Akuntansi aset tetap di Indonesia diatur dalam PSAK 16. PSAK 16
yang terkini di Indonesia adalah PSAK 16 (revisi 2015). Menurut PSAK 16, aset
tetap merupakan aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam kegiatan
operasional utama perusahaan, seperti produksi, penyediaan barang atau jasa,
penyewaan, atau kegiatan administrasi perusahaan dan diprediksi akan digunakan
oleh perusahaan dalam jangka waktu lebih dari satu periode. Aset tetap diakui oleh perusahaan apabila biaya perolehan dari
aset tetap tersebut dapat diukur secara andal dan dengan mengeluarkan biaya
tersebut, besar kemungkinannya bahwa perusahaan akan mendapatkan manfaat
ekonomik dari aset tersebut di masa yang akan datang (Ikatan Akuntan Indonesia,
2017).
Pada saat aset tetap diakui, maka perusahaan akan mengakuinya
sebesar biaya perolehan dari aset tetap. Setelah aset tetap diakui, maka
perusahaan melakukan pengukuran. Pengukuran setelah pengakuan aset tetap dapat
dilakukan dengan memilih salah satu diantara model biaya dan model revaluasi
(Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).
Model Biaya Aset Tetap
Perusahaan yang menerapkan model biaya menyajikan aset tetapnya
berdasarkan harga perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi
rugi penurunan nilai (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017). Penggunaan model biaya
memberikan informasi yang lebih reliabel namun kurang relevan karena informasi
aset tetap yang disajikan merupakan informasi harga perolehan yang sifatnya
didasarkan atas data masa lalu yang sudah kurang relevan bagi pengguna laporan
keuangan.
Model Revaluasi Aset Tetap
Perusahaan yang menerapkan model revaluasi akan menyajikan aset
tetapnya sebesar nilai revaluasian, yaitu nilai wajar (fair value) dari
aset tetap pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi
rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017). Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka
seluruh aset tetap dalam kelas yang sama harus direvaluasi. Frekuensi revaluasi
tergantung dari perubahan nilai wajar aset tetap yang direvaluasi. Untuk aset
tetap dengan perubahan nilai wajar aset yang signifikan dengan nilai
tercatatnya, maka revaluasi aset tetap umumnya dilakukan setiap tahun. Namun,
untuk aset tetap yang perubahan nilai wajarnya tidak signifikan,maka revaluasi
aset tetap dapat dilakukan setiap tiga tahun atau lima tahun sekali (Ikatan
Akuntan Indonesia, 2017).
Model revaluasi dianggap lebih superior dari model biaya karena
informasi aset tetap disajikan dengan menggunakan nilai wajar yang merupakan
nilai saat ini sehingga lebih relevan dibandingkan model biaya.
Relevansi informasi dianggap lebih membantu pengguna laporan keuangan untuk
memprediksi potensi arus kas yang dapat dihasilkan perusahaan di masa yang akan
datang sehingga dapat membantu pengguna dalam melakukan pengambilan keputusan
dengan lebih tepat. Namun, model revaluasi memiliki kelemahan. Karena aset tetap
disajikan sebesar nilai wajar, maka ada kemungkinan bahwa nilai wajar yang
digunakan dalam penyajian aset tetap kurang reliabel. Untuk
mendapatkan informasi nilai wajar yang reliabel, perusahaan seringkali menggunakan
jasa penilai. Penggunaan jasa penilai aset tetap menimbulkan
biaya yang nilainya tidak sedikit dan seringkali dirasa memberatkan dan rumit
bagi manajemen perusahaan.
Penerapan model revaluasi untuk aset tetap mengakibatkan laporan
keuangan perusahaan, khususnya aset tetap disajikan dengan kondisi nilai
sebenarnya dan hal tersebut dapat mencerminkan kemampuan perusahaan yang
sesungguhnya. Selain itu penerapan model revaluasi aset tetap
dapat memberikan manfaat berupa penghematan pajak.
Revaluasi Aset Tetap Menurut Perpajakan
Ketentuan perpajakan mengenai revaluasi aset tetap diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008. Menurut PMK
RI Nomor 79 Tahun 2008 tersebut, revaluasi aset tetap secara perpajakan
dilakukan setiap 5 tahun sekali. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
frekuensi revaluasi aset tetap secara akuntansi dan perpajakan. Peraturan tersebut
juga menjelaskan bahwa surplus atas revaluasi aset tetap dikenakan pajak penghasilan
yang bersifat final dengan tarif sebesar 10%. Surplus revaluasi yang dimaksud
adalah selisih nilai lebih aset tetap hasil revaluasi di atas nilai sisa buku
fiskal semula. Dengan demikian, perusahaan yang menerapkan revaluasi aset tetap
akan dikenakan PPh final atas surplus revaluasinya.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 191/PMK.010/2015
muncul sebagai tindak lanjut dari PMK RI Nomor 79 Tahun 2008 yang dirasa
memberatkan perusahaan dalam melakukan revaluasi aset tetap. Menurut PMK RI
Nomor 191 Tahun 2015 tersebut, keuntungan atau surplus revaluasi dikenakan PPh
final yang tarifnya didasarkan atas permohonan pengajuan revaluasi aset tetap dengan
ketentuan sebagai berikut:
Perbedaan antara PMK RI Nomor 79 Tahun 2008 dan PMK RI Nomor 191
Tahun 2015 tidak terletak pada aspek tarif pajak penghasilannya saja, namun
terdapat perbedaan-perbedaan dari aspek lainnya. Berikut merupakan beberapa
perbedaan mengenai revaluasi aset tetap berdasarkan PMK RI Nomor
191/PMK.010/2015 dan PMK RI Nomor 79/PMK.03/2008:
No comments:
Post a Comment