Thursday, October 14, 2021

Akuntansi Aset Tetap

 

Akuntansi aset tetap di Indonesia diatur dalam PSAK 16. PSAK 16 yang terkini di Indonesia adalah PSAK 16 (revisi 2015). Menurut PSAK 16, aset tetap merupakan aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam kegiatan operasional utama perusahaan, seperti produksi, penyediaan barang atau jasa, penyewaan, atau kegiatan administrasi perusahaan dan diprediksi akan digunakan oleh perusahaan dalam jangka waktu lebih dari satu periode. Aset tetap diakui oleh perusahaan apabila biaya perolehan dari aset tetap tersebut dapat diukur secara andal dan dengan mengeluarkan biaya tersebut, besar kemungkinannya bahwa perusahaan akan mendapatkan manfaat ekonomik dari aset tersebut di masa yang akan datang (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).

 


Pada saat aset tetap diakui, maka perusahaan akan mengakuinya sebesar biaya perolehan dari aset tetap. Setelah aset tetap diakui, maka perusahaan melakukan pengukuran. Pengukuran setelah pengakuan aset tetap dapat dilakukan dengan memilih salah satu diantara model biaya dan model revaluasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).

  

Model Biaya Aset Tetap

Perusahaan yang menerapkan model biaya menyajikan aset tetapnya berdasarkan harga perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017). Penggunaan model biaya memberikan informasi yang lebih reliabel namun kurang relevan karena informasi aset tetap yang disajikan merupakan informasi harga perolehan yang sifatnya didasarkan atas data masa lalu yang sudah kurang relevan bagi pengguna laporan keuangan.

 

Model Revaluasi Aset Tetap

Perusahaan yang menerapkan model revaluasi akan menyajikan aset tetapnya sebesar nilai revaluasian, yaitu nilai wajar (fair value) dari aset tetap pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).  Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelas yang sama harus direvaluasi. Frekuensi revaluasi tergantung dari perubahan nilai wajar aset tetap yang direvaluasi. Untuk aset tetap dengan perubahan nilai wajar aset yang signifikan dengan nilai tercatatnya, maka revaluasi aset tetap umumnya dilakukan setiap tahun. Namun, untuk aset tetap yang perubahan nilai wajarnya tidak signifikan,maka revaluasi aset tetap dapat dilakukan setiap tiga tahun atau lima tahun sekali (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017).

 

Model revaluasi dianggap lebih superior dari model biaya karena informasi aset tetap disajikan dengan menggunakan nilai wajar yang merupakan nilai saat ini sehingga lebih relevan dibandingkan model biaya. Relevansi informasi dianggap lebih membantu pengguna laporan keuangan untuk memprediksi potensi arus kas yang dapat dihasilkan perusahaan di masa yang akan datang sehingga dapat membantu pengguna dalam melakukan pengambilan keputusan dengan lebih tepat. Namun, model revaluasi memiliki kelemahan. Karena aset tetap disajikan sebesar nilai wajar, maka ada kemungkinan bahwa nilai wajar yang digunakan dalam penyajian aset tetap kurang reliabel. Untuk mendapatkan informasi nilai wajar yang reliabel, perusahaan seringkali menggunakan jasa penilai. Penggunaan jasa penilai aset tetap menimbulkan biaya yang nilainya tidak sedikit dan seringkali dirasa memberatkan dan rumit bagi manajemen perusahaan.

 

Penerapan model revaluasi untuk aset tetap mengakibatkan laporan keuangan perusahaan, khususnya aset tetap disajikan dengan kondisi nilai sebenarnya dan hal tersebut dapat mencerminkan kemampuan perusahaan yang sesungguhnya. Selain itu penerapan model revaluasi aset tetap dapat memberikan manfaat berupa penghematan pajak.

 

Revaluasi Aset Tetap Menurut Perpajakan

Ketentuan perpajakan mengenai revaluasi aset tetap diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008. Menurut PMK RI Nomor 79 Tahun 2008 tersebut, revaluasi aset tetap secara perpajakan dilakukan setiap 5 tahun sekali. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan frekuensi revaluasi aset tetap secara akuntansi dan perpajakan. Peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa surplus atas revaluasi aset tetap dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 10%. Surplus revaluasi yang dimaksud adalah selisih nilai lebih aset tetap hasil revaluasi di atas nilai sisa buku fiskal semula. Dengan demikian, perusahaan yang menerapkan revaluasi aset tetap akan dikenakan PPh final atas surplus revaluasinya.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 191/PMK.010/2015 muncul sebagai tindak lanjut dari PMK RI Nomor 79 Tahun 2008 yang dirasa memberatkan perusahaan dalam melakukan revaluasi aset tetap. Menurut PMK RI Nomor 191 Tahun 2015 tersebut, keuntungan atau surplus revaluasi dikenakan PPh final yang tarifnya didasarkan atas permohonan pengajuan revaluasi aset tetap dengan ketentuan sebagai berikut:

   
Perbedaan antara PMK RI Nomor 79 Tahun 2008 dan PMK RI Nomor 191 Tahun 2015 tidak terletak pada aspek tarif pajak penghasilannya saja, namun terdapat perbedaan-perbedaan dari aspek lainnya. Berikut merupakan beberapa perbedaan mengenai revaluasi aset tetap berdasarkan PMK RI Nomor 191/PMK.010/2015 dan PMK RI Nomor 79/PMK.03/2008: 

No comments: