Tuesday, February 7, 2023

PERPAJAKAN DI INDONESIA

 


Pengertian Pajak 

Pajak merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi. Melalui pajak masyarakat ikut membiayai pembangunan. Kita lihat dulu definisi pajak dari beberapa ahli. 1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 

2. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. 

3. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang di- pungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektip dalam mencapai kesejahteraan umum. 

4. Menurut Prof.S.I. Djajadiningrat, Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. 

5. UU NO 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidaka mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 


Berdasarkan defini tersebut, dapat kita simpulkan ciri-ciri pajak yaitu: 

1. Iuran wajib pada negara 

2. Bersifat memaksa 

3. Dipungut berdasarkan undang-undang 

4. Tidak mendapat balas jasa 

5. Digunakan untuk membiayai kepentingan umum


Fungsi Pajak

Pajak sangat berperan dalam kehidupan suatu negara, karena menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan, dan mengatur kegiatan ekonomi negara. Ada beberapa fungsi pajak yaitu: 

1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgeter) Pajak merupakan sumber pemasukan keuangan negara yang menghimpun dana ke kas negara untuk membiayai pengeluaran negara atau pembangunan nasional. Jadi, pajak digunakan membiayai pembangunan, memperluas lapangan pekerjaan, membangun infrastruktur serta gaji ASN. 

2. Fungsi Mengatur(Fungsi Regulered) Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Fungsi mengatur tersebut antara lain: 

a. Memberikan proteksi terhadap barang produksi dalam negeri, misal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 

b. Pajak digunakan untuk menghambat laju inflasi 

c. Pajak digunakan untuk mendorong ekspor, misal pajak barang ekspor 0% d. Untuk menarik dan mengatur investasi modal untuk perekonomian yang produktif. 


3. Fungsi Pemerataan (Fungsi Distribution) Pajak mempunyai fungsi pemerataan artinya dapat digunakan untuk menyeimbangkan dan menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pajak berfungsi untuk pemerataan pendapatan masyarakat. 


Manfaat Pajak 

Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat tentunya sanagat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Berikut beberapa manfaat pajak: 

1. Belanja pegawai meliputi ASN, Polisi, TNI. 

2. Pembangunan sarana umum seperti jembatan, jalan raya, sekolah, rumah sakit, terminal, bandara, irigasi pertanian, pasar. 

3. Sumber pembiayaan alat keamanan negara dengan tujuan menciptakan rasa aman bagi masyarakat. 

4. Memberi subsidi seperti subsidi pupuk, bahan bakar, dan subsidi listrik.

5. Membayar utang negara 

6. Menyediakan fasilitas bantuan beras, kesehatan, pendidikan gratis bagi masyarakat kurang mampu. 

7. Menciptakan proyek lapangan kerja serta pembinaan dan penyediaan modal bagi Usaha Kecil dan Menengah.


Tarif Pajak 

Tarif pajak digunakan untuk menentukan besarnya pajak terutang. Tarif pajak dibagi menjadi empat jenis yaitu: 

1. Tarif Pajak Proporsional (sebanding) 

Tarif pajak proporsional adalah tarif pajak yang pengenaan pajaknya tetap atas berapapun dasar pengenaan pajaknya. 

Contoh pengenaan tarif proporsional 


2. Tarif Pajak Tetap 

Tarif pajak tetap adalah tarif pajak yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak atau besarnya jumlah pajak yang dibayarkan sama. 

Contoh pengenaan tarif pajak tetap


3. Tarif Pajak Degresif (Menurun) 

Tarif pajak degresif adalah tarif pengenaannya menurun seiring peningkatan dasar pengenaan pajak. 

Contoh pengenaan tarif pajak degresif 

4. Tarif pajak Progresif (Naik) 

Tarif pajak progresif adalah tarif pengenaan pajak yang bertambah seiring peningkatan dasar pengenaan pajak 

Contoh pengenaan tarif progresif 


Kita lihat perbandingannya 


Perbedaan Pajak Dengan Pungutan Resmi lainnya 

Selain pajak, ada juga pungutan resmi lainnya yang tidak masuk klasifikasi pajak, merupakan sumber penerimaan negara dan daerah, diantaranya: 

1. Retribusi, adalah iuran rakyat yang disetorkan pada kas negara atas dasar pembangunan tertentu dari jasa atau barang milik negara yang digunakan orangrang tertentu. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa retribusi: 

a. Tidak ada unsur paksaan 

b. Pembayaran tergantung kemauan si pembayar 

c. Tidak selalu menggunakan undang-undang. 

d. Kontraprestasi/balas jasa langsung dirasakan si pembayar. Contoh: pembayaran listrik, langganan air PDAM, jalan tol. 

