh final yang besar tarifnya didasarkan atas waktu permohonan
pengajuan revaluasi aset tetap. Tarif PPh Final menurut peraturan yang baru tersebut
lebih ringan apabila pengajuan revaluasi aset tetap dilakukan pada tahun 2015
dan 2016. Hal ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi perusahaan untuk melakukan
revaluasi aset tetap demi meningkatkan kualitas informasi laporan keuangannya. Salah
satu industri yang berkembang pesat di Indonesia adalah industri manufaktur.
Sebagai industri yang berkembang, tentunya perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
industri tersebut membutuhkan suntikan dana yang cukup besar. Salah satu caranya
dengan menerapkan revaluasi aset yang dapat mendorong peningkatan kinerja perusahaan
dan tercermin pada laba dan harga saham perusahaan.
Perusahaan yang bergerak dalam sektor industri manufaktur di
Indonesia merupakan perusahaan yang relevan untuk dikaji dalam penelitian
mengenai revaluasi aset tetap. Hal ini disebabkan karena sektor industri
manufaktur di Indonesia merupakan sektor industri yang sedang berkembang pesat
dan memiliki peluang untuk memperoleh dana dengan cara revaluasi aset tetap.
Selain itu, penelitian yang membahas mengenai banyaknya perusahaan manufaktur
di Indonesia yang telah menerapkan model revaluasi aset tetap masih berjumlah
sedikit. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk meninjau penerapan
model revaluasi sebagai model pengukuran aset tetap pada perusahaan-perusahaan
yang bergerak dalam sektor industri manufaktur di Indonesia.
Hal ini dirasa perlu karena keberadaan peraturan dari Menteri
Keuangan Republik Indonesia yang mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia
untuk melakukan revaluasi aset tetap. Selain itu, Indonesia telah memasuki
tahap implementasi dari IFRS. Jumlah penelitian yang masih minim yang mendeskripsikan
jumlah perusahaan yang telah menerapkan model revaluasi aset tetap terutama
pada periode implementasi IFRS mendorong dilakukannya penelitian untuk menggambarkan
kesadaran manajemen perusahaan manufaktur di Indonesia akan potensi manfaat
dari penerapan nilai wajar yang direpresentasikan melalui model revaluasi aset
tetap, khususnya pada tahap implementasi IFRS selama periode 2015 sampai dengan
2017 yang mana merupakan periode insentif pajak atas revaluasi aset tetap sebagai
akibat dari diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
191/PMK.010/2015.
No comments:
Post a Comment