2. Cukai, ialah iuran rakyat atas pemakaian barang-barang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti rokok, 

3. Bea masuk, ialah bea yang dipungut atas sejumlah barang yang masuk ke daerah pabean Indonesiadengan maksud untuk dikomsumsi di dalam negeri. Sedangkan bea keluar dikenakan atas barang-barang yang akan keluar dari wilayah pabean Indonesia, dengan maksud barang itu akan diekspor. 

4. Sumbangan adalah pungutan yang dilakukan pemerintah kepada segolongan orang tertentu. Pengumpulan dana ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan dan hasil dari sumbangan tersebut dimasukkan ke dalam kas negara atau daerah. Jadi, pihak yang mendapatkan fasilitas dari sumbangan tersebut hanyalah orang-orang yang terlibat dalam pembayaran sumbangan Squad. Contohnya adalah sumbangan wajib untuk perawatan dan pemeliharaan jalan. 


Secara ringkasnya perbedaan pajak dengan pungutan lainnya, kalian lihat tabel berikut ini:


Asas Pungutan Pajak 

Pemungutan pajak pada dasarnya harus memperhatikan keadilan dan keabsahan. Beberapa ahli mengemukakan asas pemungutan pajak, diantaranya: 

1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation dengan ajaran yang terkenal” The Four Maxims”, asas pemungutan pajak sebagai berikut: 

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. 

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. 

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. 

d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. 


2. Menurut W.J. Langen, asas pungutan pajak sebagai beruikut: 

a. Asas daya pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. 

b. Asas manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatankegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. 

c. Asas kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

d. Asas kesamaan, dalam kondisi yang sama antar wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama 

e. Asas beban, yang sekecil-kecilnya pungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan wajib pajak.


Jenis-Jenis Pajak 

Pajak di Indonesia dapat digolongkan berdasarkan: 

1. Berdasarkan sifatnya, pajak digolongkan menjadi: 

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh pajak penghasilan (PPH), pajak bumi bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor. 

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang harus dibayar pihak tertentu dan dapat dilimpahkan seluruhnya atau sebagian pada pihak lain. Contoh pajak penjualan, pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea impor. 


2. Berdasarkan sasarannya/obyeknya, digolongkan menjadi: 

a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan subjeknya (orangnya), dengan memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh pajak penghasilan, pajak kekayaan 

b. Pajak objektif, yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah. 


3. Berdasarkan siapa yang memungut, pajak digolongkan menjadi: 

a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui aparatnya yaitu Dirjen Pajak, Kantor Inspeksi Pajak, Dirjen Bea Cukai. Contoh pajak Penghasilan, Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. 

b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik oleh pemerintah Provinsi maupun pemerintah Kota/Kabupaten. Contoh Pajak Kendaran Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame.


Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia 

Setiap negara memiliki sistem atau cara dalam pemungutan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Pemungutan pajak secara umum mengenal tuga sistem, yaitu: 

1. Official Assessment Sistem, yaitu sistem yang memberikan kewenangan pemerintah atau petugas pemungut pajak untuk menghitung dan menentukan jumlah pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak. Perhitungan pajak terutang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak. Contoh Pajak Bumi dan Bangunan. 

2. Self Assessment System, yaitu sistem yang memberikan kepercayaan dan kewenangan pada wajib pajak untuk menghitung, menentukan besarnya pajak, melaporkan dan membayarnya sendiri. Pada sistem ini petugas pajak melakukan pengawasan dan bimbingan pada wajib pajak, selain penegakan hukum. Contoh Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barangf Mewah (PPn-BM). 

3. With Holding System, oyaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau memungut, dan menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Contoh pemotongan pajak penghasilan karyawan (PPh pasal 21) 


Alur Perpajakan di Indonesia 

Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak perlu adanya perbaikan administrasi perpajakan. Reformasi administrasi perpajakan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan prinsip Good Governance. 

Good Governance yang dilandasi sifat transparan, akuntabel, responsif, independen dan adil, akan mendukung visi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu menjadi Model Pelayanan Masyarakat yang Menyelenggarakian Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia yang Dipercaya dan Dibanggakan oleh Masyarakat. 

Perbaikan mutu layanan secara berkesinambungan merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Account Representative (AR) berfungsi untuk menjembatani antara Kantor Pajak dengan wajib pajak, untuk memaksimalkan fungsi bimbingan, konsultasi dan pembinaan kepada wajib pajak. 

Ketentuan formal tentang perpajakan diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ketentuan material diatur dalam UU pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


Alur administrasi perpajakan 

1. Wajib pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau secara online.

2. Setelah terdaftar, wajib pajak harus menghitung jumlah pajak yang terutang, atas dasar itu membayarnya ke Bank yang ditunjuk Pemerintah atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 

3. Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan melaporkannya secara langsung ke KPP atau mengirimkan dokumen SSP lembar ketiga dan SPTnya. 

4. Wajib pajak akan mendapat tanda terima penyampaian SPT. 


Objek Pajak dan Cara Pengenaan Pajak 

Objek pajak adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dijadikan dasar pengenaan pajak. Sistem perpajakan di Indonesia diatur sebagai berikut: 

1. Undang-Undang No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

2. Undang-Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) 

3. Undang-Undang No 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). 

4. Undang-Undang No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

5. UU No 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai.


Cara Pengenaan Pajak 

1. Pajak Penghasilan 

a. Pengertian Pajak Penghasilan 

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada orang pribadi atau badan (subjek pajak) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. 

b. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang diwajibkan membayar pajak berdasarkan kemampuan dan kondisinya. Dalam Pasal 2, subjek pajak adalah orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan. Badan yang berbentuk perseroan terbatas, perseroan komanditer, yayasan, badan usaha milik negara atau daerah, dan persekutuan lainnya, juga termasuk sebagai subjek pajak. Selain kedua pihak tersebut, bentuk usaha tetap juga dimasukkan dalam kelompok subjek pajak. 

c. Objek Pajak, yaitu penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak. Penghasilan yang dimaksud dapat dipakai untuk kegiatan konsumsi atau menambah kekayaan. Berikut ini contoh objek pajak: 

1) Gaji, upah, tunjangan, honorarium, uang pensiun, gratifikasi, komisi, bonus, dan imbalan lainnya atas pekerjaan atau jasa. 

2) Hadiah yang berasal dari undian atau pekerjaan dan penghargaan. 

3) Laba usaha, keuntungan yang berasal dari penjualan atau pengalihan harta, keuntungan atas pembebasan utang, dan keuntungan selisih kurs mata uang. 

4) Bunga premium, diskonto, imbalan karena jaminan pengembalian utang, dividen, dan premi asuransi. 

5) Royalti, sewa dan penghasilan yang berhubungan dengan kegiatan penggunaan harta, serta penghasilan yang berasal dari usaha berbasis syariah.

6) Tambahan kekayaan neto dari penghasilan yang belum terkena pajak, dan sebagainya. 


d. Penghasilan Tidak Kena Pajak 

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah pengurangan terhadap penghasilan bruto Wajib Pajak. Besar PTKP ditentukan oleh pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, berdasarkan perkembangan ekonomi dan harga kebutuhan pokok di Indonesia. Selain aturan yang tertera dalam pasal 7 UU No 36 Tahun 2008, terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP. Dalam aturan baru ini, jumlah PTKP: 

1) Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 54.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) pertahun atau Rp 4.500.000,00 perbulan 

2) Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp 4.500.000,00 (tiga juta rupiah) pertahun atau Rp 375.000,00 perbulan 

3) Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sebesar Rp 54.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) pertahun atau Rp 4.500.000,00 perbulan, dan 

4) Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp 4.500.000,00 (tiga juta rupiah) pertahun atau Rp 375.000,00 perbulan 


e. Pajak Penghasilan 

Tarif Pajak yang ditetapkan atas penghasilan Kena Pajak dan besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak).

1) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri adalah: 

PKP kurang dari Rp50.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 5% 

PKP antara Rp50.000.000 -- Rp250.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 15% 

PKP antara Rp250.000.000 -- Rp500.000.000 dikenai tarif pajak sebesar 25% 

PKP di atas Rp500.000.000 dikenai tarif pajak 30%

PKP= Penghasilan bersih pertahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Jika sebelumnya hanya dikenai tarif sebesar 30%, maka mulai 1 Januari 2022 ini akan dikenai tarif sebesar 35%. Ini merupakan bentuk keadilan yang diterapkan oleh Pemerintah.


2) Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

Untuk menghitung pajak ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 adalah Sehubungan dengan wajib pajak badan juga diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu 

a) Peredaran Bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya 

b) Objek Pajaknya adalah Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak, serta besarnya Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet) 

c) Jenis usaha yang dikenakan atas peraturan ini diantaranya usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha lainnya. 

d) Subjek Pajaknya adalah Orang pribadi dan Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. 


Contoh 1: 

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp4,5 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp500 juta.

Penghitungan pajak yang terutang: seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif PPh badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT X tidak melebihi Rp4,8 miliar. 

PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp500 juta = Rp62,5 juta. 


Contoh 2: 

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp30 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp3 miliar. 

Penghitungan penghasilan kena pajak yang mendapat fasilitas dan tidak mendapat fasilitas: 

• Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp4,8 miliar : Rp30 miliar) x Rp3 miliar = Rp480 juta. 

• Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3 miliar – Rp480 juta = Rp2,52 miliar. PPh yang terutang: 

• (50% x 25%) x Rp480 juta = Rp60 juta. 

• 25% x Rp2,52 miliar = Rp630 juta. 

Jumlah PPh yang terutang = Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta. 


2. Pajak Pertambahan Nilai 

a. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai 

Apa itu PPN? Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). 

Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen Akhir. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan di smaping PPN, artinya untuk barang mewah selain kena PPN juga dikenakan PPnBM. 

b. Objek Pajak Pertambahan Nilai 

Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN adalah: 

1) Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha 

2) Impor Barang Kena Pajak 

3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 

4) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 

5) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah: 

• Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok 

• Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu 

• Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi 

• Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial 


PPnBM yaitu tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif yaitu, tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Tarifnya dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu tarif kendaraan bermotor dan kendaraan non bermotor.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), bab IV Pasal 7 ayat (1) tentang PPN, tarif PPN yang semula 10% akan naik secara bertahap, yaitu sebesar 11% pada tahun 2022 dan akan menjadi 12% pada tahun 2025 mendatang.

PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Contoh 1: 

Seorang PKP bernama Ibrahim menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp30.000.000,00 

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 11% x Rp30.000.000,00 = Rp3.300.000,00 

PPN sebesar Rp3.300.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Ibrahim. 


Contoh 2:

Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%. 

Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah: 

Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00 

PPN = 11% x Rp5.000.000,00 = Rp550.000,00 

PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00= Rp1.000.000,00


3. Pajak Bumi dan Bangunan 

a. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pada bulan September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Atas dasar tersebut pemerintah mengalihkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan(PBB-P2) menjadi Pajak Daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Daerah Kabupaten/ Kota. Sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat. 


b. Subjek Pajak PBB 

Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal berikut ini: 

1) Mempunyai hak atas bumi. 

2) Memperoleh manfaat atas bumi. 

3) Memiliki bangunan. 

4) Menguasai bangunan. 

5) Memperoleh manfaat atas bangunan.


c. Objek Pajak PBB 

Menurut pasal 77 ayat 1 UU No 28 Tahun 2009, Objek pajak PBB adalah Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Sedangkan menurut pasal 3nya Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi bangunan Pedesaan dan Perkotaa adalah: 

1) Digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; 

2) Digunakan semata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayan nasiona, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; 

3) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, atau tanah negara yang belum dibebani suatu hak 

4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan kosulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik, 

5) Digunakan oleh badan atau perwakilam lembaga internasional yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan.


d. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) 

Berdasarkan UU No 28 tahun 2009 pasal 80 tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP). Sedangkan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) paling rendah Rp10.000.000,00 untuk setiap Wajib pajak dan Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Sebelum UU HKPD ini terbit, tarif PBB adalah berkisar antara 0,1 - 0,3%. Sementara itu seperti yang telah disebutkan sebelumnya, 

NJKP berkisar antara 20 - 100% dari NJOP - NJOP Tidak Kena Pajak.

Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan= Tarif X (NJOP-NJOPTKP)

Contoh:

Tuan Yunus memiliki Objek pajak yang berkaitan dengan tanah dan bangunan : Tanah seluas 500 m2 dengan Nilai Jualnya Rp 500.000,00 per m2, Rumah seluas 200 m2 dengan Nilai jualnya Rp 600.000,00 per m2. Hitunglah besarnya PBB yang terutang jika diketahui besarnya NJOPTKP Rp 10.000.000,00 dan tarif yang dikenakan sebesar 0,1%. 

Jawab: 

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 

Tanah: 500 x Rp 500.000,00                         = Rp 250.000.000,00 

Bangunan: 200 x Rp 600.000,00                 = Rp 120.000.000,00 + 

                                                                       = Rp 370.000.000,00 

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak     = Rp 10.000.000,00 – 

NJOP untuk Penghitungan PBB                     = Rp 360.000.000,00 

                                                                         =============== 

PBB Terutang = 0,1% x Rp 360.000.000,00 = Rp 360.000,00 


4. Bea Materai 

a. Pengertian 

Bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak. 

b. Dokumen yang dikenakan Bea Materai 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, berikut ini daftar dokumen yang dikenakan materai. 

1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. 

2) Akta-akta notaris termasuk salinannya. 

3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkaprangkapnya. 

4) Surat yang memuat jumlah uang, di antaranya: Surat yang menyebutkan penerimaan uang, surat yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank, surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan. 

5) Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep. 

6) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengendalian, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari maksud semula. 


c. Tarif Bea Materai 

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2020, Bea Meterai dikenakan tarif tetap sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per lembar berlaku sejak 1 Januari 2021.

No comments: